Hasya Gaharu melangkah keluar dari ruang rumah sakit, matanya fokus pada jalan di depan. Sesekali, ia memeriksa ponselnya, mencari informasi terbaru tentang pengobatan mata kakaknya. Selama bertahun-tahun, ia berjuang untuk merawat kakaknya yang kehilangan penglihatan akibat penyakit degeneratif. Setiap harinya, ia mencoba sekuat tenaga untuk mencari cara agar kakaknya bisa melihat lagi. Namun, biaya pengobatan yang sangat mahal selalu menjadi penghalang utama. Ketika tawaran pernikahan kontrak dari Karana Wihardjo datang, ia merasa seolah-olah mendapat jalan keluar.
Kakaknya, Ayu, yang sudah terbiasa dengan kondisi tersebut, kini tampak lebih cerah sejak Hasya menyampaikan berita gembira. “Ayu,” kata Hasya sambil tersenyum lebar, “aku akan membawa kamu ke Singapura untuk menjalani operasi mata. Aku sudah mencari cara, dan akhirnya, ada kesempatan untuk kamu bisa melihat lagi.” Ayu menatap adiknya dengan air mata yang mulai menetes di pelupuk matanya. Sungguh, Ayu tak tahu harus berkata apa. Harapan yang hilang selama ini, kini seolah kembali dalam jangkauan. “Benarkah, Hasya? Aku bisa melihat lagi?” tanya Ayu dengan suara gemetar. Hasya hanya mengangguk, meraih tangan kakaknya dengan lembut. “Ya, aku akan memastikan itu. Kamu akan melihat lagi, Ayu.” Ayu menundukkan kepalanya, mengusap air mata yang mengalir, merasa sangat terharu atas pengorbanan dan cinta yang tak kenal lelah dari adiknya. ^^^^ Sementara itu, di sisi lain kota, Kara Wihardjo sedang mempersiapkan pertemuan keluarga besar. Rencana pernikahan kontraknya dengan Hasya semakin mendekati realitas, dan ia merasa perlu memperkenalkan Hasya kepada keluarganya. Walaupun ia sadar betul bahwa keputusan ini tampaknya aneh, terutama bagi keluarganya yang sering mengharapkan pernikahan yang lebih ‘terhormat’, Kara merasa itu adalah langkah yang tak terhindarkan. Pada malam itu, Kara mengenakan gaun simpel yang elegan, menyiapkan dirinya untuk makan malam bersama keluarga. Hasya, yang lebih suka berpakaian kasual, mengenakan kemeja polos dan celana hitam. Ia merasa canggung, karena meskipun sudah berjanji untuk menikah dengan Kara dalam kontrak satu tahun, bertemu dengan keluarga Kara adalah hal yang jauh dari kenyamanannya. Di meja makan, suasana terasa sedikit canggung. Ayah Kara, yang dikenal sebagai sosok tegas namun perhatian, menyambut Hasya dengan ramah. “Kamu pasti Hasya, ya? Aku dengar banyak hal baik tentangmu. Selamat datang di rumah kami,” kata ayah Kara dengan senyum lebar. Hasya merasa sedikit lebih tenang, meski masih canggung. Namun, ibu tiri Kara yang duduk di ujung meja, jelas memperhatikan setiap gerak-gerik Hasya dengan tatapan tajam. “Ibu tiri saya, ini Hasya,” Kara memperkenalkan, berusaha menjaga suasana tetap hangat. “Dia adalah calon suami saya.” Tiba-tiba, ibu tiri Kara meletakkan sendoknya dengan keras, menatap Hasya dengan penuh sindiran. “Oh, jadi ini calon suami yang kamu pilih?” Suaranya terdengar dingin, dan ada nada meremehkan di dalamnya. “Tapi, dia kan tidak selevel dengan keluarga kita, Kara. Sepertinya kamu terlalu terburu-buru memilih seseorang yang tidak sesuai dengan status kita.” Hasya merasakan panas menjalar ke wajahnya. Ia menunduk, berusaha untuk tidak menunjukkan rasa tersinggungnya. Tapi, Kara yang sudah cukup tahu tentang ibu tirinya, bisa merasakan ketegangan yang terjadi. Hatinya mendidih, dan ia merasa sangat tidak nyaman dengan sindiran ibu tirinya yang jelas-jelas tidak bisa menerima Hasya hanya karena latar belakangnya. “Ibu!” Kara berkata tegas, mencoba menahan rasa marahnya. “Tolong, jangan berbicara seperti itu.” Namun, ibu tiri Kara hanya menyeringai kecil, seolah tidak peduli dengan perasaan Kara. Hasya mengangkat wajahnya, meskipun ia berusaha menahan diri untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanannya. Ia merasa tidak enak hati, terutama karena ia tahu Kara sedang berada dalam posisi yang sangat sulit, terjebak di antara keluarganya dan keputusan yang ia buat sendiri. ^^^^ Setelah makan malam, Kara memutuskan untuk membawa Hasya pulang lebih awal. Ia tahu betul bagaimana rasanya dihadapkan pada sikap ibu tirinya yang tidak menghargai pilihan-pilihannya. Sebelum meninggalkan rumah, Kara mengajak Hasya untuk berjalan keluar lebih dulu, meninggalkan keluarga yang masih sibuk berbicara di ruang makan. Kara berjalan cepat, menuntun Hasya keluar rumah, kemudian berbalik dan memandangnya dengan tatapan yang penuh penyesalan. “Maafkan ibu tiri saya. Dia memang seperti itu. Tapi kamu tidak perlu merasa tersinggung.” Hasya yang semula masih tampak canggung, kini hanya tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, Bu Karana. Saya baik-baik saja,” jawabnya dengan suara lembut. Ia menyentuh tangan Kara dengan lembut, seolah memberikan pengertian bahwa ia tidak marah. “Saya mengerti mengapa dia berbicara seperti itu. Mungkin dia hanya khawatir tentang pilihanmu.” Kara terdiam, merasa sedikit terharu dengan sikap Hasya. Ia tahu bahwa Hasya, meskipun tampaknya tidak terlalu menunjukkan perasaan, sesungguhnya sangat memahami beban yang ia pikul. “Tapi tetap saja, aku tidak suka cara dia menghina kamu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu.” Hasya tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Kara, jangan khawatirkan aku. Aku tahu kamu hanya berusaha untuk melakukan yang terbaik, dan aku sudah cukup berterima kasih karena kamu memberiku kesempatan ini.” Tangannya masih memegang jemari Kara dengan lembut, seolah memberikan jaminan bahwa ia tidak tersinggung, bahwa semuanya baik-baik saja. “Terima kasih,” Kara berkata pelan, merasa hati yang semula penuh kekhawatiran kini sedikit lebih ringan. Saat mereka tiba di mobil, Hasya melirik Kara sekilas, menyadari bahwa meskipun pernikahan kontrak ini mungkin tidak mudah bagi mereka berdua, mereka mulai menemukan kenyamanan satu sama lain. Ada rasa saling menghormati yang tumbuh di antara mereka, meskipun hanya dimulai dengan sebuah perjanjian bisnis. Perjalanan pulang terasa hening, namun bagi Kara dan Hasya, itu adalah perjalanan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang satu sama lain. Dalam keheningan itu, mereka menyadari bahwa hubungan mereka, meskipun dimulai dengan kontrak, mungkin akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar dari yang mereka bayangkan. ^^^^Hujan rintik-rintik turun dari langit kelabu, membasahi jendela kantor Kara yang menghadap kota. Perempuan itu duduk di kursinya, menatap layar komputer dengan mata yang tajam dan penuh amarah yang terpendam. Di sampingnya, Hasya berdiri dengan tangan terlipat, menunggu Kara berbicara."Aku sudah menyelidiki semua transaksi keuangan perusahaan selama setahun terakhir," suara Kara akhirnya terdengar, dingin seperti baja yang baru diasah. "Dan hasilnya?"Hasya mendekat, membaca dokumen yang tertera di layar. Matanya membulat. "Alice… dia benar-benar gila."Angka-angka dalam laporan itu berbicara sendiri. Puluhan miliar dana perusahaan telah dialirkan ke rekening-rekening asing, perusahaan fiktif, dan berbagai proyek yang ternyata tak pernah ada. Alice bukan hanya sekadar menyebarkan rahasia Kara ke media, tapi juga telah mengkhianati perusahaan dengan cara yang jauh lebih busuk.Kara mengepalkan tangannya, jemarinya gemetar karena emosi. "Dia pikir aku nggak bakal tahu? Dia pikir aku ak
Malam itu, angin berembus pelan, tapi dinginnya menembus hingga ke tulang. Kara duduk di ruang kerja, matanya terpaku pada layar ponselnya. Jemarinya menggenggam ponsel erat, seolah benda itu adalah satu-satunya pegangan dalam kekacauan ini. Hasya berdiri di belakangnya, menunggu dengan sabar saat Kara menggulirkan layar, mencari tahu sumber berita yang telah menghancurkan segalanya.Lalu, di sanalah mereka menemukannya.Nomor ponsel Adrian.Kara mematung. Hatinya menolak percaya. Adrian? Teman lamanya? Orang yang dulu dia anggap sebagai rekan sekaligus seseorang yang pernah ia percayai?Hasya, yang sedari tadi memperhatikan ekspresi Kara, menarik napas dalam. "Kita harus memastikan ini," katanya, suaranya tenang tapi tegas. "Kita ke rumah sakit sekarang."Rumah sakit berbau khas antiseptik, bercampur dengan aroma samar kecemasan yang melayang di udara. Langkah Kara dan Hasya cepat, hampir berlari. Mereka bertanya pada perawat, lalu diarahkan ke kamar perawatan Adrian.Namun, sebelum
Ruangan itu sunyi, sepi yang menusuk lebih dalam daripada kemarahan yang baru saja meledak. Hasya berdiri tegak, dadanya naik-turun menahan emosi. Matanya menatap lurus ke arah sang mertua, meski sorot mata lelaki tua itu lebih tajam daripada pisau yang baru diasah.Kara masih memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan tadi, tapi bukan itu yang membuat dadanya sesak. Melainkan kenyataan bahwa ayahnya sendiri ingin menghancurkan sesuatu yang—walaupun dia enggan mengakuinya sebelumnya—sudah menjadi bagian dari hatinya.Hasya menelan ludah, lalu maju satu langkah."Ayah," suaranya tegas, tapi tetap penuh hormat. "Saya tahu Anda marah. Saya tahu berita itu mencoreng nama baik keluarga Wihardjo. Tapi sebelum Anda memutuskan sesuatu, biarkan saya bicara."Ayah Kara menatapnya dengan rahang mengeras, tapi tak berkata apa-apa."Kami memang memulai hubungan ini dengan sebuah perjanjian," Hasya melanjutkan, memastikan suaranya stabil. "Kami berdua tahu itu. Kami paham risiko dan konsekuensi
Suasana di kantor Wihardjo Group pagi itu terasa lebih tegang dari biasanya. Para karyawan berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, membicarakan satu topik yang sama dengan suara berbisik-bisik—skandal pernikahan kontrak antara Karana Wihardjo dan Hasya Gaharu. Berita itu muncul seperti petir di siang bolong, menyebar dengan cepat di berbagai portal berita dan media sosial. Foto-foto Kara dan Hasya terpampang di mana-mana dengan judul besar yang sensasional. "Pernikahan Kontrak CEO Wihardjo Group Terbongkar!" "Siapa Sebenarnya Hasya Gaharu? Suami Bayaran Karana Wihardjo?" Kara menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Sementara di sebelahnya, Hasya memijat pelipisnya dengan frustrasi. "Ini pasti ulah Alice," gumam Hasya akhirnya, setelah membaca beberapa artikel yang semuanya memuat sumber yang sama—seorang ‘narasumber terpercaya’ dari dalam perusahaan. Kara menutup ponselnya dengan kasar. "Alice tidak akan berani bertindak sejauh ini sendirian." Hasya mengangkat al
Malam itu udara dingin menelusup ke dalam jaket tipis Hasya. Angin berembus pelan, mengibarkan tirai di jendela rumah Ayu. Tapi bukan udara dingin yang membuat Hasya menggigil.Melainkan tatapan Dhea yang kini berdiri tepat di hadapannya."Aku nggak pernah bisa benci kamu, Hasya."Kalimat itu meluncur dari bibir Dhea dengan nada pelan tapi penuh ketegasan. Mata perempuan itu menatap lurus ke arah Hasya, membuat laki-laki itu merasa seperti ditelanjangi oleh kebenaran yang selama ini ia coba hindari."Aku pikir aku bisa," lanjut Dhea, tersenyum kecil. "Setelah kamu pergi tanpa sepatah kata pun. Setelah tiba-tiba kamu menikah sama Kara. Aku pikir, aku bisa membencimu. Tapi ternyata enggak."Hasya menelan ludah. Ia tidak tahu harus menjawab apa."Aku cuma mau bilang," Dhea melanjutkan, suaranya lebih lirih kali ini, "Sekarang aku tahu kalau pernikahan itu cuma kerja sama. Dan aku mau kamu tahu kalau aku masih di sini, Hasya. Aku bakal nunggu kamu."Jantung Hasya mencelos.Ia menatap Dhea
Kara duduk di kursi rumah sakit dengan mata yang terasa berat. Bau khas antiseptik menyengat hidungnya, bercampur dengan udara dingin yang membuat suasana semakin sunyi. Sejak tadi, tatapannya tidak lepas dari Adrian yang masih terbaring tak sadarkan diri di ICU.Selama ini, ia menganggap Adrian sebagai ancaman—seorang pria yang selalu mencoba masuk ke dalam hidupnya tanpa izin. Tapi sekarang, melihat laki-laki itu terbaring dengan selang dan alat medis yang menopang hidupnya, Kara tidak bisa menyangkal ada perasaan simpati di hatinya.Namun, lebih dari itu, ada banyak pertanyaan yang terus berkecamuk di kepalanya.Kenapa Adrian melakukan ini?Kenapa dia harus menghancurkan proyek Wihardjo Group?Apa yang sebenarnya ia pikirkan?Saat itu, suara langkah kaki mendekat. Kara menoleh dan menemukan Hasya berdiri di dekatnya dengan ekspresi khawatir.“Kamu belum pulang?” tanya Hasya.Kara menggeleng. “Aku mau menunggu sampai Adrian sadar.”Hasya terdiam sesaat. “Aku temani, ya?”Namun, Kara
Kara tidak pernah menyangka bahwa dunianya bisa berantakan dalam sekejap.Setelah panggilan dari dewan direksi malam itu, ia dan Hasya langsung bergegas ke kantor, mengumpulkan semua laporan, dan mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Investor utama mereka, yang seharusnya menjadi tulang punggung proyek terbesar Wihardjo Group, tiba-tiba menarik diri tanpa alasan jelas.Selama beberapa hari terakhir, Kara dan Hasya telah bekerja keras mencari jalan keluar. Tidur menjadi barang mewah yang tidak bisa mereka nikmati. Makan pun hanya sekadarnya, sekadar untuk bertahan.Hasya bahkan selalu menemaninya. Laki-laki itu tidak pernah sekalipun mengeluh, meskipun wajahnya sudah terlihat jelas kelelahan.Saat Kara tengah menatap laporan dengan mata berat, Hasya mendekatinya sambil membawa secangkir kopi.“Minum ini dulu,” katanya, menyodorkan cangkir itu ke hadapan Kara.Perempuan itu menghela napas, lalu menerima kopi itu dengan lelah. “Terima kasih.”Hasya tersenyum. “Udah ada kabar
Pagi itu, kantor Wihardjo Group terasa lebih hidup dari biasanya. Para pegawai yang biasanya sibuk dengan rutinitas mereka, kini mencuri pandang ke arah pasangan yang baru saja memasuki gedung.Karana Wihardjo dan Hasya Gaharu.Bukan karena keduanya datang bersama yang membuat para pegawai terkejut, tetapi karena ekspresi Kara yang tampak jauh lebih lembut dari biasanya. CEO mereka yang selalu berwibawa, tegas, dan kadang menakutkan itu kini tampak lebih tenang. Bahkan, ada semburat kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikannya.“Kok rasanya beda, ya?” bisik salah satu karyawan perempuan pada rekan di sebelahnya.“Iya. Biasanya Bu Kara masuk kantor dengan aura yang bikin kita enggak berani napas. Sekarang…”“Kayak lagi jatuh cinta, nggak, sih?”Desas-desus kecil mulai menyebar di antara pegawai, terutama ketika mereka melihat Hasya yang berjalan santai di samping Kara dengan senyum jahilnya.Alice yang duduk di meja kerjanya hanya mengangkat sebelah alis. Ada sesuatu yang tidak beres d
Kara membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menembus celah tirai kamar, menerangi ruangan dengan cahaya lembut. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan.Namun, saat ia menyadari di mana dirinya berada, tubuhnya langsung menegang.Ia tidak sedang berada di kamarnya sendiri.Matanya menyapu sekeliling, menyadari bahwa ia masih terbaring di ranjang Hasya. Selimut tebal yang melilit tubuhnya menyisakan pundaknya yang terbuka. Tubuhnya terasa hangat, kulitnya bersentuhan langsung dengan kain sprei.Napas Kara tercekat ketika ia menyadari bahwa pakaiannya telah tanggal.Ingatan semalam kembali menyerangnya. 'Aku menyukai kamu, Hasya," ungkap Kara seraya memeluk Hasya. "Aku tahu, ternyata selama ini aku hanya bingung oleh perasaanku sendiri. Tapi sekarang, aku yakin sekali, aku menyukai kamu, aku ingin selalu di sisi kamu. Aku sayang sama kamu, Hasya."Tentu saja, Hasya yang lebih dulu menyukai Kara itu tak menyia-nyiakan waktu. Ia meraih tengkuk Kar