Share

Bab 7

Selesai membersihkan rumput dan semak belukar di halaman rumah depan, belakang dan samping, Zaki memasang tali dan timba di sumur yang terletak di bagian depan, rumah ini tidak memasang air PDAM namun ada sumur yang airnya cukup banyak, namun juga cukup dalam. Lelaki itu menimba air dan mengisinya ke dalam sebuah ember yang didapati di dalam rumah. 

"Ini airnya, coba di pel rumahnya, disiramkan saja airnya lalu disapu, setelah itu baru dilap pakai kain pel," ujar lelaki itu.

"Baik," jawab Nadin langsung menyiramkan air tersebut dari ruang kamar.

Kemudian Nadin menggosok setiap lantai memakai sapu lantai dan menyapu airnya, sementara Zaki terus menimba air dan menyiramkan air di setiap lantai. Ketika dirasa semua lantai sudah basah terkena genangan air, lelaki itu membersihkan kamar mandi dan mengisi bak dengan air.

Hingga siang hari pekerjaan mereka baru selesai, rumah sudah bersih dan siap untuk dihuni, Zaki meminta Nadin menunggu sebentar, sementara dia pergi keluar dengan motornya.

Ketika akan mengeringkan lantai yang masih sedikit basah, Nadin baru menyadari tidak memiliki kain lap sama sekali, sehingga dia nekad pergi ke rumah tetangga untuk meminjamnya.

Kebetulan sekali tetangga pas dekat rumahnya penghuninya ada di rumah, ibu rumah tangga yang memiliki seorang anak yang masih TK.

"Mbak ini yang mau menghuni rumahnya Pak Salim itu, ya?" tanya mama muda tersebut 

"Benar, Mbak. Perkenalkan saya Nadin." 

Wanita itu menerima uluran tangan Nadin dengan hangat, sambil menyebutkan namanya, "Saya Karina."

"Syukurlah kalau rumah itu akan ditunggu, soalnya saya sering serem sendiri kalau lihat rumah kosong begitu, apalagi halamannya yang sudah semak seperti itu, takut ada ular," ujar Karina lagi.

"Masuk dulu, Mbak Nadin. Saya sedang nyuapi anak saya, biarpun sudah TK tapi masih saja manja."

"Maaf, Mbak. Saya ke sini cuma mau minjam kain lap saja, saya lupa membawanya tadi."

"Oh, sebentar." 

Karina pergi ke dapur sebentar, setelahnya datang membawa kain bekas yang sudah dicuci.

"Ini, Mbak."

"Oh, terima kasih. Saya pinjam dulu, ya?"

"Tidak usah pinjam, ambil saja, Mbak. Cuma kain bekas saja kok."

"Oh, terima kasih sekali lagi."

"Mbak Nadin mau tinggal di rumah itu sendirian?"

"Tidak, seminggu lagi mau tinggal bersama suami saya."

"Oh, suaminya memangnya sekarang ke mana, Mbak?"

"Sekarang belum jadi suami, Mbak. Baru calon, seminggu lagi baru kami menikah."

"Oh, begitu, ya? Selamatenouh hidup baru kalau begitu, nikahnya di mana, Mbak?"

"Di KUA saja, Mbak. Kami pasangan miskin, tidak punya banyak uang."

"Yang penting sudah sah di mata agama dan negara, Mbak."

"Iya, kalau gitu saya permisi ya?"

"Oh, silahkan, Mbak. Sering-sering main ke sini, ya?"

Nadi balik lagi ke rumahnya dengan hati yang gembira, lumayan memiliki tetangga yang cukup baik, walau Karina sepertinya lebih tua beberapa tahun darinya, namun bisa dijadikan teman. Ketika Zaki kembali, semua lantai semen itu sudah kering dan bersih. Lelaki itu membawa dua kantong plastik yang isinya dua buah nasi bungkus dan dua buah air mineral botolan.

"Ayo, kita makan siang dulu," ajaknya.

Mereka duduk di lantai semen tanpa alas dan membuka nasi bungkus masing-masing, nasi Padang dengan lauk ayam goreng bumbu.

"Hari ini aku langsung pindah, mau ngambil barang setelah ini di kost-an," ujar Nadin disela-sela makan.

"Iya, nanti kubantuin," jawab lelaki itu sekilas.

Makan berdua seperti ini entah mengapa membuat hati Nadin menghangat, walau setelahnya mereka tidak lagi mengobrol, hanya fokus makan saja, suasana keduanya masih canggung, mereka baru bertemu tiga kali, wajar saja belum bisa beradaptasi satu sama lain.

"Surat menyurat pernikahan segera kau urus," ujar Zaki setelah diaenghabiskan nasi bungkusnya.

"Iya, nanti aku meminta orang untuk mengurusnya, soalnya KTP ku masih berdomisili di kampung," jawab Nadin yang masih menghabiskan setengah nasi bungkusnya.

"Wali nikahnya siapa?" tanya Zaki setelah meminum setengah air mineral di botol.

Melihat cara makan lelaki itu yang cepat dan ligat, Nadin menelan ludahnya, sungguh lelaki yang cukup tangkas dan tidak bertele-tele.

"Ayahku, kalau dia bersedia," jawabnya dengan malas, setiap menyebut Suhendro dia memang malas.

"Kok ayahmu bisa tidak bersedia?"

"Aku punya konflik dengan ayahku, aku ini anak buangan, tidak pernah dianggap, lelaki itu justru lebih sayang dengan anak tirinya daripada aku anak kandungnya, besok sebelum hari H, aku hubungi dia, kalau tidak mau ya pakai wali hakim saja."

Zaki mengernyit mendengar perkataan Nadin, cukup menarik. Benarkah ada konflik antara ayah dan anak ini? Padahal dia tertarik mendekati Nadin karena ayahnya yang memiliki nama belakang keluarganya Purnomo. Tetapi bagus juga kalau berkonflik, dia bisa membuat gadis ini menjadi senjata untuk melawan Pak Purnomo itu.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Hanif Tri Khazanah
ksh harga yg murah donk, biar bs lanjut bacanya
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
jgn menyimpan dendam... ntar jatuh cinta..
goodnovel comment avatar
Azmi Alie
ah ceroitanya belum seru udah harus buka kunci,mahal lagi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status