Selesai membersihkan rumput dan semak belukar di halaman rumah depan, belakang dan samping, Zaki memasang tali dan timba di sumur yang terletak di bagian depan, rumah ini tidak memasang air PDAM namun ada sumur yang airnya cukup banyak, namun juga cukup dalam. Lelaki itu menimba air dan mengisinya ke dalam sebuah ember yang didapati di dalam rumah.
"Ini airnya, coba di pel rumahnya, disiramkan saja airnya lalu disapu, setelah itu baru dilap pakai kain pel," ujar lelaki itu.
"Baik," jawab Nadin langsung menyiramkan air tersebut dari ruang kamar.
Kemudian Nadin menggosok setiap lantai memakai sapu lantai dan menyapu airnya, sementara Zaki terus menimba air dan menyiramkan air di setiap lantai. Ketika dirasa semua lantai sudah basah terkena genangan air, lelaki itu membersihkan kamar mandi dan mengisi bak dengan air.
Hingga siang hari pekerjaan mereka baru selesai, rumah sudah bersih dan siap untuk dihuni, Zaki meminta Nadin menunggu sebentar, sementara dia pergi keluar dengan motornya.
Ketika akan mengeringkan lantai yang masih sedikit basah, Nadin baru menyadari tidak memiliki kain lap sama sekali, sehingga dia nekad pergi ke rumah tetangga untuk meminjamnya.
Kebetulan sekali tetangga pas dekat rumahnya penghuninya ada di rumah, ibu rumah tangga yang memiliki seorang anak yang masih TK.
"Mbak ini yang mau menghuni rumahnya Pak Salim itu, ya?" tanya mama muda tersebut
"Benar, Mbak. Perkenalkan saya Nadin."
Wanita itu menerima uluran tangan Nadin dengan hangat, sambil menyebutkan namanya, "Saya Karina."
"Syukurlah kalau rumah itu akan ditunggu, soalnya saya sering serem sendiri kalau lihat rumah kosong begitu, apalagi halamannya yang sudah semak seperti itu, takut ada ular," ujar Karina lagi.
"Masuk dulu, Mbak Nadin. Saya sedang nyuapi anak saya, biarpun sudah TK tapi masih saja manja."
"Maaf, Mbak. Saya ke sini cuma mau minjam kain lap saja, saya lupa membawanya tadi."
"Oh, sebentar."
Karina pergi ke dapur sebentar, setelahnya datang membawa kain bekas yang sudah dicuci.
"Ini, Mbak."
"Oh, terima kasih. Saya pinjam dulu, ya?"
"Tidak usah pinjam, ambil saja, Mbak. Cuma kain bekas saja kok."
"Oh, terima kasih sekali lagi."
"Mbak Nadin mau tinggal di rumah itu sendirian?"
"Tidak, seminggu lagi mau tinggal bersama suami saya."
"Oh, suaminya memangnya sekarang ke mana, Mbak?"
"Sekarang belum jadi suami, Mbak. Baru calon, seminggu lagi baru kami menikah."
"Oh, begitu, ya? Selamatenouh hidup baru kalau begitu, nikahnya di mana, Mbak?"
"Di KUA saja, Mbak. Kami pasangan miskin, tidak punya banyak uang."
"Yang penting sudah sah di mata agama dan negara, Mbak."
"Iya, kalau gitu saya permisi ya?"
"Oh, silahkan, Mbak. Sering-sering main ke sini, ya?"
Nadi balik lagi ke rumahnya dengan hati yang gembira, lumayan memiliki tetangga yang cukup baik, walau Karina sepertinya lebih tua beberapa tahun darinya, namun bisa dijadikan teman. Ketika Zaki kembali, semua lantai semen itu sudah kering dan bersih. Lelaki itu membawa dua kantong plastik yang isinya dua buah nasi bungkus dan dua buah air mineral botolan.
"Ayo, kita makan siang dulu," ajaknya.
Mereka duduk di lantai semen tanpa alas dan membuka nasi bungkus masing-masing, nasi Padang dengan lauk ayam goreng bumbu.
"Hari ini aku langsung pindah, mau ngambil barang setelah ini di kost-an," ujar Nadin disela-sela makan.
"Iya, nanti kubantuin," jawab lelaki itu sekilas.
Makan berdua seperti ini entah mengapa membuat hati Nadin menghangat, walau setelahnya mereka tidak lagi mengobrol, hanya fokus makan saja, suasana keduanya masih canggung, mereka baru bertemu tiga kali, wajar saja belum bisa beradaptasi satu sama lain.
"Surat menyurat pernikahan segera kau urus," ujar Zaki setelah diaenghabiskan nasi bungkusnya.
"Iya, nanti aku meminta orang untuk mengurusnya, soalnya KTP ku masih berdomisili di kampung," jawab Nadin yang masih menghabiskan setengah nasi bungkusnya.
"Wali nikahnya siapa?" tanya Zaki setelah meminum setengah air mineral di botol.
Melihat cara makan lelaki itu yang cepat dan ligat, Nadin menelan ludahnya, sungguh lelaki yang cukup tangkas dan tidak bertele-tele.
"Ayahku, kalau dia bersedia," jawabnya dengan malas, setiap menyebut Suhendro dia memang malas.
"Kok ayahmu bisa tidak bersedia?"
"Aku punya konflik dengan ayahku, aku ini anak buangan, tidak pernah dianggap, lelaki itu justru lebih sayang dengan anak tirinya daripada aku anak kandungnya, besok sebelum hari H, aku hubungi dia, kalau tidak mau ya pakai wali hakim saja."
Zaki mengernyit mendengar perkataan Nadin, cukup menarik. Benarkah ada konflik antara ayah dan anak ini? Padahal dia tertarik mendekati Nadin karena ayahnya yang memiliki nama belakang keluarganya Purnomo. Tetapi bagus juga kalau berkonflik, dia bisa membuat gadis ini menjadi senjata untuk melawan Pak Purnomo itu.
Extra part 2Pagi yang sama, kenapa kebahagiaan rasanya menguap dalam kehidupannya. Paska cerai dengan Chika, dalam waktu dua bulan Adam langsung dijodohkan oleh ibunya dengan wanita dari kampungnya, dulu perempuan itu adalah murid ibunya yang sangat pintar dan cantik. Tetapi pernikahan itu bagai kutukan bagi Adam, dia sama sekali tidak merasa bahagia. Ayuni, istrinya memang sangat cantik, dia juga berprofesi seorang bidan, sudah pegawai negeri pula. Bertugas di rumah sakit di kota yang sama dengan Adam sekarang, hanya saja kehidupan Adam terasa begitu hambar. Ayuni tidak bisa masak seenak masakan Nadin, wanita itu juga perhitungan dengan uangnya, setiap gaji Adam diperhitungkan dengan seksama tanpa mau uangnya dipakai untuk kebutuhan rumah tangga. Ayuni beranggapan, uang istri hanya untuk untuk istri, sedangkan yang suami sepenuhnya uang istri. Ayuni beralasan jika penghasilannya habis dipakai untuk kebutuhan ibu dan adik-adiknya di kampung, hal itu sebenarnya tidak dimasalahkan ole
Extra partKeesokan harinya Nuraini, Andini, Arif beserta Bik Sumi dan Mang Karta mengantar Fahmi belanja untuk hantaran dan seserahan untuk melamar Nabila.Sedang Nadin dan Zaki dilarang ikut, mereka menghabiskan waktu dengan putri kecil mereka, tak menyia-nyiakan waktu yang telah hilang selama ini.Para orang tua itu begitu semangat mengantar Fahmi belanja, pasalnya bagi mereka berlima, momen menyiapkan pernikahan putra mereka tidak akan terjadi lagi. Zaki dan Nadin sudah menikah tanpa sepengetahuan mereka, jadi mereka tidak bisa menyalurkan hasrat mengental putra dan putri mereka ke pelaminan.Nuraini pernah mengusulkan agar Zaki dan Nadin mengadakan resepsi, tetapi tetap ditolak oleh keduanya, pasalnya pernikahan mereka sudah setahun lebih, mereka mengatakan bahwa resepsi itu sudah terasa basi.Sepulang mereka masih tetap heboh, berbagai barang mereka kemas sendiri, terutama bik Sumi yang memang punya keahlian mengemas hantaran, dia juga punya usaha catering serta tenda dan dekora
Bab 181"Apa? Maksud Papa Arif apa? Apa maksudnya ini?!!" Nadin sedikit berteriak mengatakan semua ini."Nadin, Sayang ... Slowly! Tenang, Sayang ... Tenang, nanti Mas ceritakan sama kamu, Sayang. Tetapi syaratnya kamu harus tenang jangan emosi?" ujar Zaki menenangkan."Jangan nanti! Aku minta sekarang juga kamu ceritakan, Mas."Semua orang terdiam, Zaki juga tidak bisa mengatakan apapun, tiba-tiba tenggorokan nya tercekat, seolah-olah ada yang menyumbatnya."Sebaiknya kita masuk ke rumah dulu. Ayo, Sayang ... Kamu pasti lelah. Kita masuk rumah dulu, ya?" ujar Andini dengan lemah lembut sambil mengusap punggung putrinya."Bik Sumi, tolong buatin mereka minuman segar, ya? Mereka pasti lelah diperjalanan.""Baik, Mbak Andin.""Mbak Nura, mari masuk dulu, Mbak ... Fahmi, ayo ... Ayo, Zak, ajak ibu dan istrimu masuk ke rumah dulu," ujar Andini dengan perkataan yang lembut.Nadin hanya bisa mengikuti ibunya yang sudah mengajak masuk ke rumah. Dengan perlahan dia duduk di sofa ruang keluarga
Bab 180"Wow, apakah Bisa Sumi punya bayi? Ya Allah, Alhamdulillah kalau Bi Sumi akhirnya punya anak setelah dua puluh tahun lebih menikah belum diberi buah hati, aku sangat senang!" ujar Nadin dengan wajah sumringah."Nadin!" Biar Sumi langsung memeluk Nadin setelah berlari menyongsongnya. "Bibi! Apa kabar, Bi?" Seru Nadin dengan suasana mengharukan."Baik, Sayang. Bagaimana keadaanmu? Bibi sangat kuatir mendengar kamu ditembak, Nadin. Bibi ingin menjengukmu ke kota provinsi, tetapi Mamang kamu itu, malah darah tingginya kambuh, dia juga terpaksa dirawat, sampai sekarang masih minum obat dari dokter." "Oh ya? Kasihan Mang Karta! Tapi kelihatannya sudah sehat ya, Bi?" Nadin memperhatikan lelaki paruh baya yang tengah menimang-nimang bayi kecil di kedua tangannya."Bibi ... Itu bay____""NADIN! NADIN! NADIIIN!!" Belum juga Nadin menyelesaikan kalimatnya, dari arah pintu namanya dipanggil dengan suara keras menggelar. Seorang wanita berjilbab maroon senada dengan gamisnya berlari ke
Bab 179Jam empat sore mereka baru sampai di gerbang kabupaten, suasana pegunungan yang sejuk dan dingin sudah terasa menusuk kulit, Nadin langsung mengenakan switer-nya agar tidak kedinginan, Nuraini bahkan memakai jaket berbulu agar lebih hangat, sedangkan Zaki yang memang memakai kaos panjang masih bisa menahan hawa dingin, Fahmi mengecilkan AC mobil agar hawa dingin di dalam mobil berkurang, lelaki ini sudah mengenakan jaket Levis dari rumah, jadi tidak begitu merasakan udara sore yang menggigit. "Ini masih lama?" tanya Nuraini dengan nada penasaran. "Masih satu jam lagi sampai ke kampung Nadin," jawab Zaki. "Alamnya sangat indah, sebaiknya kamu pikirin untuk membuat resort di sini, potensinya sangat bagus, Zak," ujar Nuraini lagi. "Kalau itu nanti bicarakan dengan om Arif, aku mau fokus mengembangkan Z-Teknologi saja," jawab Zaki dengan malas-malasan. "Itu tenang saja, Bu. Nanti pembangunan resort-nya memakai jasa Adiguna konstruksi saja, langsung saya ACC nanti," jawab Fahm
Bab 178Berita penangkapan dan penggrebekan tempat judi ilegal dan aplikasi judi online diberitakan secara nasional. Pemiliknya ternyata orang yang sama, Mustofa Kemal. Seorang pria tua berusia enam puluh tujuh tahun. Polisi bergerak cepat setelah Riswan membuat laporan. Bukan main-main, koneksi Riswan ternyata seorang jenderal kepolisian bintang tiga di Humas mabes polri. Jenderal tersebut memiliki hutang Budi yang cukup besar pada Riswan, baru kali ini Riswan meminta tolong padanya, jadi bagaimana mungkin dia tidak melakukannya dengan tuntas. Bahkan antek-antek Mustofa juga ikut ditangkap,. Salah satunya orang kepolisian juga yang menjadi pelindungnya selama ini. Tak lupa juga Respatih dan Farhan ikut juga ditahan. Tidak main-main ancaman hukuman berlapis akan dikenakan, karena mereka juga terlibat human trafficking dan prostitusi.Zaki yang mendengar berita itu dari siaran langsung di layar televisi di kantornya tersenyum lega. Biarlah dia tidak bisa memenjarakan mereka atas kas