“Jangan menentang, Marsha!” desis sang ayah tiri, “ini demi keluarga kita!”
Wanita itu sontak menunduk.Marsha bukannya ingin melawan, tapi sungguh tak nyaman dengan keputusan Bima yang memaksanya untuk menikah dengan anak rekan bisnis pria itu.“Ayah yakin untuk keluarga kita?” Marsha menghela napas panjang, “Ayah juga bilang begitu ketika hendak menjodohkan Kak Nada dan Kak Zahra, tapi apa mereka bahagia? Apa perusahaan ayah semakin maju?”Ia tersenyum getir mengingat pria berusia 60 tahun itu selalu saja menggunakan alasan yang sama untuk menikahkan kedua kakak tirinya dan sekarang ia juga melakukan hal yang sama pada Marsha. Apa mereka komoditas yang bisa dijual untuk ‘keperluan bisnis’ keluarga?“Marsha! Kamu jangan kurang ajar pada–”Wajah Dena–ibu kandung Marsha–itu memerah karena melihat kelakuan anaknya yang kurang ajar pada suaminya. Untungnya, Bima dapat menahan sang istri.Pria itu lalu bangkit dari tempatnya duduk dan mendekat pada Marsha. “Kamu sudah berusia 25 tahun.”“Kamu juga belum memiliki kekasih. Jadi, Ayah membuatkan solusi yang baik untukmu yang lajang,” ucap Bima dengan nada menekan, “kamu tidak mau menjadi perawan tua, kan?”Dengan air mata yang masih menggenang di ujung matanya, Marsha menggeleng.Tapi, ia pun tak ingin bernasib sama dengan saudari-saudarinya itu yang memiliki suami sukses dan tampan, tapi tukang selingkuh. Padahal, mereka sudah memiliki putri yang lucu dan cerdas.“Kenapa?” tegas Bima pada putri tirinya itu menahan marah.“Hanya enggan,” ucapnya tidak mau membuat pertengkaran ini semakin runyam, lalu bangkit dari kursinya. “Aku izin pergi.” Hanya saja, langkah Marsha terhenti ketika merasakan panas di pipinya.Sontak, ia menatap tak percaya pada Dena yang menamparnya.Hanya demi mendukung lelaki di sampingnya, ibu kandung Marsha ini menamparnya? Padahal, dulu Dena tak pernah mau melihat dirinya menangis. Tapi, sekarang?Merasa tak punya alasan untuk bertahan, Marsha lantas segera masuk ke dalam kamarnya.Ia membereskan pakaian serta beberapa barang dengan cepat.Sementara itu, Dena yang menyusul sang putri, begitu terkejut melihat tindakannya.“Marsha!” bentaknya tak percaya. Rasa sesalnya saat menampar putrinya tadi hilang berganti amarah, “jika kamu angkat kaki dari rumah ini, kamu dan Mama tidak akan memiliki hubungan lagi.”Marsha menatap mata sang Ibu cukup lama.Melihat kesungguhan sang ibu, ia pun memejamkan mata, sebelum akhirnya bicara. “Ma, seharusnya Mama mengerti bagaimana rasanya kehilangan suami. Sakit, kan?”“Aku tak ingin melihat anakku sepertiku saat melihat Mama ditinggal Ayah. Aku harap Mama sedikit mengerti keputusanku. Maafkan aku.”Marsha memijat kepalanya pening ketika teringat kejadian tadi pagi.Setelah bertengkar hebat dengan kedua orang tuanya dan membawa keluar barang-barangnya dengan gegabah, Marsha kini tak bisa pulang ke rumah dan beristirahat di kamar yang nyaman itu. Padahal, ia butuh istirahat setelah menangani pasien-pasiennya di rumah sakit.Kala sedang berpikir, Marsha tak sengaja melihat asrama perawat di balik jendela kaca tempatnya berdiri. Sebuah ide gila pun muncul.“Apa aku tidur di sana saja?” gumam perempuan itu, “Sehari tidur di ranjang keras, tak apalah. Daripada jadi gelandangan.”Tak lama, Marsha pun berjalan ke gedung yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari gedung utama RS. Zahara.Ia pun masuk ke sana dan tidur dalam keadaan lampu mati.Hanya saja, setelah tidur beberapa saat, Marsha tiba-tiba merasa ditindih sesuatu yang berat.Dengusan napas seseorang mulai terdengar samar di telinganya.Awalnya, Marsha berpikir bahwa ia sedang ketindihan atau sleep paralysis akibat terlalu lelah. Namun anehnya, ia merasa semakin bergairah.Bahkan, seolah ada sentuhan panas dari tangan kekar yang memeluk tubuhnya.Ia juga merasakan dinginnya malam seolah sedang telanjang dan tak lama, tubuh bagian bawah Marsha tiba-tiba terasa sakit–seperti ada sesuatu yang keras menusuknya di bawah sana.Marsha sontak membuka mata.Ia seketika sadar dan menemukan seorang lelaki mengurungnya di bawah tubuh kurusnya."Ah ... tunggu, a-apa ini?!!" erang Marsha, mulai kesakitan. Ia meronta mencoba melepaskan diri, tetapi tenaga pria itu lebih besar."Maafkan aku, tapi tubuhku panas sekali.” Suara pria itu terdengar berat dengan napas yang semakin tak teratur, “aku tak bisa menahannya.”Marsha, yang kini dapat melihat wajah tampan pria itu lebih jelas, sedikit malu. Tampak sekali pria itu menikmati permainan mereka.“S-siapa kamu?” cicit Marsha–mulai kehilangan kendali napasnya.Alih-alih menjawab, pria itu tetap melanjutkan permainannya, lalu berkata, “Saya yakin ini adalah pengalaman pertama Anda.”“Tapi, saya janji akan membuat permainan ini berkesan.”Marsha kini menatap bercak merah di lehernya dengan nanar–bukti bahwa tubuh sucinya telah ternoda. Memang tak ada orang yang tahu atau akan mengejeknya. Hanya saja, Marsha benar-benar sedih karena jatah yang telah ia simpan baik-baik untuk suaminya nanti, harus diberikan pada pria yang tak dikenalnya. “Bahkan, ia lebih muda dariku ….” Marsha menahan tangis mengingat kenyataan yang ia temukan beberapa saat lalu saat mencari ID Card pria itu untuk “berjaga-jaga”. Berhasil kabur dari perjodohan, tapi kesuciannya malah direnggut oleh lelaki muda berusia 21 tahun?! Tak lama, perempuan itu merasa lelah meratapi nasib buruknya. Oleh sebab itu, Marsha memilih segera menyiapkan diri ke rumah di perumahan elite yang baru saja berhasil dikontraknya. Tanpa memedulikan kardus dan barang yang belum ia rapikan, Marsha masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Mungkin, karena terlalu lelah dengan harinya, perempuan itu tertidur dan bangun kesiangan keesokan harinya. Padahal, ia ada shift pagi
Marsha belum tidur meski sudah tiba di rumah sejak tadi. Ia menunggu Derren kembali. Begitu melihat pantulan cahaya motor yang tampaknya milik pria itu memantul di kaca jendela, Marsha segera keluar dan memandang Derren yang spontan buang muka. Melihat itu, Marsha pun berucap dengan dingin. “Bisa bicara sebentar?” Langkah kaki Derren yang hendak masuk ke dalam rumah pun terhenti. Derren terdiam beberapa saat dan memandang Marsha yang berdiri di teras rumahnya sendiri dengan tatapan bingung. “A-apa yang ingin Anda bicarakan dengan saya?” Marsha mengangkat map coklat yang ia bawa dan menunjukkannya pada Derren. “Luangkan waktumu. Aku ingin berbicara.” Tubuh Derren jelas langsung tegang begitu melihat berkas tersebut. Seketika ia teringat pemerkosaan yang ia lakukan. Ia kira itu adalah surat panggilan pengadilan. Tapi, nyatanya bukan. [Perjanjian Pernikahan] Lama, Derren melihat kontrak pernikahan yang Marsha ajukan padanya, hingga suara perempuan itu kembali terdengar. “Ayo
Sesuai perjanjian, hari ini keduanya melangsungkan pernikahan. Tak terlalu mewah dan hanya didatangi orang terdekat. Bahkan, orang tua Marsha tidak hadir sekarang. Di sisi lain, Derren kini menempelkan permukaan bibirnya di atas kening Marsha–wanita yang telah menjadi istri sahnya satu menit yang lalu– dengan canggung. Sebaliknya, Marsha hanya diam. Tak ada perasaan gugup di wajah wanita itu karena ia hanya senang karena semuanya berjalan sesuai rencana. Hanya saja, Derren terlihat gugup, sampai membuat kedua tangan yang menggenggam tangan Marsha, gemetar, dan berkeringat. “Senyum," ucap Marsha mengingatkan. Perlahan, senyuman canggung mulai terbit di wajah suaminya itu. Jepret! Suara lensa kamera yang mengambil foto mereka terdengar beberapa kali. Marsha pun mengambil beberapa gaya dengan luwes. Sementara Derren, ia masih kaku seperti semula. “Ini yang terakhir. Mas, tolong jangan canggung!” Pak fotografer tiba-tiba berseru–menegur Derren yang terus menunjukkan wajah kaku t
“Aku ingin bertanya," ucap Marsha setelah berhasil membuat sarapan sebagai istri untuk pertama kalinya. Derren sontak mendongak dan memperlihatkan wajah masam yang sedari tadi ia sembunyikan. Segera ia mengambil minum sebelum berkata, “Apa?” Melihat ekspresi pria itu, Marsha mendadak penasaran. Diambilnya sendok dan melahap sarapannya. Namun belum sampai tenggorokan, Marsha sudah menyemburkan isi mulutnya dan segera menegak air. “Asin!” “Kenapa masih dimakan? Berikan padaku!” Marsha segera menatap Derren yang sudah menelan beberapa sendok nasi goreng buatannya itu sampai berkeringat dingin. Ia hendak membuang isinya. Tapi, Derren justru menepik tangan Marsha dengan memukul punggung tangannya pelan. “Masih bisa dimakan!” ucapnya kembali menyuapkan makanan ke dalam mulut. “Lanjutkan perkataan Anda. Anda mau bicara apa tadi?” Marsha menghela napas dan menarik tangan kanannya yang masih menggantung di udara. “Adikmu … di mana keduanya?” Derren diam. Ia memandang Marsha dengan tat
Saat ini, Dena termenung setelah melihat sebuah dokumen yang baru saja diberikan oleh sekretarisnya pagi ini. Ia tak berbicara sedikit pun dan hanya memandangi dokumen-dokumen itu dengan perasaan gundah dan sedih. Baru dua hari putrinya pergi dari rumah dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, kini Dena dapat melihat senyuman cantik itu ketika Marsha menggandeng seorang lelaki. Perkataan Marsha terakhir kali mengingatkan Dena tentang almarhum suaminya, Hans. Dena ingat jelas tentang kelakuannya yang menjadi kasar pada Marsha. Tapi, Marsha tak pernah membenci atau menghindarinya. Membayangkan Marsha berada dalam kondisi seperti dirinya saat itu, membuat Dena berpikir ribuan kali tentang perjodohan putrinya. Seharusnya, ia menghentikan suaminya sekarang. “Sayang ... sayang ...!” Bima berteriak dari dalam kamarnya. Mendengar itu, Dena segera bangun dan membereskan berkas pernikahan Marsha. Ia menyimpannya agar tak terlihat Bima, lalu pergi menuju sang suami. “Apa?” tan
16:30 …. Marsha keluar dari kantornya dan melihat 3 anak buah Bima telah berjaga di lorong pintu keluar. Sebenarnya, ia tak terkejut karena sudah memprediksikan masalah ini. “Profesor. Kami sudah menyiapkan pakaian Anda,” ucap seorang perawat, menghampiri Marsha. Ia adalah orang yang akan membantu Marsha keluar dari tempat ini dengan aman. Marsha mengangguk dan memberikan tas serta pakaian yang tadi ia kenakan saat masuk ke rumah sakit. Bahkan Marsha pun memberikan jas kebesarannya pada perawat perempuan itu. “Terima kasih sudah mau membantuku.” “Sama-sama, Prof. Tidak perlu sungkan.” Marsha mengangguk dan berjalan keluar dari gedung rumah sakit lewat pintu belakang. Kini Marsha tengah mengenakan pakaian pasien dan rambut yang digelung seperti cangkang siput. Ia hanya berharap Pak Ardi yang cerdas tidak akan mengetahui penyamarannya. “Nona Marsha. Saya tak menyangka Anda akan menyamar sampai seperti ini hanya untuk menghindari saya,” ucap seorang lelaki, yang suaranya sangat
Dengan lihai, Derren menghabisi para bodyguard Bima yang berusaha menghadang langkah mereka. Tampaknya, keluar dari Goa macan bukan masalah besar bagi seekor singa yang terlatih berperang seperti Derren. Hanya saja, Marsha kini menghela napas panjang begitu menemukan notifikasi pesan dari Bima yang datang tanpa jeda. [ Cepat pulang] [ Bawa suamimu ke rumah ][ Marsha, jangan mengabaikan Ayahmu!][ Balas pesan Ayah! ] Wanita itu sontak mengalihkan pandangannya dan beralih pada Derren dan kedua adiknya di meja makan. "Kamu tidak makan?" tanya Derren, memperhatikan Marsha yang duduk di sofa ruang tengah sambil memandang ke ruang makan. "Tidak." Marsha menghela napas panjang dan merebahkan diri ke atas sofa itu. "Kapan kamu dan anak-anak libur?" Naya dan Yana saling memandang satu sama lain dengan tatapan bingung. "Kami belum mendapatkan sekolah." Yana menjelaskan dengan suara lirih. Marsha terdiam beberapa saat sebelum kembali bangun duduk di atas sofa. "Kalian belum sekolah?"
Lea seketika mengambil langkah mundur dan pergi–meninggalkan Derren dan Marsha yang memandangnya dengan tatapan tak senang. Hanya saja, ada amarah di dalam sorot mata Lea saat memandang Marsha terakhir kali. Tapi, Derren tak terlalu memusingkannya dan fokus melihat kondisi Marsha yang cukup membuatnya khawatir. “Ayo cepat masuk. Aku akan mengan-“ Seketika Marsha menunjuk ke arah pantai. Tepat di posisi kedua adik perempuan Derren sedang bermain air. Derren menoleh ke arah itu dan menepuk keningnya ampun. ”Maafkan aku. Aku akan belikan sesuatu yang hangat saat kembali bersama mereka nanti. Kamu kembali dan mandilah dulu. Pastikan dirimu tidak akan masuk angin nanti.” Marsha mengangguk paham sambil mengulas senyum lembut. ”Aku bukan anak kecil. Aku akan merawat diriku sendiri. Jangan cemas.” Marsha menepuk pundak Derren beberapa kali sebelum Marsha benar-benar pergi kembali ke Villa untuk mandi dan istirahat. Tak butuh waktu lama, Derren kembali bersama kedua adiknya setelah mere