Marsha kini menatap bercak merah di lehernya dengan nanar–bukti bahwa tubuh sucinya telah ternoda.
Memang tak ada orang yang tahu atau akan mengejeknya.Hanya saja, Marsha benar-benar sedih karena jatah yang telah ia simpan baik-baik untuk suaminya nanti, harus diberikan pada pria yang tak dikenalnya.“Bahkan, ia lebih muda dariku ….” Marsha menahan tangis mengingat kenyataan yang ia temukan beberapa saat lalu saat mencari ID Card pria itu untuk “berjaga-jaga”.Berhasil kabur dari perjodohan, tapi kesuciannya malah direnggut oleh lelaki muda berusia 21 tahun?!Tak lama, perempuan itu merasa lelah meratapi nasib buruknya. Oleh sebab itu, Marsha memilih segera menyiapkan diri ke rumah di perumahan elite yang baru saja berhasil dikontraknya. Tanpa memedulikan kardus dan barang yang belum ia rapikan, Marsha masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.Mungkin, karena terlalu lelah dengan harinya, perempuan itu tertidur dan bangun kesiangan keesokan harinya.Padahal, ia ada shift pagi!Gegas, Marsha menyiapkan diri untuk menuju Rumah Sakit.Namun, baru saja membuka pintu dan keluar selangkah dari pintu rumahnya, Marsha langsung kembali masuk ke dalam rumah.Ia menangkap siluet lelaki yang postur, suara, dan wajahnya tak mungkin ia lupakan.[ Derren Altezza, 21 tahun: lelaki yang telah memperkosanya kemarin malam! ]Marsha mengerutkan keningnya dalam. “Astaga! Jika diingat lagi, alamat di dalam KTP-nya memang sama denganku,” gumamnya, “Apa ia tetanggaku?”Menggelengkan kepalanya kuat, Marsha menepis semua kemungkinan itu dan kembali melihat jam tangannya.“Peduli setan. Aku sekarang harus ke rumah sakit.”Walau telah menjadi seorang Dokter dan Profesor Muda, selama ini, Marsha tak pernah terlambat pergi bekerja.Demi mempertahankan record-nya itu, Marsha membuka kembali pintu.Untungnya, ia tak menemukan siapa pun di depan sana.Jadi, ia pun segera masuk ke dalam mobil dan menuju ke tempat kerjanya dengan kecepatan penuh.“Semoga aku tak bertemu lagi dengannya hari ini,” ucap Marsha, penuh harap.Sayangnya … ketika Marsha pulang dan ingin memanjakan diri dengan makan makanan mahal di restoran bintang 5 di dekat rumah sakit, ia kembali melihat Derren!Pria itu tampak dalam balutan kemeja dan celemek putih, disertai topi lonjong panjang–sedang tersenyum pada dua orang pelanggan yang tampak mencicipi hidangan.Marsha akui makanan di tempat ini memang enak. Namun, setelah melihat Derren, ia tak lagi bisa menikmati makanannya.“Siapa lelaki yang ada di sana?” tanya Marsha berbisik pelan pada pelayan yang kebetulan lewat.Menoleh ke arah yang ditunjuk, ia pun tersenyum sopan pada Marsha, “Itu kepala koki kami, Nyonya.”Marsha terdiam.Ia tak menyangka bocah 21 tahun itu adalah kepala koki di hotel bintang 5 seperti ini.Bisa dipastikan, jika Derren bukanlah orang dengan otak sembarangan. Ia pasti cerdas dan berpendidikan.“Apakah Anda ingin bertemu dengannya?” tanya pelayan itu, membuat Marsha membulatkan matanya kaget.“Tidak. Aku tak mau bertemu dengannya!” Marsha menjawab dengan cepat. Ia segera mengeluarkan ponsel dan berpura-pura memainkannya.Pelayan itu pun mengangguk lalu pergi meninggalkannya.Drrt!Sebuah panggilan masuk mengalihkan fokus Marsha.Namun, begitu melihat kontak tersebut atas nama [Bima], ia segera menutupnya dengan cepat.Tak lama, sebuah pesan masuk ke Hp Marsha.[ Jika kamu tak pulang. Ayah yang akan datang ke rumahmu!]“Huff,” hela Marsha frustrasi. Rasanya, sang ayah tiri lebih cocok jadi rentenir daripada seorang pengusaha mobil karena pria itu handal dalam meneror orang.Karena tidak mood, ia pun memutuskan untuk segera menyelesaikan makanannya. Namun, sebuah pesan masuk mengusik kembali makan malam perempuan itu.[ Selamat malam, Nona Marsha. Saya Gama, lelaki yang hendak dijodohkan dengan Anda. Saya harap Anda tidak lagi bermain kucing-kucingan dengan Tuan Bima agar kita bisa bertemu. Saya sudah menantikan pertemuan kita. ]Melihat itu, Marsha langsung menelan steik yang baru ia suapkan bulat-bulat. Untung saja, ia tak tersedak.“Apa-apaan ini?” Marsha mengangkat ponselnya dan kembali melihat isi teks pesan Gama berulang kali, tanpa ingin membalasnya.Seketika, Marsha mendengus kasar. Dilihatnya pintu dapur restoran itu–tempat Derren mungkin sedang memasak.“Haruskah aku membuatnya terlibat? Tampaknya ia cukup bisa diandalkan,” gumamnya, merasa sedikit bimbang.Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian
Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar
Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena
Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende