Share

5. Tugas Sebagai Istri

“Aku ingin bertanya," ucap Marsha setelah berhasil membuat sarapan sebagai istri untuk pertama kalinya.

Derren sontak mendongak dan memperlihatkan wajah masam yang sedari tadi ia sembunyikan. Segera ia mengambil minum sebelum berkata, “Apa?”

Melihat ekspresi pria itu, Marsha mendadak penasaran.

Diambilnya sendok dan melahap sarapannya. Namun belum sampai tenggorokan, Marsha sudah menyemburkan isi mulutnya dan segera menegak air. “Asin!”

“Kenapa masih dimakan? Berikan padaku!”

Marsha segera menatap Derren yang sudah menelan beberapa sendok nasi goreng buatannya itu sampai berkeringat dingin. Ia hendak membuang isinya. Tapi, Derren justru menepik tangan Marsha dengan memukul punggung tangannya pelan.

“Masih bisa dimakan!” ucapnya kembali menyuapkan makanan ke dalam mulut. “Lanjutkan perkataan Anda. Anda mau bicara apa tadi?”

Marsha menghela napas dan menarik tangan kanannya yang masih menggantung di udara. “Adikmu … di mana keduanya?”

Derren diam.

Ia memandang Marsha dengan tatapan tertegun–tak menyangka. “Anda ingin bertemu mereka? Kenapa?”

“Karena aku akan mengeluarkan uang besar untuk mereka. Jadi, aku ingin tahu wajah mereka!” Marsha memiringkan sedikit kepalanya. Ia merasa janggal dengan sikap Derren yang waspada. “Apa aku tak boleh menemui mereka?”

“Boleh,” jawab Derren cepat–melihat jarum jam di tangannya. “Kalau sekarang, bagaimana? Kebetulan, tempatnya sama dengan tempat Anda bekerja, sekalian saya antar Anda pergi bekerja.”

Marsha mengerutkan keningnya semakin dalam. “Mereka sedang di rumah sakit?”

Derren mengangguk. “Sedang dalam masa pemulihan,” jawabnya.

“Baiklah kalau begitu."

Marsha lantas masuk ke dalam kamarnya dan mengambil tas, serta jas kerjanya.

Sementara itu, Derren menyelesaikan sarapan dan mencuci piring.

"Aku sudah siap."

Derren menoleh dan mengangguk paham. "Sebentar lagi selesai. Anda bisa menunggu di depan. Saya akan keluarkan motor di bagasi rumah saya dulu."

"Biar aku yang keluarkan!"

Marsha pun berjalan keluar dengan cepat diikuti Derren. "Tunggu, Anda tidak bisa mengeluarkannya. Gudang rumah saya sempi–"

"Sudah dikeluarkan!" celetuk Marsha, melihat Derren yang mendekatinya dengan wajah setengah panik.

Derren menghela napas lega. "Baiklah, terima kasih sudah membantu. Lain kali, biarkan saya saja yang mengeluarkannya."

Marsha hanya mengangguk dan mereka berdua berangkat ke RS. Zahara untuk menjenguk kedua adik perempuan Derren.

Hanya saja, wanita itu membulatkan matanya dengan sempurna kala melihat dua orang anak perempuan tengah terbaring lemah di atas dua ranjang dalam kamar kelas tiga.

Tubuh mereka yang kurus kering sampai tulangnya nyaris terlihat. Marsha seketika merasa miris.

“Apa yang terjadi pada mereka?”

“Kekerasan rumah tangga.” Derren menghela napas besar dan berat. “Kedua orang tua saya memukuli mereka karena tidak mau menurut.”

“Orang gila!”

“Ya, mereka memang orang gi–“ Derren terdiam dan memandang Marsha dengan tatapan terkejut. “Orang gila? Anda baru saja mengumpat?”

Marsha menoleh pada Derren yang menunjukkan wajah polosnya. “Memang kenapa? Aku tidak boleh mengumpat?”

Derren menggaruk belakang kepalanya canggung. “Boleh sih. Tapi– Dokter boleh mengatakan hal-hal seperti itu?”

Derren melihat Marsha yang telah memakai jas putih kebesarannya dan stetoskop dokternya, dengan tatapan aneh.

Marsha melengos dan kembali memandang Naya dan Yana sambil melakukan pemeriksaan dasar kepada keduanya.

“Aku bukan dokter baik hati. Aku sering mengumpat pada pasien ataupun keluarganya. Apalagi, jika tak tahu diri dan sulit dinasihati.”

Marsha tersenyum simpul dan menatap Derren dengan tatapan liciknya. “Maaf, tapi akhlakku memang sedikit minus!”

Derren hanya bisa diam dan menatap Marsha dengan masam.

“Apa yang dilakukan kedua orang tuamu? Keadaan mereka cukup parah jika dikatakan hanya sekedar kekerasan rumah tangga. Nyatanya, beberapa bekas luka mereka menunjukkan tanda-tanda pembunuhan.”

Derren tersenyum masam. “Saya sudah bilang kalau saya memiliki mantan yang merepotkan kemarin, kan?”

Marsha mengangguk dan menyimaknya dengan baik. “Kenapa dengannya?”

“Setelah satu tahun berpacaran, saya memilih kabur darinya dengan menerima paksaan Ayah pergi ke Kamp Militer untuk menjalankan misi. Ayah saya mata duitan, tapi ia memiliki banyak koneksi. Saya masih 17 tahun saat itu. Dan termasuk salah satu orang yang memenuhi syarat anggota militer yang mereka cari, walau usia saya sangat muda. Dengan pengalaman kejuaraan silat yang menggunung, saya masuk dengan mudah dan meninggalkan kedua adik perempuan saya di rumah tanpa pikir panjang.”

Derren merasa kalut. Ini semua salahnya. “Saya kira, semua akan baik-baik saja asalkan saya mengirimkan uang bulanan di rumah. Saya fokus bekerja dan naik jabatan dengan cepat. Di usia ke-18, saya sudah menjabat sebagai kepala bagian. Tapi setelah dua tahun saya pergi, tahun ini, ketika saya berusia 21 tahun, saya mendapatkan kabar jika mereka dilarikan ke UGD dengan keadaan kritis.” Derren menatap Naya dan Yana dengan tatapan bersalah. “Dan sekarang saya melihat mereka yang seperti ini dengan tak berdaya.”

“Dokter bilang, kalau saja tetangga kami tidak membawa paksa kedua adik saya ke rumah sakit hari itu, mungkin mereka sudah mati kelaparan setelah disiksa seharian oleh Mama yang lelah dan stres karena pekerjaan dan suaminya yang pemabuk.”

“Lalu saat saya pulang, mereka berdua sudah mengambil uang pesangon saya. Mencuri semua uang itu dan kabur dari rumah.”

Marsha mengangguk-anggukkan kepalanya dan memandang kedua adik Derren yang tak berdaya.

"Ternyata, kamu pernah menjadi kakak yang tidak baik untuk mereka," gumam Marsha, mengulas senyuman masam.

Mendengar dirinya dicibir, Derren sontak mengerutkan keningnya dalam. "Apa maksud And–"

"Mereka bangun!" Marsha menyela dengan cepat.

Derren menoleh dan melihat ujung jari Yana yang mulai bergerak.

Sementara Marsha, fokus memeriksa Naya yang masih tak sadarkan diri.

Marsha membulatkan matanya dan hampir tak menemukan tanda-tanda detak jantung di tubuh kecil itu.

Tet!!!

Marsha memencet bel di dinding dan membuat 2 perawat masuk ke dalam kamar tersebut dengan panik.

Mereka yang melihat Marsha melakukan CPR pada Naya, langsung mengambil beberapa alat yang dibutuhkan.

“Suster ... suster!! Panggil dokter yang bertanggung jawab, cepat!!” teriak Marsha, lantang dan terlihat panik.

"Baik, Dok!" jawab perawat wanita yang baru datang setelah mendengar teriakan Marsha.

Lain halnya dengan Derren yang sudah lemas dengan mata yang telah membulat lebar. “A-apa yang terjadi? Adikku akan selamat, kan?”

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Vina Oktavia
Semangat thor...
goodnovel comment avatar
Vina Oktavia
Sedikit kurang detail untuk penggambaran tempat. Tp ceritanya seru...
goodnovel comment avatar
Iin Romita
moga mereka selamat...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status