“Aku ingin bertanya," ucap Marsha setelah berhasil membuat sarapan sebagai istri untuk pertama kalinya.
Derren sontak mendongak dan memperlihatkan wajah masam yang sedari tadi ia sembunyikan. Segera ia mengambil minum sebelum berkata, “Apa?”Melihat ekspresi pria itu, Marsha mendadak penasaran.Diambilnya sendok dan melahap sarapannya. Namun belum sampai tenggorokan, Marsha sudah menyemburkan isi mulutnya dan segera menegak air. “Asin!”“Kenapa masih dimakan? Berikan padaku!”Marsha segera menatap Derren yang sudah menelan beberapa sendok nasi goreng buatannya itu sampai berkeringat dingin. Ia hendak membuang isinya. Tapi, Derren justru menepik tangan Marsha dengan memukul punggung tangannya pelan.“Masih bisa dimakan!” ucapnya kembali menyuapkan makanan ke dalam mulut. “Lanjutkan perkataan Anda. Anda mau bicara apa tadi?”Marsha menghela napas dan menarik tangan kanannya yang masih menggantung di udara. “Adikmu … di mana keduanya?”Derren diam.Ia memandang Marsha dengan tatapan tertegun–tak menyangka. “Anda ingin bertemu mereka? Kenapa?”“Karena aku akan mengeluarkan uang besar untuk mereka. Jadi, aku ingin tahu wajah mereka!” Marsha memiringkan sedikit kepalanya. Ia merasa janggal dengan sikap Derren yang waspada. “Apa aku tak boleh menemui mereka?”“Boleh,” jawab Derren cepat–melihat jarum jam di tangannya. “Kalau sekarang, bagaimana? Kebetulan, tempatnya sama dengan tempat Anda bekerja, sekalian saya antar Anda pergi bekerja.”Marsha mengerutkan keningnya semakin dalam. “Mereka sedang di rumah sakit?”Derren mengangguk. “Sedang dalam masa pemulihan,” jawabnya.“Baiklah kalau begitu."Marsha lantas masuk ke dalam kamarnya dan mengambil tas, serta jas kerjanya.Sementara itu, Derren menyelesaikan sarapan dan mencuci piring."Aku sudah siap."Derren menoleh dan mengangguk paham. "Sebentar lagi selesai. Anda bisa menunggu di depan. Saya akan keluarkan motor di bagasi rumah saya dulu.""Biar aku yang keluarkan!"Marsha pun berjalan keluar dengan cepat diikuti Derren. "Tunggu, Anda tidak bisa mengeluarkannya. Gudang rumah saya sempi–""Sudah dikeluarkan!" celetuk Marsha, melihat Derren yang mendekatinya dengan wajah setengah panik.Derren menghela napas lega. "Baiklah, terima kasih sudah membantu. Lain kali, biarkan saya saja yang mengeluarkannya."Marsha hanya mengangguk dan mereka berdua berangkat ke RS. Zahara untuk menjenguk kedua adik perempuan Derren.Hanya saja, wanita itu membulatkan matanya dengan sempurna kala melihat dua orang anak perempuan tengah terbaring lemah di atas dua ranjang dalam kamar kelas tiga.Tubuh mereka yang kurus kering sampai tulangnya nyaris terlihat. Marsha seketika merasa miris.“Apa yang terjadi pada mereka?”“Kekerasan rumah tangga.” Derren menghela napas besar dan berat. “Kedua orang tua saya memukuli mereka karena tidak mau menurut.”“Orang gila!”“Ya, mereka memang orang gi–“ Derren terdiam dan memandang Marsha dengan tatapan terkejut. “Orang gila? Anda baru saja mengumpat?”Marsha menoleh pada Derren yang menunjukkan wajah polosnya. “Memang kenapa? Aku tidak boleh mengumpat?”Derren menggaruk belakang kepalanya canggung. “Boleh sih. Tapi– Dokter boleh mengatakan hal-hal seperti itu?”Derren melihat Marsha yang telah memakai jas putih kebesarannya dan stetoskop dokternya, dengan tatapan aneh.Marsha melengos dan kembali memandang Naya dan Yana sambil melakukan pemeriksaan dasar kepada keduanya.“Aku bukan dokter baik hati. Aku sering mengumpat pada pasien ataupun keluarganya. Apalagi, jika tak tahu diri dan sulit dinasihati.”Marsha tersenyum simpul dan menatap Derren dengan tatapan liciknya. “Maaf, tapi akhlakku memang sedikit minus!”Derren hanya bisa diam dan menatap Marsha dengan masam.“Apa yang dilakukan kedua orang tuamu? Keadaan mereka cukup parah jika dikatakan hanya sekedar kekerasan rumah tangga. Nyatanya, beberapa bekas luka mereka menunjukkan tanda-tanda pembunuhan.”Derren tersenyum masam. “Saya sudah bilang kalau saya memiliki mantan yang merepotkan kemarin, kan?”Marsha mengangguk dan menyimaknya dengan baik. “Kenapa dengannya?”“Setelah satu tahun berpacaran, saya memilih kabur darinya dengan menerima paksaan Ayah pergi ke Kamp Militer untuk menjalankan misi. Ayah saya mata duitan, tapi ia memiliki banyak koneksi. Saya masih 17 tahun saat itu. Dan termasuk salah satu orang yang memenuhi syarat anggota militer yang mereka cari, walau usia saya sangat muda. Dengan pengalaman kejuaraan silat yang menggunung, saya masuk dengan mudah dan meninggalkan kedua adik perempuan saya di rumah tanpa pikir panjang.”Derren merasa kalut. Ini semua salahnya. “Saya kira, semua akan baik-baik saja asalkan saya mengirimkan uang bulanan di rumah. Saya fokus bekerja dan naik jabatan dengan cepat. Di usia ke-18, saya sudah menjabat sebagai kepala bagian. Tapi setelah dua tahun saya pergi, tahun ini, ketika saya berusia 21 tahun, saya mendapatkan kabar jika mereka dilarikan ke UGD dengan keadaan kritis.” Derren menatap Naya dan Yana dengan tatapan bersalah. “Dan sekarang saya melihat mereka yang seperti ini dengan tak berdaya.”“Dokter bilang, kalau saja tetangga kami tidak membawa paksa kedua adik saya ke rumah sakit hari itu, mungkin mereka sudah mati kelaparan setelah disiksa seharian oleh Mama yang lelah dan stres karena pekerjaan dan suaminya yang pemabuk.”“Lalu saat saya pulang, mereka berdua sudah mengambil uang pesangon saya. Mencuri semua uang itu dan kabur dari rumah.”Marsha mengangguk-anggukkan kepalanya dan memandang kedua adik Derren yang tak berdaya."Ternyata, kamu pernah menjadi kakak yang tidak baik untuk mereka," gumam Marsha, mengulas senyuman masam.Mendengar dirinya dicibir, Derren sontak mengerutkan keningnya dalam. "Apa maksud And–""Mereka bangun!" Marsha menyela dengan cepat.Derren menoleh dan melihat ujung jari Yana yang mulai bergerak.Sementara Marsha, fokus memeriksa Naya yang masih tak sadarkan diri.Marsha membulatkan matanya dan hampir tak menemukan tanda-tanda detak jantung di tubuh kecil itu.Tet!!!Marsha memencet bel di dinding dan membuat 2 perawat masuk ke dalam kamar tersebut dengan panik.Mereka yang melihat Marsha melakukan CPR pada Naya, langsung mengambil beberapa alat yang dibutuhkan.“Suster ... suster!! Panggil dokter yang bertanggung jawab, cepat!!” teriak Marsha, lantang dan terlihat panik."Baik, Dok!" jawab perawat wanita yang baru datang setelah mendengar teriakan Marsha.Lain halnya dengan Derren yang sudah lemas dengan mata yang telah membulat lebar. “A-apa yang terjadi? Adikku akan selamat, kan?”Saat ini, Dena termenung setelah melihat sebuah dokumen yang baru saja diberikan oleh sekretarisnya pagi ini. Ia tak berbicara sedikit pun dan hanya memandangi dokumen-dokumen itu dengan perasaan gundah dan sedih. Baru dua hari putrinya pergi dari rumah dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, kini Dena dapat melihat senyuman cantik itu ketika Marsha menggandeng seorang lelaki. Perkataan Marsha terakhir kali mengingatkan Dena tentang almarhum suaminya, Hans. Dena ingat jelas tentang kelakuannya yang menjadi kasar pada Marsha. Tapi, Marsha tak pernah membenci atau menghindarinya. Membayangkan Marsha berada dalam kondisi seperti dirinya saat itu, membuat Dena berpikir ribuan kali tentang perjodohan putrinya. Seharusnya, ia menghentikan suaminya sekarang. “Sayang ... sayang ...!” Bima berteriak dari dalam kamarnya. Mendengar itu, Dena segera bangun dan membereskan berkas pernikahan Marsha. Ia menyimpannya agar tak terlihat Bima, lalu pergi menuju sang suami. “Apa?” tan
16:30 …. Marsha keluar dari kantornya dan melihat 3 anak buah Bima telah berjaga di lorong pintu keluar. Sebenarnya, ia tak terkejut karena sudah memprediksikan masalah ini. “Profesor. Kami sudah menyiapkan pakaian Anda,” ucap seorang perawat, menghampiri Marsha. Ia adalah orang yang akan membantu Marsha keluar dari tempat ini dengan aman. Marsha mengangguk dan memberikan tas serta pakaian yang tadi ia kenakan saat masuk ke rumah sakit. Bahkan Marsha pun memberikan jas kebesarannya pada perawat perempuan itu. “Terima kasih sudah mau membantuku.” “Sama-sama, Prof. Tidak perlu sungkan.” Marsha mengangguk dan berjalan keluar dari gedung rumah sakit lewat pintu belakang. Kini Marsha tengah mengenakan pakaian pasien dan rambut yang digelung seperti cangkang siput. Ia hanya berharap Pak Ardi yang cerdas tidak akan mengetahui penyamarannya. “Nona Marsha. Saya tak menyangka Anda akan menyamar sampai seperti ini hanya untuk menghindari saya,” ucap seorang lelaki, yang suaranya sangat
Dengan lihai, Derren menghabisi para bodyguard Bima yang berusaha menghadang langkah mereka. Tampaknya, keluar dari Goa macan bukan masalah besar bagi seekor singa yang terlatih berperang seperti Derren. Hanya saja, Marsha kini menghela napas panjang begitu menemukan notifikasi pesan dari Bima yang datang tanpa jeda. [ Cepat pulang] [ Bawa suamimu ke rumah ][ Marsha, jangan mengabaikan Ayahmu!][ Balas pesan Ayah! ] Wanita itu sontak mengalihkan pandangannya dan beralih pada Derren dan kedua adiknya di meja makan. "Kamu tidak makan?" tanya Derren, memperhatikan Marsha yang duduk di sofa ruang tengah sambil memandang ke ruang makan. "Tidak." Marsha menghela napas panjang dan merebahkan diri ke atas sofa itu. "Kapan kamu dan anak-anak libur?" Naya dan Yana saling memandang satu sama lain dengan tatapan bingung. "Kami belum mendapatkan sekolah." Yana menjelaskan dengan suara lirih. Marsha terdiam beberapa saat sebelum kembali bangun duduk di atas sofa. "Kalian belum sekolah?"
Lea seketika mengambil langkah mundur dan pergi–meninggalkan Derren dan Marsha yang memandangnya dengan tatapan tak senang. Hanya saja, ada amarah di dalam sorot mata Lea saat memandang Marsha terakhir kali. Tapi, Derren tak terlalu memusingkannya dan fokus melihat kondisi Marsha yang cukup membuatnya khawatir. “Ayo cepat masuk. Aku akan mengan-“ Seketika Marsha menunjuk ke arah pantai. Tepat di posisi kedua adik perempuan Derren sedang bermain air. Derren menoleh ke arah itu dan menepuk keningnya ampun. ”Maafkan aku. Aku akan belikan sesuatu yang hangat saat kembali bersama mereka nanti. Kamu kembali dan mandilah dulu. Pastikan dirimu tidak akan masuk angin nanti.” Marsha mengangguk paham sambil mengulas senyum lembut. ”Aku bukan anak kecil. Aku akan merawat diriku sendiri. Jangan cemas.” Marsha menepuk pundak Derren beberapa kali sebelum Marsha benar-benar pergi kembali ke Villa untuk mandi dan istirahat. Tak butuh waktu lama, Derren kembali bersama kedua adiknya setelah mere
Derren berjalan cepat mengitari taman yang menjadi kawasan bagian tengah Villa tempat mereka menginap. Hari semakin larut, namun ia tak kunjung menemukan sosok Marsha di mana pun. Bahkan nomor teleponnya tidak aktif sejak 3 jam yang lalu. “Ke mana ia pergi?” Pikiran negatif terus menghantui Derren. Walau mereka hanya menikah kontrak, tapi baik Marsha atau Derren selalu memperlakukan satu sama lain layaknya seorang pasangan. Sekali lagi, Derren mencoba menghubungi ponsel Marsha seperti orang bodoh. “Angkat ponselmu! Aku mohon.” Ia tahu ponsel wanita itu mati sejak beberapa jam yang lalu, tapi sampai sekarang ia tak berhenti mencoba. Di kejauhan, Derren melihat Naya dan Yana bergandengan tangan–berjalan bersama dengan raut wajah gundah mengikuti mobil hitam yang berjalan pelan di kawasan Villa mereka sebelum berhenti di pertigaan depan. Derren menghampiri keduanya. “Kenapa kalian mengendap-endap?” Naya dan Yana menoleh dengan wajah terkejut. Derren memicingkan mata–curiga deng
“K-kamu tahu?” Marsha menatap bingung. Ia tak menyangka ada teman yang tahu pasal pernikahannya. Syam mengangguk dan memberikan ponselnya pada genggaman Marsha. “Hubungi suamimu dulu. Untuk alasan bagaimana aku bisa tahu pernikahanmu, akan aku jelaskan setelahnya.” Marsha menatap “HP kentang” yang telah ada di dalam genggamannya dan segera melakukan panggilan. [Halo? Marsha, kamu kah itu?] Suara Derren terdengar bergetar. Tampaknya lelaki itu tengah ketakutan. “Iya–“ [Syukurlah. Hahh ... kamu baik-baik saja?] Air mata Marsha menggenang. Mendengar Derren yang menahan suara tangisnya dan rasa cemas agar ia bisa berbicara dengan lembut tanpa rasa panik, membuat Marsha sedikit terharu. “Ya. Temanku berhasil menolongku. Aku sedang dalam perjalanan kembali ke daratan.” [Begitukah? Baik. Aku akan kembali ke dermaga kalau begitu. Kita bertemu di sana.] Marsha hanya menjawab singkat dan menutup telepon mereka. "Sudah?" Marsha mengangguk pelan. “Terima kasih.” Ia mengembalikan po
“Kamu dengar apa yang aku katakan?” Mia menatap Marsha dengan tatapan tajam. Setelah Mia menerima laporan dari Syam tentang keadaan Marsha terakhir kali, saat dini hari, pagi ini, Mia menjemput Marsha di depan pintu masuk rumah sakit saat Marsha hendak memenuhi jadwal shiftnya–dan langsung memasukkannya sebagai pasien siang ini. “Jangan menjadi pasien yang menyebalkan! Kamu tahu rasanya memiliki pasien seperti itu, kan? Me-le-lah-kan!” Marsha hanya mengangguk kecil beberapa kali dan memejamkan kedua matanya. Ia berpura-pura tidur agar tak lagi mendengar omelan kawannya, Mia, Dokter Umum yang mendapatkan shift malam untuk menjaga UGD hari ini. “Bagus.” Mia membereskan peralatan medisnya dan hendak pergi. Tapi langkahnya tertahan di ambang pintu. “Ah, apakah lelaki yang bersamamu tadi ... ia jomblo? Ia lelaki idamanku. Style–” “Ia suamiku.” Mia membulatkan matanya dan segera berlari ke arah Marsha. Ia duduk di tepi ranjang dan menatap kawannya dengan serius. “Sungguh?” Marsha
“Kamu yakin ia tak menyusahkan kamu?” “Tidak.” Marsha membereskan pakaian kotornya dan memasukkan ke kantung keresek hitam sebelum memberikannya pada Derren untuk di bawa pulang. “Kamu tidak perlu khawatir,” Marsha tersenyum miring. “ancaman kamu padanya sangat ampuh. Ia sampai tak berani bertindak sembarangan di depanku.” Derren menghela napas lega. “Syukurlah kalau ia bersikap baik. Tapi hari ini ia tidak datang. Kurang enak badan katanya.” Marsha mengangguk paham. “Ya, aku juga tahu. Dari kemarin ia memang mengeluh sakit perut–sebelum pulang dari sini.” “Begitukah?” Marsha hanya menganggukkan kepalanya pelan dan berjalan kembali ke tempat tidur. Bersiap untuk tidur siang. “Pukul berapa kamu pergi ke kampus?” Derren melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “30 menit lagi. Setelah selesai mengemas barangmu, aku akan langsung ke kampus. Untuk ini–“ Derren mengangkat tas be