Share

5. Tugas Sebagai Istri

Author: Harmony^-
last update Last Updated: 2023-07-01 13:44:57

“Aku ingin bertanya," ucap Marsha setelah berhasil membuat sarapan sebagai istri untuk pertama kalinya.

Derren sontak mendongak dan memperlihatkan wajah masam yang sedari tadi ia sembunyikan. Segera ia mengambil minum sebelum berkata, “Apa?”

Melihat ekspresi pria itu, Marsha mendadak penasaran.

Diambilnya sendok dan melahap sarapannya. Namun belum sampai tenggorokan, Marsha sudah menyemburkan isi mulutnya dan segera menegak air. “Asin!”

“Kenapa masih dimakan? Berikan padaku!”

Marsha segera menatap Derren yang sudah menelan beberapa sendok nasi goreng buatannya itu sampai berkeringat dingin. Ia hendak membuang isinya. Tapi, Derren justru menepik tangan Marsha dengan memukul punggung tangannya pelan.

“Masih bisa dimakan!” ucapnya kembali menyuapkan makanan ke dalam mulut. “Lanjutkan perkataan Anda. Anda mau bicara apa tadi?”

Marsha menghela napas dan menarik tangan kanannya yang masih menggantung di udara. “Adikmu … di mana keduanya?”

Derren diam.

Ia memandang Marsha dengan tatapan tertegun–tak menyangka. “Anda ingin bertemu mereka? Kenapa?”

“Karena aku akan mengeluarkan uang besar untuk mereka. Jadi, aku ingin tahu wajah mereka!” Marsha memiringkan sedikit kepalanya. Ia merasa janggal dengan sikap Derren yang waspada. “Apa aku tak boleh menemui mereka?”

“Boleh,” jawab Derren cepat–melihat jarum jam di tangannya. “Kalau sekarang, bagaimana? Kebetulan, tempatnya sama dengan tempat Anda bekerja, sekalian saya antar Anda pergi bekerja.”

Marsha mengerutkan keningnya semakin dalam. “Mereka sedang di rumah sakit?”

Derren mengangguk. “Sedang dalam masa pemulihan,” jawabnya.

“Baiklah kalau begitu."

Marsha lantas masuk ke dalam kamarnya dan mengambil tas, serta jas kerjanya.

Sementara itu, Derren menyelesaikan sarapan dan mencuci piring.

"Aku sudah siap."

Derren menoleh dan mengangguk paham. "Sebentar lagi selesai. Anda bisa menunggu di depan. Saya akan keluarkan motor di bagasi rumah saya dulu."

"Biar aku yang keluarkan!"

Marsha pun berjalan keluar dengan cepat diikuti Derren. "Tunggu, Anda tidak bisa mengeluarkannya. Gudang rumah saya sempi–"

"Sudah dikeluarkan!" celetuk Marsha, melihat Derren yang mendekatinya dengan wajah setengah panik.

Derren menghela napas lega. "Baiklah, terima kasih sudah membantu. Lain kali, biarkan saya saja yang mengeluarkannya."

Marsha hanya mengangguk dan mereka berdua berangkat ke RS. Zahara untuk menjenguk kedua adik perempuan Derren.

Hanya saja, wanita itu membulatkan matanya dengan sempurna kala melihat dua orang anak perempuan tengah terbaring lemah di atas dua ranjang dalam kamar kelas tiga.

Tubuh mereka yang kurus kering sampai tulangnya nyaris terlihat. Marsha seketika merasa miris.

“Apa yang terjadi pada mereka?”

“Kekerasan rumah tangga.” Derren menghela napas besar dan berat. “Kedua orang tua saya memukuli mereka karena tidak mau menurut.”

“Orang gila!”

“Ya, mereka memang orang gi–“ Derren terdiam dan memandang Marsha dengan tatapan terkejut. “Orang gila? Anda baru saja mengumpat?”

Marsha menoleh pada Derren yang menunjukkan wajah polosnya. “Memang kenapa? Aku tidak boleh mengumpat?”

Derren menggaruk belakang kepalanya canggung. “Boleh sih. Tapi– Dokter boleh mengatakan hal-hal seperti itu?”

Derren melihat Marsha yang telah memakai jas putih kebesarannya dan stetoskop dokternya, dengan tatapan aneh.

Marsha melengos dan kembali memandang Naya dan Yana sambil melakukan pemeriksaan dasar kepada keduanya.

“Aku bukan dokter baik hati. Aku sering mengumpat pada pasien ataupun keluarganya. Apalagi, jika tak tahu diri dan sulit dinasihati.”

Marsha tersenyum simpul dan menatap Derren dengan tatapan liciknya. “Maaf, tapi akhlakku memang sedikit minus!”

Derren hanya bisa diam dan menatap Marsha dengan masam.

“Apa yang dilakukan kedua orang tuamu? Keadaan mereka cukup parah jika dikatakan hanya sekedar kekerasan rumah tangga. Nyatanya, beberapa bekas luka mereka menunjukkan tanda-tanda pembunuhan.”

Derren tersenyum masam. “Saya sudah bilang kalau saya memiliki mantan yang merepotkan kemarin, kan?”

Marsha mengangguk dan menyimaknya dengan baik. “Kenapa dengannya?”

“Setelah satu tahun berpacaran, saya memilih kabur darinya dengan menerima paksaan Ayah pergi ke Kamp Militer untuk menjalankan misi. Ayah saya mata duitan, tapi ia memiliki banyak koneksi. Saya masih 17 tahun saat itu. Dan termasuk salah satu orang yang memenuhi syarat anggota militer yang mereka cari, walau usia saya sangat muda. Dengan pengalaman kejuaraan silat yang menggunung, saya masuk dengan mudah dan meninggalkan kedua adik perempuan saya di rumah tanpa pikir panjang.”

Derren merasa kalut. Ini semua salahnya. “Saya kira, semua akan baik-baik saja asalkan saya mengirimkan uang bulanan di rumah. Saya fokus bekerja dan naik jabatan dengan cepat. Di usia ke-18, saya sudah menjabat sebagai kepala bagian. Tapi setelah dua tahun saya pergi, tahun ini, ketika saya berusia 21 tahun, saya mendapatkan kabar jika mereka dilarikan ke UGD dengan keadaan kritis.” Derren menatap Naya dan Yana dengan tatapan bersalah. “Dan sekarang saya melihat mereka yang seperti ini dengan tak berdaya.”

“Dokter bilang, kalau saja tetangga kami tidak membawa paksa kedua adik saya ke rumah sakit hari itu, mungkin mereka sudah mati kelaparan setelah disiksa seharian oleh Mama yang lelah dan stres karena pekerjaan dan suaminya yang pemabuk.”

“Lalu saat saya pulang, mereka berdua sudah mengambil uang pesangon saya. Mencuri semua uang itu dan kabur dari rumah.”

Marsha mengangguk-anggukkan kepalanya dan memandang kedua adik Derren yang tak berdaya.

"Ternyata, kamu pernah menjadi kakak yang tidak baik untuk mereka," gumam Marsha, mengulas senyuman masam.

Mendengar dirinya dicibir, Derren sontak mengerutkan keningnya dalam. "Apa maksud And–"

"Mereka bangun!" Marsha menyela dengan cepat.

Derren menoleh dan melihat ujung jari Yana yang mulai bergerak.

Sementara Marsha, fokus memeriksa Naya yang masih tak sadarkan diri.

Marsha membulatkan matanya dan hampir tak menemukan tanda-tanda detak jantung di tubuh kecil itu.

Tet!!!

Marsha memencet bel di dinding dan membuat 2 perawat masuk ke dalam kamar tersebut dengan panik.

Mereka yang melihat Marsha melakukan CPR pada Naya, langsung mengambil beberapa alat yang dibutuhkan.

“Suster ... suster!! Panggil dokter yang bertanggung jawab, cepat!!” teriak Marsha, lantang dan terlihat panik.

"Baik, Dok!" jawab perawat wanita yang baru datang setelah mendengar teriakan Marsha.

Lain halnya dengan Derren yang sudah lemas dengan mata yang telah membulat lebar. “A-apa yang terjadi? Adikku akan selamat, kan?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Vina Oktavia
Semangat thor...
goodnovel comment avatar
Vina Oktavia
Sedikit kurang detail untuk penggambaran tempat. Tp ceritanya seru...
goodnovel comment avatar
Iin Romita
moga mereka selamat...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suami Kontrakku Ternyata Dewa Perang   173. Misi‐CEO Hardy

    Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.

  • Suami Kontrakku Ternyata Dewa Perang   172. Sedih

    Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s

  • Suami Kontrakku Ternyata Dewa Perang   171. Masalah Pelik

    Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian

  • Suami Kontrakku Ternyata Dewa Perang   170. Pergerakkan Awal

    Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun  saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar

  • Suami Kontrakku Ternyata Dewa Perang   169. Tentang Anna dan Ayah

    Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena

  • Suami Kontrakku Ternyata Dewa Perang   168. Menyingkap Rahasia

    Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status