Sesuai perjanjian, hari ini keduanya melangsungkan pernikahan. Tak terlalu mewah dan hanya didatangi orang terdekat. Bahkan, orang tua Marsha tidak hadir sekarang.
Di sisi lain, Derren kini menempelkan permukaan bibirnya di atas kening Marsha–wanita yang telah menjadi istri sahnya satu menit yang lalu– dengan canggung.Sebaliknya, Marsha hanya diam. Tak ada perasaan gugup di wajah wanita itu karena ia hanya senang karena semuanya berjalan sesuai rencana.Hanya saja, Derren terlihat gugup, sampai membuat kedua tangan yang menggenggam tangan Marsha, gemetar, dan berkeringat.“Senyum," ucap Marsha mengingatkan.Perlahan, senyuman canggung mulai terbit di wajah suaminya itu.Jepret!Suara lensa kamera yang mengambil foto mereka terdengar beberapa kali.Marsha pun mengambil beberapa gaya dengan luwes.Sementara Derren, ia masih kaku seperti semula.“Ini yang terakhir. Mas, tolong jangan canggung!” Pak fotografer tiba-tiba berseru–menegur Derren yang terus menunjukkan wajah kaku tiap kali foto diambil.Mendengar itu, Marsha menatap Derren, “Lakukan dengan benar agar tidak diulang terus-menerus. Kakiku sudah sakit karena seharian berdiri. Senyum dengan tulus!”Pria itu sontak melirik pergelangan kaki Marsha yang cukup merah. “Baiklah.”Tak lama setelahnya, pak fotografer langsung mengambil banyak foto. Derren terus tersenyum dengan baik di beberapa gaya terakhir. Bahkan, fotografer memuji Derren untuk foto-fotonya.“Terima kasih untuk hari ini,” ucap Marsha, menunduk singkat seraya berterima kasih dengan sopan, dan menggandeng Derren pergi ke ruang ganti.“Kenapa tidak tersenyum begitu dari–“Marsha terdiam ketika melihat seorang lelaki yang datang dari kejauhan dengan membawa sebuah buket bunga besar. Gama tampak menyapa orang-orang dengan ramah.Raut wajah bahagia Marsha luntur dengan sempurna.“Siapa?” Derren bertanya sambil melihat perubahan mimik wajah Marsha dengan tatapan aneh. “Jangan bilang, ia lelaki yang dijodohkan dengan Anda?”Marsha tak menggubris pernyataan Derren dan hanya fokus melihat kehadiran Gama dengan tatapan panik.“Hah….” Derren menghela napas dan menepuk pundak Marsha–membuat sang istri menoleh padanya dengan cepat."Kenapa?" tanya Marsha dengan wajah polos.Derren menunjuk ke arah Gama sambil bertanya, "Siapa ia? Kamu kenal?"Marsha kembali melihat ke depan dan mendengus kasar. “Panggil aku dengan kasual, seperti sepasang orang saling mencintai. Aku rasa, ia di sini untuk mengujimu!” tegur Marsha. Mendengar itu, Derren mengangguk.Ia segera menatap Gama dengan tatapan ramah dan tak lupa, tangan kanannya telah menggandeng tangan Marsha dengan lembut.Meski terkejut, perempuan itu segera menormalkan detak jantungnya.“Saya datang untuk menyapa mempelai wanita, Nona Marsha.” Gama berbicara dengan senyum palsu.Ia memberikan buket bunga besar nan indah itu kepada Marsha. Lalu, memandang Derren sinis. Menurutnya, Derren lebih mirip gelandangan dari pada suami yang pantas untuk Marsha.Gama jelas lebih baik dari suami wanita itu. Dengan wajah blasterannya serta balutan jas Kiton k-50, yang hanya diproduksi 50 setel tiap tahunnya, ia terlihat sangat menawan.“Perkenalkan.” Gama kini memberikan kartu namanya pada Derren. “Saya Abrigama Bastarnd. Saya harap Anda bisa menghidupi Nona Marsha yang ‘tak biasa hidup sederhana’ dengan penghasilan kecil Anda sebagai kepala koki.”Derren memandang kartu itu beberapa saat. Tak ada raut kesal di wajahnya, seakan tak mendengar cemoohan yang baru dilontarkan Gama.“Anda pengusaha Minyak?” tanya Derren, tenang.Dengan luwes, Gama menjawab. “Benar. Cabang bisnis saya ada di Kanada, Australia dan Irak. Jika nanti Anda membutuhkan pekerjaan, saya bisa menerima Anda sebagai OB di salah satu perusahaan saya.”“Karena saya tidak bisa menerima pegawai di bawah S2,” tambah pria itu dengan senyum meremehkan.Tangan Marsha seketika mengepal keras. Ia marah melihat Gama terus merendahkan Derren.Hanya saja, suaminya itu justru menganggukkan kepalanya. “Terima kasih sudah menawarkan. Tapi, saya tidak membutuhkannya.” Derren menyimpan kartu nama itu di dalam saku celananya dan menggenggam tangan Marsha cukup erat. “Tentang istri saya…““Saya akan menjaga dan membahagiakannya sekuat tenaga saya.” Derren tersenyum lembut pada Marsha. Berakting seakan ia begitu menyukai Marsha. “Walau saya tidak bisa memberikan kemewahan, tapi ada banyak cara untuk membuatnya bahagia.”“Buktinya, ia memilih saya, kan?”Marsha sedikit malu mendengar perkataan Derren, sampai-sampai membuat pipi Marsha sedikit merah saat itu.Ia tak menyangka ‘suaminya itu’ bisa berakting dengan sangat baik sampai membuat jantungnya bekerja keras.“Tidak semua barang mewah bisa membuat seseorang bahagia.” Derren melanjutkan, lalu memandang Gama yang terdiam dengan sorot tajamnya. “Tak perlu khawatir. Saya akan membahagiakan Marsha dengan cara saya sendiri.”Gama menutup rapat bibirnya dan menarik kedua sudutnya ke belakang. Menunjukkan senyum segaris dengan tatapan mengejek.“Baiklah. Jika Anda sangat yakin, saya pun akan mengawasi Anda dari dekat. Tapi–“Gama menatap Marsha beberapa saat dan memandang kembali Derren. “Jika Anda tak bisa membahagiakannya. Detik itu juga, saya akan mengambilnya dari tangan Anda walau harus menculiknya.”Derren menatap datar. “Bila Anda sudah selesai bicara, kami permisi terlebih dahulu. Kedua kaki istri saya telah terluka karena terlalu banyak berdiri dengan sepatu tidak nyaman.”Ia lalu menarik lembut tangan Marsha dan mengajaknya pergi.Di sisi lain, Marsha menatap Gama dengan tajam sebelum mengikuti langkah Derren. “Jangan macam-macam. Saya orang yang pendendam!” ancamnya.Namun, Gama hanya mengangkat bahu tak acuh–menatap kepergian keduanya dengan tatapan dingin.Ia tak senang dengan sikap Derren dan Marsha yang berani menentang kehendaknya. "Sepertinya, kalian berdua memang harus segera dibereskan!"“Aku ingin bertanya," ucap Marsha setelah berhasil membuat sarapan sebagai istri untuk pertama kalinya. Derren sontak mendongak dan memperlihatkan wajah masam yang sedari tadi ia sembunyikan. Segera ia mengambil minum sebelum berkata, “Apa?” Melihat ekspresi pria itu, Marsha mendadak penasaran. Diambilnya sendok dan melahap sarapannya. Namun belum sampai tenggorokan, Marsha sudah menyemburkan isi mulutnya dan segera menegak air. “Asin!” “Kenapa masih dimakan? Berikan padaku!” Marsha segera menatap Derren yang sudah menelan beberapa sendok nasi goreng buatannya itu sampai berkeringat dingin. Ia hendak membuang isinya. Tapi, Derren justru menepik tangan Marsha dengan memukul punggung tangannya pelan. “Masih bisa dimakan!” ucapnya kembali menyuapkan makanan ke dalam mulut. “Lanjutkan perkataan Anda. Anda mau bicara apa tadi?” Marsha menghela napas dan menarik tangan kanannya yang masih menggantung di udara. “Adikmu … di mana keduanya?” Derren diam. Ia memandang Marsha dengan tat
Saat ini, Dena termenung setelah melihat sebuah dokumen yang baru saja diberikan oleh sekretarisnya pagi ini. Ia tak berbicara sedikit pun dan hanya memandangi dokumen-dokumen itu dengan perasaan gundah dan sedih. Baru dua hari putrinya pergi dari rumah dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, kini Dena dapat melihat senyuman cantik itu ketika Marsha menggandeng seorang lelaki. Perkataan Marsha terakhir kali mengingatkan Dena tentang almarhum suaminya, Hans. Dena ingat jelas tentang kelakuannya yang menjadi kasar pada Marsha. Tapi, Marsha tak pernah membenci atau menghindarinya. Membayangkan Marsha berada dalam kondisi seperti dirinya saat itu, membuat Dena berpikir ribuan kali tentang perjodohan putrinya. Seharusnya, ia menghentikan suaminya sekarang. “Sayang ... sayang ...!” Bima berteriak dari dalam kamarnya. Mendengar itu, Dena segera bangun dan membereskan berkas pernikahan Marsha. Ia menyimpannya agar tak terlihat Bima, lalu pergi menuju sang suami. “Apa?” tan
16:30 …. Marsha keluar dari kantornya dan melihat 3 anak buah Bima telah berjaga di lorong pintu keluar. Sebenarnya, ia tak terkejut karena sudah memprediksikan masalah ini. “Profesor. Kami sudah menyiapkan pakaian Anda,” ucap seorang perawat, menghampiri Marsha. Ia adalah orang yang akan membantu Marsha keluar dari tempat ini dengan aman. Marsha mengangguk dan memberikan tas serta pakaian yang tadi ia kenakan saat masuk ke rumah sakit. Bahkan Marsha pun memberikan jas kebesarannya pada perawat perempuan itu. “Terima kasih sudah mau membantuku.” “Sama-sama, Prof. Tidak perlu sungkan.” Marsha mengangguk dan berjalan keluar dari gedung rumah sakit lewat pintu belakang. Kini Marsha tengah mengenakan pakaian pasien dan rambut yang digelung seperti cangkang siput. Ia hanya berharap Pak Ardi yang cerdas tidak akan mengetahui penyamarannya. “Nona Marsha. Saya tak menyangka Anda akan menyamar sampai seperti ini hanya untuk menghindari saya,” ucap seorang lelaki, yang suaranya sangat
Dengan lihai, Derren menghabisi para bodyguard Bima yang berusaha menghadang langkah mereka. Tampaknya, keluar dari Goa macan bukan masalah besar bagi seekor singa yang terlatih berperang seperti Derren. Hanya saja, Marsha kini menghela napas panjang begitu menemukan notifikasi pesan dari Bima yang datang tanpa jeda. [ Cepat pulang] [ Bawa suamimu ke rumah ][ Marsha, jangan mengabaikan Ayahmu!][ Balas pesan Ayah! ] Wanita itu sontak mengalihkan pandangannya dan beralih pada Derren dan kedua adiknya di meja makan. "Kamu tidak makan?" tanya Derren, memperhatikan Marsha yang duduk di sofa ruang tengah sambil memandang ke ruang makan. "Tidak." Marsha menghela napas panjang dan merebahkan diri ke atas sofa itu. "Kapan kamu dan anak-anak libur?" Naya dan Yana saling memandang satu sama lain dengan tatapan bingung. "Kami belum mendapatkan sekolah." Yana menjelaskan dengan suara lirih. Marsha terdiam beberapa saat sebelum kembali bangun duduk di atas sofa. "Kalian belum sekolah?"
Lea seketika mengambil langkah mundur dan pergi–meninggalkan Derren dan Marsha yang memandangnya dengan tatapan tak senang. Hanya saja, ada amarah di dalam sorot mata Lea saat memandang Marsha terakhir kali. Tapi, Derren tak terlalu memusingkannya dan fokus melihat kondisi Marsha yang cukup membuatnya khawatir. “Ayo cepat masuk. Aku akan mengan-“ Seketika Marsha menunjuk ke arah pantai. Tepat di posisi kedua adik perempuan Derren sedang bermain air. Derren menoleh ke arah itu dan menepuk keningnya ampun. ”Maafkan aku. Aku akan belikan sesuatu yang hangat saat kembali bersama mereka nanti. Kamu kembali dan mandilah dulu. Pastikan dirimu tidak akan masuk angin nanti.” Marsha mengangguk paham sambil mengulas senyum lembut. ”Aku bukan anak kecil. Aku akan merawat diriku sendiri. Jangan cemas.” Marsha menepuk pundak Derren beberapa kali sebelum Marsha benar-benar pergi kembali ke Villa untuk mandi dan istirahat. Tak butuh waktu lama, Derren kembali bersama kedua adiknya setelah mere
Derren berjalan cepat mengitari taman yang menjadi kawasan bagian tengah Villa tempat mereka menginap. Hari semakin larut, namun ia tak kunjung menemukan sosok Marsha di mana pun. Bahkan nomor teleponnya tidak aktif sejak 3 jam yang lalu. “Ke mana ia pergi?” Pikiran negatif terus menghantui Derren. Walau mereka hanya menikah kontrak, tapi baik Marsha atau Derren selalu memperlakukan satu sama lain layaknya seorang pasangan. Sekali lagi, Derren mencoba menghubungi ponsel Marsha seperti orang bodoh. “Angkat ponselmu! Aku mohon.” Ia tahu ponsel wanita itu mati sejak beberapa jam yang lalu, tapi sampai sekarang ia tak berhenti mencoba. Di kejauhan, Derren melihat Naya dan Yana bergandengan tangan–berjalan bersama dengan raut wajah gundah mengikuti mobil hitam yang berjalan pelan di kawasan Villa mereka sebelum berhenti di pertigaan depan. Derren menghampiri keduanya. “Kenapa kalian mengendap-endap?” Naya dan Yana menoleh dengan wajah terkejut. Derren memicingkan mata–curiga deng
“K-kamu tahu?” Marsha menatap bingung. Ia tak menyangka ada teman yang tahu pasal pernikahannya. Syam mengangguk dan memberikan ponselnya pada genggaman Marsha. “Hubungi suamimu dulu. Untuk alasan bagaimana aku bisa tahu pernikahanmu, akan aku jelaskan setelahnya.” Marsha menatap “HP kentang” yang telah ada di dalam genggamannya dan segera melakukan panggilan. [Halo? Marsha, kamu kah itu?] Suara Derren terdengar bergetar. Tampaknya lelaki itu tengah ketakutan. “Iya–“ [Syukurlah. Hahh ... kamu baik-baik saja?] Air mata Marsha menggenang. Mendengar Derren yang menahan suara tangisnya dan rasa cemas agar ia bisa berbicara dengan lembut tanpa rasa panik, membuat Marsha sedikit terharu. “Ya. Temanku berhasil menolongku. Aku sedang dalam perjalanan kembali ke daratan.” [Begitukah? Baik. Aku akan kembali ke dermaga kalau begitu. Kita bertemu di sana.] Marsha hanya menjawab singkat dan menutup telepon mereka. "Sudah?" Marsha mengangguk pelan. “Terima kasih.” Ia mengembalikan po
“Kamu dengar apa yang aku katakan?” Mia menatap Marsha dengan tatapan tajam. Setelah Mia menerima laporan dari Syam tentang keadaan Marsha terakhir kali, saat dini hari, pagi ini, Mia menjemput Marsha di depan pintu masuk rumah sakit saat Marsha hendak memenuhi jadwal shiftnya–dan langsung memasukkannya sebagai pasien siang ini. “Jangan menjadi pasien yang menyebalkan! Kamu tahu rasanya memiliki pasien seperti itu, kan? Me-le-lah-kan!” Marsha hanya mengangguk kecil beberapa kali dan memejamkan kedua matanya. Ia berpura-pura tidur agar tak lagi mendengar omelan kawannya, Mia, Dokter Umum yang mendapatkan shift malam untuk menjaga UGD hari ini. “Bagus.” Mia membereskan peralatan medisnya dan hendak pergi. Tapi langkahnya tertahan di ambang pintu. “Ah, apakah lelaki yang bersamamu tadi ... ia jomblo? Ia lelaki idamanku. Style–” “Ia suamiku.” Mia membulatkan matanya dan segera berlari ke arah Marsha. Ia duduk di tepi ranjang dan menatap kawannya dengan serius. “Sungguh?” Marsha