Share

6. Kabar Pernikahan

Saat ini, Dena termenung setelah melihat sebuah dokumen yang baru saja diberikan oleh sekretarisnya pagi ini.

Ia tak berbicara sedikit pun dan hanya memandangi dokumen-dokumen itu dengan perasaan gundah dan sedih.

Baru dua hari putrinya pergi dari rumah dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, kini Dena dapat melihat senyuman cantik itu ketika Marsha menggandeng seorang lelaki.

Perkataan Marsha terakhir kali mengingatkan Dena tentang almarhum suaminya, Hans.

Dena ingat jelas tentang kelakuannya yang menjadi kasar pada Marsha. Tapi, Marsha tak pernah membenci atau menghindarinya.

Membayangkan Marsha berada dalam kondisi seperti dirinya saat itu, membuat Dena berpikir ribuan kali tentang perjodohan putrinya. Seharusnya, ia menghentikan suaminya sekarang.

“Sayang ... sayang ...!” Bima berteriak dari dalam kamarnya.

Mendengar itu, Dena segera bangun dan membereskan berkas pernikahan Marsha. Ia menyimpannya agar tak terlihat Bima, lalu pergi menuju sang suami.

“Apa?” tanya Dena yang melihat dasi Bima belum benar.

Dena langsung mengerti dan membenarkannya dengan cekatan.

“Hari ini aku akan pergi ke kantor Gama untuk meluruskan soal perjodohan. Doakan aku agar tidak kehilangan uang kita.”

Dena mengangguk dan menatap Bima dengan pandangan mengawasi. Ada sorot mata sedih di dalam kedua manik mata gelapnya.

Menyadari itu, Bima pun bertanya, "Ada apa?"

“Jika semua ini tidak berjalan dengan baik. Apa yang akan kamu lakukan?”

Pandangan Bima seketika berubah. Ia menatap Dena dengan tajam, tanda tak suka dengan perkataannya.

“Jangan berbicara buruk. Jika perjodohan ini berhasil, kita akan menerima beberapa miliar. Kamu kira aku akan melepaskannya dengan mudah?” ucap Bima, terlihat keras kepala akan pernikahan Marsha dan Gama.

“Kamu pikir Marsha bodoh?” tanya Dena. “Marsha itu jenius. Ia bukan anak yang sekedar ‘pandai’. Si bungsu itu jenius!”

Dena tersenyum dan menepuk-nepuk pundak Bima dengan lembut. “Pergilah. Aku juga ada agenda hari ini. Temui Gama dan kendalikan amarahmu.”

Bima mengangguk paham dan pergi keluar kamarnya. Menemui sopir pribadinya dan pergi ke perusahaan Gama: Perusahaan MIA.

“Selamat datang, Tuan Bima. Senang bertemu dengan Anda.” Sesampainya di sana, Bima disambut Gama dengan hormat.

Pria tua itu cukup terharu dengan kesopanan lelaki ini.

Inilah alasan kuat ia ingin menjadikan Gama menantu. Baginya, anak muda ini adalah orang yang sopan, cerdas dan yang terpenting– kaya raya.

“Seharusnya, kamu tunggu saja di dalam ruanganmu. Aku juga ingin sedikit berkeliling di sini,” balas Bima, basa-basi.

Gama hanya tersenyum dan memandu jalan. “Bagaimana kalau kita pergi ke Kafetaria, Tuan Bima? Menu kantin kami sangat lezat. Saya harap Anda berkenan untuk mencobanya.”

Bima mengangguk–menyetujui tawaran calon menantunya dan keduanya pergi ke tempat tujuan.

“Anda bisa duduk terlebih dahulu. Saya akan memesan.”

Bima terdiam beberapa saat sambil memandang ajudan Gama yang dari tadi mengikutinya di belakang mereka. “Kamu bisa memintanya pergi, bukan?”

Gama menoleh ke belakang dan melihat lelaki yang ditunjuk Bima.

Dengan cepat, Gama mengulas senyuman masam ke arah Bima. “Beliau bukan ajudan saya. Beliau datang untuk memastikan Anda nyaman di sini. Sebentar lagi, beliau harus pergi untuk rapat dengan pengurus di Australia.”

Bima mengangguk dan berjalan pergi meninggalkan Gama.

Ia mencari tempat duduk secara mandiri tanpa seorang ajudan atau pengawal yang mengikutinya.

Tak lama setelah Bima duduk, Gama datang dengan membawa nampan berisikan dua gelas minuman dingin. Sementara makanan mereka akan diantarkan pelayan setelah hidangannya siap.

“Aku tidak tahu kamu lelaki yang mandiri.” Bima menyesap es kopi yang diberikan Gama padanya dan membuat lawannya tersenyum tipis.

“Saya sudah menjadi anak yatim piatu sejak usia 15 tahun. Jika saya tidak pandai mengurus diri dalam kurun waktu selama itu, bukankah saya akan terlihat seperti orang tidak berguna? Padahal kaki dan tangan saya tidak cacat. Hahaha ....”

Bima pun tertawa walau sebenarnya ia sedikit tersindir dengan perkataan itu.

Terlahir dari keluarga berada, tentu ia tak pernah menyusahkan dirinya sendiri untuk melakukan ini dan itu.

Berbeda dengan Gama yang memilih tetap mandiri walau ia memiliki beberapa pelayan di rumahnya. Harta kekayaan yang ditinggalkan kedua orang tua Gama juga sebenarnya tidak sedikit.

“Kamu memang orang yang sangat bisa diandalkan.” Bima menghela napas panjang nan lelah. “Andai saja Marsha tak keras kepala, lelaki sepertimu pasti tak akan aku biarkan berkeliaran tanpa pasangan.”

‘Candaan orang tua!’ celetuk Gama, dalam hati–sedikit mencemooh kepribadian Bima yang kaku dan tak menyenangkan. Tapi, ia tetap harus tersenyum untuk menyenangkan hati pria tua itu. Sungguh, dunia bisnis yang menyebalkan!

“Bagaimana pertemuanmu dengan Marsha terakhir kali?” celetuk Bima, tiba-tiba.

Gama langsung diam. Ia kehilangan senyumannya. “Saya ingin membunuh suaminya.”

Bima terdiam. Rahangnya mengeras dengan cepat. “Apa yang kamu katakan? Suami? Suami siapa?”

Gama menatap lurus pada lawannya.

Tampaknya, Bima tak tahu pasal pernikahan Marsha–putrinya sendiri.

“Saya datang menemui Marsha 2 hari yang lalu–” Gama menggantung kalimatnya. Memberi dirinya jeda untuk bernapas dan membiarkan Bima menyiapkan mental. “Dan saya bertemu dengannya di gedung KUA.”

Bima bangkit dari tempat duduknya dan memandang Gama dengan tatapan tajam menusuk.

“Jangan mengada-ada. Bagaimana kamu bisa membuktikan bualanmu saat ini?”

"Bawakan aku bukti perkataanmu jika berita yang kamu katakan padaku memang benar! Jangan hanya membual. Berikan buktinya!” marah Bima, berbicara penuh penekanan.

“Tenangkan diri Anda, Tuan Bima. Saya akan mengirimkan buktinya ke alamat Anda. Anda bisa melihatnya dengan Nyonya Dena di rumah. Jika sekarang saya memberikannya–“

Bima mendenguskan napasnya kasar dan duduk kembali dengan tenang. Ia berusaha keras agar tak kehilangan martabatnya di depan calon menantunya.

Ya! Calon menantu yang bisa Bima akui hannyalah Gama. Tidak dengan yang lain. Tidak akan pernah!

“Baik. Anggap saja aku percaya. Lalu, apa kamu akan melepaskan Marsha? Aku rasa kamu cukup menyukainya.”

Gama tersenyum lebar, walau tak terasa tulus. “Tentu saja tidak akan melepaskannya. Bagaimanapun juga, ia adalah orang yang seharusnya menikah dengan saya.”

Bima mengangguk mantap. “Oke kalau kamu berpendapat begitu. Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?”

"Pertama-tama, bukankah Anda harus membawanya pulang?" ucap Gama, memberikan pendapatannya.

Bima terdiam sejenak dan mengangguk. "Kamu benar. Aku harus membawanya pulang."

Bima menoleh pada seorang lelaki yang berdiri di luar bagian depan pintu, membelakangi mereka sambil melihat ke sisi lorong dengan pandangan waspada.

"Pak Ardi!"

Lelaki berwajah tampan walau rambutnya setengah beruban itu menoleh pada sang Tuan. "Ya, Tuan Bima? Anda membutuhkan saya?" ucapnya, sambil berjalan mendekati Bima.

"Bawa Marsha pulang ke rumah. Temukan ia secepatnya! Bagaimana pun caranya. Aku tak peduli! Asalkan ia ada di depanku besok." Bima memberi titah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status