Lea seketika mengambil langkah mundur dan pergi–meninggalkan Derren dan Marsha yang memandangnya dengan tatapan tak senang. Hanya saja, ada amarah di dalam sorot mata Lea saat memandang Marsha terakhir kali. Tapi, Derren tak terlalu memusingkannya dan fokus melihat kondisi Marsha yang cukup membuatnya khawatir. “Ayo cepat masuk. Aku akan mengan-“ Seketika Marsha menunjuk ke arah pantai. Tepat di posisi kedua adik perempuan Derren sedang bermain air. Derren menoleh ke arah itu dan menepuk keningnya ampun. ”Maafkan aku. Aku akan belikan sesuatu yang hangat saat kembali bersama mereka nanti. Kamu kembali dan mandilah dulu. Pastikan dirimu tidak akan masuk angin nanti.” Marsha mengangguk paham sambil mengulas senyum lembut. ”Aku bukan anak kecil. Aku akan merawat diriku sendiri. Jangan cemas.” Marsha menepuk pundak Derren beberapa kali sebelum Marsha benar-benar pergi kembali ke Villa untuk mandi dan istirahat. Tak butuh waktu lama, Derren kembali bersama kedua adiknya setelah mere
Derren berjalan cepat mengitari taman yang menjadi kawasan bagian tengah Villa tempat mereka menginap. Hari semakin larut, namun ia tak kunjung menemukan sosok Marsha di mana pun. Bahkan nomor teleponnya tidak aktif sejak 3 jam yang lalu. “Ke mana ia pergi?” Pikiran negatif terus menghantui Derren. Walau mereka hanya menikah kontrak, tapi baik Marsha atau Derren selalu memperlakukan satu sama lain layaknya seorang pasangan. Sekali lagi, Derren mencoba menghubungi ponsel Marsha seperti orang bodoh. “Angkat ponselmu! Aku mohon.” Ia tahu ponsel wanita itu mati sejak beberapa jam yang lalu, tapi sampai sekarang ia tak berhenti mencoba. Di kejauhan, Derren melihat Naya dan Yana bergandengan tangan–berjalan bersama dengan raut wajah gundah mengikuti mobil hitam yang berjalan pelan di kawasan Villa mereka sebelum berhenti di pertigaan depan. Derren menghampiri keduanya. “Kenapa kalian mengendap-endap?” Naya dan Yana menoleh dengan wajah terkejut. Derren memicingkan mata–curiga deng
“K-kamu tahu?” Marsha menatap bingung. Ia tak menyangka ada teman yang tahu pasal pernikahannya. Syam mengangguk dan memberikan ponselnya pada genggaman Marsha. “Hubungi suamimu dulu. Untuk alasan bagaimana aku bisa tahu pernikahanmu, akan aku jelaskan setelahnya.” Marsha menatap “HP kentang” yang telah ada di dalam genggamannya dan segera melakukan panggilan. [Halo? Marsha, kamu kah itu?] Suara Derren terdengar bergetar. Tampaknya lelaki itu tengah ketakutan. “Iya–“ [Syukurlah. Hahh ... kamu baik-baik saja?] Air mata Marsha menggenang. Mendengar Derren yang menahan suara tangisnya dan rasa cemas agar ia bisa berbicara dengan lembut tanpa rasa panik, membuat Marsha sedikit terharu. “Ya. Temanku berhasil menolongku. Aku sedang dalam perjalanan kembali ke daratan.” [Begitukah? Baik. Aku akan kembali ke dermaga kalau begitu. Kita bertemu di sana.] Marsha hanya menjawab singkat dan menutup telepon mereka. "Sudah?" Marsha mengangguk pelan. “Terima kasih.” Ia mengembalikan po
“Kamu dengar apa yang aku katakan?” Mia menatap Marsha dengan tatapan tajam. Setelah Mia menerima laporan dari Syam tentang keadaan Marsha terakhir kali, saat dini hari, pagi ini, Mia menjemput Marsha di depan pintu masuk rumah sakit saat Marsha hendak memenuhi jadwal shiftnya–dan langsung memasukkannya sebagai pasien siang ini. “Jangan menjadi pasien yang menyebalkan! Kamu tahu rasanya memiliki pasien seperti itu, kan? Me-le-lah-kan!” Marsha hanya mengangguk kecil beberapa kali dan memejamkan kedua matanya. Ia berpura-pura tidur agar tak lagi mendengar omelan kawannya, Mia, Dokter Umum yang mendapatkan shift malam untuk menjaga UGD hari ini. “Bagus.” Mia membereskan peralatan medisnya dan hendak pergi. Tapi langkahnya tertahan di ambang pintu. “Ah, apakah lelaki yang bersamamu tadi ... ia jomblo? Ia lelaki idamanku. Style–” “Ia suamiku.” Mia membulatkan matanya dan segera berlari ke arah Marsha. Ia duduk di tepi ranjang dan menatap kawannya dengan serius. “Sungguh?” Marsha
“Kamu yakin ia tak menyusahkan kamu?” “Tidak.” Marsha membereskan pakaian kotornya dan memasukkan ke kantung keresek hitam sebelum memberikannya pada Derren untuk di bawa pulang. “Kamu tidak perlu khawatir,” Marsha tersenyum miring. “ancaman kamu padanya sangat ampuh. Ia sampai tak berani bertindak sembarangan di depanku.” Derren menghela napas lega. “Syukurlah kalau ia bersikap baik. Tapi hari ini ia tidak datang. Kurang enak badan katanya.” Marsha mengangguk paham. “Ya, aku juga tahu. Dari kemarin ia memang mengeluh sakit perut–sebelum pulang dari sini.” “Begitukah?” Marsha hanya menganggukkan kepalanya pelan dan berjalan kembali ke tempat tidur. Bersiap untuk tidur siang. “Pukul berapa kamu pergi ke kampus?” Derren melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “30 menit lagi. Setelah selesai mengemas barangmu, aku akan langsung ke kampus. Untuk ini–“ Derren mengangkat tas be
Gama menatap datar sembari mendengus kasar. ”Kamulah masalahnya. Kamu seorang pasien. Tugasmu istirahat selama masa pemulihan. Kenapa banyak bergerak?” “Tapi ada yang harus–“ “Aku akan mengurusnya untukmu,” sambar Gama. Lawan bicaranya terdiam. Berpikir beberapa saat sebelum menghempas tangan Gama dari tubuhnya. “Ini bukan urusanmu.” Marsha keluar dari kamar. Gama mengikutinya dengan setia. Tanpa berisik atau bertingkah sehingga Marsha dapat mengusirnya. “Aku akan antar sampai ke tempat tujuan.” Gama kembali berucap saat mereka telah di luar gedung rumah sakit–setelah kondisi mereka aman. Marsha menatapnya lurus. “Kenapa harus kamu? Banyak taxi yang bisa aku tumpangi.” Gama memutar bola matanya malas dan mencegat langkah Marsha yang hendak pergi ke tepi trotoar untuk menghentikan transportasi jalanan pribadi. “Biarkan aku mengantarmu. Aku tak akan banyak tanya lagi. Jika kam
“Hari ini kita sekolah?” Yana dan Naya terdiam kaget dengan kedua mata membulat lebar. “Sungguh?” Derren berseru. Ia tak kalah terkejut dengan kedua adik perempuannya. Marsha mengangguk. “Seragam kalian ada di dalam lemari. Setelah sarapan, kalian bisa mandi dan langsung bersiap.” Marsha tersenyum lembut melihat wajah semringah Yana dan Naya. “Kami akan mengantar kalian.” Dengan cepat Naya dan Yana menyelesaikan sarapannya dan segera berlari ke dalam kamar mereka–bersiap pergi ke sekolah. Derren menatap lurus ke arah Marsha. Hanya diam, tak mengucapkan sepatah kata pun sampai Marsha sadar dengan pandangan itu. “Apa yang ingin kamu katakan?” tanya Marsha. “Kamu baru keluar dari rumah sakit. Apa tidak masalah pergi ke luar? Kepalamu pasti masih pusing, kan?” Derren mencoba bersikap perhatian. Walau semua sikap itu terasa sangat sulit ia lakukan karena sikap alaminya
“Suamimu sangat perhatian.” “Ya, Bu Marsha. Kamu pasti bahagia hidup dengannya.” Marsha menggelengkan kepalanya. Mencoba menghapus semua pemikiran itu dari kepalanya. Setelah memberikan bekal buatan Derren pada rekan kerjanya, mereka semua tak berhenti menyanjung Derren di depannya. Membuatnya pening seharian. “Kenapa kamu?” tanya Derren, melihat tingkah aneh Marsha. Marsha segera sadar dari lamunannya. Ia menatap Derren yang duduk di sampingnya–join nonton TV. “Kapan kamu pulang?” ucapnya, sedikit terkejut. “Baru saja. Sudah makan malam?” Marsha melihat ke arah jarum jam sebelum ia menggelengkan kepalanya. “Aku tidak makan malam.” Derren menatapnya tajam. “Kamu lupa kata Dokter Tomo?" Marsha melirik ambigu dan menggeleng. “Tidak. Tapi tadi sore aku sudah makan beberapa potong roti isi. Sekarang aku kenyang.” Derren mengangguk. Ia tak lagi mempermasalahkannya dan melihat pon