Pov Nadhifa
Sudah seminggu Mas Fatan tak pulang ke rumah. Sejak malam itu aku kehilangan jejaknya. Di kantor juga dia tak ada, kata Wita sekretarisnya Mas Fatan pergi ke daerah urusan kantor.
Kucoba cek ke daerah melalui orang kepercayaanku, namun keberadaan Mas Fatan tak ada di sana juga.
"Kemana kamu Mas, apa kamu jadi menikah dengan perempuan itu dan tengah berbulan madu sekarang!" desisku geram.
Kuhubungi nomor seseorang di ponselku.
"Assalamualaikum Ibu," salam Wita diseberang sana.
"Waalaikumsalam, Wita kamu tahu siapa perempuan yang dekat dengan Bapak akhir-akhir ini?" tanyaku langsung.
"Ehm maksud Ibu gimana?" jawab Wita dengan gugup.
"Kamu tahu Wit, Mas Fatan minta ijin ingin menikah lagi. Kira-kira kamu tahu dengan siapa?"
"Astaghfirullah, beneran Bu. Berani sekali dia. Saya tahu Bu. Namanya Irene, dia asisten saya yang baru. Dia baru dua bulan ini bekerja disini!" jawab Wita dengan sedikit emosi.
Aku tahu kalau dia juga pasti emosi mendengarnya.
"Kita ketemuan ya Wit, aku tunggu di Cafe dekat kantor sekarang!"
"Iya Bu," jawab Wita.
Aku bergegas pergi ketempat yang kusebutkan tadi.
***
"Kamu kenapa Nak!" tanya Mertuaku lembut.
Aku menggeser dudukku agar Mama mertuaku bisa ikut duduk diatas ayunan besi yang ada di tepi kolam dibelakang rumahku.
"Tadi Dhifa menemui Wita Ma, Sekretarisnya Mas Fatan. Ternyata selama ini Mas Fatan telah dekat dengan asistennya Ma!" laporku.
Mama menunduk malu, kulihat dia menangis walau tanpa suara.
"Anak itu memang tidak tahu diri, sudah punya istri yang cantik dan baik seperti kamu masih saja merasa kurang!" isak Mama.
"Apa Dhifa salah ya Ma, Dhifa lebih perhatian sama anak-anak. Padahal semua keperluan Mas Fatan sudah Dhifa penuhi. Dhifa juga selalu melayani Mas Fatan kapanpun dia minta. Kenapa hanya karena Dhifa gak bisa menemaninya di luar dia malah selingkuh Ma!"
"Kamu gak salah Dhifa, memang dasar Fatannya yang gak tau diuntung. Kamu jangan sedih. Mama yakin dia hanya khilaf, sebentar lagi dia juga bakalan datang minta maaf."
Mama kelihatan marah sekali pada Mas Fatan. Aku menghela nafas, terbayang kembali masa-masa aku kecil dulu.
Flashback on.
"Selamat pagi Bik!" sapaku dengan riang.
"Pagi Non Dhifa, wah cerah sekali pagi ini?"
Bik Ijah pengasuhku memberikan sepiring nasi goreng kehadapanku. Aku memakannya sesendok lalu tersenyum padanya.
"Enak banget Bi, Mama sama Papa mana?"
Merekalah yang membuat aku bersemangat pagi ini. Mereka janji akan pulang malam tadi.
"Ehm Mama sama Papa gak jadi pulang Non. Setelah dari daerah, mereka langsung terbang ke Singapura. Ada proyek yang bagus dan sayang katanya kalau dilepas," jawab Bi Ijah.
Aku mendongak melihat ke Bi Ijah tak percaya.
"Tapi mereka udah janji pulang tadi malam kan Bi, aku udah kangen banget. Sudah sebulan mereka pergi, sekarang malah ke Singapura," ucapku sambil menangis.
Aku Nadhifa, gadis 12 tahun Yang sering ditinggal oleh kedua orangtuaku. Alasan pekerjaan yang selalu aku terima.
Kalau Papa aku mengerti, dia lelaki dan harus mencari nafkah. Tetapi Mama, apa yang Mama kerjakan sampai harus selalu ikut kemanapun Papa pergi.
"Non, makannya dilanjut. Nanti telat lho kesekolahnya!"
Suara Bi Ijah menyadarkanku, aku segera menghabiskan sarapanku. Kemudian aku pergi ke sekolah dengan hati riang.
Kalian tahu, pergi ke sekolah adalah hal yang menyenangkan dan tak mungkin aku lewatkan.
Di Sekolah aku bisa bertemu dengan teman-temanku, bermain, belajar, makan di kantin ahh pokoknya aku bisa melupakan kesedihanku karena selalu kesepian di rumah.
Bersyukur sekolahku Full day, sehingga saat aku pulang hari hampir menjelang Maghrib. Pulang ke rumah yang selalu sepi membuat aku berjanji, jika aku dewasa nanti.
Jika aku telah berumah tangga dan memiliki anak, aku tak akan pernah mau meninggalkan anak-anakku terlalu lama.
Aku tak mau mereka kesepian dan merasa kehilangan kasih sayang dariku. Aku tak mau mereka merasakan apa yang aku alami dulu.
Flashback off.
Suara ponsel menyadarkanku dari kenangan masa kecilku dulu.
"Assalamualaikum Om, ada apa?" tanyaku pada Om Faisal.
"Om mau tanya Fa, apa kalian akan membeli rumah lagi?" tanyanya.
Om Faisal adik Papaku adalah seorang pemilik perusahaan jasa akuntan. Dan perusahaan kami memakai jasa Om Faisal sehingga apapun aktifitas keuangan di perusahaan kami dia mengetahui.
"Beli rumah, maksud Om gimana?"
Aku mendengarkan penjelasan Om Faisal dengan geram. Ternyata Mas Fatan berencana membeli sebuah rumah mewah.
Buat apa dia membeli rumah lagi tanpa sepengetahuanku. Kurang ajar, pasti untuk diberikan pada perempuan itu, desisku.
Hmm, aku punya rencana. Kubeberkan semuanya pada Om Faisal dan dia menyetujuinya.
Rasakan kamu Mas, jangan kira kamu bisa menghabiskan uang perusahaan seenak hatimu.
***
"Axel, Alea hari ini Mami arus pergi ke kantor ya. Pulang sekolah nanti kalian harus jadi anak yang baik kalau Mami belum pulang!" pesanku pada anak-anakku.
"Mami pulangnya malam ya?" tanya Alea.
"Mami usahain sebelum Maghrib Mami sudah pulang. Gak apa-apa kan sayang?" tanyaku sambil membelai rambutnya.
"Iya Mi, gak apa. Kan ada Oma sama Nek Ijah di rumah," jawab Axel.
"Anak pintar, Mami sayang banget sama kalian!" ucapku terharu.
"Tapi Mami gak bakalan pergi lama-lama kan. Gak pulang-pulang kayak Papi?" tanya Axel lagi.
"Gak sayang, kalaupun harus pergi gak bakalan lama. Mami janji!"
Anak-anakku memelukku lalu berpamitan pergi ke sekolah. Aku juga bergegas pergi ke kantor.
"Selamat pagi Bu,"
"Selamat pagi Bu, apa kabar?"
Salam dari para karyawan kubalas satu persatu. Aku melangkah menuju ruang Direktur utama.
Wita yang melihatku tergopoh menyambut kedatanganku.
"Selamat pagi Bu Dhifa, meja Ibu sudah saya siapkan!" lapornya.
"Terimakasih Ta, saya tahu kamu bisa di andalkan. Meja Mas Fatan sudah kamu pindahkan?" tanyaku.
Aku menduduki kursiku yang masih terbungkus plastik dari toko.
"Sudah Bu, itu disudut sana!" tunjuk Wita sambil tersenyum.
"Bagus, sekarang tolong kamu ambilkan berkas-berkas yang masih ditangani Mas Fatan. Mulai sekarang saya ambil alih!"
"Baik Bu!"
Wita memberikan aku setumpuk berkas yang sudah lama terbengkalai karena orang yang mengurusnya sedang hilang entah kemana.
"Pak Mahmud, coba tolong kemari sebentar!" perintahku melalu telepon.
Tak lama Pak Mahmud, staf HRD menemuiku.
"Ada apa Bu!" tanyanya.
"Duduk Pak, Wita kamu masih butuh asisten?" tanyaku pada Wita.
"Iya Bu," jawab Wita singkat.
"Oke, Pak Mahmud buka lowongan buat asistennya Wita. Tapi hanya asisten cowok, paham kan?"
"Tapi Mbak Wita sudah punya asisten Bu," jawab Pak Mahmud.
"Mana, sudah berapa lama dia gak masuk?"
"Sudah seminggu eh hampir dua minggu Bu. Semenjak Pak Fatan pergi ke daerah."
"See, tidak disiplin. Pecat dia dengan tidak hormat. Tanpa pesangon. Lagi pula dia masih tahap training kan?" ucapku geram.
"Iya bu, saya paham. Kalau begitu saya permisi!" pamit Pak Mahmud hormat.
Lalu beranjak keluar ruanganku.
Aku ikut beranjak hendak ke toilet. Beberapa karyawan kembali menyapaku dengan hormat.
Aku sedang membenahi rambutku saat dua orang karyawanku berbincang diluar toilet.
"Ibu yang kita tegur tadi siapa sih?" suara lelaki yang bertanya.
"Dia Bu Nadhifa, masa kamu gak tahu?"
Sekarang suara perempuan yang berkata.
"Mana aku tahu, aku kan baru beberapa bulan disini. Kamu kan sudah bekerak disini, sudah sepuluh tahun ya?"
"Hehehe iya, sejak perusahaan ini berdiri malah! Oh iya, Ibu tadi adalah Bu Nadhifa. Istrinya pak Fatan."
"Istri Pak Fatan, Subhanallah. Pak Fatan bener-bener ya, sudah punya istri secantik itu masih tergoda sama mak Lampir jelek itu!" kesal si cowok.
"Tau ah, tapi yang perlu kamu tahu perusahaan ini sebenarnya milik Bu Dhifa. Pak Fatan cuma menjalankan aja!"
"Whatt, Pak Fatan sungguh terlalu. Jadi gimana sekarang nasibnya ya?"
"Aku juga penasaran, ya udah kita lanjut kerja yuk!" ajak si cewek.
Kembali hening, aku keluar dari toilet sambil tersenyum sinis.
" Kejutan sudah menunggumu Mas Fatan!" desisku.
***
Pov Fatan."Mas bangun! Sudah siang!" teriak Irene dari dapur. Aku membuka mata, kulirik jam didinding. Aku bangkit, mengucek mataku sebentar lalu keluar dari kamar."Kok malah keluar sih Mas, mandi gih," suruh Irene kesal."Iya Sayang, cium dulu dong!" Aku mendekati Irene yang sedang sibuk memasak."Ihhh jorok kamu Mas, masih bau jigong main nyosor aja!" elak Irene. Aku tertawa lalu masuk ke kamar kembali."Ada apa sih Ren, dari tadi berisik aja!" Ibunya muncul sambil bersungut-sungut."Biasa Bu, mantu Ibu itu kalau gak dikerasin gak bergerak. Lelet banget jadi kesal!" "Jangan terlalu keras kamu, nanti dia bosan terus balek ke Bini tuanya nyesal kamu!" "Gak akan Bu, tenang aja!" sahut Irene dengan sombongnya."Oh ya hari ini jadi kalian mulai ngantor?" "Jadilah Bu, sudah hampir sebulan kami libur. Untung dari sana gak ada protes, Mas Fatan juga heran kenapa sekretarisnya gak pernah laporan atau minta tandatangan dia. Makanya hari ini kami masuk kantor.""Yah Ibu sendirian dong
Pov Irene."Bu, Ibuuuuu!" teriakku kesal. Kuhempaskan tubuhku ke kursi teras. Ibuku tergopoh-gopoh keluar rumah."Ada apa sih Ren, ngagetin Ibu aja?" tanya Ibuku."Mas Fatan Bu, aku kesal. Ternyata perusahaan itu punya istrinya. Dia cuma menjalankan aja!" "Ya ampun, jadi gimana sekarang. Dia gak dipecat kan?" "Aku yang dipecat Bu, aku malu. Mana karyawannya pada mengejek aku Bu!" "Kita ngobrol didalam aja, disini nanti ada yang dengar!" ajak Ibu. Aku mengikuti Ibuku masuk kedalam. Kami memilih duduk di teras samping, disini udaranya sejuk."Terus gimana tadi kalian, sempat berantem gak. Kamu sempat nyakar mukanya gak?" tanya Ibuku gak sabaran."Boro-boro Bu, yang ada aku diusir. Dia main cantik Bu, gak pakai emosi kayak anaknya Ceu Mumun waktu dilabrak istri muda lakinya itu," jawabku."Yah, kok gak cakar-cakaran sih. Padahal kamu pasti menang. Kamu kan jago kelahi Ren!" sesal Ibuku.Aku tersenyum mendengar perkataan Ibuku. Kalau soal kelahi aku paling jago. Si Zaenab anak Pak RT
Bab 6Pov Nadhifa.Bukan aku tak sayang anak-anakku saat aku memilih menitipkan mereka di rumah Papinya. Justru aku ingin anak-anakku itu bisa membuka mata hati suamiku yang sudah tertutup agar sadar dan kembali pada kami keluarganya.Aku tahu dia telah berbuat kesalahan, tapi bukankah manusia itu memang tempatnya salah dan dosa. Aku juga merasa bersalah, semenjak ada anak-anak aku kurang memperhatikannya. Jika Mas Fatan mau bertobat dan menyadari kesalahannya, aku akan mencoba memaafkannya dan menerima dia kembali.Tanpa si ulet bulu Irene pastinya. Jika dia masih bersama ulet bulu itu takkan pernah kuterima dirinya kembali.Ah sudah pukul enam lewat sedikit, saatnya menjemput anak-anak dirumah Mas Fatan untuk kuantar kesekolah.Soalnya mobil Mas Fatan sudah aku sita, biar dia rasakan pergi ke kantor naik angkot atau ojol. Gajinya di kantor juga sudah kupangkas habis. Dari gaji 50 juta sekarang hanya 15 juta yang kuberi, dan dia menerimanya. Aku tahu dia malas untuk mencari kerja d
"Selamat datang Pak Fatan dam Bu Dhifa. Terima kasih sudah mau hadir di acara kami!" sambut Pak Subroto dan istrinya.Aku mengucapkan selamat dan terima kasih pada pasangan suami istri itu. Selesai berbasa-basi aku memilih mengambil minuman disudut ruangan. Lalu aku memilih duduk di sofa yang ada di dekat dinding yang terbuat dari kaca.Lalu lalang kenderaan terlihat dari sini. Hotel ini memang terletak di tepi jalan yang selalu ramai."Dhifa, angin apa yang membawamu kemari. Mana suamimu, masih indehoy dengan istri barunya kah?" Suara seseorang mengagetkanku."Eh Mas Dera, apa kabar. Wah rupanya kabar Mas Fatan jadi trending topik ya!" jawabku sedikit gugup.Gila, aku gak nyangka sudah banyak yang tau kelakuan Mas Fatan."Dia sering mengunggah beritanya di grup PPM. Foto-fotonya dengan istri barunya juga di pamerkan setiap hari," terang Mas Dera."PPM, Perkumpulan Pengusaha Muda itu. Luar biasa.""Kami juga kaget Fa, yah sebejat-bejatnya kami. Gak akan sampai kebablasan kayak suamim
Bab 8Pov Fatan"Sial, kenapa aku ikut tadi ya. Kan begini jadinya. Malu sekali aku," gerutuku sepanjang perjalanan."Bapak gak apa-apa kan?" tanya supir ojol yang kutumpangi."Eh gak apa Mas, jalan aja terus!" jawabku malu.Aku kembali mengumpat dalam hati. Aku gak nyangka kalau Dera dan teman-temannya juga hadir disana. Ternyata calon menantu Pak Subroto juga anggota grup PPM. Aku baru tahu saat bersalaman dengan anak dan calon menantu Pak Subroto tadi."Ya pinggir disini Pak!" Motor berhenti dan aku langsung turun, kubayar ongkos ojol dan akupun masuk kedalam rumah.Suara teriakan dan tangisan menyambutku didalam.Ya ampun, apalagi ini. Axel sedang menangis dilantai. Dan Mama kulihat sedang berteriak marah pada Irene."Papiiiii," teriak Axel menyambutku.Kupeluk Axel yang masih menangis. "Syukur kamu pulang Tan, lihat ini kelakuan istrimu. Berani sekali dia menjewer telinga Axel. Maminya saja gak pernah sekejam itu pada anak-anaknya!" lapor Ibuku."Terlalu dimanja, makanya anakm
Bab 9"Papi mau kemana?" tanya Alea saat melihatku turun bersama Irene dengan pakaian rapi.Kutoleh anakku, rupanya mereka sedang menonton TV dengan Mamaku."Papi mau ke Mall sama Tante, kalian sa---""Ke Mall, ikut Pi!" teriak Axel."Iya, kami ikut!" sambung Alea."Sudah malam, kalian kan besok sekolah!" jawabku beralasan."Gak perduli, pokoknya ikut!" ucap Alea."Sudah bawa aja Tan, kasihan mereka sudah lama gak jalan-jalan!" Mama ikut berbicara membuat Irene kembali cemberut. Aku mengelus tangannya yang kugenggam mencoba menenangkannya."Ya sudah boleh ikut, tapi jangan minta macam-macam ya!" ingatku. "Asyikkkk, Oma ikut juga yuk!" teriak anak-anakku.Akhirnya kami berlima pergi ke Mall, naik Taksi yang mendadak sempit. Aku duduk di depan bersama Axel, Mama dan Alea duduk di belakang beserta Irene yang makin cemberut.Aku kasihan padanya, sebagai penebus kekecewaanya. Nanti aku suruh dia belanja sepuasnya. Kalau perlu sampai jebol Credit Cardku. Biar saja, toh bukan aku yang me
Bab 10Pov Mama Fatan.Senyummu mengembang saat melihat Irena datang dengan wajah cemberut. Di belakangnya Fatan mengikuti dengan tak bersemangat. "Kamu kenapa, Irena? Mana belanjaan kamu?" tanyaku pura-pura tak tahu. "Belanja apaan, anak Mama duh, bohong aja kerjanya," sahut Irena. Dia melirik kepada Fatan dengan wajah sedih dan kecewa. Puas hatiku melihat wajah Irene yang kecewa dan malu karena barang yang sudah dipilihnya batal dibeli. Tak akan kubiarkan Irena leluasa menikmati hasil kerja keras Fatan dan Dhifa selama ini. Aku bersyukur Dhifa bertindak cepat memblokir kartu kredit yang dipegang Fatan setelah kutelepon tadi. . Kalau tidak uang lebih dari 35 juta melayang dibuat wanita tak tahu diri itu.Heran aku, beli pakaian dan barang lain sampai begitu banyak. Belinya di Butik ternama lagi yang harga satu potong baju aja bisa sampai 5 juta.Gak habis pikir aku, kok bisa baju begitu aja sampai semahal itu. Syukurlah keinginan Irene untuk beli pakaian mahal tak kesampaian."Ma
Bab 11"Alea sudah siap belum?" "Axel, kamu juga sudah siap belum?" Kuketuk pintu kamar cucuku satu per satu, mereka pun keluar kamar sudah berpakaian rapi.Aku mengajak mereka untuk sarapan. Kuambil masing-masing satu mangkok sup untuk kedua cucuku. Mereka makan dengan lahap. Aku pun ikut sarapan dengan mereka berdua. "Lho Mama sama anak-anak kok sudah makan supnya. Itu belum aku kasih garam lho." Suara lembut tapi terdengar cempreng bagiku, siapa lagi kalau bukan suara Irene."Gak papa, ini sudah enak kok!" jawabku ketus."Ihh Mama, lidahnya sudah mati rasa ya. Masakan masih anyep begitu dibilang enak." gerutunya.Lalu dengan pedenya dia menambahkan dua sendok makan garam tanpa mengetes rasanya terlebih dahulu.Aku tersenyum geli melihatnya. Kedua cucuku saling memandang heran, lalu ikut tersenyum melihat Irene.Aku menyuruh Alea dan Axel untuk menghabiskan sup di dalam mangkok masing-masing tanpa sisa. "Biar gak ada barang bukti," bisikku disambut tawa geli kedua cucuku."Wah