Home / Rumah Tangga / Suami Lupa Diri / Fatan yang (tak) pintar

Share

Fatan yang (tak) pintar

Author: Nur Meyda
last update Last Updated: 2023-06-14 17:47:00

Pov Fatan.

Huhhh, aku memukul setir dengan kesal. Berani sekali Dhifa menolak keinginanku. Seharusnya dia bersyukur aku minta ijin padanya. 

Kalau aku menikah diam-diam bagaimana? Aku gak mau berbuat dosa dengan kekasihku. Irene gadis cantik yang bekerja sebagai asisten sekretarisku di kantor.

Dia itu cantik, baik dan juga perhatian denganku. 

Kuakui kalau Nadhifa istriku itu adalah wanita yang cantik dan mandiri. Dia bisa mengurus anak-anak dan aku dengan baik. Tapi aku tak hanya butuh itu, aku butuh perhatian lebih darinya. 

Perhatian selayaknya dari kekasih. Dulu saat masih pacaran dia selalu siap kapanpun aku mengajaknya keluar. Walau hanya sekedar berjalan-jalan di taman. 

Berbincang segala macam hal yang penting hanya ada kami berdua saja. Tapi sekarang dia tak lagi perhatian padaku. Selalu anak-anak yang jadi alasan, padahal kan di rumah sudah ada Mamaku.

Masa meninggalkan anak sebentar saja tak bisa. Aku jadi ingat kejadian tiga minggu lalu. 

"Fa, kamu masih di salon?" tanyaku di telpon.

"Gak Mas, aku sudah pulang. Tadi ke salon hanya mengecek pembukuan aja. Ada apa Mas?" 

"Ehm Mas dapat tiket nonton buat dua orang sore ini. Tapi waktunya mepet kalau Mas jemput kamu lagi. Jadi kamu pergi sendiri aja ya. Nanti kita ketemu di bioskopnya aja!" 

"Oh iya Mas, nanti Dhifa kesana!" janjinya. 

Aku tersenyum senang, aku sudah membayangkan kalau nanti kami akan mengulang lagi masa-masa saat kami pacaran dulu. 

Nonton film berdua, makan popcorn dengan minuman soda. Ah aku jadi tertawa sendiri di kantorku. 

Aku kembali fokus dengan pekerjaanku. Hingga ketika aku tersadar waktu film diputar hampir tiba. 

Bergegas aku keluar kantor dan memacu kenderaanku ke Bioskop yang ada di dalam Mall di kotaku.

Pasti Dhifa sudah tiba di sana, soalnya 10 menit lagi filmnya bakal dimulai.

Setelah memarkirkan mobil aku naik ke lantai 5 dan langsung menuju ke gedung bioskop. 

Aku celingukan mencari sosok Dhifa istriku, tapi tak kutemukan. Dimana dia, apa dia gak jadi datang. 

Dengan kesal aku menghubungi nomornya. 

"Hallo Mas, ada apa?" tanyanya dengan santainya.

"Dhifa, kok malah nanya. Kamu di mana? Filmnya udah mau mulai nih!" teriakku kesal.

"Lho Mas belum buka pesanku di Wa ya Mas. Aku gak bisa datang Mas, Axel agak panas jadi—" 

Kesal kumatikan telponku. Selalu begini, anak selalu jadi alasan. Hanya demam sedikit saja sudah dibawa khawatir. Padahal minum obat pereda panas juga nanti bisa sembuh. Juga ada Mama yang bisa menjaga Axel sebentar. 

Aku mengomel sendiri didepan Bioskop.

"Lho Pak Fatan, sedang apa disini?" tanya seseorang disampingku. 

Aku menoleh ternyata Irene asisten Sekretarisku yang baru.

"Oh saya mau nonton tapi sepertinya batal. Istri saya tidak jadi datang!" jawabku masih dengan rasa kesal.

"Sayang sekali Pak, ehm bagaimana kalau tiketnya buat saya aja Pak. Saya juga mau nonton tapi gak ada temannya!" usul Irene.

Hmm boleh juga, dari pada mubazir tiket ini, pikirku.

Aku pun menyetujui usul Irene dan kami pun akhirnya menonton berdua. Sepanjang film diputar Irene berulang kali berteriak histeris dan refleks memeluk lenganku.

Aku memang membeli tiket film horor, maksudnya agar bisa bermesraan dengan Dhifa karena dia paling takut nonton film begituan.

Tapi ternyata yang memeluk lenganku malah Irene karyawanku. Ada desir-desir halus dihatiku saat dia memeluk lenganku tadi. Irene pun tampaknya tak canggung untuk memelukku. 

Bahkan saat kami keluar dari gedung bioskop tangannya masih memeluk lenganku dengan erat.

Aku tak berusaha mencegahnya, aku menikmati desiran dihatiku. 

"Terimakasih ya Pak, sudah mengijinkan Irene menonton sama Bapak!" ucapnya manja. 

"Hmm ya, ayo kita pulang. Saya antar sampai kerumahmu!" ajakku dan langsung disambut Irene dengan antusias.

Sampai dirumahnya aku tak diperbolehkannya langsung pulang. Dia mengajakku singgah dan orang tuanya juga memaksaku.

Terpaksalah aku mengalah dan mampir sejenak dirumahnya.

Keluarga Irene termasuk kedlam keluarga sederhana. Rumah mereka hanya berupa rumah petak yang mereka sewa perbulannya 500 ribu. Itu kata Bapaknya Irene saat mengobrol denganku.

Hari hampir larut malam saat aku pamit pulang. Irene mengantarku kedalam mobil dan berulangkali mengucapkan terimakasih.

Semenjak itu sikapnya berubah jadi manja dan perhatian padaku di kantor. Aku merasa senang saja karena ada yang memperhatikanku selain Dhifa di rumah. 

Sekretatisku mulai curiga dengan gelagat Irene padaku.

"Pak, apa Bapak gak risih dengan kelakuan Irene di kantor. Nanti bisa jadi gosip lho Pak!" Wita sekretarisku mengingatkanku.

"Gosip apaan Ta, kamu jangan mengada-ada. Irene itu kan memperhatikanku masih dalam batas kewajaran. Dia asisten kamu otomatis asistenku juga. Sudah kamu urus pekerjaan saja gak usah kepo sama urusan saya!" bentakku pada Wita. 

Irene tersenyum manis melihat hal itu dan mendekatiku.

"Pak, sudah siang nih. Kita makan siang yuk!" ajaknya manja. 

"Hey Irene pekerjaanmu belum selesai kan!" sela Wita.

"Pakkkk!" rengek Irene sambil memeluk lenganku.

"Kamu selesaikan pekerjaan dia Ta, saya mau makan siang dengannya!" tandasku.

Wita menggelengkan kepalanya tapi tak kuperdulikan. Aku menarik tangan Irene dan keluar dari kantor.

***

"Fa, besok Mas mau kontrol cabang kita di daerah. Mungkin sekitar tiga hari. Kamu bisa ikut kan?" tanyaku pada Dhifa.

"Kayaknya gak bisa deh Mas, aku harus menemani anak-anak Mas. Mereka ada Fieldtrip dari sekolah. Orangtua harus ikut!" jawab Dhifa.

Ah lagi-lagi Dhifa menolak ajakanku. Padahal aku sudah memesan sebuah resort di daerah. 

Perusahaanku di daerah memang terletak didaerah yang dekat dengan pantai. Sia-sia khayalanku untuk berbulan madu kembali dengan Dhifa istriku.

Dengan kesal aku keluar dan duduk melamun di teras. 

Ting!

Pesan dari Irene masuk ke ponselku.

[Malam Bapak, sedang apa?] 

[Hah aku sedang kesal Ren!] balasku.

Aku mulai ber kamu aku saat bicara dengan Irene sekarang. 

[Kesal kenapa sih Bapak sayang?] 

Irene mengirimkan emot kiss padaku. Hatiku bergejolak kembali. 

Apa aku ajak dia saja untuk menemaniku ke daerah ya, pikirku.

[Ren, siapkan pakaianmu. Besok kita berangkat ke daerah tiga hari!] 

[Beneran nih Bapak sayang? Siap Pak, Irene senang sekali. Irene sayang Bapak. Muachhh!] 

Kembali emot kiss dikirim padaku. Maaf Fa, ini bukan salah Mas. Kamu yang salah menolak ajakan Mas, bisikku dalam hati.

Jadilah tiga hari kemudian aku bersenang-senang bersama Irene. Siang hari dia mendampingiku mengecek perusahaan. Malam hati giliran aku yang mengecek tubuh Irene.

Walau ada sedikit kekecewaan saat pertama mengetahui kalau Irene sudah tak pe****n tapi tak apalah. Lagipula alasan Irene masuk akal, dia kehilangan hartanya itu karena jatuh dari sepeda.

Itu kan kecelakaan saat kecil, gak boleh disalahkan. Iya kan?

Tiga hari terasa sangat singkat, dan yang tak aku sangka adalah usai mengantar Irene pulang kerumahnya aku diminta bertanggung jawab karena sudah membawa anak gadisnya oleh orangtuanya.

"Kamu harus menikahi Irene Fatan, harus!" ucap Ayahnya.

"Tapi Pak, saya sudah punya istri," elakku. 

Aku memang tak berniat untuk menambah istri lagi.

"Tidak bisa, Irene bilang kalian telah tidur bersama. Dan saya tidak mau tahu kamu harus menikahinya. Jika istrimu belum setuju, kalian menikah siri dulu!" 

Aku terdiam mendengar ultimatum Ayahnya Irene. Bagaimana aku bisa meminta ijin pada Dhifa. Aku kalut tapi akhirnya aku nekat meminta ijin pada Dhifa. Lagi pula aku sudah nyaman dengan Irene. Dia lebih perhatian padaku.

Seperti dugaanku, Dhifa menolak. Aku meninggalkannya karena malas menjawab pertanyaanya. 

***

"Assalamualaikum," salamku.

"Waalaikumsalam, eh Nak Fatan mari masuk!" ajak Ayah Irene ramah.

"Bagaimana Nak Fatan, kapan kamu akan menikahi anak kami?" tanya Ibunya.

"Secepatnya Bu, tapi saya akan menikahinya secara siri dulu," jawabku.

"Gak apa Mas, tapi aku minta Mas kawinnya rumah seperti rumah Mas yang sekarang ya!" sahut Irene mengejutkanku.

See u next part.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Retno w
sakit jiwa....
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si istri selalu punya alasan buat menolak keinginan suami dan suami punya celah buat selingkuh.. nikmati ajalah kekacauan yg kakian bikin berdua. ujung2nya cerai dan menyesal. apalagi yg bisa dihadirkan penulis dlm ceritanya klu bukan itu2 aja.
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
Rasain kau fatan ,sekeluarga seperti nya punya niat terselubung .....habis kauuuu ,Krn sudah Zolim dngn anak istri .
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suami Lupa Diri   Bed Rest

    Bab 86POV DhifaSatu Minggu kemudian, setelah dirawat dengan intensif, aku pun diperbolehkan pulang ke rumah. Tentu saja dengan berbagai persyaratan dari Dokter Boy yang sangat memperhatikan kesehatan pasiennya. Aku hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Walau di dalam hati aku masih bingung dengan perusahaan milikku. Siapa yang akan menggantikan diriku selama aku bed rest? Aku juga belum tahu sampai kapan bisa beraktivitas dengan normal kembali. Aku mendesah resah, kehamilan kali ini benar-benar menguras pikiran dan perasaanku. Sangat berbeda dengan saat hamil Alea juga Axel dahulu. Aku masih bisa beraktivitas seperti biasa. Mungkin karena sekarang aku hamil di saat usai sudah lewat tiga kukuh tahu, jadi kondisi dan ketahanan tubuhku juga menurun. "Sayang, kita makan dahulu, ya!" ujar Mama Riko yang baru saja masuk ke kamar dengan membawa satu nampan berisi hidangan makan untukku."Aku belum lapar, Mas," jawabku malas. Memang perutku masih terasa kenyang, belum lapar s

  • Suami Lupa Diri   Tidak Baik-baik Saja

    Bab 85POV RikoTiiinnn!"Astaghfirullah, maaf-maaf," ucapku penuh penyesalan. "Hati-hati, Masih untung saya bisa ngerem tadi!" balas pengemudi motor yang hampir saja aku tabrak. Pengemudi itu pun meninggalkan diriku yang masih termangu di balik kemudi. Mungkin sekarang wajahku sudah seputih mayat saking kagetnya. Aku sedang tidak fokus karena ingin cepat sampai ke rumah sakit. Begitu mendengar kabar yang disampaikan oleh Alea tadi membuat aku terburu-buru mengemudikan mobil hingga hampir saja mencelakai orang lain. Sungguh aku sangat khawatir dengan keadaan Dhifa. Entah apa penyebabnya sehingga dia bisa pingsan. Mana sedang sendirian di rumah, Bik Ijah, sang pembantu sedang pulang ke kampung. Jadi semua urusan rumah tangga dipegang oleh Dhifa. Hanya untuk mencuci dan membersihkan rumah, dia memakai jasa pembantu pengganti yang hanya bekerja dari pagi sampai pukul 4 sore saja. "Ya ampun, kok, malah ngelamun begini, sih. Aku harus secepatnya sampai ke rumah sakit." Begitu tersadar

  • Suami Lupa Diri   Kabar bahagia 2

    Bab 84 "Apa? Mbak Dhifa hamil, Mas. Alhamdulillah," ucap Rini, adiknya Riko bahagia. "Iya, Rin. Ini baru pulang dari dokter kandungan. Alhamdulillah, Mbak kamu tengah hamil sekitar empat minggu," jawab Riko di ujung telepon. Dia melirik Dhifa yang tengah tertidur setelah muntah-muntah saat habis salat Subuh tadi. "Aku senang mendengarnya, Mas. Mama nanti siang kami ke sana, ya," ujar Rini. Mamanya Riko yang tengah menonton televisi pun ikut bahagia mendengar berita yang disampaikan oleh Riko. "Alhamdulillah, ya Allah. Mas, anak sulung kita akhirnya akan punya keturunan. Semoga kamu bahagia di sana, ya," bisik ya lirih. Dia jadi teringat akan almarhum suaminya yang sudah meninggal dunia saat kedua anaknya masih kecil-kecil. Mamanya Riko mengusap air mata yang keluar begitu saja saking bahagianya dia. Selesai berbincang dengan Riko, Rini pun duduk di samping mamanya. "Nanti kita ke rumah Mbak Dhifa, Ma. Katanya hari ini Mbak Dhifa libur," ucap Rini. "Iya, Rin. Aduh, Mama

  • Suami Lupa Diri   Kabar Bahagia

    Bab 83Riko berlari kencang ke dalam rumah sakit, dia baru saja tiba setelah mendapat telepon dari Wita. Sekretaris istrinya mengatakan kalau Dhifa pingsan dan sekarang sudah berada di ruang IGD rumah sakit. Riko mengatur napasnya setelah sampai di depan ruang IGD. Wita yang melihat kehadirannya Oun bergegas menemui suami bosnya itu. "Pak Riko, Ibu masih ada di dalam. Sedang diperiksa sama dokter," beritahunya sebelum Riko bertanya. "Kenapa dengan istri saya, Wit. Kenapa dia bisa pingsan?" tanya Riko. "Saya juga gak tahu, Pak. Tadi kami habis rapat, Bu Dhifa mengeluh kalau kepalanya pusing. Tiba-tiba pingsan begitu saja."Riko masih belum puas dan ingin bertanya lagi pada Wita. Namun, pintu ruangan IGD terbuka lalu keluarlah seorang suster. "Keluarganya Ibu Nadhifa!" serunya dengan lantang. "Saya Suster. Saya suaminya," jawab Riko kemudian mendekati suster tersebut. "Bapak suaminya Bu Nadhifa? Mari ikut saya menemui dokter di dalam!" Riko pun mengangguk lalu mengikuti suster t

  • Suami Lupa Diri   Dhifa Pingsan

    Bab 82Riko dan Dhifa baru saja kembali dari makan malam di luar. Saat itu sudah hampir larut malam. Setelah makan malam, sebelum kembali, Riko mengajak Dhifa untuk bersantai di taman yang masih ramai meskipun hari telah malam. Mereka berkeliling area taman sambil sesekali mampir di lapak pedagang kaki lima yang menjajakan aneka jenis makanan dan camilan yang enak. Tak terasa sudah hampir dua jam mereka berada di sana. "Enak juga bisa bersantai di tempat seperti ini, ya, Mas?" Dhifa melirik suaminya yang tengah duduk bersandar sambil menatap hamparan bintang di langit malam."Iya, Fa. Rasanya, Mas gak ingin malam ini cepat berlalu."Dhifa tersenyum mendengar jawaban Riko, dia melihat waktu di ponsel pintarnya. Dhifa pun berdiri lalu mengajak Riko untuk pulang. "Sayangnya, kita harus pulang sekarang, Mas. Sudah hampir tengah malam, taman juga sudah sepi."Riko menoleh ke sekitarnya, benar saja. Taman yang tadinya ramai dengan pengunjung, kini sudah mulai sepi. Hanya tinggal beberapa

  • Suami Lupa Diri   Mantan Madu Yang Baik

    Bab 81"Jadi dia nekat datang ke sini tadi?" Riko bertanya dengan heran. Heran dengan keberanian Vanessa mendatangi kediamannya. Riko baru saja pulang dari kantor, Dhifa pun langsung menceritakan tentang kedatangan Vanessa siang tadi. "Iya, Mas. Dan kamu tahu gak, dia sekarang sudah merubah penampilannya. Vanessa sekarang memakai hijab dan tampak anggun sekali, meskipun kelihatannya dia tidak nyaman dengan pakaiannya itu," beritahu Dhifa. "Memakai hijab? Tapi waktu malam itu pakaiannya sangat seksi dan terbuka. Aneh," ujar Riko makin heran. "Entahlah, Mas. Biarkan saja dulu, kita lihat apa yang akan dilakukan Vanessa Selan itu tanya. Lebih baik kamu sekarang mandi, terus kita makan malam di luar. Soalnya, Bik Ijah belum gak ada. Aku juga lagi malas masak.""Malas masak? Tumben?" Riko menggoda istrinya. Biasanya Dhifa akan memasak walaupun baru pulang dari kantor. "Tubuhku rasanya lemas dan tak bertenaga, Mas. Sangat lelah," jawab Dhifa. "Hm, wajah kamu juga sedikit pucat. Apa k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status