Bab 84 "Apa? Mbak Dhifa hamil, Mas. Alhamdulillah," ucap Rini, adiknya Riko bahagia. "Iya, Rin. Ini baru pulang dari dokter kandungan. Alhamdulillah, Mbak kamu tengah hamil sekitar empat minggu," jawab Riko di ujung telepon. Dia melirik Dhifa yang tengah tertidur setelah muntah-muntah saat habis salat Subuh tadi. "Aku senang mendengarnya, Mas. Mama nanti siang kami ke sana, ya," ujar Rini. Mamanya Riko yang tengah menonton televisi pun ikut bahagia mendengar berita yang disampaikan oleh Riko. "Alhamdulillah, ya Allah. Mas, anak sulung kita akhirnya akan punya keturunan. Semoga kamu bahagia di sana, ya," bisik ya lirih. Dia jadi teringat akan almarhum suaminya yang sudah meninggal dunia saat kedua anaknya masih kecil-kecil. Mamanya Riko mengusap air mata yang keluar begitu saja saking bahagianya dia. Selesai berbincang dengan Riko, Rini pun duduk di samping mamanya. "Nanti kita ke rumah Mbak Dhifa, Ma. Katanya hari ini Mbak Dhifa libur," ucap Rini. "Iya, Rin. Aduh, Mama
Bab 85POV RikoTiiinnn!"Astaghfirullah, maaf-maaf," ucapku penuh penyesalan. "Hati-hati, Masih untung saya bisa ngerem tadi!" balas pengemudi motor yang hampir saja aku tabrak. Pengemudi itu pun meninggalkan diriku yang masih termangu di balik kemudi. Mungkin sekarang wajahku sudah seputih mayat saking kagetnya. Aku sedang tidak fokus karena ingin cepat sampai ke rumah sakit. Begitu mendengar kabar yang disampaikan oleh Alea tadi membuat aku terburu-buru mengemudikan mobil hingga hampir saja mencelakai orang lain. Sungguh aku sangat khawatir dengan keadaan Dhifa. Entah apa penyebabnya sehingga dia bisa pingsan. Mana sedang sendirian di rumah, Bik Ijah, sang pembantu sedang pulang ke kampung. Jadi semua urusan rumah tangga dipegang oleh Dhifa. Hanya untuk mencuci dan membersihkan rumah, dia memakai jasa pembantu pengganti yang hanya bekerja dari pagi sampai pukul 4 sore saja. "Ya ampun, kok, malah ngelamun begini, sih. Aku harus secepatnya sampai ke rumah sakit." Begitu tersadar
Bab 86POV DhifaSatu Minggu kemudian, setelah dirawat dengan intensif, aku pun diperbolehkan pulang ke rumah. Tentu saja dengan berbagai persyaratan dari Dokter Boy yang sangat memperhatikan kesehatan pasiennya. Aku hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Walau di dalam hati aku masih bingung dengan perusahaan milikku. Siapa yang akan menggantikan diriku selama aku bed rest? Aku juga belum tahu sampai kapan bisa beraktivitas dengan normal kembali. Aku mendesah resah, kehamilan kali ini benar-benar menguras pikiran dan perasaanku. Sangat berbeda dengan saat hamil Alea juga Axel dahulu. Aku masih bisa beraktivitas seperti biasa. Mungkin karena sekarang aku hamil di saat usai sudah lewat tiga kukuh tahu, jadi kondisi dan ketahanan tubuhku juga menurun. "Sayang, kita makan dahulu, ya!" ujar Mama Riko yang baru saja masuk ke kamar dengan membawa satu nampan berisi hidangan makan untukku."Aku belum lapar, Mas," jawabku malas. Memang perutku masih terasa kenyang, belum lapar s
"Mami, boleh tambah?" tanya Axel seraya mengangsurkan piringnya yang sudah kosong ke depanku. "Boleh dong Sayang," jawabku senang.Aku mengambilkan Axel sesendok lagi nasi goreng kesukaannya. Si bungsu ini suka sekali dengan nasi goreng."Papi mana sih, ke toilet aja lama banget. Nanti aku telat lho!" keluh Alea. Aku pun melihat ke kamarku di mana Mas Fatan sudah masuk sejak tadi."Bentar, biar Mami lihat ke dalam!" "Biar Mama aja Fa, kamu siapin anak-anak biar gak telat!" usul Mama mertuaku. "Iya, Ma!" jawabku singkat.Mama berlalu dan aku membereskan sisa makanannya di meja. "Ayo anak-anak buruan, Papi bentar lagi datang!" buruku pada anak-anak.Alea dan Axel bergegas menyelesaikan sarapannya, pakai sepatu dan menunggu Papinya datang."Anak-anak Papi sudah siap!" tanya suamiku dengan semangat."Siap Pi!" jawab anak-anak kompak."Oke, kita let's go!" Anak-anak menyalamiku dan Mama bergantian."Hati-hati ya Pi!" pesanku setengah berteriak.Mobil yang membawa keluarga kecilku suda
Pov Fatan.Huhhh, aku memukul setir dengan kesal. Berani sekali Dhifa menolak keinginanku. Seharusnya dia bersyukur aku minta ijin padanya. Kalau aku menikah diam-diam bagaimana? Aku gak mau berbuat dosa dengan kekasihku. Irene gadis cantik yang bekerja sebagai asisten sekretarisku di kantor.Dia itu cantik, baik dan juga perhatian denganku. Kuakui kalau Nadhifa istriku itu adalah wanita yang cantik dan mandiri. Dia bisa mengurus anak-anak dan aku dengan baik. Tapi aku tak hanya butuh itu, aku butuh perhatian lebih darinya. Perhatian selayaknya dari kekasih. Dulu saat masih pacaran dia selalu siap kapanpun aku mengajaknya keluar. Walau hanya sekedar berjalan-jalan di taman. Berbincang segala macam hal yang penting hanya ada kami berdua saja. Tapi sekarang dia tak lagi perhatian padaku. Selalu anak-anak yang jadi alasan, padahal kan di rumah sudah ada Mamaku.Masa meninggalkan anak sebentar saja tak bisa. Aku jadi ingat kejadian tiga minggu lalu. "Fa, kamu masih di salon?" tanyaku
Pov NadhifaSudah seminggu Mas Fatan tak pulang ke rumah. Sejak malam itu aku kehilangan jejaknya. Di kantor juga dia tak ada, kata Wita sekretarisnya Mas Fatan pergi ke daerah urusan kantor. Kucoba cek ke daerah melalui orang kepercayaanku, namun keberadaan Mas Fatan tak ada di sana juga. "Kemana kamu Mas, apa kamu jadi menikah dengan perempuan itu dan tengah berbulan madu sekarang!" desisku geram. Kuhubungi nomor seseorang di ponselku."Assalamualaikum Ibu," salam Wita diseberang sana."Waalaikumsalam, Wita kamu tahu siapa perempuan yang dekat dengan Bapak akhir-akhir ini?" tanyaku langsung."Ehm maksud Ibu gimana?" jawab Wita dengan gugup. "Kamu tahu Wit, Mas Fatan minta ijin ingin menikah lagi. Kira-kira kamu tahu dengan siapa?" "Astaghfirullah, beneran Bu. Berani sekali dia. Saya tahu Bu. Namanya Irene, dia asisten saya yang baru. Dia baru dua bulan ini bekerja disini!" jawab Wita dengan sedikit emosi.Aku tahu kalau dia juga pasti emosi mendengarnya. "Kita ketemuan ya Wit,
Pov Fatan."Mas bangun! Sudah siang!" teriak Irene dari dapur. Aku membuka mata, kulirik jam didinding. Aku bangkit, mengucek mataku sebentar lalu keluar dari kamar."Kok malah keluar sih Mas, mandi gih," suruh Irene kesal."Iya Sayang, cium dulu dong!" Aku mendekati Irene yang sedang sibuk memasak."Ihhh jorok kamu Mas, masih bau jigong main nyosor aja!" elak Irene. Aku tertawa lalu masuk ke kamar kembali."Ada apa sih Ren, dari tadi berisik aja!" Ibunya muncul sambil bersungut-sungut."Biasa Bu, mantu Ibu itu kalau gak dikerasin gak bergerak. Lelet banget jadi kesal!" "Jangan terlalu keras kamu, nanti dia bosan terus balek ke Bini tuanya nyesal kamu!" "Gak akan Bu, tenang aja!" sahut Irene dengan sombongnya."Oh ya hari ini jadi kalian mulai ngantor?" "Jadilah Bu, sudah hampir sebulan kami libur. Untung dari sana gak ada protes, Mas Fatan juga heran kenapa sekretarisnya gak pernah laporan atau minta tandatangan dia. Makanya hari ini kami masuk kantor.""Yah Ibu sendirian dong
Pov Irene."Bu, Ibuuuuu!" teriakku kesal. Kuhempaskan tubuhku ke kursi teras. Ibuku tergopoh-gopoh keluar rumah."Ada apa sih Ren, ngagetin Ibu aja?" tanya Ibuku."Mas Fatan Bu, aku kesal. Ternyata perusahaan itu punya istrinya. Dia cuma menjalankan aja!" "Ya ampun, jadi gimana sekarang. Dia gak dipecat kan?" "Aku yang dipecat Bu, aku malu. Mana karyawannya pada mengejek aku Bu!" "Kita ngobrol didalam aja, disini nanti ada yang dengar!" ajak Ibu. Aku mengikuti Ibuku masuk kedalam. Kami memilih duduk di teras samping, disini udaranya sejuk."Terus gimana tadi kalian, sempat berantem gak. Kamu sempat nyakar mukanya gak?" tanya Ibuku gak sabaran."Boro-boro Bu, yang ada aku diusir. Dia main cantik Bu, gak pakai emosi kayak anaknya Ceu Mumun waktu dilabrak istri muda lakinya itu," jawabku."Yah, kok gak cakar-cakaran sih. Padahal kamu pasti menang. Kamu kan jago kelahi Ren!" sesal Ibuku.Aku tersenyum mendengar perkataan Ibuku. Kalau soal kelahi aku paling jago. Si Zaenab anak Pak RT