Share

Posisiku Terancam

 

Pov Fatan.

 

"Mas bangun! Sudah siang!" teriak Irene dari dapur. 

 

Aku membuka mata, kulirik jam didinding. Aku bangkit, mengucek mataku sebentar lalu keluar dari kamar.

 

"Kok malah keluar sih Mas, mandi gih," suruh Irene kesal.

 

"Iya Sayang, cium dulu dong!" Aku mendekati Irene yang sedang sibuk memasak.

 

"Ihhh jorok kamu Mas, masih bau jigong main nyosor aja!" elak Irene. 

 

Aku tertawa lalu masuk ke kamar kembali.

 

"Ada apa sih Ren, dari tadi berisik aja!" 

 

Ibunya muncul sambil bersungut-sungut.

 

"Biasa Bu, mantu Ibu itu kalau gak dikerasin gak bergerak. Lelet banget jadi kesal!" 

 

"Jangan terlalu keras kamu, nanti dia bosan terus balek ke Bini tuanya nyesal kamu!" 

 

"Gak akan Bu, tenang aja!" sahut Irene dengan sombongnya.

 

"Oh ya hari ini jadi kalian mulai ngantor?" 

 

"Jadilah Bu, sudah hampir sebulan kami libur. Untung dari sana gak ada protes, Mas Fatan juga heran kenapa sekretarisnya gak pernah laporan atau minta tandatangan dia. Makanya hari ini kami masuk kantor."

 

"Yah Ibu sendirian dong di rumah sebesar ini!" keluh Ibunya. 

 

"Ayah sih sudah dibilang gak usah narik lagi masih aja bandel. Apa masih kurang uang yang diberi Mas Fatan, masih aja ngojek!" omel Irene.

 

"Biar ajalah Ren, dari pada dia bengong gak ada kerjaan. Makanya kamu bilang sama Fatan kasih modal Ayah biar kami buka Toko sembako didepan komplek sana!" 

 

"Nanti deh Bu, kasihan Mas Fatan. Biaya nikah sama beli rumah ini sudah berapa Bu? Nanti Mas Fatan mau belikan motor lagi buat Mas Diki!" 

 

"Diki minta motor? Kapan dia ngomongnya?" tanya Ibunya heran.

 

"Kemarin waktu kami pulang dari Bali," 

 

"Gerak cepat juga si Diki minta jatah sebagai ipar. Hehehe," Ibu Irene terkekeh geli.

 

"Ssstt Mas Fatan keluar Bu!" 

 

Irene mengingatkan Ibunya, padahal aku sudah dengar semua obrolan mereka tadi.

 

Aku keluar seolah tak tau apa-apa.

 

"Mas sarapan ya, aku siap-siap dulu!" kata Irene.

 

Aku mengangguk, mengambil piring kosong dan mengisinya dengan nasi dan lauknya. 

 

Ah biasanya Dhifa yang melayani aku. 

 

***

 

Aku tiba di kantor bersama dengan Irene. Sudah hampir sebulan aku tak masuk kerja, biasa lah pengantin baru, bulan madu dengan Irene tersayang. 

 

Saat aku tiba, Om Faisal juga tiba. Kami memang janjian ketemu hari ini, Om Faisal akan memberikan surat rumah yang baru kubeli yang sekarang kutempati bersama Irene dan orang tuanya.

 

"Selamat pagi Om!" sapaku ramah.

 

Aku menyalami beliau diikuti oleh Irene.

 

"Pagi, ayo kita masuk Om gak bisa lama!" jawab Om tanpa menerima uluran tangan Irene.

 

Irene cemberut memandang Om Faisal yang sudah berlalu dari hadapannya.

 

"Sudah gak apa-apa, jangan diambil hati!" bujukku.

 

Kami pun menyusul Om Faisal ke dalam. Irene memeluk lenganku dengan erat. Para karyawan menyapaku tetapi aku merasa pandangan mata mereka lain. 

 

Ah mungkin mereka iri melihat kemesraan kami, pikirku.

 

Aku memasuki ruanganku yang tampak berbeda. Kemana mejaku, kulihat sekeliling ternyata mejaku ada disudut dekat jendela.

 

"Wita, apa-apaan ini? Kenapa mejaku berpindah tempat. Dan lelaki itu siapa? Berani sekali dia menempati mejanya Irene?" tanyaku galak.

 

Wita hanya menatapku sejenak lalu menoleh kearah pintu yang terbuka.

 

"Ada apa ini berisik sekali sampai terdengar ke depan?" 

 

Dhifa bertanya sambil berjalan menuju mejaku eh meja yang menempati tempat mejaku sebelumnya.

 

"Dhifa, sedang apa kamu di sini?" tanyaku marah.

 

"Aku? Mas tanya aku ngapain di sini?" tanyanya lugu.

 

"Yah dan apa-apaan ini. Kenapa mejaku dipindah?" teriakku geram.

 

"Aku di sini mengurus perusahaanku. Mulai sekarang aku yang mengurus semuanya!" ucap Dhifa dengan tegas.

 

"Apa! Berani sekali istri tua yang bodoh ini bicara seperti itu. Usir saja dia Mas!" 

 

Irene ikut bicara dengan sombongnya. Kulihat Dhifa memandang Irene seperti melihat najis. 

 

"Kamu siapa, dan sebagai apa kamu berada disini?" tanya Dhifa sinis.

 

"Aku Irene, istri Mas Fatan!" jawab Irene dengan angkuh.

 

"Ngapain kamu kerja bawa-bawa istri Mas?" tanya Dhifa dengan lembut.

 

Aku kaget saat Dhifa membenarkan letak dasiku. Irene melotot kesal menatap kami berdua.

 

Dhifa tersenyum, lalu melihat setelan pakaian yang aku pakai. 

 

"Kemeja biru, dasi hijau? Sejak kapan kamu jadi punya selera kampungan begini Mas?" 

 

Dhifa bicara sambil geleng kepala. Irene menghentak kakinya kesal lalu menarikku dengan kasar. 

 

Dengan berani dia berdiri di hadapan Dhifa. 

 

"Kau perempuan gak tau malu, sudah ditinggal suami masih berani datang ke kantornya. Pergi kamu sebelum aku panggil Sekuriti!" teriak Irene. 

 

Aku menarik Irene agar menjauhi Dhifa. Bisa gawat kalau sampai mereka bergumul di kantorku.

 

"Panggil aja!" balas Dhifa cuek. 

 

Dhifa duduk dikursinya dengan anggun. 

 

"Mas panggil Sekuriti cepat, kalau gak aku ngambek nih!" ancam Irene. 

 

Aku dengan cepat memanggil Sekuriti, bisa gawat kalau Irene marah. Bisa disuruh tidur di teras aku nanti. 

 

Kulihat Dhifa duduk dengan santainya, kedua tangannya bersedekap sambil memandangku dengan sinis. 

 

Sekretarisku dan lelaki itu hanya melihat kejadian ini dalam diam.

 

Tak lama datang dua orang Sekuriti yang langsung memegang kedua tangan Irene.

 

"Eh apa-apaan kalian. Berani sekali kalian memegang tangan istriku!" ucapku kalap. 

 

Kudorong kedua sekuriti itu menjauh. Namun mereka tak melepaskan Irene.

 

"Cukup, sudah cukup aku melihat tingkah kalian. Bawa perempuan gila ini keluar Pak!" perintah Dhifa.

 

"Siap Bu!" jawab mereka kompak.

 

"Hei yang Bos disini aku, kalian lupa?" ingatku garang.

 

"Dan pemilik perusahaan ini aku! Aku, kalau kamu lupa Mas!" 

 

Dingin suara Dhifa menyadarkanku. Oh iya, perusahaan ini miliknya, Papanya yang memberikan padanya sepuluh tahun lalu.

 

Karena Dhifa ingin jadi Ibu rumah tangga saja jadi aku yang memimpin perusahaan ini. Ah sial kenapa aku bisa lupa! rutukku.

 

"Mas, kok diam saja. Tolong lepasin aku dong!" rengekan Irene semakin membuatku pusing.

 

"Kamu sudah dipecat karena sudah absen selama sebulan!" 

 

Dhifa menunjuk wajah Irene dengan hina. 

 

"Gak, gak mungkin. Mas ngomong dong!" teriak Irene histeris. 

 

Kupandang Irene yang masih dipegangi oleh Sekuriti.

 

"Pulanglah! Kamu di rumah saja. Biar Mas yang bekerja!" ucapku lembut pada Irene.

 

Dhifa melengos lalu meninggalkan ruangan ini.

 

"Oh ya, aku tunggu kamu di ruang rapat sekarang Mas. Om Faisal gak punya banyak waktu!" ucapnya tanpa melihatku.

 

Dia sudah berlalu, aku mendekati Irene.

 

"Lepasin dia Pak, saya akan mengantarkannya ke depan!" ucapku.

 

Sekuriti melepaskan Irene, kugandeng dia dan kubawa keluar dari kantor.

 

Tak kupedulikan pandangan mata dan cibiran yang diberikan para karyawan.

 

"Kasihan ya, dikira dapat Bos gak taunya jadi jongos!" ucap seseorang.

 

"Laki gak bersyukur ya begitu, dikasih enak malah ngelunjak. Najis cihhh!" 

 

"Perempuan edan, pelakor luh!" 

 

Kutahan Irene yang berusaha melepaskan diri dariku. Aku tau dia pasti akan melabrak mereka. Aku gak mau dia semakin bertambah malu.

 

Sampai di parkiran, kupesankan ojol untuk Irene. 

 

"Kamu pulang Ren, biar Mas yang mengurus masalah ini!" 

 

"Apa yang dikatakan perempuan tadi benar Mas. Ini bukan perusahaan milik Mas?" tanya Irene dengan terisak. 

 

Wajahnya merah padam menahan marah.

 

"Iya Ren, aku hanya menjalankan usaha yang diberikan Papanya pada Dhifa," jawabku.

 

"Terus aku gimana Mas, huhuuuu!" tangis Irene semakin menjadi.

 

Kupeluk dia, dia semakin histeris.

 

"Sudah Ren, malu dilihat orang. Kamu tenang aja. Mas pasti akan tanggung jawab sama kamu kok. Lagi pula kamu sudah punya rumah kan, mobil juga masih dipesan. Paling minggu depan sudah datang."

 

Irene terdiam lalu tersenyum manis padaku.

 

Ojol yang kupesan sudah datang, Irene pulang dengan senyuman manisnya. Aku masuk kembali ke kantor. 

 

Awas kamu Fa, kamu berhadapan dengan orang yang tidak lemah. 

 

***

 

"Duduk Tan!" 

 

Om Faisal menunjuk kursi diseberang Dhifa. 

 

"Ini berkas rumah kamu!"

 

Kuterima berkas yang disodorkan Om Faisal dengan tersenyum. Tergesa kubuka dan senyumku menghilang begitu membaca isinya.

 

"Ini apa Om? Kenapa surat tanah dan rumah atas nama Dhifa dan anak-anak?" tanyaku heran.

 

"Kamu membeli rumah itu memakai uang perusahaan kan, pemilik perusahaan ingin rumah itu atas namanya dan anak-anak. Saya tidak bisa menolak kan?" 

 

Aku menatap Om Faisal tak percaya. 

 

Dhifa tersenyum sinis menatapku.

 

"Tapi Om, saya sudah bekerja sekian lama. Masa saya tidak ada hak sedikit pun diperusahaan ini?" protesku.

 

Om Faisal memandang Dhifa, lalu memberi kode agar Dhifa bicara.

 

"Mas Fatan sayang, bukannya selama ini Mas mendapat gaji. 50 juta cash untuk Mas. Uangnya kemana aja. Foya-foya dengan teman-teman Mas kan?" 

 

Ucapan Dhifa serasa menohokku. 

 

"Mas tinggal denganku dan anak-anak di rumah mewah siapa yang beli? Papaku. Biaya makan , sekolah, pakaian, dan berobat Papanya Mas dulu siapa yang bayar. Uangku Mas, uangmu tidak pernah aku nikmati sepeser pun. Sekarang kamu mau menuntut hak apalagi?" 

 

Lagi-lagi ucapan Dhifa membuat aku terdiam.

 

Yah selama ini memang aku tak pernah memberi nafkah padanya. Buat apa kupikir, toh uang dia sudah banyak. Usaha salonnya juga maju.

 

"Jadi kamu mulai main hitung-hitungan Fa?" tanyaku mengejek.

 

"Kamu yang duluan Mas, oh ya aku mau rumah yang baru dibeli dikosongkan. Aku gak mau orang yang gak berhak tinggal di sana!" ucap Dhifa mengejutkanku.

 

"Tapi-tapi gak bisa begitu Fa. Aku juga punya hak tinggal di sana. Aku kan Papinya anak-anak dan masih suamimu!" ucapku pelan. 

 

Aku gak mungkin bicara dengan emosi, bisa jadi gembel aku nanti.

 

"Okey, kamu bisa tinggal di sana dengan istri barumu. Tapi kamu harus bawa anak-anak dan Mama tinggal di sana. Dan jangan ada orang lain lagi di sana, paham!" 

 

"Lho kok malah begitu, gak bisa!" tolakku.

 

"Ya sudah kalau begitu istrimu harus keluar dari rumah itu. Karena aku dan anak-anak yang akan tinggal di situ!" 

 

Aku kaget dengan pilihan yang diberikan Dhifa. Setelah kutimbang-timbang lebih baik anak-anak dan Mamaku saja yang tinggal di sana bersama Irene. 

 

Biar Dhifa kesepian tinggal sendiri dirumahnya. Hahaha, cerdaskan aku. Dasar perempuan bodoh, rutukku dalam hati.

 

 

 

See u next part.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status