Share

Semuanya Kacau

Author: Nur Meyda
last update Last Updated: 2023-06-14 18:00:54

 

Pov Irene.

 

"Bu, Ibuuuuu!" teriakku kesal. 

 

Kuhempaskan tubuhku ke kursi teras. Ibuku tergopoh-gopoh keluar rumah.

 

"Ada apa sih Ren, ngagetin Ibu aja?" tanya Ibuku.

 

"Mas Fatan Bu, aku kesal. Ternyata perusahaan itu punya istrinya. Dia cuma menjalankan aja!" 

 

"Ya ampun, jadi gimana sekarang. Dia gak dipecat kan?" 

 

"Aku yang dipecat Bu, aku malu. Mana karyawannya pada mengejek aku Bu!" 

 

"Kita ngobrol didalam aja, disini nanti ada yang dengar!" ajak Ibu. 

 

Aku mengikuti Ibuku masuk kedalam. Kami memilih duduk di teras samping, disini udaranya sejuk.

 

"Terus gimana tadi kalian, sempat berantem gak. Kamu sempat nyakar mukanya gak?" tanya Ibuku gak sabaran.

 

"Boro-boro Bu, yang ada aku diusir. Dia main cantik Bu, gak pakai emosi kayak anaknya Ceu Mumun waktu dilabrak istri muda lakinya itu," jawabku.

 

"Yah, kok gak cakar-cakaran sih. Padahal kamu pasti menang. Kamu kan jago kelahi Ren!" sesal Ibuku.

 

Aku tersenyum mendengar perkataan Ibuku. Kalau soal kelahi aku paling jago. Si Zaenab anak Pak RT aja habis wajahnya aku acak-acak.

 

Masalahnya dia labrak aku karena jalan sama Bang Roni pacarnya. Lah dia gak tau aja kalau Bang Roni itu yang ngejar-ngejar aku. 

 

"Assalamualaikum," salam Mas Fatan.

 

Aku dan Ibuku gak sadar kalau Mas Fatan sudah pulang. Kok gak kedengaran suara mobilnya ya. 

 

"Waalaikumsalam," jawabku dan Ibu bersamaaan.

 

Mas Fatan masuk kerumah, wajahnya kelihatan sangat kusut. Kudekati dia yang sudah duduk di sofa yang ada di ruang tengah. 

 

"Kok sudah pulang Mas, apa Mas diusir juga sama Mbak Dhifa?" tanyaku lembut.

 

Padahal dalam hati aku mau muntah menyebut nama itu. Huekkkk, mual aku. 

 

"Gak Ren, Mas aja yang mau pulang. Mas pusing!" jawabnya.

 

Kulongokkan kepalaku ke depan. Kosong, kemana mobilnya.

 

"Mas pulang naik apa? Mobilnya mana?" 

 

"Itu mobil Dhifa, Mas cuma makai aja," jawabnya singkat.

 

"MasyaAllah Mas, tega sekali Mbak Dhifa. Hikss kalau kehadiranku membuat Mas jadi susah aku rela kok Mas kita berpisah!" 

 

Aktingku berhasil membuat Mas Fatan simpati. Direngkuhnya aku dalam pelukannya. 

 

"Kamu gak salah kok Sayang, Mas nyaman sama kamu. Kamu lebih perhatian sama Mas dan selalu ada saat Mas butuh ditemani." 

 

Ibu yang berdiri dibelakang Mas Fatan mengacungkan jempol padaku. 

 

"Terus sekarang gimana Mas? Mas masih kerja disana kan?" 

 

"Kalau nurutin hati sih Mas mau cabut aja dari sana Ren. Malas Mas kerja jadi bawahan si Dhifa." 

 

"Jangan Mas, kerja aja terus disana. Mas bikin kacau kantornya! Biar dia tahu Mas gak bisa dianggap sepele!" hasutku.

 

"Oh iya, ada satu lagi yang Mas mau kasih tahu. Mulai besok anak-anak sama Mama akan tinggal disini. Dan, ehm itu Ayah sama Ibu gak bisa tinggal disini lagi!" 

 

"Apa Mas, kenapa bisa begitu. Ini kan rumahku eh maksudnya rumah Mas. Gak bisa seenaknya mengusir orangtuaku dong wanita sialan itu!" 

 

Amarahku sudah sampai diubun-ubun, kurang ajar sekali si Dhifa itu.

 

Ibu ikut marah mendengarnya, segala caci maki diucapkan Ibu pada Istri tua Mas Fatan itu.

 

"Stopppp, kalian bisa diam gak sih!" teriak Mas Fatan.

 

Aku dan Ibu mendadak bisu, aku kaget melihat Mas Fatan marah. 

 

"Perlu kalian tahu, rumah ini dibeli memakai uang perusahaan yang otomatis milik Dhifa. Dan dia sudah memberi pilihan, dia dan anak- anak yang tinggal disini atau kamu Ren boleh tinggal tapi tidak orangtua kamu!" 

 

Ibu menangis sambil bersimpuh dilantai.

 

"Oala Ren- Ren, kasihan sekali nasibmu punya kakak madu kejam seperti itu. Bahkan orangtuamu di usir dari rumahmu!" sesal Ibuku.

 

Mas Fatan bangkit dan mengajak Ibuku untuk duduk di sofa.

 

"Ibu tenang aja, siang ini kita cari kontrakan buat Ayah dan Ibu," hibur Mas Fatan.

 

"Beneran ya Nak Fatan, tapi Ibu mau kontrakannya yang mewah. Yang agak legaan, soalnya biar muat kalau anak cucu Ibu datang!" rayu Ibuku.

 

 Mas Fatan mengangguk dengan wajah menyesal. 

 

***

 

Akhirnya Ibu dan Ayahku pindah kekontrakan yang lumayan mewah. 2 juta perbulan harga kontarkan itu. 

 

Aku sedih karena gak pernah tinggal terpisah dari orangtua. 

 

Suara bel pintu mengagetkan aku yang sedang memasak sarapan untuk Mas Fatan.

 

Bergegas kubuka pintu depan dan aku kaget mendapati Dhifa musuhku sedang berdiri dengan anggunnya.

 

Berdiri disampingnya seorang wanita paruh baya yang masih kelihatan cantik. Sikapnya sangat angkuh dan dia menatapku seperti melihat najis.

 

"Ngapain kamu bengong disitu, mana Fatan? Panggil dia kemari sekarang!" titah wanita paruh baya itu.

 

Aku berlari memanggil Mas Fatan yang belum bangun. Maklum ini kan hari merah, ditambah kami habis bertempur tadi malam.

 

"Mas, bangun Mas!" 

 

"Hmm!" gumam Mas Fatan.

 

"Mas, ada Mbak Dhifa dan anak-anak dibawah!" 

 

"Hah!" 

 

Mas Fatan melompat dari atas tempat tidur. Setelah mencuci wajahnya di wastafel dia merapikan rambutnya sedikit.

 

Aku mengikuti Mas Fatan yang bergegas keluar kamar.

 

"Papiiiii," teriak dua bocah yang melihat Mas Fatan turun barusan.

 

Mas Fatan memeluk mereka dengan hangatnya.

 

"Alea, Axel Papi kangen!" bisik Mas Fatan.

 

"Papi kok gak pulang-pulang sih!" tanya anaknya yang cewek.

 

"Iya, kami kan kangen. Jadinya kami tinggal disini kata Mami!" sambung yang cowok.

 

"Kamu memang gak tahu diuntung ya Fatan!" gelegar suara wanita paruh baya itu terdengar.

 

"Mama, ada anak-anak Ma!" ingat si Dhifa sialan sok lembut. 

 

Mas Fatan bangkit lalu bersimpuh dikaki wanita yang kuyakin Ibunya itu.

 

"Mama, maafin Fatan Ma. Tapi ini juga bukan salah Fatan sepenuhnya. Kalau saja Dhifa mau---" 

 

"Kamu malah menyalahkan Dhifa, dasar kamu ya Fatan. Mama gak habis pikir sama otakmu itu!" potong Mamanya Mas Fatan marah.

 

"Sudah Ma, sudah," bujuk si Dhifa.

 

"Jadi Mas Fatan, mana yang jadi pilihanmu?" sambungnya lagi.

 

Mas Fatan menatap istri tuanya lalu tersenyum sinis. 

 

"Aku pilih Irene tetap disini!" jawab Mas Fatan yakin.

 

"Oke kalau begitu, sesuai perjanjian anak-anak dan Mama tinggal disini!" balas Dhifa cuek.

 

Aku hanya melongo melihatnya. Bisa ya dia berpisah sama anak-anaknya. Ibu macam apa itu? 

 

Setelah berpamitan pada anak-anak dan Mama Mas Fatan dia pun pulang.

 

"Besok pagi Mama antar ke sekolah ya sayang. Ingat jam setengah tujuh harus sudah rapi didepan pintu!" pesannya.

 

"Siap Mamiiii," jawab anak-anaknya.

 

Waduhhhh sepertinya aku yang bakalan repot ini.

 

***

 

"Aduh Mas, aku nyerah. Capek ngurusin anak-anakmu!" keluhku malam itu.

 

"Sini Mas pijitin, memangnya kamu ngapain sampai kecapekan begitu?" 

 

"Mas tau gak, itu Alea dan Axel sengaja ngeberantakin rumah. Mainan berserakan, kaki habis main lumpur masuk kedalam rumah. Capek aku Mas!" 

 

"Kamu harus sabar dong Ren, mereka anakku berarti anakmu juga. Dhifa aja bisa menghadapi mereka!" 

 

"Mas mulai membandingkan aku dengan dia!" teriakku kesal.

 

Aku berbalik memunggunginya. 

 

Mas Fatan mencoba merayuku.

 

"Jangan ngambek dong sayang. Maafin Mas ya!" rayunya.

 

Aku diam saja, biar saja dia ngomong sendiri.

 

"Ren, ayo dong. Mas mau ambil jatah nih!" rayunya lagi.

 

"Aku capek Mas, gak ada jatah malam ini!" jawabku.

 

Terdengar dengusan kesalnya, biar saja aku juga capek kok.

 

***

 

"Tante, cepetan. Ini sudah jam enam lho. Mana sarapan kami?" tanya Alea kesal.

 

"Iya sebentar, ini sudah siap. Nah yang ini buat Alea, yang ini buat Axel," jawabku lembut.

 

Mereka memakan nasi goreng buatanku setelah mengucapkan terimakasih. Ternyata mereka anak yang manis kok, batinku.

 

"Uhuk uhuk, ihhh pedas. Axel kan gak tahan pedas Tante!" teriak Axel sambil memuntahkan makanannya ke lantai.

 

Ihhh jorok banget anak ini.

 

"Ini udang ya Tante, Alea kan alergi udang. Papiiiiiii!" teriak Alea juga.

 

Mas Fatan beregegas turun mendatangi kami.

 

"Ada apa sih, masih pagi sudah berisik begini?" Mamanya yang bertanya. 

 

Dia juga baru keluar dari kamarnya.

 

"Papi, Oma. Nasi gorengnya pedas!" lapor Axel.

 

"Ada udangnya juga Pi, Alea kan alergi. Mulai gatal nih!" lapor Alea juga.

 

"Ya ampun, kamu gimana sih Ren? Kamu mau membunuh mereka?"

 

Ihhh lebay amat sih nenek-nenek, diam aja napa? batinku kesal.

 

"Maafin Irene Ma, Irene gak tahu kalau---" 

 

"Kalau gak tahu tuh nanya Ren. Kasihan kan anak-anak!" bentak Mas Fatan.

 

Ya ampun, Mas Fatan membentakku. Aku marah, belum pernah dia memarahiku seperti ini.

 

Kutinggalkan mereka semua, aku naik kekamarku. Tak kuhiraukan panggilan Mas Fatan dibelakangku.

 

"Lihat tuh kelakuannya!" sindir Mamanya.

 

Aku tak perduli, kubanting pintu kamar sekuatnya. Aku kesal, baru juga sehari. 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Lupa Diri   Bed Rest

    Bab 86POV DhifaSatu Minggu kemudian, setelah dirawat dengan intensif, aku pun diperbolehkan pulang ke rumah. Tentu saja dengan berbagai persyaratan dari Dokter Boy yang sangat memperhatikan kesehatan pasiennya. Aku hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Walau di dalam hati aku masih bingung dengan perusahaan milikku. Siapa yang akan menggantikan diriku selama aku bed rest? Aku juga belum tahu sampai kapan bisa beraktivitas dengan normal kembali. Aku mendesah resah, kehamilan kali ini benar-benar menguras pikiran dan perasaanku. Sangat berbeda dengan saat hamil Alea juga Axel dahulu. Aku masih bisa beraktivitas seperti biasa. Mungkin karena sekarang aku hamil di saat usai sudah lewat tiga kukuh tahu, jadi kondisi dan ketahanan tubuhku juga menurun. "Sayang, kita makan dahulu, ya!" ujar Mama Riko yang baru saja masuk ke kamar dengan membawa satu nampan berisi hidangan makan untukku."Aku belum lapar, Mas," jawabku malas. Memang perutku masih terasa kenyang, belum lapar s

  • Suami Lupa Diri   Tidak Baik-baik Saja

    Bab 85POV RikoTiiinnn!"Astaghfirullah, maaf-maaf," ucapku penuh penyesalan. "Hati-hati, Masih untung saya bisa ngerem tadi!" balas pengemudi motor yang hampir saja aku tabrak. Pengemudi itu pun meninggalkan diriku yang masih termangu di balik kemudi. Mungkin sekarang wajahku sudah seputih mayat saking kagetnya. Aku sedang tidak fokus karena ingin cepat sampai ke rumah sakit. Begitu mendengar kabar yang disampaikan oleh Alea tadi membuat aku terburu-buru mengemudikan mobil hingga hampir saja mencelakai orang lain. Sungguh aku sangat khawatir dengan keadaan Dhifa. Entah apa penyebabnya sehingga dia bisa pingsan. Mana sedang sendirian di rumah, Bik Ijah, sang pembantu sedang pulang ke kampung. Jadi semua urusan rumah tangga dipegang oleh Dhifa. Hanya untuk mencuci dan membersihkan rumah, dia memakai jasa pembantu pengganti yang hanya bekerja dari pagi sampai pukul 4 sore saja. "Ya ampun, kok, malah ngelamun begini, sih. Aku harus secepatnya sampai ke rumah sakit." Begitu tersadar

  • Suami Lupa Diri   Kabar bahagia 2

    Bab 84 "Apa? Mbak Dhifa hamil, Mas. Alhamdulillah," ucap Rini, adiknya Riko bahagia. "Iya, Rin. Ini baru pulang dari dokter kandungan. Alhamdulillah, Mbak kamu tengah hamil sekitar empat minggu," jawab Riko di ujung telepon. Dia melirik Dhifa yang tengah tertidur setelah muntah-muntah saat habis salat Subuh tadi. "Aku senang mendengarnya, Mas. Mama nanti siang kami ke sana, ya," ujar Rini. Mamanya Riko yang tengah menonton televisi pun ikut bahagia mendengar berita yang disampaikan oleh Riko. "Alhamdulillah, ya Allah. Mas, anak sulung kita akhirnya akan punya keturunan. Semoga kamu bahagia di sana, ya," bisik ya lirih. Dia jadi teringat akan almarhum suaminya yang sudah meninggal dunia saat kedua anaknya masih kecil-kecil. Mamanya Riko mengusap air mata yang keluar begitu saja saking bahagianya dia. Selesai berbincang dengan Riko, Rini pun duduk di samping mamanya. "Nanti kita ke rumah Mbak Dhifa, Ma. Katanya hari ini Mbak Dhifa libur," ucap Rini. "Iya, Rin. Aduh, Mama

  • Suami Lupa Diri   Kabar Bahagia

    Bab 83Riko berlari kencang ke dalam rumah sakit, dia baru saja tiba setelah mendapat telepon dari Wita. Sekretaris istrinya mengatakan kalau Dhifa pingsan dan sekarang sudah berada di ruang IGD rumah sakit. Riko mengatur napasnya setelah sampai di depan ruang IGD. Wita yang melihat kehadirannya Oun bergegas menemui suami bosnya itu. "Pak Riko, Ibu masih ada di dalam. Sedang diperiksa sama dokter," beritahunya sebelum Riko bertanya. "Kenapa dengan istri saya, Wit. Kenapa dia bisa pingsan?" tanya Riko. "Saya juga gak tahu, Pak. Tadi kami habis rapat, Bu Dhifa mengeluh kalau kepalanya pusing. Tiba-tiba pingsan begitu saja."Riko masih belum puas dan ingin bertanya lagi pada Wita. Namun, pintu ruangan IGD terbuka lalu keluarlah seorang suster. "Keluarganya Ibu Nadhifa!" serunya dengan lantang. "Saya Suster. Saya suaminya," jawab Riko kemudian mendekati suster tersebut. "Bapak suaminya Bu Nadhifa? Mari ikut saya menemui dokter di dalam!" Riko pun mengangguk lalu mengikuti suster t

  • Suami Lupa Diri   Dhifa Pingsan

    Bab 82Riko dan Dhifa baru saja kembali dari makan malam di luar. Saat itu sudah hampir larut malam. Setelah makan malam, sebelum kembali, Riko mengajak Dhifa untuk bersantai di taman yang masih ramai meskipun hari telah malam. Mereka berkeliling area taman sambil sesekali mampir di lapak pedagang kaki lima yang menjajakan aneka jenis makanan dan camilan yang enak. Tak terasa sudah hampir dua jam mereka berada di sana. "Enak juga bisa bersantai di tempat seperti ini, ya, Mas?" Dhifa melirik suaminya yang tengah duduk bersandar sambil menatap hamparan bintang di langit malam."Iya, Fa. Rasanya, Mas gak ingin malam ini cepat berlalu."Dhifa tersenyum mendengar jawaban Riko, dia melihat waktu di ponsel pintarnya. Dhifa pun berdiri lalu mengajak Riko untuk pulang. "Sayangnya, kita harus pulang sekarang, Mas. Sudah hampir tengah malam, taman juga sudah sepi."Riko menoleh ke sekitarnya, benar saja. Taman yang tadinya ramai dengan pengunjung, kini sudah mulai sepi. Hanya tinggal beberapa

  • Suami Lupa Diri   Mantan Madu Yang Baik

    Bab 81"Jadi dia nekat datang ke sini tadi?" Riko bertanya dengan heran. Heran dengan keberanian Vanessa mendatangi kediamannya. Riko baru saja pulang dari kantor, Dhifa pun langsung menceritakan tentang kedatangan Vanessa siang tadi. "Iya, Mas. Dan kamu tahu gak, dia sekarang sudah merubah penampilannya. Vanessa sekarang memakai hijab dan tampak anggun sekali, meskipun kelihatannya dia tidak nyaman dengan pakaiannya itu," beritahu Dhifa. "Memakai hijab? Tapi waktu malam itu pakaiannya sangat seksi dan terbuka. Aneh," ujar Riko makin heran. "Entahlah, Mas. Biarkan saja dulu, kita lihat apa yang akan dilakukan Vanessa Selan itu tanya. Lebih baik kamu sekarang mandi, terus kita makan malam di luar. Soalnya, Bik Ijah belum gak ada. Aku juga lagi malas masak.""Malas masak? Tumben?" Riko menggoda istrinya. Biasanya Dhifa akan memasak walaupun baru pulang dari kantor. "Tubuhku rasanya lemas dan tak bertenaga, Mas. Sangat lelah," jawab Dhifa. "Hm, wajah kamu juga sedikit pucat. Apa k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status