Share

Semuanya Kacau

 

Pov Irene.

 

"Bu, Ibuuuuu!" teriakku kesal. 

 

Kuhempaskan tubuhku ke kursi teras. Ibuku tergopoh-gopoh keluar rumah.

 

"Ada apa sih Ren, ngagetin Ibu aja?" tanya Ibuku.

 

"Mas Fatan Bu, aku kesal. Ternyata perusahaan itu punya istrinya. Dia cuma menjalankan aja!" 

 

"Ya ampun, jadi gimana sekarang. Dia gak dipecat kan?" 

 

"Aku yang dipecat Bu, aku malu. Mana karyawannya pada mengejek aku Bu!" 

 

"Kita ngobrol didalam aja, disini nanti ada yang dengar!" ajak Ibu. 

 

Aku mengikuti Ibuku masuk kedalam. Kami memilih duduk di teras samping, disini udaranya sejuk.

 

"Terus gimana tadi kalian, sempat berantem gak. Kamu sempat nyakar mukanya gak?" tanya Ibuku gak sabaran.

 

"Boro-boro Bu, yang ada aku diusir. Dia main cantik Bu, gak pakai emosi kayak anaknya Ceu Mumun waktu dilabrak istri muda lakinya itu," jawabku.

 

"Yah, kok gak cakar-cakaran sih. Padahal kamu pasti menang. Kamu kan jago kelahi Ren!" sesal Ibuku.

 

Aku tersenyum mendengar perkataan Ibuku. Kalau soal kelahi aku paling jago. Si Zaenab anak Pak RT aja habis wajahnya aku acak-acak.

 

Masalahnya dia labrak aku karena jalan sama Bang Roni pacarnya. Lah dia gak tau aja kalau Bang Roni itu yang ngejar-ngejar aku. 

 

"Assalamualaikum," salam Mas Fatan.

 

Aku dan Ibuku gak sadar kalau Mas Fatan sudah pulang. Kok gak kedengaran suara mobilnya ya. 

 

"Waalaikumsalam," jawabku dan Ibu bersamaaan.

 

Mas Fatan masuk kerumah, wajahnya kelihatan sangat kusut. Kudekati dia yang sudah duduk di sofa yang ada di ruang tengah. 

 

"Kok sudah pulang Mas, apa Mas diusir juga sama Mbak Dhifa?" tanyaku lembut.

 

Padahal dalam hati aku mau muntah menyebut nama itu. Huekkkk, mual aku. 

 

"Gak Ren, Mas aja yang mau pulang. Mas pusing!" jawabnya.

 

Kulongokkan kepalaku ke depan. Kosong, kemana mobilnya.

 

"Mas pulang naik apa? Mobilnya mana?" 

 

"Itu mobil Dhifa, Mas cuma makai aja," jawabnya singkat.

 

"MasyaAllah Mas, tega sekali Mbak Dhifa. Hikss kalau kehadiranku membuat Mas jadi susah aku rela kok Mas kita berpisah!" 

 

Aktingku berhasil membuat Mas Fatan simpati. Direngkuhnya aku dalam pelukannya. 

 

"Kamu gak salah kok Sayang, Mas nyaman sama kamu. Kamu lebih perhatian sama Mas dan selalu ada saat Mas butuh ditemani." 

 

Ibu yang berdiri dibelakang Mas Fatan mengacungkan jempol padaku. 

 

"Terus sekarang gimana Mas? Mas masih kerja disana kan?" 

 

"Kalau nurutin hati sih Mas mau cabut aja dari sana Ren. Malas Mas kerja jadi bawahan si Dhifa." 

 

"Jangan Mas, kerja aja terus disana. Mas bikin kacau kantornya! Biar dia tahu Mas gak bisa dianggap sepele!" hasutku.

 

"Oh iya, ada satu lagi yang Mas mau kasih tahu. Mulai besok anak-anak sama Mama akan tinggal disini. Dan, ehm itu Ayah sama Ibu gak bisa tinggal disini lagi!" 

 

"Apa Mas, kenapa bisa begitu. Ini kan rumahku eh maksudnya rumah Mas. Gak bisa seenaknya mengusir orangtuaku dong wanita sialan itu!" 

 

Amarahku sudah sampai diubun-ubun, kurang ajar sekali si Dhifa itu.

 

Ibu ikut marah mendengarnya, segala caci maki diucapkan Ibu pada Istri tua Mas Fatan itu.

 

"Stopppp, kalian bisa diam gak sih!" teriak Mas Fatan.

 

Aku dan Ibu mendadak bisu, aku kaget melihat Mas Fatan marah. 

 

"Perlu kalian tahu, rumah ini dibeli memakai uang perusahaan yang otomatis milik Dhifa. Dan dia sudah memberi pilihan, dia dan anak- anak yang tinggal disini atau kamu Ren boleh tinggal tapi tidak orangtua kamu!" 

 

Ibu menangis sambil bersimpuh dilantai.

 

"Oala Ren- Ren, kasihan sekali nasibmu punya kakak madu kejam seperti itu. Bahkan orangtuamu di usir dari rumahmu!" sesal Ibuku.

 

Mas Fatan bangkit dan mengajak Ibuku untuk duduk di sofa.

 

"Ibu tenang aja, siang ini kita cari kontrakan buat Ayah dan Ibu," hibur Mas Fatan.

 

"Beneran ya Nak Fatan, tapi Ibu mau kontrakannya yang mewah. Yang agak legaan, soalnya biar muat kalau anak cucu Ibu datang!" rayu Ibuku.

 

 Mas Fatan mengangguk dengan wajah menyesal. 

 

***

 

Akhirnya Ibu dan Ayahku pindah kekontrakan yang lumayan mewah. 2 juta perbulan harga kontarkan itu. 

 

Aku sedih karena gak pernah tinggal terpisah dari orangtua. 

 

Suara bel pintu mengagetkan aku yang sedang memasak sarapan untuk Mas Fatan.

 

Bergegas kubuka pintu depan dan aku kaget mendapati Dhifa musuhku sedang berdiri dengan anggunnya.

 

Berdiri disampingnya seorang wanita paruh baya yang masih kelihatan cantik. Sikapnya sangat angkuh dan dia menatapku seperti melihat najis.

 

"Ngapain kamu bengong disitu, mana Fatan? Panggil dia kemari sekarang!" titah wanita paruh baya itu.

 

Aku berlari memanggil Mas Fatan yang belum bangun. Maklum ini kan hari merah, ditambah kami habis bertempur tadi malam.

 

"Mas, bangun Mas!" 

 

"Hmm!" gumam Mas Fatan.

 

"Mas, ada Mbak Dhifa dan anak-anak dibawah!" 

 

"Hah!" 

 

Mas Fatan melompat dari atas tempat tidur. Setelah mencuci wajahnya di wastafel dia merapikan rambutnya sedikit.

 

Aku mengikuti Mas Fatan yang bergegas keluar kamar.

 

"Papiiiii," teriak dua bocah yang melihat Mas Fatan turun barusan.

 

Mas Fatan memeluk mereka dengan hangatnya.

 

"Alea, Axel Papi kangen!" bisik Mas Fatan.

 

"Papi kok gak pulang-pulang sih!" tanya anaknya yang cewek.

 

"Iya, kami kan kangen. Jadinya kami tinggal disini kata Mami!" sambung yang cowok.

 

"Kamu memang gak tahu diuntung ya Fatan!" gelegar suara wanita paruh baya itu terdengar.

 

"Mama, ada anak-anak Ma!" ingat si Dhifa sialan sok lembut. 

 

Mas Fatan bangkit lalu bersimpuh dikaki wanita yang kuyakin Ibunya itu.

 

"Mama, maafin Fatan Ma. Tapi ini juga bukan salah Fatan sepenuhnya. Kalau saja Dhifa mau---" 

 

"Kamu malah menyalahkan Dhifa, dasar kamu ya Fatan. Mama gak habis pikir sama otakmu itu!" potong Mamanya Mas Fatan marah.

 

"Sudah Ma, sudah," bujuk si Dhifa.

 

"Jadi Mas Fatan, mana yang jadi pilihanmu?" sambungnya lagi.

 

Mas Fatan menatap istri tuanya lalu tersenyum sinis. 

 

"Aku pilih Irene tetap disini!" jawab Mas Fatan yakin.

 

"Oke kalau begitu, sesuai perjanjian anak-anak dan Mama tinggal disini!" balas Dhifa cuek.

 

Aku hanya melongo melihatnya. Bisa ya dia berpisah sama anak-anaknya. Ibu macam apa itu? 

 

Setelah berpamitan pada anak-anak dan Mama Mas Fatan dia pun pulang.

 

"Besok pagi Mama antar ke sekolah ya sayang. Ingat jam setengah tujuh harus sudah rapi didepan pintu!" pesannya.

 

"Siap Mamiiii," jawab anak-anaknya.

 

Waduhhhh sepertinya aku yang bakalan repot ini.

 

***

 

"Aduh Mas, aku nyerah. Capek ngurusin anak-anakmu!" keluhku malam itu.

 

"Sini Mas pijitin, memangnya kamu ngapain sampai kecapekan begitu?" 

 

"Mas tau gak, itu Alea dan Axel sengaja ngeberantakin rumah. Mainan berserakan, kaki habis main lumpur masuk kedalam rumah. Capek aku Mas!" 

 

"Kamu harus sabar dong Ren, mereka anakku berarti anakmu juga. Dhifa aja bisa menghadapi mereka!" 

 

"Mas mulai membandingkan aku dengan dia!" teriakku kesal.

 

Aku berbalik memunggunginya. 

 

Mas Fatan mencoba merayuku.

 

"Jangan ngambek dong sayang. Maafin Mas ya!" rayunya.

 

Aku diam saja, biar saja dia ngomong sendiri.

 

"Ren, ayo dong. Mas mau ambil jatah nih!" rayunya lagi.

 

"Aku capek Mas, gak ada jatah malam ini!" jawabku.

 

Terdengar dengusan kesalnya, biar saja aku juga capek kok.

 

***

 

"Tante, cepetan. Ini sudah jam enam lho. Mana sarapan kami?" tanya Alea kesal.

 

"Iya sebentar, ini sudah siap. Nah yang ini buat Alea, yang ini buat Axel," jawabku lembut.

 

Mereka memakan nasi goreng buatanku setelah mengucapkan terimakasih. Ternyata mereka anak yang manis kok, batinku.

 

"Uhuk uhuk, ihhh pedas. Axel kan gak tahan pedas Tante!" teriak Axel sambil memuntahkan makanannya ke lantai.

 

Ihhh jorok banget anak ini.

 

"Ini udang ya Tante, Alea kan alergi udang. Papiiiiiii!" teriak Alea juga.

 

Mas Fatan beregegas turun mendatangi kami.

 

"Ada apa sih, masih pagi sudah berisik begini?" Mamanya yang bertanya. 

 

Dia juga baru keluar dari kamarnya.

 

"Papi, Oma. Nasi gorengnya pedas!" lapor Axel.

 

"Ada udangnya juga Pi, Alea kan alergi. Mulai gatal nih!" lapor Alea juga.

 

"Ya ampun, kamu gimana sih Ren? Kamu mau membunuh mereka?"

 

Ihhh lebay amat sih nenek-nenek, diam aja napa? batinku kesal.

 

"Maafin Irene Ma, Irene gak tahu kalau---" 

 

"Kalau gak tahu tuh nanya Ren. Kasihan kan anak-anak!" bentak Mas Fatan.

 

Ya ampun, Mas Fatan membentakku. Aku marah, belum pernah dia memarahiku seperti ini.

 

Kutinggalkan mereka semua, aku naik kekamarku. Tak kuhiraukan panggilan Mas Fatan dibelakangku.

 

"Lihat tuh kelakuannya!" sindir Mamanya.

 

Aku tak perduli, kubanting pintu kamar sekuatnya. Aku kesal, baru juga sehari. 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status