Grace menatap pria di hadapannya dan mengulangi kalimatnya dengan nada ringan namun tegas, “Ayo kita bercerai, William. Kamu suka nggak hadiah ulang tahun dariku?”
William tetap diam. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi, seperti patung batu. “Kamu mau cerai cuma gara-gara aku nggak mau rayain ulang tahun bareng kamu?” Grace mendongakkan dagunya sedikit. “Camila udah pulang, kan?” Begitu nama itu disebut, senyum mengejek muncul di sudut bibir William. Ia melangkah maju, mendekatinya dan membuat jarak di antara mereka nyaris hilang. “Kamu cemburu sama dia?” William bukan hanya pewaris keluarga Donovan; dia adalah legenda hidup di dunia bisnis. Segala hal tentangnya—kuasa, harta, reputasi—memancarkan dominasi. Pendekatannya yang mengintimidasi membuat Grace mundur satu langkah tanpa sadar. Punggungnya menyentuh dinding. Dalam sekejap, ruang di sekitarnya terasa menyempit. William telah memojokkannya dengan satu tangan yang bertumpu di dinding, menghalangi satu-satunya jalan keluar. Tatapannya menusuk, bibirnya menyeringai licik. “Seluruh San Francisco tahu, orang yang seharusnya aku nikahi itu Camila. Kamu yang maksa banget gantiin dia, jadi Nyonya Donovan. Waktu itu kamu nggak masalah, kan? Jadi kenapa sekarang kamu pura-pura seolah-olah nggak tahu?” Wajah Grace memucat. Ya… William memang ingin menikahi Camila. Kalau bukan karena kecelakaan yang membuatnya koma, dia nggak bakal pernah punya kesempatan. Grace masih ingat jelas hari ketika William sadar. Ketika pria itu membuka matanya dan menatap langsung ke arahnya—ekspresinya saat itu sangat jelas: penolakan total. Sejak itu, mereka tidur di kamar terpisah. William tak pernah menyentuhnya. Karena dia cinta Camila. Grace tahu itu. Tapi… dia menatap pria yang telah dikenalnya sejak kecil. Wajah itu—yang dulunya ceria dan hangat—sekarang dingin dan tak tersentuh. Wajah yang dulu Grace cintai dengan sepenuh hati. “Kamu beneran nggak inget aku, William?” batin Grace saat itu. Ia masih terjebak di masa lalu, berharap setidaknya ada secercah ingatan di benak William tentang dirinya. Satu kenangan saja yang bisa membuktikan bahwa dia pernah berarti dalam hidupnya, Betapa bodohnya dia. Tiga tahun dia habiskan mencintai sendirian. Tiga tahun memendam sakit yang makin hari makin menghancurkannya. “Mending kita akhiri aja pernikahan tanpa cinta ini. Aku capek," kata Grace lagi. William menaikkan sebelah alisnya. Suaranya terdengar rendah, hampir seperti bisikan. “Tanpa cinta, ya?” Dengan gerakan pelan, dia menangkup dagu Grace. Ujung jarinya menyentuh bibirnya, lembut tapi mengancam. Rasa tidak nyaman menjalari tubuh Grace saat ibu jarinya mengusap bibirnya, sengaja mempermainkannya. Sentuhan itu terlalu akrab. Terlalu pribadi. Membuat jantungnya berdetak kencang. Dia ingin menjauh, tapi tidak bisa ke mana-mana. William menyipitkan mata, mengamati wajah di depannya lebih seksama. Biasanya, Grace selalu tampil sederhana. Gaun hitam atau putih, dengan kacamata besar yang menutupi sebagian wajahnya. Dia selalu berusaha terlihat tidak mencolok. Tapi dari dekat… kulitnya lembut. Matanya yang besar berkilau seperti bintang yang menenangkan. Wajahnya—kalau dilihat baik-baik—sangat cantik. Dan bibirnya... sangat menggoda. Tekanan ibu jarinya membuat warna bibir Grace sempat memudar sebelum kembali merah muda. William terdiam sesaat, seperti menemukan sesuatu yang baru. Pandangannya menggelap. “Ternyata kamu seputus asa itu, ya, Grace. Pengen disentuh?” Suara tamparan menggema di ruangan. Grace menamparnya tanpa ragu, hingga kepala William tersentak ke samping karena benturan itu. Keheningan menyelimuti ruangan. Jari-jari Grace masih bergetar, sementara cinta yang dulu dia jaga erat-erat kini sudah mati. Dengan suara bergetar tapi mantap, dia berkata, “Kamu dari dulu cuma terobsesi sama Camila. Oke. Sekarang aku kasih posisi aku ke dia. Aku udah nggak mau jadi Nyonya Donovan lagi.” Sorot tajam melintas di mata William. Wajahnya langsung mengeras. Tak ada satu pun yang pernah memukulnya seperti itu. Apalagi seorang perempuan. Dia perlahan menegakkan kepalanya, menatap Grace dengan mata yang kini membeku oleh kemarahan. “Grace, kamu yang mutusin buat nikah sama aku. Karena kemauan kamu sendiri. Sekarang kamu pikir kamu bisa tinggalin aku seenaknya cuma karena kamu mau itu juga?” Grace tertawa pendek. Tapi tawa itu dingin, penuh sarkasme. Dia mendongak, menatap William tepat di matanya. Tatapannya tak lagi rapuh. “Menurutmu, bagiku kamu ini apa, William? Boneka?” William terlihat terpukul. "Apa maksudmu?" Dunianya yang selalu dikendalikan olehnya kini terasa bergeser. Grace menahan sakit yang mencengkeram dadanya. Dia bicara pelan, tapi tajam seperti pisau. “Kamu nggak lebih dari mainan yang aku ambil dari tangan Camila. Dan sekarang aku udah bosen. Jadi mau kubuang.” Tatapan William menggelap. Napasnya berat, dan auranya berubah menjadi badai yang siap menghancurkan apa pun. “Baiklah, Grace. Kalau gitu kita cerai!” suaranya terdengar dingin dan penuh ledakan emosi. “Tapi jangan pernah balik terus nangis-nangis minta aku terima kamu lagi!” Tanpa menunggu jawaban dari Grace, William langsung berbalik dan menyerbu ke lantai atas. Ia membanting pintu kantornya dengan keras, sampai seluruh mansion Donovan bergetar karena benturan itu. Sementara itu, Grace berdiri di lantai bawah dengan lutut yang lemas, dan seluruh kekuatan seakan-akan menguap dari tubuhnya. Perlahan, ia meluncur ke bawah, bersandar pada dinding hingga akhirnya berjongkok di atas lantai yang dingin. Ia memeluk tubuhnya sendiri, seolah itu bisa sedikit meredakan sakit yang menggigit hatinya dari dalam. "William... Aku nggak akan pernah cinta kamu lagi," bisiknya lirih. * * * Keesokan siangnya. Sophie mendorong pintu kantor William dan melangkah masuk dengan hati-hati. Langkahnya pelan, dan penuh perhitungan. William duduk di balik meja besar yang dipenuhi dokumen, tenggelam dalam pekerjaan seperti biasanya. Semua orang di San Francisco tahu, William Donovan adalah seorang pekerja keras yang nyaris tak kenal istirahat. Tapi hari ini, ekspresi di wajahnya terlalu gelap untuk didekati. “Pak,” panggil Sophie pelan. William bahkan tidak menoleh. Wajahnya tetap dingin, tanpa minat sedikit pun terhadap dunia di sekitarnya. Sophie maju beberapa langkah dan meletakkan secangkir kopi di atas meja, ragu-ragu. “Ini... Nyonya Grace yang bikinin.” Tangan William yang sedang menulis tiba-tiba berhenti. Untuk sesaat, suasana di ruangan itu seakan tertahan. Ekspresinya sedikit berubah, tidak sepenuhnya melunak, tapi cukup untuk menunjukkan ada sesuatu yang mengusik pikirannya. 'Dia nyoba baikan?' pikirnya. Mau tidak mau, dia harus mengakui satu hal. Grace adalah istri yang sempurna. Dia selalu memasak sesuai seleranya, dan mengurus segala detail kecil dalam hidup William tanpa keluhan. William meraih cangkir kopi itu dan menyeruputnya perlahan. Rasanya persis seperti biasa. Hangat dan akrab. Namun selimut perasaan itu langsung lenyap dan ekspresinya mengeras kembali. Dia masih marah. Tamparan semalam masih membekas, dan itu bukan sesuatu yang bisa diselesaikan hanya dengan secangkir kopi. Harga dirinya tidak semudah itu dilupakan. “Dia sadar kalau dia salah?” tanyanya datar. Sophie terlihat kaget sejenak, lalu ragu-ragu menatap bosnya. “Pak... Nyonya Grace sudah pergi.” William langsung mendongak, gerakannya spontan. Sophie buru-buru mengangkat sebuah dokumen yang dia bawa dan menyerahkannya. “Nyonya keluar rumah pagi-pagi bawa koper. Sebelum pergi, dia minta saya kasih ini ke Bapak.” William mengambil dokumen itu dengan alis yang berkerut. Saat dia membuka lipatannya dan membaca halaman pertama, napasnya tercekat. Surat Keterangan Perceraian. Tulisan itu seperti tamparan yang telak di wajahnya. Ia terpaku. Matanya tidak bergerak. 'Dia nggak nyoba baikan?' 'Dia beneran mau pergi?' Sophie, yang merasa bersalah, mencoba menambahkan, “Nyonya juga bilang, suratnya tolong ditandatangani setelah Bapak habisin kopinya.” Tatapan William langsung menggelap. Dengan gerakan kasar, dia menyingkirkan cangkir kopi itu dengan kasar menggunakan punggung tangannya, dan bunyi dentingan keras terdengar saat cangkir hampir jatuh dari meja. “Ambil itu sekarang juga!” bentaknya tajam. Sophie kaget dan langsung bergegas mengambil cangkirnya, lalu keluar ruangan tanpa menoleh sedikit pun. William menatap dokumen itu kembali dan terdiam selama beberapa saat. Pandangannya berat, penuh dengan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. 'Dia nggak minta apa-apa ... nggak satu sen pun… Dia pergi tanpa bawa apa pun. Beneran?' Sebuah senyum sinis mulai terlukis di sudut bibir William. 'Sekarang dia sok mandiri? Apa dia pikir dia bisa hidup tanpa uang, tanpa status, tanpa apa-apa? Dia pikir dia siapa?' 'Tiga tahun lalu, dia ngelakuin apa pun demi masuk ke keluarga Donovan. Dan sekarang dia pengen pergi gitu aja?' Tapi kemudian, pandangannya tertumbuk pada tulisan tangan di bagian bawah formulir cerai itu. Alasan perceraian yang ditulis sendiri oleh Grace. Alasan: disfungsi pria. Ketidakmampuan memenuhi tugas pernikahan. William tercengang. Wajahnya langsung menggelap seketika. Perempuan sialan! Berani-beraninya dia nulis begitu? Dengan amarah yang meledak, William langsung meraih ponselnya dan menekan nomor Grace dengan cepat dan kasar. Telepon berdering beberapa kali, lalu tersambung. Dari seberang, terdengar suara lembut yang begitu tenang, hampir tak terpengaruh sama sekali. “Halo?”“Karena kamu nyebelin,” balas si G. William bisa merasakan nada kesal meskipun itu hanya sebuah chat.Pria itu mengerutkan kening. Ia tak mengerti sama sekali kenapa G ini tiba-tiba bereaksi seperti itu.Namun ia hanya membalas dengan bertanya "apa maksudmu?", lalu meletakkan ponselnya di meja dan kembali fokus pada dokumen-dokumen yang sedang ia pelajari.Begitu pekerjaannya rampung, malam sudah larut. William berdiri, berjalan ke dapur untuk menuang segelas air putih, dan saat kembali ke kamar, matanya melirik ke arah ranjang. Grace sudah tertidur.Ia berniat kembali ke sofa, tetapi saat itu juga, suara notifikasi terdengar.Ponsel Grace yang tergeletak di samping bantal menyala. Sebuah pesan masuk.William melirik sejenak. Dalam sepersekian detik, matanya menyipit. Pandangannya tertuju pada layar ponsel yang menampilkan sebuah pop up beberapa chat di WhatsApp.Dan ia tertegun. Salah satu pesan yang tampil di home screen adalah dirinya.Tubuhnya bergerak cepat mendekati ranjang. Ta
William baru saja selesai mandi dan kini mengenakan piyama sutra berwarna hitam. Rambutnya masih basah, dan beberapa tetes air terlihat mengalir perlahan dari ujungnya. Uap tipis yang menyelimuti tubuhnya membuat pria itu terlihat lebih muda dan memesona dibanding saat ia memakai jas resmi. Grace melirik sekilas ke arahnya. Pria itu memang punya penampilan yang luar biasa. Suara dering ponsel yang lembut mendadak memecah keheningan. Seseorang menelepon. William melangkah pelan dan mengangkat panggilan itu, lalu suara Paul terdengar dari seberang. "Ada kabar, Tuan. White Scalpel bersedia menemui Anda besok di rumah sakit pusat." Ekspresi William tetap datar. "Waktu itu dia datang lalu pergi sesuka hati, sok misterius. Besok, aku mau lihat siapa dia sebenarnya." Seketika, tubuh Grace terasa dingin. Jantungnya mencelus. Itu akhir baginya. William belum lupa bagaimana White Scalpel mempermainkannya. Berani-beraninya dia? Dia tidak akan membiarkannya lolos begitu saja. Besok, merek
Grace sudah tidak mencintai William. Tatapan dingin William mengunci pandangannya. Mata itu tajam, seolah bisa menembus isi pikirannya. Sebuah senyum miring mengembang di sudut bibir pria itu. "Aku beneran udah nggak ada di hatimu?" "...Iya... Mm!" Belum sempat Grace menyelesaikan kalimatnya, William tiba-tiba membungkuk dan mencium bibirnya dengan kasar. Kepala Grace langsung kosong. Tatapannya membelalak, tak percaya kalau pria itu menciumnya begitu saja. Ini bukan pertama kalinya mereka berciuman. Tapi waktu terakhir—di kamar mandi—dia yang mencium duluan. Dia yang menarik, memeluk, dan mencium pria itu. Tapi kali ini... William yang melakukannya lebih dulu. Grace langsung bereaksi. Ia mendorong dada pria itu, mencoba menjauh. "William, lepasin aku!" ucapnya yang hanya terdengar seperti gumaman tidak jelas. Namun tubuh besar William mendesaknya ke dinding. Bibirnya menekan dengan kuat, penuh dominasi dan hasrat yang agresif. Begitu Grace membuka mulut untuk bicara, Willia
"Ahhh!" Teriakan Camila yang melengking membuat William menginjak rem mendadak, dan Mercedes-Maybach yang mereka tumpangi berhenti seketika. Camila terengah-engah, wajahnya pucat ketakutan. “Kamu ngapain sih, nyetir secepat itu?” Wajah William tetap dingin dan sulit ditebak. Saat menoleh ke depan, dia sadar Lamborghini yang tadinya hampir dia kejar kini sudah melesat pergi entah ke mana. Dia mengatupkan bibir tipisnya. “Kamu gak apa-apa?” Camila mengangguk kecil. “Aku gak apa-apa.” Tapi setelah itu dia menambahkan dengan nada getir, “Aku bener-bener gak nyangka Grace bisa dapetin perhatian Theo... Kamu lihat sendiri gimana dia joget di dance floor tadi, kan? Dia cuma cewek kampung yang gak berpendidikan. Pasti hidupnya cuma diisi belajar godain cowok. Murahan banget, gak ada harga diri.” Tatapan William berubah dingin. Bayangan Grace yang bergerak luwes di tengah keramaian langsung muncul di benaknya. Bahkan Theo, yang selama ini dikenal picky dan gak gampang tertarik, bisa jat
"Itu dia!" Theo langsung mengenalinya. Sementara itu, Camila menatap dengan pandangan tak percaya. Grace, di tengah kerumunan, sedang menari? Di bawah cahaya terang Bar Lumière, tubuhnya bergerak luwes di dekat Clara, mengikuti irama musik dengan keanggunan yang sulit dijelaskan. Gerakannya terlihat alami, tanpa usaha berlebihan, tapi setiap detailnya terkendali dan memesona. Bahkan Camila, yang dikenal sebagai penari balet terbaik, harus mengakui dalam hati. Grace menari lebih baik darinya. Lebih menggoda. Lebih berbahaya. Gila. Para pria di Bar tak bisa mengalihkan pandangan. Siulan dan sorakan mulai terdengar dari berbagai sudut ruangan. Tatapan mereka sudah cukup jadi bukti. Camila mengepal tangan. Dadanya sesak oleh amarah yang mulai naik ke ubun-ubun. Cewek kampung itu? Berani-beraninya mencuri perhatian seperti ini? Kenapa harus Grace lagi yang bersinar? Tiba-tiba, Camila merasakan kekosongan. Tangan William... sudah tak lagi melingkari pinggangnya. Pria itu melangkah
William menunduk, menatap foto di tangannya. Matanya yang gelap dan tajam tiba-tiba menyipit. Ferrari itu… terlihat sangat familiar. Ia mengangkat pandangannya ke arah Theo. "Perempuan itu yang nyetir mobil ini?" Theo mengangguk pelan. "Iya. Dan dia bahkan berhasil ninggalin aku di belakang. Perempuan itu bener-bener menarik." Kalau ingatannya nggak salah, itu Ferrari yang pernah dia kasih ke Grace. Awalnya dia kira Grace meminta Ferarri hanya untuk menguras uangnya, dia bahkan tidak pernah tahu kalau Grace benar-benar bisa nyetir mobil sport. William tahu betul kemampuan nyetir Theo. Mereka pernah turun bersama di lintasan balap beberapa kali. Tapi sekarang... Grace, cewek dari kampung yang polos dan pendiam itu, bisa meninggalkan Theo dengan Ferrari? Saat itulah Paul muncul dan langsung mendekat. "Pak." William berdiri. "Aku pergi sebentar," katanya. Langsung keluar dari lounge mewah itu. Paul sedikit berbisik saat mulai bicara. "Pak, tadi, Nyonya Grace sempat telepon. Katan