Mita, dengan segudang pengalaman sebagai manajer selebriti, tak menyangka akan menghadapi tantangan terberatnya: Gun Saliba. Chef terkenal ini bukan hanya rewel, tapi juga mantan yang ingin Mita kubur dalam-dalam! Parahnya, Gun langsung memperlihatkan sikap permusuhan dan berniat mengerjainya habis-habisan. Lantas, bagaimana nasib Mita? Terlebih, Gun sepertinya tak benar-benar tau alasan Mita mengakhiri hubungan mereka...?
Lihat lebih banyak"Mereka hanya merekrut perempuan-perempuan cantik yang nggak punya otak."
Perkataan itu menggema, terdengar meremehkan. Selama sepuluh tahun bekerja, pontang-panting melompat dari satu agensi ke agensi lain, baru kali ini aku merasa direndahkan di hari pertama bekerja. Tapi itu tidak mengherankan, sebab yang berkata adalah Gun Saliba, seorang celebrity Chef yang terkenal perfeksionis. Miris karena dari semua hal, pria itu terdengar masih sama, suaranya menggelegar, otoriter dan tidak bisa dibantah, meski belum resmi bertemu, aku sudah bisa membayangkan wajah Gun yang terdiri dari tiga J: judes, julid, jumawa. "Siapa lagi kali ini yang kalian bawa Ed? Saya nggak membutuhkan manajer, yang saya butuhkan adalah asisten yang bisa bekerja." "Bapak berniat menggantikan posisi saya?" Seorang pria yang dipanggil Ed itu terdengar menyahut. Aku merasa salut, meski sedari tadi sudah dibentak, suara laki-laki itu tetap tenang, tidak terpancing sang atasan. Gun mendengus. "Kamu lihat saya memiliki asisten di kitchen sekarang?" "Kalau itu, kami akan segera merekrutkan—“ “I said right now, did you not hear me?” Mau tidak mau, aku kembali memejamkan mata, bukan aku yang dibentak, tapi aku ikut berjengit, tanpa sadar ludahku tertelan, pahit. Bagaimana Mba Niken berharap aku akan menjinakkan laki-laki semengerikan ini? "Tolong Mit, lo tau kan dia tuh terkenal rewel, selama ini nggak ada yang betah jadi manajernya, tapi Pak Punjab suka banget sama dia. Bagi dia, Gun itu ATM berjalan, program Dapur Ceria yang tayang tiap hari selalu tembus rating dua digit, trending X, FYP TokTik, mana mau dia melepas Gun gitu aja, makanya apapun yang dia minta pasti diturutin, dan sekarang Pak Punjab mau lo yang jadi manajer dia." Itulah yang dikatakan Mba Niken pagi tadi, sesaat setelah aku memperkenalkan diri sebagai pegawai baru di Lumeno Entertainment, anak perusahaan dari LO Group, yang menaungi para selebritis papan atas Ibu kota. Masalahnya, kenapa harus aku? Di antara semua orang, kenapa justru aku yang terpilih untuk menjadi manajernya? "Program dia yang weekend, Master Chef mulai berjalan, dan lo tau tanggapan pemirsa juga nggak main-main, hari pertama tayang aja, ratusan iklan langsung masuk, dia butuh orang buat handle jadwalnya dengan teratur." Benar, program tersebut memang viral, ditayangkan di segmen siaran day time dengan kode rating SU, bertajuk survival show, bahkan Hiro dan Naga yang tidak pernah menonton TV saja sampai tertarik. Setiap sore di hari weekend mereka sudah standby di living room apartemen kecil kami, duduk di sofa dengan semangkuk popcorn untuk menyaksikan tayangan tersebut. Sesuatu yang membuatku meringis tiap memperhatikan euforia itu. Sialan. "Tenang Mit, ada bayaran yang sepadan buat pengabdian lo, gajinya sesuai rating acara, jadi bisa dipastiin lo bakal dibayar berkali-kali lipat dibandingkan manajer lain di agensi ini." Seolah tahu aku akan menolak, Mba Niken kembali menjelaskan, membuatku akhirnya tidak memiliki pilihan. Aku membutuhkan uang, sebagai single parent yang harus menghidupi baik diri sendiri maupun dua orang bocil, aku harus menjadi palu gada, ibaratnya semua jenis pekerjaan apapun pasti akan aku ambil asalkan ada duitnya, yang penting halal dan tidak minta-minta. Pantang untukku mengharap belas kasihan orang lain, lebih baik aku bekerja siang malam, kepala di kaki, kaki di kepala kalau perlu daripada harus mengharap uluran tangan dermawan. "Nah, sekarang tolong banget ya, terima pekerjaan dari Pak Punjab ini, atau mungkin lo bakalan didepak lagi." Dan di sinilah aku akhirnya, berdiri di balik pintu yang bertuliskan Chef Only, sebuah ruang kekuasaan milik seseorang yang sebentar lagi akan menjadi atasanku. "Di mana manajer sialan itu sekarang? Baru hari pertama dia bahkan sudah terlambat, kamu yakin dia kompeten?" "Dari portofolionya perempuan itu cukup meyakinkan, dan dia sudah di sini, silakan masuk." Pintu kemudian mengayun terbuka. Jantungku berdegup kencang, ketika perlahan melangkah memasuki ruangan tersebut. Gun sedang duduk di kursi kebesarannya, membelakangi kami sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya. "Siang Pak, saya—“ "Berhenti basa-basi busuk perkenalan, katakan apa kelebihan kamu?" Kutelan ludah susah payah, ini adalah pertanyaan yang mudah. Harusnya aku bisa menjawab lancar, tapi karena tidak siap dengan pertanyaan itu, otakku mendadak beku. Tak kunjung mendapat sahutan, Gun terdengar mendengus. "Kamu nggak memiliki kelebihan? Untuk apa mereka merekrut kamu kalau begitu?" "Saya cekatan, disiplin dan berkemauan keras, Pak," balasku akhirnya. "Nah, sekarang saya tahu apa kekurangan kamu." Suara itu terdengar mengejek. "Kamu pandai berbohong. Dari mana kamu mengklaim cekatan kalau menjawab pertanyaan saya saja kamu gagu?" Ga-gu? Astaga. Aku hanya terlambat menjawab beberapa detik saja, dia langsung menyimpulkan dengan kejam. Jelas aku tidak terima! "Bapak nggak bisa asal berkomentar hanya dari satu sudut pandang, sedangkan Bapak belum pernah bekerja bersama saya.” "Jadi kamu menganggap diri kamu kompeten?" "Sebaik yang Bapak harapkan." "Bagaimana jika saya kecewa?" "Bapak bisa mengganti saya dengan yang lain." "Kamu tahu saya nggak memiliki waktu?" "Kalau begitu saya pastikan waktu Bapak nggak akan terbuang sia-sia." "Kepercayaan diri kamu pasti—" Dia berputar di kursi, dan kalimatnya langsung berhenti. Wajahnya yang semula judes mendadak berubah terkejut. "Kamu?" "Perkenalkan Pak, saya Paramita Ruhi manajer baru Bapak." Matanya tajam, lurus, tepat memandangku. Meski sering melihatnya dari layar kaca, Gun tampak lebih matang dan lebar saat dilihat secara kasatmata. Dia mengenakan sebuah uniform khas chef berupa double breasted jacket bernuansa putih, bahunya tampak luas, sudut-sudut rahangnya keras, usia telah membuat Gun jauh lebih dewasa, tapi yang paling menarik dari semua itu adalah sepasang matanya yang menatap tajam. Persis seperti yang kuingat. "Kamu yakin nggak salah orang Ed?" tanyanya pada sang asisten seolah meminta konfirmasi. "Benar Pak, dia manajer baru Bapak." Aku tahu ini adalah ide yang buruk, aku tahu bertemu lagi seperti ini pasti membuat Gun murka, tapi apa mau dikata, semua sudah terjadi. Sambil menguatkan mental, aku berusaha bersikap tenang. "Mohon kerja samanya Pak." "Apa yang membuat kamu berpikir saya menerimanya?" Aku menelan ludah saat laki-laki itu perlahan berdiri, menyadari betapa kontrasnya perbedaan tubuh kami, Gun yang menjulang tampak seperti raksasa bagiku yang mini. Langkahnya yang lebar mendekat, aku menahan napas saat aroma parfumnya memeluk indera penciumanku. "Saya rasa Bapak nggak memiliki pilihan, saya dikirim langsung oleh Pak Punjab untuk menjadi manajer Bapak." Aku menjawab, setengah mati menahan diri untuk tidak mundur. "Dan kalau saya menolak?" "Bapak bisa sampaikan sendiri keputusan tersebut pada Pak Punjab." "Apa kamu berani mengambil risiko tanpa libur jika menjadi manajer saya?" "Termasuk cuti?" tanyaku, pandangan terangkat, dan seketika menyesali keputusan tersebut karena tatapan Gun sangat menusuk. "Saya nggak suka jika manajer saya bepergian ketika sedang saya butuhkan." Tunggu dulu, dalam kesepakatan seharusnya tidak seperti ini, dan setiap pekerja berhak menerima libur. Tapi di bawah tatapan Gun yang mengintimidasi aku merasa sulit memutuskan. "Gimana?" tanyanya mendesak. "Saya perlu memikirkannya, Pak." "Bukannya kamu bilang, bahwa kamu dikirim ke sini oleh Pak Punjab, berarti sekarang kamu menolak perintah beliau?" Perangkap, bisa-bisanya dia membalikkan keadaan! Aku megap-megap. “Itu...” Lesung pipi Gun terbit. "Saya menemukan kekurangan kamu yang kedua, kamu sangat plin-plan." Diejek begitu, wajahku seketika terasa panas. Gun mundur selangkah lalu menggidikkan kepala pada asistennya. "Suruh seseorang membawa dia pergi, dia belum memenuhi kualifikasi untuk menjadi manajer saya." Mataku langsung melebar. "Nggak bisa gitu dong, Pak!" Dua pria berbadan besar dengan seragam hitam rapi memasuki ruangan, aku dengan cepat berseru. "Saya ... saya menerimanya." Jemari Gun terangkat, praktis menghentikan gerakan sang pengawal yang sudah berada di kanan dan kiri, siap menyeretku keluar. "Saya terima tawaran Bapak, nggak ada libur kan? Nggak masalah, saya bisa Pak," kataku mengulangi dengan lebih percaya diri. "Kamu yakin?" Aku mengangguk. "Bagus," sahutnya sambil kembali duduk di kursi. "Tapi kamu harus tahu bahwa saya nggak mentolerir keterlambatan, dan satu kesalahan kecil saja, silakan kamu langsung angkat kaki." "Baik Pak." Kemudian tangannya terulur, sejenak aku hanya memandangi tangan itu. Tangan yang kekar dengan gurat-gurat kehidupan. Lalu perlahan aku pun maju dan mengulurkan tanganku, begitu mungil di jabatan tangannya. Kontak itu hanya berlangsung sepersekian detik, tapi hawa panasnya seperti menempel di telapak tanganku lalu merayap naik menuju wajahku. Sebelum semakin malu, aku segera menarik tanganku kembali. Senyum Gun melebar. "Selamat menjadi manajer saya, Mita." Inilah seorang mantan yang lebih baik dilupakan. ***Siapapun yang melihat pasti akan langsung sadar bahwa benda itu terbuat dari berlian. Bentuknya kecil seperti kancing manset pada umumnya, namun berkilauan. Aku bisa mendengar semua karwayan menahan napas. Harganya pasti di atas 1M, pantas saja Pak Punjab tampak senewen, meskipun Gun sempat tidak peduli. Mba Niken megap-megap tidak paham. "Saya nggak tau itu ada di sana." Semua pasang mata langsung menatapnya. "Itu barang kamu?" tanya Pak Punjab. "Y-ya," gagap Mba Niken. "Tapi saya nggak mencuri, dan saya juga nggak tau kenapa benda itu ada di dalam sana Pak." "Ini benar milik kamu kan, Gun?" tanya Zara. Aku mengangkat alis, menyadari dia memanggil Gun tanpa embel-embel Pak atau Chef seperti karyawan yang lain, akrab sekali, bund. "Seharusnya ada sepasang kan? Di mana yang satunya lagi?" "Saya nggak tau!" Mba Niken memekik. "Sebaiknya Anda bicara yang sopan." Gerald memperingatkan dengan tajam. "Nggak apa-apa, dalam keadaan seperti ini semua pasti tegang, dia berhak untuk mem
"Saya bukan mau menuduh kamu melakukan pencurian, tapi saya perlu melakukan konfirimasi apa yang kamu lakukan di dalam ruangan Gun." "Benar Pak, saya melihat dia keluar dari ruangan Chef Gun siang ini." Lusi tiba-tiba menyela, suaranya terdengar berapi-api. Pak punjab merentangkan tangan, meminta agar perempuan itu tidak memotong pembicaran. "Kita perlu memberikan Paramita waktu untuk menjelaskan." "Apanya yang perlu dijelaskan Pak? Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri kok. Ketika saya tanya apa yang dia lakukan di sana karena Chef Gun sedang nggak ada. Mita sendiri kelihatan ketakutan, seolah dia baru kepergok melakukan sesuatu." Ya Tuhan. Tidak menuduh aku melakukan pencurian? Tapi jelas sekali kata-kata beliau justru menunjukkan yang sebaliknya. Aku bahkan tidak diminta duduk tanpa basa-basi. Di antara empat pasang mata, kecuali Gun, mereka menatapku menunggu jawaban. Punggungku panas dingin. "Apa maksud Bapak pencurian?" tanyaku, lidah terasa pahit saat mengatakan itu
Apartemen kami ternyata sudah rapi, tempat itu sudah tidak dipasang garis polisi. Dan ruang tamunya yang acak-acak dengan perabotan terbalik serta pecah belah sudah dibersihkan dan ditata seperti semula. Aku hanya perlu menyimpan barang-barang kami di kamar masing-masing, membujuk Hiro dan Naga untuk tidur kemudian istirahat. Walaupun aku sendiri insomnia. Bangun-bangun, kepalaku terasa berat, badanku sakit semua seperti habis digebuki. Aku mandi dengan menahan nyeri, kemudian menyadari aku melupakan jadwal pertemuan bersama Miss Clara. "Nggak pa-pa kok Mam, kalau memang masih sibuk, kami maklum. Silakan datang kalau Mama kembar nggak sibuk ya." Aku menggumamkan terima kasih untuk pengertiannya. Lalu meninggalkan anak-anak di kelas. Mengabaikan tatapan kepo dari trio Ibu Nuri, Yuli, dan Yuni. "Ibu-Ibu foto jalan-jalan kemarin sudah dikirim ke grup ya, silakan dicek. Ini saya juga punya bingkisan untuk Ibu-Ibu di rumah, tapi untuk yang ikut-ikut aja." Ibu Nuri mengumumkan di depa
Aku segera melompat bangkit dari kursi, jantung berdebar penuh antisipasi. Mata mendelik nyalang menatapnya. "Apa maksud kamu?" Gun menyesap air putih di meja, gerakannya begitu tenang terkendali, sikap judes yang selalu diperlihatkannya mendadak hilang digantikan sikap dingin, tak tersentuh dan tak terbantah. Seolah dia telah sepenuhnya berubah dari Gun yang dulu pernah kukenal, menjadi seseorang yang sama sekali berbeda. "Kamu mengerti apa yang saya maksud," jawabnya lambat-lambat. Telingaku berdenging panjang, alarm tanda bahaya menyala. "Kamu bercanda kan, Gun?" "Do I look like I am joking?" Tapi ini sama sekali tidak masuk akal, bahuku merosot lemas, mundur selangkah. Gun bukan laki-laki pemaksa, aku tahu dia sangat galak, judes, dan sulit ditangani. Sebagai pengidap Obsessive Compulsive Disorder (OCD) Gun selalu menuntut kesempurnaan, dia tidak akan bisa bekerja sama dengan orang-orang lamban. Hanya saja, sepanjang kami berpacaran, tidak pernah sekalipun dia
Sesuai dugaan, aku memang tidak bisa begitu saja memutus kontrak menjadi manajer Gun, apalagi pindah dengan entengnya menjadi asisten chef. Stres. Aku merasa seolah baru saja dioper dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Tapi apa daya, aku cuma cungpret (kacung kampret) yang bisa disuruh-suruh. Gun bahkan tidak ambil pusing meskipun dia sepertinya kesal, namun raut wajahnya tetap santai tanpa minta maaf. "Sama saja kan, mau kamu jadi manajer ataupun asisten chef saya. Kalau nggak ada syuting kamu bisa balik menjadi asisten. Kalau ada syuting kamu bisa menemani saya. Fleksibel, semua aman." Gila, kenapa sejak awal dia tidak mengatakan ini? Dan justru membuatku terperosok dalam jurang? "Masalah libur gimana?" "Kita akan tetap pada kesepakatan awal Mita." Aku menahan diri untuk tidak mengumpat. Lemas sebadan-badan. Merasa baru saja dipermainkan. Apakah Gun sengaja melakukannya? Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Tapi masalah lain yang lebih memdesak adalah posisiku pun terancam.
"Apa maksudnya ditolak Pak, bukannya Bapak sendiri yang menawarkan saya buat jadi asisten chef dan bisa pindah?" Aku merasa seperti terombang-ambing. Kemarin kami ke Lumeno tapi tidak ada hasil apapun. Hari ini, pagi-pagi sekali kami kembali lagi ke agensi itu. Tapi aku merasa seolah sedang dikerjai habis-habisan. Belum ada 2x24 jam aku menjadi asistennya, mendadak sekarang aku harus kembali menjadi manajer Gun. "Ini masalah birokrasi agensi. Kamu harus bayar pinalti kalau tiba-tiba mau pindah." Begitulah penjelasan Gun, karena secara teknis aku masih terikat kontrak bersama Lumeno Ent, dan kontrak itu berlaku sampai setahun ke depan, jika aku mengundurkan diri, maka akan ada konsekuensinya Demi Tuhan. Aku sadar masalah ini sejak awal, itulah kenapa aku sempat skeptis dengan tawaran tiba-tiba Gun. Namun dia membujuk dengan iming-iming gaji tinggi, libur, dan kelebihan lain, itu sebabnya aku menyerah. Tapi sekarang aku harus mendapati kenyataan kalau semua ini salah? "K
"Kamu bilang, mereka nggak bisa didakwa dengan tuntutan pengerusakan?" "Saya sudah bilang, kalau untuk menyerahkan semuanya pada Jerikho, dia sudah terbiasa mengurus kasus seperti ini." Jujur, aku merasa lega sekaligus bertanya-tanya. Sayangnya pertanyaan itu tidak bisa terjawab karena Gun tidak mengizinkan aku untuk menemui pelaku. "Setidaknya aku harus tau gimana orang-orang yang udah nyaris mencelakakan aku," kataku beralasan setelah kami beradu argumen. "Untuk apa Mita? Yang penting mereka sudah ditangkap, terbukti melakukan pengrusakan dan penyalahgunaan wewenang dengan bertindak semena-mena. Itu sudah lebih dari cukup." Gun membalas tegas. "Untuk apa kamu harus menemui mereka lagi? Hanya menghabiskan waktu." Gun benar, dan tidak benar di saat yang bersamaan. Aku kesal, ingin melihat bagaimana tampang seseorang yang sudah membuat si kembar ketakutan. Tapi pendapat Gun juga tidak salah. "Itu berarti, apa aku dan anak-anak udah bisa pulang ke apartemen sekarang?" Hiro dan Na
"Aku janji akan ajarin Dimas lagi, kalau dia udah bisa, aku akan suruh dia ngerjain tugas-tugas di buku cetak Chef Gun." Aku hanya bisa meringis ketika dengan semangat Naga membawa buku-buku milik Gun, lalu melompat turun dan berlari ke gerbang TK, sementara Hiro dengan santai mengekori adiknya. Di sisi lain aku senang mereka nurut, tapi perasaan was-was karena mereka berada di sekitar Gun semakin menggebu-gebu. Kuputuskan untuk cepat-cepat ke De Luca. Setelah semalam menolak Gun dengan terang-terangan, aku yakin mood laki-laki itu kini dalam keadaan berantakan. Maksudku, hei... dia kan punya Prily, bagaimana dia bersikap kurang ajar padaku sementara memiliki hubungan dengan perempuan lain? Mohon maaf, aku belum mau dicap sebagai pelakor. Dapur sangat hethic, baru masuk, aku langsung dilempar berbagai pekerjaan. Mulai dari membuat risotto, sampai harus gesit berada di sisi Gun ketika dibutuhkan. "Kurang seasoning," komentarnya ketika aku mengambil alih ravioli dan menyajikan maka
Kenapa identitas suamiku sangat penting untuk Gun? Beberapa waktu lalu dia menanyakan kapan dan kenapa suamiku bisa meninggal. Sekarang dia menanyakan masalah pekerjaannya. Lantas aku harus jawab apa? Masalahnya aku ngeri, menumpuk satu kebohongan di atas kebohongan lain, akan menimbulkan kekacauan. Jadi dengan sangat terpaksa aku lagi-lagi harus memutar otak mencari sebuah nama. "Mita? "Abi..." sebutku akhirnya. Memilih satu nama yang mudah. "Abi Las." "Abi Las?" Gun mengulangi, hidungnya mengernyit, seolah nama tersebut meninggalkan aroma tidak sedap di udara. "Kenapa kamu harus tanya ini Gun?" "Kamu nggak memberikan informasi ini di resume profil kamu." "Apa itu penting?" "Saya perlu memastikan dia memang ada dan bukan hanya sekedar halusinasi." Mulutku membuka menutup, tangan berkeringat. Apakah entah bagimana dia bisa membaca pikiranku? "Kamu pikir Hiro dan Naga anak siapa kalau aku nggak punya suami? Kamu nggak berpikir aku melendung sendiri, kan?" "Mu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen