Home / Romansa / Suami Minta Rujuk, tapi Cintaku Sudah Mati / Bab 3. Mantan Istriku Seorang Dewi

Share

Bab 3. Mantan Istriku Seorang Dewi

Author: Astraea
last update Last Updated: 2025-08-01 09:27:47

William menekankan bibir tipisnya hingga membentuk garis datar yang dingin. "Grace, pulang sekarang juga!"

Grace terkekeh pelan, suaranya terdengar santai tapi menyebalkan. "Kamu pikir aku bakal nurut cuma karena kamu nyuruh? Kita udah cerai, Will. Aku gak harus nurutin perintahmu lagi."

William mengepalkan rahangnya, gusar. "Alasan perceraian itu… Aku kasih kamu kesempatan buat nulis ulang."

Senyum Grace melebar penuh tantangan. "Emang aku salah nulis? Kamu udah sadar enam bulan, tapi selama itu kamu bahkan nggak pernah nyentuh tanganku. Tiga tahun kamu koma, dan meski catatan medis kamu sempurna, aku punya alasan kuat buat percaya kamu punya... ya, masalah mekanis. Jadi, sebagai mantan istri yang baik, harapan terbaikku buat kamu cuma satu—semoga kamu bisa segera kembali jadi laki-laki seutuhnya. Coba aja konsultasi ke dokter tradisional. Siapa tahu bisa bantu."

William tidak menjawab. Tapi pembuluh darah di pelipisnya menonjol, wajahnya memerah karena amarah.

Wanita ini benar-benar berani memprovokasinya seperti ini?

"Grace, suatu hari nanti kamu bakal ngerti siapa yang sebenarnya kamu hadapi."

"Maaf, kamu nggak akan pernah dapat kesempatan itu."

"Grace!"

Bip. Bip.

Telepon terputus. Grace menutup telepon begitu saja.

William menatap ponselnya dengan tatapan membunuh. Genggamannya begitu kuat hingga hampir meremukkan benda itu.

"GRACE!" geramnya dengan suara bergetar karena amarah.

* * *

Sementara itu, Grace sudah duduk nyaman di sofa apartemen sahabatnya, Clara Duval. Saat menutup panggilan itu, Clara langsung tertawa terpingkal-pingkal dan mengacungkan jempol ke arahnya.

"Kamu keren banget, Grace! Aku yakin sekarang William lagi meledak-ledak di sana."

Grace menghela napas panjang sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa. Mungkin itu masalahnya. Dia mencintai pria itu terlalu dalam, terlalu lama. Dia memuja William seperti dewa, dan menaruhnya terlalu tinggi hingga tak bisa dijangkau.

Tapi sekarang, dia harus belajar mencintai dirinya sendiri lebih dulu.

Clara menyilangkan tangan di depan dada. "Jujur ya, tiga tahun lalu pas Camila tahu William cuma punya sedikit harapan untuk bisa bangun, dia langsung ninggalin tanpa mikir dua kali. Dan sekarang setelah dia sembuh, Camila datang lagi seolah nggak pernah terjadi apa-apa? Dan William masih mau sama Camila? Dia bodoh atau gila? Kalo gitu emang suamimu pantas ditinggal. Perceraian itu keputusan terbaik yang pernah kamu ambil."

Grace diam-diam membuka bungkus permen susu dan memasukkannya ke dalam mulut. Rasa manisnya meleleh di lidah, tapi tetap tidak mampu menghapus rasa getir yang mengendap di hatinya. "Itulah bedanya dicintai dan nggak dicintai."

Clara melirik ke arah meja dan melihat tumpukan bungkus permen. Ia menjulur, meraih tangan Grace, dan menariknya perlahan.

"Ayo, cukup. Jangan berlama-lama dalam rasa sedih. Kamu memang kehilangan satu pohon, tapi kamu punya seluruh hutan yang menunggu untuk ditemukan. Malam ini aku udah rancang sesuatu yang spesial buat kamu. Delapan cowok model, sampanye dingin, dan pesta semalam suntuk!"

Grace memutar mata, geli. "Clara, kamu selalu dramatis."

Clara terkekeh, lalu dengan gerakan cepat menyambar kacamata berbingkai hitam dari wajah Grace dan melemparkannya langsung ke tempat sampah.

"Kacamataku!" protes Grace, buru-buru membungkuk untuk mengambilnya.

"Tunggu!" Clara menghentikannya dengan tangan terentang. "Grace, kamu itu cantik, tapi gaya kamu kayak kutu buku yang nggak percaya diri. Coba deh, liat Camila. Dia tahu gimana cara tampil. Kenapa kamu nggak? Padahal jujur aja kecantikan Camila mah gak ada apa-apanya dibandingkan kamu."

Grace terdiam sejenak. Ingatannya melayang ke masa lalu, ke masa kecil mereka yang dipenuhi perbandingan.

Ayah dan ibunya selalu melihatnya seperti anak itik buruk rupa. Sementara Camila—saudara tirinya—selalu menjadi angsa putih.

Dan William? Mungkin dia berpikir hal yang sama.

Clara menepuk lengannya, kemudian menariknya menuju pintu apartemen.

"Kita akan ubah semuanya malam ini. Belanja outfit baru, makeover total, manikur, styling rambut, dan riasan. Setelah selesai, bukan cuma William yang bakal kaget, tapi seluruh San Francisco!"

Tiba-tiba Clara berhenti melangkah dan menatap Grace dengan penuh curiga.

"Eh, kamu yakin nggak mau minta apa-apa dari perceraian ini?"

"Aku punya uang sendiri," jawab Grace datar.

Clara mengangkat alisnya tinggi. "Jadi kamu rela ngasih semua yang William punya ke Camila gitu aja? Percaya deh, dia pasti seneng banget dapat semua itu."

Grace menggertakkan bibirnya, tapi tidak menjawab.

"Terus, kartu yang William kasih ke kamu gimana?" Clara bertanya lagi.

William memang bukan pria pelit. Saat mereka menikah, ia pernah memberinya kartu hitam berlapis emas—simbol kekayaan dan akses tanpa batas. Tapi Grace tak pernah sekalipun menyentuhnya.

Perlahan, ia membuka tas dan mengeluarkan kartu itu. Permukaannya berkilau di bawah cahaya lampu. Matanya tertuju pada nama William Donovan yang tercetak elegan di pojok kanan bawah.

Lalu ia melirik ke arah Clara, dan tersenyum kecil dengan kilatan iseng di matanya.

"Aku belum pernah pakai ini," katanya pelan.

Clara berseru senang. "Yaa ampun, Grace. Kita punya misi baru malam ini!"

“Oke. Malam ini, aku akan foya-foya… dan William-lah yang mentraktirku,” kata Grace sambil tersenyum tajam.

* * *

Malam harinya, di Bar Lumière.

Tempat ini selalu jadi pusat pesta paling panas di San Francisco—langganan para pewaris kaya, anak-anak muda elit, dan sosialita haus perhatian yang ingin menghabiskan malam dalam gemerlap, alkohol, dan sorotan.

Cahaya remang-remang berpadu dengan dentuman musik EDM yang mengguncang lantai, menciptakan atmosfer liar dan penuh energi.

Di sudut panggung, sang DJ berteriak memberi semangat, sementara kerumunan menari liar di bawah kilatan lampu strobo yang berkedip cepat.

Namun di lantai atas, di area VIP yang mewah dan tenang, suasana sangat berbeda. Sofa beludru hitam melingkar membingkai meja kaca besar, dan di tempat paling strategis, William Donovan duduk dengan tenang.

Kemeja hitamnya terbuka dua kancing atas, memperlihatkan sedikit kulit dada dan mempertegas kesan santai namun dominan. Lengan bajunya digulung rapi, menampilkan otot lengan bawah dan jam tangan baja bernilai tinggi yang memantulkan kilau lampu bar.

Sikapnya yang dingin, elegan, dan sedikit angkuh berhasil menarik perhatian hampir semua wanita yang lewat. Aura magnetisnya terlalu sulit untuk diabaikan.

Di sebelahnya, Riley Ashford, pewaris keluarga real estate ternama, tertawa terbahak-bahak bersama beberapa tuan muda lainnya yang duduk mengelilingi mereka.

"Hahaha! Tunggu deh, kamu tadi bilang Grace yang minta cerai?" Riley tertawa keras sambil memegang gelasnya.

Yang lain ikut tertawa bergantian.

"Please, semua orang tahu Grace tergila-gila sama William! Dia bahkan jagain William pas dia koma. Dan sekarang dia tiba-tiba mutusin buat pergi gitu aja?"

"Ayo, kita taruhan. Berapa lama dia bakal tahan sebelum balik merangkak minta balikan?"

Riley mengangkat alis, wajahnya penuh candaan. "Menurutku sih dia nggak akan tahan sampai besok pagi. Dia pasti udah nyesel sekarang dan lagi nyari alasan buat ngontak William."

William tidak ikut tertawa. Raut wajahnya tertutup rapat. Rahangnya mengeras, dan matanya menatap kosong ke arah meja seolah sedang menahan sesuatu yang mendidih dalam dirinya.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia mengeluarkan ponselnya. Tangannya membuka W******p dan menggulir ke chat terakhir dengan Grace.

Pesan terakhir dikirim kemarin malam.

Sebuah foto mangkuk sup tulang yang mengepul, disertai teks sederhana:

"Sayangku, meskipun kepadatan tulangmu udah normal lagi, kamu tetap harus minum kaldu. Pulang lebih awal malam ini ya."

William diam menatap layar. Lalu menggulir lebih jauh ke atas.

Puluhan pesan. Semua dari Grace, tapi tapi satu pun dia balas.

Ding.

Sebuah notifikasi muncul di layar.

Riley langsung berseru, matanya berbinar. "Tuh kan! Udah ku bilang! Dia pasti nyerah!"

Ding. Ding. Ding.

Notifikasi lain berdatangan bertubi-tubi.

Semua orang tertawa lebih keras.

"Kita udah tahu, bro! Grace nggak akan bertahan 24 jam!"

"William, cepet baca, dia pasti lagi minta balikan tuh!"

Senyum kecil nyaris tak terlihat muncul di wajah William.

Ia telah menunggu dengan tenang, seperti raja di atas takhtanya. Karena pada akhirnya, Grace akan kembali. Dia selalu kembali. Itu sudah pasti.

Dengan penuh percaya diri, dia membuka pesan-pesan baru itu.

Dan membeku.

Riley yang kepo ikut melirik dan tanpa sadar membaca keras-keras:

"Pelanggan SVIP yang terhormat, kartu Anda yang diakhiri dengan 0975 telah didebit sebesar 80 dolar di salon manikur Nail District SF."

Hening.

Para pria muda itu saling menatap, bingung.

William melanjutkan membaca dalam hati.

"Kartu Anda yang diakhiri dengan 0975 telah didebit sebesar 2 dolar di salon Gloss Atelier."

"Kartu Anda yang diakhiri dengan 0975 telah didebit sebesar 86.000 dolar di butik Chanel."

"Kartu Anda yang diakhiri dengan 0975 telah didebit sebesar 240.000 dolar di Louis Vuitton."

Keheningan menggantung di udara.

Tidak ada permintaan maaf.

Tidak ada pesan manis.

Tidak ada apa-apa.

Hanya serangkaian transaksi dengan nominal gila.

Seolah-olah Grace sedang... merayakan perceraiannya.

Tidak satu pun dari para pewaris muda itu yang berani tertawa lagi, dan atmosfer ruangan mendadak menjadi dingin.

Riley menelan ludah. "Dia... belanja?"

"Kayaknya dia lagi makeover, bro," komentar yang lain, suaranya melemah.

"Mungkin dia pengen jadi kayak Camila?" komentar yang lain, terdengar kurang yakin.

"Camila itu mawar merah, ratu San Francisco. Grace cuma gadis biasa. Mau secantik apa pun, dia nggak akan pernah nyamain Camila."

"Itik buruk rupa tetap aja itik buruk rupa," ujar salah satu dari mereka sambil tertawa kecil.

Namun sebelum tawa itu sempat menyebar lagi, suara riuh dari lantai bawah mengguncang seluruh bar.

Tawa mereka terhenti.

Sementara itu, kerumunan di bawah mulai bergerak liar.

Tiba-tiba, suara lantang menembus dentuman musik:

"Lihat aku! Seorang dewi!"

Sekejap, semua kepala di dalam bar berpaling mencari sumber suara itu.

William, yang baru saja keluar untuk melihat keributan, menyipitkan mata saat matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal.

Dan napasnya tercekat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Minta Rujuk, tapi Cintaku Sudah Mati   Bab 24. Salep dan Rasa Cemburu

    “Karena kamu nyebelin,” balas si G. William bisa merasakan nada kesal meskipun itu hanya sebuah chat.Pria itu mengerutkan kening. Ia tak mengerti sama sekali kenapa G ini tiba-tiba bereaksi seperti itu.Namun ia hanya membalas dengan bertanya "apa maksudmu?", lalu meletakkan ponselnya di meja dan kembali fokus pada dokumen-dokumen yang sedang ia pelajari.Begitu pekerjaannya rampung, malam sudah larut. William berdiri, berjalan ke dapur untuk menuang segelas air putih, dan saat kembali ke kamar, matanya melirik ke arah ranjang. Grace sudah tertidur.Ia berniat kembali ke sofa, tetapi saat itu juga, suara notifikasi terdengar.Ponsel Grace yang tergeletak di samping bantal menyala. Sebuah pesan masuk.William melirik sejenak. Dalam sepersekian detik, matanya menyipit. Pandangannya tertuju pada layar ponsel yang menampilkan sebuah pop up beberapa chat di WhatsApp.Dan ia tertegun. Salah satu pesan yang tampil di home screen adalah dirinya.Tubuhnya bergerak cepat mendekati ranjang. Ta

  • Suami Minta Rujuk, tapi Cintaku Sudah Mati   Bab 23. Gadis yang Memblokirku

    William baru saja selesai mandi dan kini mengenakan piyama sutra berwarna hitam. Rambutnya masih basah, dan beberapa tetes air terlihat mengalir perlahan dari ujungnya. Uap tipis yang menyelimuti tubuhnya membuat pria itu terlihat lebih muda dan memesona dibanding saat ia memakai jas resmi. Grace melirik sekilas ke arahnya. Pria itu memang punya penampilan yang luar biasa. Suara dering ponsel yang lembut mendadak memecah keheningan. Seseorang menelepon. William melangkah pelan dan mengangkat panggilan itu, lalu suara Paul terdengar dari seberang. "Ada kabar, Tuan. White Scalpel bersedia menemui Anda besok di rumah sakit pusat." Ekspresi William tetap datar. "Waktu itu dia datang lalu pergi sesuka hati, sok misterius. Besok, aku mau lihat siapa dia sebenarnya." Seketika, tubuh Grace terasa dingin. Jantungnya mencelus. Itu akhir baginya. William belum lupa bagaimana White Scalpel mempermainkannya. Berani-beraninya dia? Dia tidak akan membiarkannya lolos begitu saja. Besok, merek

  • Suami Minta Rujuk, tapi Cintaku Sudah Mati   Bab 22. Kalau itu Theo

    Grace sudah tidak mencintai William. Tatapan dingin William mengunci pandangannya. Mata itu tajam, seolah bisa menembus isi pikirannya. Sebuah senyum miring mengembang di sudut bibir pria itu. "Aku beneran udah nggak ada di hatimu?" "...Iya... Mm!" Belum sempat Grace menyelesaikan kalimatnya, William tiba-tiba membungkuk dan mencium bibirnya dengan kasar. Kepala Grace langsung kosong. Tatapannya membelalak, tak percaya kalau pria itu menciumnya begitu saja. Ini bukan pertama kalinya mereka berciuman. Tapi waktu terakhir—di kamar mandi—dia yang mencium duluan. Dia yang menarik, memeluk, dan mencium pria itu. Tapi kali ini... William yang melakukannya lebih dulu. Grace langsung bereaksi. Ia mendorong dada pria itu, mencoba menjauh. "William, lepasin aku!" ucapnya yang hanya terdengar seperti gumaman tidak jelas. Namun tubuh besar William mendesaknya ke dinding. Bibirnya menekan dengan kuat, penuh dominasi dan hasrat yang agresif. Begitu Grace membuka mulut untuk bicara, Willia

  • Suami Minta Rujuk, tapi Cintaku Sudah Mati   Bab 21. Persetan Denganmu, William!

    "Ahhh!" Teriakan Camila yang melengking membuat William menginjak rem mendadak, dan Mercedes-Maybach yang mereka tumpangi berhenti seketika. Camila terengah-engah, wajahnya pucat ketakutan. “Kamu ngapain sih, nyetir secepat itu?” Wajah William tetap dingin dan sulit ditebak. Saat menoleh ke depan, dia sadar Lamborghini yang tadinya hampir dia kejar kini sudah melesat pergi entah ke mana. Dia mengatupkan bibir tipisnya. “Kamu gak apa-apa?” Camila mengangguk kecil. “Aku gak apa-apa.” Tapi setelah itu dia menambahkan dengan nada getir, “Aku bener-bener gak nyangka Grace bisa dapetin perhatian Theo... Kamu lihat sendiri gimana dia joget di dance floor tadi, kan? Dia cuma cewek kampung yang gak berpendidikan. Pasti hidupnya cuma diisi belajar godain cowok. Murahan banget, gak ada harga diri.” Tatapan William berubah dingin. Bayangan Grace yang bergerak luwes di tengah keramaian langsung muncul di benaknya. Bahkan Theo, yang selama ini dikenal picky dan gak gampang tertarik, bisa jat

  • Suami Minta Rujuk, tapi Cintaku Sudah Mati   Bab 20. Perhatian yang Tercuri

    "Itu dia!" Theo langsung mengenalinya. Sementara itu, Camila menatap dengan pandangan tak percaya. Grace, di tengah kerumunan, sedang menari? Di bawah cahaya terang Bar Lumière, tubuhnya bergerak luwes di dekat Clara, mengikuti irama musik dengan keanggunan yang sulit dijelaskan. Gerakannya terlihat alami, tanpa usaha berlebihan, tapi setiap detailnya terkendali dan memesona. Bahkan Camila, yang dikenal sebagai penari balet terbaik, harus mengakui dalam hati. Grace menari lebih baik darinya. Lebih menggoda. Lebih berbahaya. Gila. Para pria di Bar tak bisa mengalihkan pandangan. Siulan dan sorakan mulai terdengar dari berbagai sudut ruangan. Tatapan mereka sudah cukup jadi bukti. Camila mengepal tangan. Dadanya sesak oleh amarah yang mulai naik ke ubun-ubun. Cewek kampung itu? Berani-beraninya mencuri perhatian seperti ini? Kenapa harus Grace lagi yang bersinar? Tiba-tiba, Camila merasakan kekosongan. Tangan William... sudah tak lagi melingkari pinggangnya. Pria itu melangkah

  • Suami Minta Rujuk, tapi Cintaku Sudah Mati   Bab 19. Terlalu Cantik untuk Diabaikan

    William menunduk, menatap foto di tangannya. Matanya yang gelap dan tajam tiba-tiba menyipit. Ferrari itu… terlihat sangat familiar. Ia mengangkat pandangannya ke arah Theo. "Perempuan itu yang nyetir mobil ini?" Theo mengangguk pelan. "Iya. Dan dia bahkan berhasil ninggalin aku di belakang. Perempuan itu bener-bener menarik." Kalau ingatannya nggak salah, itu Ferrari yang pernah dia kasih ke Grace. Awalnya dia kira Grace meminta Ferarri hanya untuk menguras uangnya, dia bahkan tidak pernah tahu kalau Grace benar-benar bisa nyetir mobil sport. William tahu betul kemampuan nyetir Theo. Mereka pernah turun bersama di lintasan balap beberapa kali. Tapi sekarang... Grace, cewek dari kampung yang polos dan pendiam itu, bisa meninggalkan Theo dengan Ferrari? Saat itulah Paul muncul dan langsung mendekat. "Pak." William berdiri. "Aku pergi sebentar," katanya. Langsung keluar dari lounge mewah itu. Paul sedikit berbisik saat mulai bicara. "Pak, tadi, Nyonya Grace sempat telepon. Katan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status