Hari itu seharusnya menjadi hari istimewa bagi Grace, karena hari ini adalah hari ulang tahun William, suaminya.
Ia sudah menghabiskan sore di dapur untuk menyiapkan makan malam spesial untuk William. Ia tak menginginkan apa pun yang mewah, hanya momen sederhana yang berarti. Meja sudah rapi. Lilin sudah dinyalakan. Aroma rosemary dari daging panggang memenuhi ruangan. Namun, saat Grace kembali ke ruang tamu, sebuah notifikasi dari ponsel William yang tertinggal di atas sofa menarik perhatiannya. Ding. Pesan masuk dari seorang wanita. “Aku kebentur pas ambil kue... Sakit banget.” Terlampir sebuah foto. Bukan wajah, bukan juga tubuh secara utuh. Hanya sepasang kaki yang difoto dari sudut bawah. Stoking putih terlihat sedikit tergulung, memperlihatkan kulit mulus yang sangat muda. Sepatu hitam kecil berujung bulat bertengger rapi di ujung kaki ramping itu, dan rok pendek digulung cukup tinggi, menampilkan paha halus yang tampak menggoda. Lututnya terlihat memerah, seolah baru saja terbentur keras. Tapi yang membuat napas Grace tercekat bukan lukanya, melainkan kesan yang ditampilkan—terlalu sensual untuk disebut kebetulan. Usia muda. Kulit bersih. Gaya menggoda yang dicampur dengan kepolosan yang khas. Kombinasi yang, konon katanya, mampu membutakan pria-pria sukses seperti William. Jari-jemari Grace mencengkeram ponsel itu begitu keras hingga buku-buku jarinya memutih. Ding. Satu pesan lagi muncul. “Tuan Donovan, ketemu yuk di Hotel Celestine malam ini... Aku pengen rayain ulang tahun kamu.” Ulang tahun William. Dan seseorang jelas sedang menyiapkan kejutan untuknya. Seseorang selain Grace. Dalam hitungan detik, Grace mengambil tasnya dan melangkah keluar rumah tanpa mematikan kompor. Ia bahkan tidak tahu ke mana harus pergi terlebih dahulu. Tapi langkahnya membawanya ke Hotel Celestine. Ia tak ingin menebak lagi, ia harus melihat semuanya sendiri. Siapa gadis ini sebenarnya? Begitu tiba di depan hotel, Grace baru saja hendak masuk ketika sebuah pemandangan menghentikan langkahnya. Di seberang lobi, berdiri dua sosok yang begitu ia kenal. Patrick dan Melanie Whitmore. Orangtuanya. Terkejut, ia segera mendekat. “Dad? Mom? Ngapain kalian di sini?” tanyanya dengan napas sedikit tercekat. Patrick dan Melanie saling bertukar pandang. Ada keraguan di mata mereka, juga rasa bersalah yang samar. “Grace... Adikmu di San Francisco. Dia nginap di sini,” jawab Patrick, nada suaranya terdengar seperti orang yang berusaha menyembunyikan sesuatu. Adiknya? Camila? Rasa tidak nyaman menjalari tubuh Grace. Ada sesuatu yang tidak benar. Kepalanya menoleh secara naluriah ke arah jendela besar hotel itu. Dan waktu seolah berhenti. Di balik jendela, ia melihat sosok seorang gadis berdiri membelakangi kaca. Rambut panjang bergelombang. Pakaian yang sama persis seperti foto yang barusan ia lihat. Stoking putih. Sepatu hitam. Rok tergulung tinggi. Camila. Grace tidak percaya. Suaranya tertelan. Seluruh tubuhnya membeku. Gadis dalam foto itu adalah adiknya sendiri. Camila Whitmore. Adiknya termasuk gadis paling cantik di San Francisco, dijuluki Rose of San Francisco karena kecantikannya yang luar biasa. Setiap pesta, setiap perayaan, semua mata selalu tertuju padanya. Kakinya yang jenjang dan sempurna bahkan jadi legenda di kampus dan klub sosial. Sekarang, kaki yang sama itu digunakan untuk merayu suami orang. Suami kakaknya sendiri. Grace ingin tertawa, tapi tidak ada humor dalam kenyataan ini. Semuanya begitu menyakitkan dan konyol dalam waktu bersamaan. Ia menarik napas panjang, menoleh perlahan ke arah Patrick dan Melanie, lalu berkata dengan suara yang dingin dan mantap, “Guess I’m the last one to know.” Patrick menghela napas, lalu tersenyum lemah seperti seseorang yang akhirnya menyerah menghadapi badai. “Grace... William emang nggak pernah cinta sama kamu,” kata sang ayah tanpa iba. Ibunya menambahkan dengan cepat, suaranya terdengar tenang tapi menyakitkan. “Sayang... kamu tahu nggak, banyak banget wanita di luar sana yang rela mati buat dapetin posisi kamu sekarang. Tapi daripada suamimu direbut orang asing, lebih baik dia jatuh ke tangan adikmu sendiri.” Tangan Grace mengepal tanpa sadar. “Ayah... Ibu... aku juga putri kalian,” katanya lirih. Ia berbalik, ingin segera pergi, namun suara tajam Melanie menghentikannya. “Grace, jujur deh. William pernah nyentuh kamu nggak selama kalian nikah?” Langkah Grace langsung terhenti di ambang pintu. Ia menatap lantai tanpa berkata apa pun. Patrick menyusul dengan nada suara yang lebih tenang, tapi jelas tidak menyisakan ruang untuk penyangkalan. “Jangan bohong sama diri sendiri, Grace. William sama Camila itu udah ditakdirin bersama. Semua orang tahu itu. Kalau aja waktu itu dia nggak kecelakaan dan koma, kamu nggak akan pernah jadi istrinya. Kamu nikah sama dia cuma buat gantiin posisi Camila, sementara dia hilang.” Melanie memandang Grace dari ujung kepala sampai kaki, matanya penuh penilaian dan penghinaan yang nyaris tak tertutupi. “Lihat dirimu. Tiga tahun menikah, dan kamu nggak lebih dari ibu rumah tangga biasa yang ngikutin suamimu ke mana pun, jadi bayangannya terus. Sementara itu, Camila udah jadi balerina prima, dan bintang di atas panggung. Dia angsa putih, kamu cuma... bebek yang salah tempat. Apa yang kamu punya buat ngelawan dia? Grace, kamu seharusnya tahu diri. Balikin William ke Camila.” Setiap kata yang dilontarkan ibunya terasa seperti pisau yang menusuk pelan-pelan ke dalam hatinya. Air mata sudah mulai menggenang di mata Grace, tapi ia tidak menjawab sepatah kata pun. Ia hanya membalikkan badan dan berjalan pergi. * * * Ketika ia kembali ke rumahnya, langit sudah gelap. Kota San Francisco telah berubah menjadi lautan lampu. Rumah itu tampak sepi, dingin, dan gelap, karena Sophie, asisten rumah tangganya, sudah diberi libur malam. Grace melangkah pelan ke ruang makan, duduk sendirian di meja yang sudah tertata rapi. Hidangan yang ia siapkan dengan cinta kini sudah dingin. Kue ulang tahun berdiri diam di tengah meja, dengan dekorasi sederhana dan kata-kata yang ia tulis sendiri dengan icing berwarna putih di atas permukaannya. “Selamat ulang tahun, cintaku.” Kini kalimat itu terdengar begitu menyakitkan. Ironis. Sama seperti seluruh pernikahan ini—penuh kebohongan yang dibungkus manis. William dan Camila selalu menjadi pasangan ideal dalam dunia sosial elite San Francisco. Camila Whitmore, “Rose of San Francisco,” wanita yang dicintai semua orang—terutama William. Namun tiga tahun lalu, sebuah kecelakaan mengerikan membuat William koma. Dan Camila, entah kenapa, menghilang begitu saja. Di saat itulah, keluarga Whitmore menarik Grace kembali dari kehidupan tenangnya di pedesaan. Mereka memaksanya menikahi pria yang tidak sadarkan diri, hanya karena ia satu-satunya yang bisa ‘menggantikan’ Camila. Tapi ketika ia tahu bahwa pria yang akan dia nikahi adalah William, pria yang telah diam-diam ia cintai sejak lama, ia menerima pernikahan itu tanpa ragu. Selama tiga tahun, ia mengabdikan diri. Ia tidak mengejar karirnya, tidak bersosialisasi, tidak bersenang-senang. Hidupnya hanya berputar di sekitar suaminya. Ia yang merawat dan menjaganya dengan harapan agar William bangun kembali. Dan pada akhirnya, berkat dirinya, William kembali dari ambang maut. Grace memadamkan lilin-lilin di meja satu per satu. Dalam pantulan kaca buffet di seberangnya, ia menangkap bayangan dirinya sendiri. Sosok perempuan dengan gaun hitam-putih yang sederhana, wajah lelah dan kosong, berdiri kaku seperti boneka porselen yang diletakkan di pojok ruangan. Ia terlihat membosankan. Tak punya pesona. Tak seperti Camila, yang bersinar di panggung sebagai balerina berbakat. Angsa putih yang menawan. Sedangkan dirinya? Ia hanyalah itik buruk rupa yang tak pernah benar-benar bisa terbang. Sekarang, setelah William terbangun, ia kembali kepada angsa putihnya. Meninggalkan Grace yang telah mengorbankan segalanya demi dia. Tiga tahun... sia-sia. Ia menyalakan kembali satu lilin, lalu meniupnya perlahan, matanya basah oleh air mata. Kegelapan kembali menyelimuti rumah itu. Tiba-tiba, dua lampu terang menyinari jalan masuk. Sebuah Rolls-Royce Phantom meluncur dan berhenti dengan tenang di halaman depan. Grace tertegun. Bulu matanya bergetar. Ia pikir William tidak akan kembali malam ini. Namun kenyataannya, ia kembali. Beberapa detik kemudian, pintu depan terbuka. Udara malam yang dingin menyertai sosok yang masuk ke dalam rumah. William Donovan. Sebagai pewaris keluarga Donovan, William tumbuh di tengah gemerlap dan prestise. Sejak usia 16 tahun, ia telah memiliki dua gelar dari Universitas Havre, lalu mendirikan perusahaan sendiri yang sukses di Redwood City. Ia adalah sosok yang dikenal cerdas, tajam, dan luar biasa karismatik. Kini, ia menjadi salah satu pengusaha paling berpengaruh di San Francisco. Pria itu melangkah ke dalam dengan percaya diri. Suaranya yang dalam mengisi keheningan rumah. “Kenapa rumahnya gelap banget?” tanyanya. Tanpa menunggu jawaban, ia menyalakan lampu di dinding. Cahaya yang mendadak terang menyilaukan mata Grace, membuatnya memejamkan mata sesaat sebelum menatap William. Pria itu mengenakan setelan hitam rancangan khusus, elegan dan sempurna di tubuhnya. Wajahnya tegas, tatapannya tenang namun dingin. Ia adalah mimpi setiap wanita di dunia elite—sayangnya, mimpi buruk bagi Grace. Dengan suara pelan namun mantap, Grace berkata, “Hari ini ulang tahun kamu.” William tidak menunjukkan ekspresi. Tatapannya hanya melirik sekilas ke arah meja makan, lalu ia menjawab tanpa emosi. “Lain kali, jangan buang waktu kamu. Aku nggak ngerayain beginian.” Grace tersenyum kecil, seolah ia sudah mendengar kalimat itu ribuan kali. Bibir merahnya melengkung halus. “Kamu nggak ngerayain ulang tahun... atau kamu cuma nggak pengen ngerayain bareng aku?” William menoleh, menatapnya sebentar. Tapi sorot matanya tetap datar. “Terserah kamu mau mikir apa," katanya, lalu melanjutkan langkahnya, menaiki tangga tanpa menoleh lagi. William selalu seperti itu. Seberapa keras pun Grace mencoba, hatinya tetap dingin dan tak bisa disentuh. Grace berdiri, memandangi punggung pria itu yang semakin menjauh. Ia menarik napas dalam, lalu berkata dengan tenang. “Hari ini ulang tahun kamu. Aku punya hadiah.” Langkah William tak melambat. Ia hanya menjawab sambil terus naik. “Aku nggak butuh hadiah.” Grace tertawa pelan, hambar namun terasa seperti ironi yang manis. Senyumnya tipis. Namun di balik senyum itu, ada keputusan yang telah dibuat. “William,” katanya pelan. “Ayo kita cerai.” Langkah William terhenti. Ia diam beberapa detik sebelum perlahan berbalik. Matanya yang gelap menusuk tajam ke arah Grace.“Karena kamu nyebelin,” balas si G. William bisa merasakan nada kesal meskipun itu hanya sebuah chat.Pria itu mengerutkan kening. Ia tak mengerti sama sekali kenapa G ini tiba-tiba bereaksi seperti itu.Namun ia hanya membalas dengan bertanya "apa maksudmu?", lalu meletakkan ponselnya di meja dan kembali fokus pada dokumen-dokumen yang sedang ia pelajari.Begitu pekerjaannya rampung, malam sudah larut. William berdiri, berjalan ke dapur untuk menuang segelas air putih, dan saat kembali ke kamar, matanya melirik ke arah ranjang. Grace sudah tertidur.Ia berniat kembali ke sofa, tetapi saat itu juga, suara notifikasi terdengar.Ponsel Grace yang tergeletak di samping bantal menyala. Sebuah pesan masuk.William melirik sejenak. Dalam sepersekian detik, matanya menyipit. Pandangannya tertuju pada layar ponsel yang menampilkan sebuah pop up beberapa chat di WhatsApp.Dan ia tertegun. Salah satu pesan yang tampil di home screen adalah dirinya.Tubuhnya bergerak cepat mendekati ranjang. Ta
William baru saja selesai mandi dan kini mengenakan piyama sutra berwarna hitam. Rambutnya masih basah, dan beberapa tetes air terlihat mengalir perlahan dari ujungnya. Uap tipis yang menyelimuti tubuhnya membuat pria itu terlihat lebih muda dan memesona dibanding saat ia memakai jas resmi. Grace melirik sekilas ke arahnya. Pria itu memang punya penampilan yang luar biasa. Suara dering ponsel yang lembut mendadak memecah keheningan. Seseorang menelepon. William melangkah pelan dan mengangkat panggilan itu, lalu suara Paul terdengar dari seberang. "Ada kabar, Tuan. White Scalpel bersedia menemui Anda besok di rumah sakit pusat." Ekspresi William tetap datar. "Waktu itu dia datang lalu pergi sesuka hati, sok misterius. Besok, aku mau lihat siapa dia sebenarnya." Seketika, tubuh Grace terasa dingin. Jantungnya mencelus. Itu akhir baginya. William belum lupa bagaimana White Scalpel mempermainkannya. Berani-beraninya dia? Dia tidak akan membiarkannya lolos begitu saja. Besok, merek
Grace sudah tidak mencintai William. Tatapan dingin William mengunci pandangannya. Mata itu tajam, seolah bisa menembus isi pikirannya. Sebuah senyum miring mengembang di sudut bibir pria itu. "Aku beneran udah nggak ada di hatimu?" "...Iya... Mm!" Belum sempat Grace menyelesaikan kalimatnya, William tiba-tiba membungkuk dan mencium bibirnya dengan kasar. Kepala Grace langsung kosong. Tatapannya membelalak, tak percaya kalau pria itu menciumnya begitu saja. Ini bukan pertama kalinya mereka berciuman. Tapi waktu terakhir—di kamar mandi—dia yang mencium duluan. Dia yang menarik, memeluk, dan mencium pria itu. Tapi kali ini... William yang melakukannya lebih dulu. Grace langsung bereaksi. Ia mendorong dada pria itu, mencoba menjauh. "William, lepasin aku!" ucapnya yang hanya terdengar seperti gumaman tidak jelas. Namun tubuh besar William mendesaknya ke dinding. Bibirnya menekan dengan kuat, penuh dominasi dan hasrat yang agresif. Begitu Grace membuka mulut untuk bicara, Willia
"Ahhh!" Teriakan Camila yang melengking membuat William menginjak rem mendadak, dan Mercedes-Maybach yang mereka tumpangi berhenti seketika. Camila terengah-engah, wajahnya pucat ketakutan. “Kamu ngapain sih, nyetir secepat itu?” Wajah William tetap dingin dan sulit ditebak. Saat menoleh ke depan, dia sadar Lamborghini yang tadinya hampir dia kejar kini sudah melesat pergi entah ke mana. Dia mengatupkan bibir tipisnya. “Kamu gak apa-apa?” Camila mengangguk kecil. “Aku gak apa-apa.” Tapi setelah itu dia menambahkan dengan nada getir, “Aku bener-bener gak nyangka Grace bisa dapetin perhatian Theo... Kamu lihat sendiri gimana dia joget di dance floor tadi, kan? Dia cuma cewek kampung yang gak berpendidikan. Pasti hidupnya cuma diisi belajar godain cowok. Murahan banget, gak ada harga diri.” Tatapan William berubah dingin. Bayangan Grace yang bergerak luwes di tengah keramaian langsung muncul di benaknya. Bahkan Theo, yang selama ini dikenal picky dan gak gampang tertarik, bisa jat
"Itu dia!" Theo langsung mengenalinya. Sementara itu, Camila menatap dengan pandangan tak percaya. Grace, di tengah kerumunan, sedang menari? Di bawah cahaya terang Bar Lumière, tubuhnya bergerak luwes di dekat Clara, mengikuti irama musik dengan keanggunan yang sulit dijelaskan. Gerakannya terlihat alami, tanpa usaha berlebihan, tapi setiap detailnya terkendali dan memesona. Bahkan Camila, yang dikenal sebagai penari balet terbaik, harus mengakui dalam hati. Grace menari lebih baik darinya. Lebih menggoda. Lebih berbahaya. Gila. Para pria di Bar tak bisa mengalihkan pandangan. Siulan dan sorakan mulai terdengar dari berbagai sudut ruangan. Tatapan mereka sudah cukup jadi bukti. Camila mengepal tangan. Dadanya sesak oleh amarah yang mulai naik ke ubun-ubun. Cewek kampung itu? Berani-beraninya mencuri perhatian seperti ini? Kenapa harus Grace lagi yang bersinar? Tiba-tiba, Camila merasakan kekosongan. Tangan William... sudah tak lagi melingkari pinggangnya. Pria itu melangkah
William menunduk, menatap foto di tangannya. Matanya yang gelap dan tajam tiba-tiba menyipit. Ferrari itu… terlihat sangat familiar. Ia mengangkat pandangannya ke arah Theo. "Perempuan itu yang nyetir mobil ini?" Theo mengangguk pelan. "Iya. Dan dia bahkan berhasil ninggalin aku di belakang. Perempuan itu bener-bener menarik." Kalau ingatannya nggak salah, itu Ferrari yang pernah dia kasih ke Grace. Awalnya dia kira Grace meminta Ferarri hanya untuk menguras uangnya, dia bahkan tidak pernah tahu kalau Grace benar-benar bisa nyetir mobil sport. William tahu betul kemampuan nyetir Theo. Mereka pernah turun bersama di lintasan balap beberapa kali. Tapi sekarang... Grace, cewek dari kampung yang polos dan pendiam itu, bisa meninggalkan Theo dengan Ferrari? Saat itulah Paul muncul dan langsung mendekat. "Pak." William berdiri. "Aku pergi sebentar," katanya. Langsung keluar dari lounge mewah itu. Paul sedikit berbisik saat mulai bicara. "Pak, tadi, Nyonya Grace sempat telepon. Katan