Beranda / Romansa / Suami Minta Rujuk, tapi Cintaku Sudah Mati / Bab 5. Hancurkan Aku, Kalau Berani

Share

Bab 5. Hancurkan Aku, Kalau Berani

Penulis: Astraea
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-01 09:28:43

Grace mengernyit, menatap tajam pria di depannya. “Maksudnya?”

William mengatupkan rahang, matanya menyipit. “Siapa yang nyuruh kamu pakai baju seprovokatif itu?”

Provokatif?

Grace langsung menantangnya balik. “William, bisa ngomong yang jelas, nggak?”

William menunduk, menatap ke arah roknya yang superpendek. “Paha kamu hampir kelihatan seluruhnya. Kamu beneran mau semua orang lihat itu?”

Grace ikut menunduk. 'Memang pendek,' pikirnya.

Rok itu dipilihkan Clara. Sebelumnya, sambil terkekeh, sahabatnya itu berkata, "Grace-ku, karena kamu terus nyembunyiin kakimu, makanya orang jadi nggak tahu betapa cantiknya tubuhmu. Malam ini, kita buktiin siapa yang punya kaki paling indah di San Francisco."

Saat mengingatnya, dia sempat ingin tertawa. Tapi sekarang, dia justru menaikkan sebelah alis dan melempar senyum tipis yang nyaris seperti tantangan. “Jadi, William. Kamu udah lihat kakiku?”

William tak langsung menjawab. Ia bersandar di dinding lorong, posturnya terlihat santai, tapi sorot matanya penuh ketegangan yang terbungkus sikap acuh tak acuh.

Grace mengangkat sedikit kaki kanannya, cukup untuk memperlihatkan kaki jenjangnya yang seksi pada William, lalu menurunkannya lagi ke lantai. Roknya ikut tersingkap sedikit, memperlihatkan garis pahanya sejenak sebelum kainnya jatuh kembali.

Sebuah provokasi yang dilakukan tanpa banyak kata.

William hanya bisa menatapnya. “Apa-, apaan, Grace?”

Grace menanggapi dengan senyum kecil, nyaris tak terlihat. “Aku cuma penasaran,” katanya pelan, “menurutmu, mana yang lebih bagus? Kakiku atau kaki Camila?”

Tatapan William bergerak ke wajahnya. Rambut wanita itu jatuh lembut di sekitar wajah, tertata tanpa kesan dibuat-buat, seolah setiap helainya tahu cara mempertegas kecantikannya. Wajahnya cantik dan halus, tapi di balik kelembutan itu ada sesuatu yang dewasa—tajam, nyaris dingin. Bukan sekadar cantik, tapi cukup berbahaya kalau disepelekan.

Dia memang perempuan baik-baik. Tapi bukan berarti dia tidak tahu cara bermain.

Tadi malam, William hanya sempat melihat sekilas kecantikan gadis berkacamata dengan senyum malu-malu, dia menyadari bahwa wanita ini memiliki sisi itu. Tapi malam ini, dia melihat wanita yang berdiri di hadapannya dengan percaya diri. Tak lagi ragu. Tak lagi bersembunyi.

Ada sensasi aneh di dadanya. Rasa familiar yang datang tanpa aba-aba. Déjà vu yang menghantui.

Grace kembali bicara, nada suaranya datar, tapi tajam. “Jawab dong. Kaki Camila pernah melingkar di pinggangmu, nggak?”

Seluruh San Francisco tahu, William dan Camila pernah terbakar dalam hubungan yang terlalu panas untuk anak seusia mereka. Penuh gairah, tanpa logika.

Jadi, tentu saja kaki ramping itu pernah melingkar di tubuhnya.

Kalau nggak, kenapa dia masih nggak bisa lepas?

Camila adalah perempuan yang beruntung. Dia berhasil mendapatkan pria yang selama ini dikenal sulit ditaklukkan. Bahkan, William tidak pernah sekalipun bicara padanya dengan kata-kata kasar.

Napas William berubah sedikit. Ritmenya lebih cepat. Tapi dia tetap tak menjawab, dan dua melangkahnya maju perlahan, mendekati Grace. “Aku nggak nyangka kamu bisa seputus asa ini,” katanya, nadanya dingin. “Segitu hausnya sama sentuhan laki-laki, bahkan sampai bayar delapan pria?”

Kalimat itu terasa seperti pukulan pelan di hati Grace. Tapi dia menahannya.

“Kamu bener,” jawabnya datar. “Kalau kamu nggak bisa memuaskanku, ya wajar dong aku cari yang lain.” Dia melangkah melewatinya, langkahnya ringan. “Kita udah tanda tangan cerai, kan?” Ia menoleh sedikit. “Akhirnya aku bisa milih laki-laki lain yang gak ngebosenin kayak kamu.”

Itu dia. Kalimat yang seharusnya tak pernah diucapkan.

'Akhirnya dia bisa memilih laki-laki yang tidak membosankan?'

William berubah. Mendadak berbalik, dan tangannya menangkap pergelangan Grace, lalu menariknya mundur.

Dalam satu gerakan cepat, ia mencengkeram dagunya dengan kuat. Ibu jarinya menyentuh bibir Grace, menekannya pelan. Seolah menguji… kelembutan? Kemarahan? Atau sesuatu di antara keduanya?

“Kamu sengaja provokasi aku, ya?” William bicara pelan, tapi ada nada sinis yang menyeret tiap katanya, seperti tantangan yang disampaikan tanpa senyum.

Grace tidak menjawab. Tatapannya tetap lurus, tapi tubuhnya menangkap tekanan itu, dingin yang merayap seperti bara tersembunyi.

William semakin mendekat, pelan namun pasti, dan saat jarak di antara mereka benar-benar lenyap, bibir mereka nyaris bersentuhan. Tatapannya menusuk, menelusup ke dalam, membongkar lapisan ketenangan yang coba Grace pertahankan.

“Berhenti mimpi. Aku nggak akan pernah menyentuh kamu. Satu-satunya perempuan yang aku cinta cuma Camila.”

Satu-satunya perempuan yang dicintainya... adalah Camila.

Ada sengatan tumpul di dada Grace. Pelan tapi menyusup dalam, seperti nyeri yang merayap diam-diam, menggerogoti dari dalam. Bukan luka yang menganga, tapi rasa sakit yang tetap membakar, dengan tenang menghancurkan. Tapi dia tidak akan membiarkan siapa pun melihatnya, terutama William. Jadi dia hanya tersenyum, sinis dan terkendali.

Saat itu juga, terdengar suara lembut memanggil dari kejauhan.

“William.”

Grace menoleh refleks. Tapi Camila belum muncul. Hanya suaranya. Tapi cukup untuk mencuri perhatian siapa pun di ruangan itu.

Camila, si mawar dari San Francisco. Sosok yang tak pernah bisa diabaikan. Senyumnya manis, bibir merahnya kontras dengan kulitnya yang pucat indah. Dan dengan tubuh lentur hasil balet bertahun-tahun, dia tampak nyaris tidak nyata. Seperti potret hidup dari lukisan yang indah.

William segera melepaskan Grace dan langsung melangkah menghampiri Camila. Ada perubahan nyata dalam sorot matanya. Lembut, nyaris hangat, sesuatu yang belum pernah dilihat Grace sebelumnya.

“Kamu datang?” tanyanya pelan.

Camila mengangguk, kemudian menoleh ke arah Grace, matanya menyipit sedikit. “Perempuan ini, dia...?”

---

Camila tidak mengenalinya. Tapi Grace, dia tidak pernah melupakan Camila.

Semua orang mengira mereka saudara tiri. Padahal, Grace dan Camila tidak memiliki hubungan darah. Mereka bukan saudara kandung, bukan dari pihak ayah maupun ibu. Patrick bukan ayah kandung Grace—dia hanya pria yang menikahi ibunya setelah ayah Grace meninggal dunia. Dan setelah ibu Grace wafat, Patrick menikah lagi dengan wanita lain, yang ternyata adalah ibu Camila.

Dulu, Grace memiliki keluarga yang bahagia. Ayahnya, Jonathan, dan ibunya, Vivian, sangat mencintainya. Ayahnya selalu memeluknya dengan hangat sambil tertawa, lalu berkata, "Grace-ku, kamu akan selalu bahagia, Ayah janji."

Sampai hari itu datang—hari ketika ayahnya meninggal dalam kecelakaan. Sejak saat itu, segalanya berubah.

Tak lama setelah itu, ibunya menikah dengan Patrick. Namun satu tahun kemudian, ia pun meninggal dunia, menyusul sang suami ke alam baka. Tak butuh waktu lama, Patrick kembali menikah—kali ini dengan ibu Camila.

Sejak saat itu, nama Grace mulai menghilang dari kehidupan keluarga itu. Orang tuanya yang baru kini dingin dan pilih kasih.

Kalau Camila mendapat nilai 99 dari 100, dan Grace mendapat nilai sempurna, Melanie akan memukul tangannya dengan penggaris kayu, dan berkata, "Kenapa sih kamu nggak pernah ngalah? Sekali aja kasih adikmu menang."

Saat Camila menjalani pengobatan untuk penyakit autoimunnya, rambutnya mulai rontok. Ia menangis sambil menatap helai-helai rambut yang berserakan di bantal.

Melanie berdiri di ambang pintu, matanya basah menatap putrinya, dan tanpa banyak kata, ia memanggil Grace, lalu mengambil mesin cukur.

“Sekarang kalian berdua sama-sama jelek,” katanya pelan. “Camila nggak akan merasa sendirian.”

Setiap malam, Melanie, Patrick, dan Camila tertawa bersama di kamar, berpelukan bertiga di atas ranjang.

Sementara itu, Grace duduk sendirian di balik pintu, memeluk boneka rusaknya, dan menangis, sambil berbisik kecil, "Mama... aku takut..."

Sampai akhirnya, hari itu datang. Hari ketika Camila menekankan bahwa seorang ibu hanya bisa punya satu anak perempuan.

Hari itu hujan turun deras.

Melanie mengajak Grace keluar kota, ke daerah pedesaan, dan meninggalkannya begitu saja.

Grace yang masih kecil berlari dalam keadaan basah kuyup, tubuhnya menggigil, berusaha mengejar mobil itu sambil berteriak:

"Bu, jangan tinggalin aku! Aku janji bakal baik ke Camila! Aku akan kasih semuanya buat dia! Aku nggak akan ngeluh lagi! Jangan tinggalin aku, Bu... Aku takut..."

Dia tersandung ke dalam kolam lumpur, bonekanya terlepas dari tangannya.

Dalam guyuran hujan yang sangat deras, dia hanya bisa melihat mobil itu menjauh, lalu menghilang.

Grace tidak pernah lupa. Terutama kata-kata Camila.

---

Riley tiba-tiba muncul dan melangkah cepat ke arah mereka.

“Camila... dia kakakmu, Grace,” katanya pelan.

Mata Camila melebar, wajahnya seketika pucat. “Grace...?”

Tentu saja, Grace tahu Camila tidak pernah menganggapnya sebagai saudara. Dia hanyalah bayangan.

Dulu, saat mereka kecil, Grace selalu dipaksa mengalah, dan saat mereka dewasa, Camila bersinar terang, menjadi ikon masyarakat kelas atas. Dia bahkan berhasil mendapatkan hati William, pria pewaris keluarga Donovan yang paling diincar semua orang.

Dipuja. Dimanja. Dicintai.

Camila tidak pernah butuh bertemu Grace lagi.

Teman-teman William sekarang berdiri tak jauh dari mereka, tercengang. Dan gumam Riley pelan tapi jelas terdengar. “Sial... Grace secantik itu sekarang...”

Tapi Camila tidak bergerak. Dia berdiri tegak, menatap Grace seolah melihat sesuatu yang mengganggunya.

Wanita di hadapannya ini jelas bukan gadis yang dulu ia tinggalkan di tengah hujan. Bukan lagi si kecil Grace yang lemah dan tersisih.

Camila melangkah maju, menyilangkan tangan di depan dada, dan menatapnya dari atas ke bawah. “Jadi sekarang kamu dandan kayak aku?”

Grace tertawa mengejek dan menatapnya tanpa gentar, bahunya ditarik ke belakang, punggungnya tegak sempurna. “Kalau itu bikin kamu bahagia, silakan percaya.” lalu dia tersenyum tipis. Wajahnya bercahaya di bawah lampu gantung yang temaram, sorot matanya tenang.

Camila mencibir, lalu melirik ke arah William dan tersenyum lembut seolah tak terjadi apa-apa. “Kudengar kamu bakal cerai sama William. Kamu beneran seputus asa itu sampai cari hiburan di klub? Duh, sedih banget. Kalau aku jadi kamu, mending cari kerja, deh.”

Sekali lagi Grace tersenyum, benar-benar dengan ekspresi merendahkan Camila.

Lalu Camila menatap William, suaranya manja tapi sinis. “Will, bagaimanapun, dia udah ngurusin kamu tiga tahun. Bahkan pembantu pun digaji. Kasih dia kerjaan, dong.”

William masih menatap Grace.

Riley hanya mengangkat satu alis, suaranya tenang tapi sarkastis. “Camila, zaman sekarang semua butuh gelar.”

Camila hanya tersenyum kecil, lalu menjawab dengan suara yang lembut seperti biasa. “Oh... tapi Grace putus sekolah sejak SMA.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Minta Rujuk, tapi Cintaku Sudah Mati   Bab 24. Salep dan Rasa Cemburu

    “Karena kamu nyebelin,” balas si G. William bisa merasakan nada kesal meskipun itu hanya sebuah chat.Pria itu mengerutkan kening. Ia tak mengerti sama sekali kenapa G ini tiba-tiba bereaksi seperti itu.Namun ia hanya membalas dengan bertanya "apa maksudmu?", lalu meletakkan ponselnya di meja dan kembali fokus pada dokumen-dokumen yang sedang ia pelajari.Begitu pekerjaannya rampung, malam sudah larut. William berdiri, berjalan ke dapur untuk menuang segelas air putih, dan saat kembali ke kamar, matanya melirik ke arah ranjang. Grace sudah tertidur.Ia berniat kembali ke sofa, tetapi saat itu juga, suara notifikasi terdengar.Ponsel Grace yang tergeletak di samping bantal menyala. Sebuah pesan masuk.William melirik sejenak. Dalam sepersekian detik, matanya menyipit. Pandangannya tertuju pada layar ponsel yang menampilkan sebuah pop up beberapa chat di WhatsApp.Dan ia tertegun. Salah satu pesan yang tampil di home screen adalah dirinya.Tubuhnya bergerak cepat mendekati ranjang. Ta

  • Suami Minta Rujuk, tapi Cintaku Sudah Mati   Bab 23. Gadis yang Memblokirku

    William baru saja selesai mandi dan kini mengenakan piyama sutra berwarna hitam. Rambutnya masih basah, dan beberapa tetes air terlihat mengalir perlahan dari ujungnya. Uap tipis yang menyelimuti tubuhnya membuat pria itu terlihat lebih muda dan memesona dibanding saat ia memakai jas resmi. Grace melirik sekilas ke arahnya. Pria itu memang punya penampilan yang luar biasa. Suara dering ponsel yang lembut mendadak memecah keheningan. Seseorang menelepon. William melangkah pelan dan mengangkat panggilan itu, lalu suara Paul terdengar dari seberang. "Ada kabar, Tuan. White Scalpel bersedia menemui Anda besok di rumah sakit pusat." Ekspresi William tetap datar. "Waktu itu dia datang lalu pergi sesuka hati, sok misterius. Besok, aku mau lihat siapa dia sebenarnya." Seketika, tubuh Grace terasa dingin. Jantungnya mencelus. Itu akhir baginya. William belum lupa bagaimana White Scalpel mempermainkannya. Berani-beraninya dia? Dia tidak akan membiarkannya lolos begitu saja. Besok, merek

  • Suami Minta Rujuk, tapi Cintaku Sudah Mati   Bab 22. Kalau itu Theo

    Grace sudah tidak mencintai William. Tatapan dingin William mengunci pandangannya. Mata itu tajam, seolah bisa menembus isi pikirannya. Sebuah senyum miring mengembang di sudut bibir pria itu. "Aku beneran udah nggak ada di hatimu?" "...Iya... Mm!" Belum sempat Grace menyelesaikan kalimatnya, William tiba-tiba membungkuk dan mencium bibirnya dengan kasar. Kepala Grace langsung kosong. Tatapannya membelalak, tak percaya kalau pria itu menciumnya begitu saja. Ini bukan pertama kalinya mereka berciuman. Tapi waktu terakhir—di kamar mandi—dia yang mencium duluan. Dia yang menarik, memeluk, dan mencium pria itu. Tapi kali ini... William yang melakukannya lebih dulu. Grace langsung bereaksi. Ia mendorong dada pria itu, mencoba menjauh. "William, lepasin aku!" ucapnya yang hanya terdengar seperti gumaman tidak jelas. Namun tubuh besar William mendesaknya ke dinding. Bibirnya menekan dengan kuat, penuh dominasi dan hasrat yang agresif. Begitu Grace membuka mulut untuk bicara, Willia

  • Suami Minta Rujuk, tapi Cintaku Sudah Mati   Bab 21. Persetan Denganmu, William!

    "Ahhh!" Teriakan Camila yang melengking membuat William menginjak rem mendadak, dan Mercedes-Maybach yang mereka tumpangi berhenti seketika. Camila terengah-engah, wajahnya pucat ketakutan. “Kamu ngapain sih, nyetir secepat itu?” Wajah William tetap dingin dan sulit ditebak. Saat menoleh ke depan, dia sadar Lamborghini yang tadinya hampir dia kejar kini sudah melesat pergi entah ke mana. Dia mengatupkan bibir tipisnya. “Kamu gak apa-apa?” Camila mengangguk kecil. “Aku gak apa-apa.” Tapi setelah itu dia menambahkan dengan nada getir, “Aku bener-bener gak nyangka Grace bisa dapetin perhatian Theo... Kamu lihat sendiri gimana dia joget di dance floor tadi, kan? Dia cuma cewek kampung yang gak berpendidikan. Pasti hidupnya cuma diisi belajar godain cowok. Murahan banget, gak ada harga diri.” Tatapan William berubah dingin. Bayangan Grace yang bergerak luwes di tengah keramaian langsung muncul di benaknya. Bahkan Theo, yang selama ini dikenal picky dan gak gampang tertarik, bisa jat

  • Suami Minta Rujuk, tapi Cintaku Sudah Mati   Bab 20. Perhatian yang Tercuri

    "Itu dia!" Theo langsung mengenalinya. Sementara itu, Camila menatap dengan pandangan tak percaya. Grace, di tengah kerumunan, sedang menari? Di bawah cahaya terang Bar Lumière, tubuhnya bergerak luwes di dekat Clara, mengikuti irama musik dengan keanggunan yang sulit dijelaskan. Gerakannya terlihat alami, tanpa usaha berlebihan, tapi setiap detailnya terkendali dan memesona. Bahkan Camila, yang dikenal sebagai penari balet terbaik, harus mengakui dalam hati. Grace menari lebih baik darinya. Lebih menggoda. Lebih berbahaya. Gila. Para pria di Bar tak bisa mengalihkan pandangan. Siulan dan sorakan mulai terdengar dari berbagai sudut ruangan. Tatapan mereka sudah cukup jadi bukti. Camila mengepal tangan. Dadanya sesak oleh amarah yang mulai naik ke ubun-ubun. Cewek kampung itu? Berani-beraninya mencuri perhatian seperti ini? Kenapa harus Grace lagi yang bersinar? Tiba-tiba, Camila merasakan kekosongan. Tangan William... sudah tak lagi melingkari pinggangnya. Pria itu melangkah

  • Suami Minta Rujuk, tapi Cintaku Sudah Mati   Bab 19. Terlalu Cantik untuk Diabaikan

    William menunduk, menatap foto di tangannya. Matanya yang gelap dan tajam tiba-tiba menyipit. Ferrari itu… terlihat sangat familiar. Ia mengangkat pandangannya ke arah Theo. "Perempuan itu yang nyetir mobil ini?" Theo mengangguk pelan. "Iya. Dan dia bahkan berhasil ninggalin aku di belakang. Perempuan itu bener-bener menarik." Kalau ingatannya nggak salah, itu Ferrari yang pernah dia kasih ke Grace. Awalnya dia kira Grace meminta Ferarri hanya untuk menguras uangnya, dia bahkan tidak pernah tahu kalau Grace benar-benar bisa nyetir mobil sport. William tahu betul kemampuan nyetir Theo. Mereka pernah turun bersama di lintasan balap beberapa kali. Tapi sekarang... Grace, cewek dari kampung yang polos dan pendiam itu, bisa meninggalkan Theo dengan Ferrari? Saat itulah Paul muncul dan langsung mendekat. "Pak." William berdiri. "Aku pergi sebentar," katanya. Langsung keluar dari lounge mewah itu. Paul sedikit berbisik saat mulai bicara. "Pak, tadi, Nyonya Grace sempat telepon. Katan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status