Grace baru saja tiba.
Setelah seharian sibuk berbelanja, Clara langsung menyeretnya ke Bar yang terletak di jantung San Francisco, karena malam ini adalah milik Grace sepenuhnya. Malam kebebasannya—pesta lajang yang sudah lama direncanakan Clara dengan semangat berlebihan. Tapi Grace sama sekali tidak menyangka akan bertemu William di tempat ini. Dan bukan hanya dia. Beberapa temannya juga ada di sana, tertawa dan berbicara lantang, seolah dunia adalah milik mereka. Tentu saja, ejekan mereka langsung menghujani dirinya saat mereka membicarakannya. Reaksi mereka tidak berubah sedikit pun sejak tiga tahun lalu. Grace mengenal Riley dan para pewaris muda lain yang duduk di area VIP utama, yang berada di sisi atas bar. Mereka adalah bagian dari lingkaran William. Riley bahkan sahabatnya sejak lama. Dulu, saat William dan Camila masih menjadi pasangan emas, mereka begitu mengagumi Camila. Sampai-sampai Riley sudah memanggilnya “Nyonya Donovan” sebelum William sempat melamar. Selama tiga tahun, Grace mencoba bertahan di dunia itu, tapi tak pernah benar-benar menjadi bagian darinya. Bagi mereka, dia hanya... pengganti. Seseorang yang kebetulan lewat, lalu memaksa dirinya duduk di kursi yang bukan miliknya. Label yang mereka tempelkan padanya begitu jelas. “Pengganti.” “Si itik buruk rupa.” “Cewek kampung yang salah masuk circle.” Karena kalau pria itu nggak cinta sama kamu, teman-temannya pun nggak bakal repot-repot kasih respek. Di sisi lain, Clara jelas-jelas tidak bisa menerima semua itu. Wajahnya mengeras. Bahunya naik. Lengannya terangkat seperti petinju yang siap naik ring. “Ku sumpahin cowok-cowok brengsek itu bakal keselek omongannya sendiri!” katanya. Grace buru-buru menarik tangannya. “Udah, Clara. Nggak penting lagi. Pernikahan kami udah bubar. Aku juga nggak nyesel.” Tatapan Clara masih menyala, tapi melihat ekspresi tenang dan datar di wajah Grace, dia akhirnya menghela napas panjang dan mencoba meredam amarahnya. Namun suasana bar mulai berubah. Perlahan tapi pasti, semua mata di ruangan itu beralih ke arah Grace. Bisik-bisik mulai terdengar, lalu berubah jadi gumaman keras. Bahkan beberapa suara terdengar terang-terangan. “Siapa cewek itu?” “Cantik banget, sumpah.” “Kayak dewi, bro.” Clara melihat semua itu dengan senyum kecil yang pelan-pelan muncul di wajahnya. “Liat kan? Mereka baru nyadar sekarang. Malam ini kita rayain kebebasan kamu, Grace. Lupain semua orang tolol itu," katanya, puas. Mereka melangkah ke sisi lain area VIP terbuka, yang tak jauh dari panggung utama. Clara mengangkat tangan dan dengan gaya dramatisnya yang khas, berseru, “Bawa semua escort ke bar!” Tak lama setelahnya, para pria dengan setelan rapi, senyum tipis yang terlatih, dan tatapan yang lembut hadir dengan tujuan yang lebih halus: menemani dan membuat siapa pun merasa jadi pusat dunia, walau hanya untuk satu malam. Sementara itu, di lantai atas, para pewaris muda itu masih tertawa… hingga mereka menyadari ada tatapan tajam yang mengarah pada mereka. Perlahan, suara mereka meredup. Tawa menghilang. Tubuh mereka menegang. William hanya menatap, namun tatapannya seperti sebuah ancaman tanpa kata-kata, tapi terasa nyata di udara. Riley langsung menangkap maksudnya. Selama ini, William memang tak pernah benar-benar menunjukkan bahwa ia peduli pada Grace. Tapi perempuan itu telah menghabiskan tiga tahun di sisinya. Dia merawat dan mencintainya, tanpa pernah menuntut apa pun sebagai balasan. Mungkin William memang tidak mencintainya. Tapi yang jelas, dia tidak akan membiarkan siapa pun merendahkan harga diri perempuan itu. William dan teman-temannya berjalan menuruni tangga dan berhenti di anak tangga terakhir untuk menonton kehebohan itu. Dan sekarang, sesuatu yang lain mulai mengusik pikiran William karena semua perhatian mulai tertuju pada satu perempuan. “Siapa tuh?” “Gila… cantiknya nggak masuk akal.” “Cewek dari mana, bro? Dari negeri dongeng?” Riley, yang penasaran, mengikuti arah pandang para tamu lainnya. Matanya terpaku saat melihat sosok di seberang sana. “Eh… Dia bener-bener kelihatan kayak dewi,” gumamnya, nyaris tak percaya. Pewaris muda lainnya saling melirik, bingung. “San Francisco punya cewek secakep ini? Serius?" “Kenapa kita nggak pernah liat dia sebelumnya?” Riley menepuk lengan William dengan pelan, setengah berbisik, setengah kagum. “Bro, kamu harus liat cewek ini. Gila, dia luar biasa.” Wajah William yang sejak tadi sudah mengenali Grace, kini semakin menggelap. Dia mengenalinya meskipun dari kejauhan, bahkan setelah wanita itu mengubah penampilannya. Tanpa kacamata besar yang dulu selalu menutupi wajahnya. Tanpa aura penurut atau sikap hati-hati yang dulu melekat erat pada dirinya. Dia bukan lagi perempuan yang dulu dikenal William. Wajahnya bersinar lembut. Kulitnya halus seperti porselen. Tubuhnya ramping dan anggun. Rambut hitam panjangnya tergerai alami di bahu, berpadu sempurna dengan riasan tipis yang menonjolkan semua fitur terbaiknya. Grace tak perlu melakukan apa pun. Dia hanya berdiri di sana—dan dia bersinar. William menatapnya dua detik. Lalu tiga detik, dan waktu seolah berhenti sesaat. Dalam keheningan itu, ada sesuatu dalam dirinya yang berdebar. Riley tertawa kecil, setengah memprovokasi. “Gimana, bro? Gila, kan? Cewek kayak gini baru pantas disebut dewi.” Salah satu pewaris lainnya mencibir. “Ah, nggak mungkin itu tipe William. Dia suka yang manis, lembut, kayak Camila. Bukan cewek dingin dan susah dideketin begitu.” Tapi Riley menggeleng perlahan. “Liat dia… dia secantik Camila. Bahkan mungkin lebih.” Dan untuk pertama kalinya malam itu… William tidak membantah. Grace mengenakan gaun pendek bergaya Chanel. Potongannya elegan, berkelas, dan jelas berbeda dari gaya lamanya yang cenderung tertutup dan sederhana. Ini adalah pertama kalinya ia benar-benar memamerkan kakinya yang jenjang, proporsional, dan memikat dalam cara yang tidak berlebihan. Tidak terlalu kurus, tidak terlalu berisi. Garis tubuhnya seperti dirancang untuk menantang imajinasi siapa pun yang melihat. Lalu, sekelompok pria memasuki area tempat Grace dan Clara berada. Mereka tinggi, tampan, dan berpakaian rapi. Masing-masing tampak seperti karakter yang keluar dari iklan parfum mahal. Tanpa berkata apa-apa, mereka berbaris di depan Grace, menunggu isyaratnya. Clara menyeringai nakal. “Ayo, Grace. Pilih mana yang kamu suka. Kita rayain kebebasanmu malam ini.” Grace menatap mereka satu per satu, lalu mengangkat tangannya dengan percaya diri. “Kamu. Kamu juga. Lalu kamu. Dan kalian berempat, tetap bersama kami.” Riley tercengang dengan alis terangkat. “Delapan? Serius? Kamu beneran ambil semua?” Salah satu pewaris tertawa sambil terus menatap ke arah mereka. “Ngapain repot bayar escort? Kalau dia minta, kita juga gak bakal nolak!” Tawa pecah di sekitar mereka. Tapi satu orang tidak ikut tertawa. Ding. Ponsel William bergetar di saku jasnya. Ia merogohnya dan membuka layar tanpa ekspresi. "Pelanggan SVIP yang terhormat, kartu Anda yang diakhiri dengan 0975 telah didebet sebesar $120.000 di Bar Lumière untuk penyewaan delapan escort pria." Tangannya menegang, dan jari-jarinya mencengkeram ponsel lebih erat daripada yang seharusnya. Ia membaca pesan itu sekali lagi, memastikan ia tidak salah baca. $120.000. Delapan escort. Dan semuanya dibayar dengan kartunya. Perlahan, ia mengangkat wajah. Tatapannya menyeberangi ruangan, langsung menuju perempuan itu. Grace. Bukan lagi sekadar perempuan biasa. Bukan mantan istrinya yang dulu ia pikir tidak akan pernah meninggalkan bayang-bayangnya. Perempuan di seberangnya malam ini... adalah seseorang yang bahkan tak bisa dikenalinya lagi. Grace dan Clara sudah memilih tempat nyaman untuk mereka. Di sekeliling mereka, para escort mulai beraksi. Salah satu dari mereka mengisi ulang gelas anggurnya, lalu menyodorkannya sambil tersenyum penuh rayuan. “Sayang, gimana kalau kita mulai permainan minumannya?” Clara tertawa sambil bertepuk tangan. “Ide bagus! Ayo, Grace!” Grace tertawa dan mengangkat gelasnya. Tapi sebelum dia sempat menyesapnya, salah satu pria sudah meminum isinya lebih dulu, dengan gaya menggoda. Pria lain langsung protes. “Eh, kenapa cuma dia? Kami juga mau ikut minum!” Mereka semua semakin mendekat, membentuk lingkaran yang membuat Grace dan Clara tenggelam di tengahnya. Namun Grace tetap tenang, senyumnya tipis tapi percaya diri. Di seberang ruangan, wajah William mengeras. Garis rahangnya menegang, dan tatapannya menjadi gelap. Lalu, tanpa mengatakan sepatah kata pun, dia berdiri. Riley mengernyit. “Will? Kamu mau ke mana?” William tidak menjawab. Langkahnya mantap, dan cepat saat dia menuruni tangga. Matanya tertuju hanya pada satu orang. Grace masih tertawa ketika tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya. Kuat dan dingin. Dalam hitungan detik, tubuhnya terangkat ringan, seolah berat tubuhnya tidak berarti apa pun bagi pria itu. Ia terkejut, mendongak, dan matanya membelalak saat mengenali siapa yang berdiri di depannya. “William?! Lepasin!” William tidak menjawab. Tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya. Ia hanya menariknya, menyeret Grace melewati kerumunan dan keluar dari area VIP. Clara bangkit berdiri. “William, apa-apaan kamu?! Lepasin dia sekarang juga!” Riley dan beberapa pewaris lain ikut berdiri, terpaku. Wajah mereka bingung, dan suara mereka bergetar tak percaya. “Tunggu, tadi dia memanggilnya Grace?” “Serius? Maksud kamu… dewi itu… Grace?” “Gak mungkin. Itu… itu mustahil.” Mereka semua menoleh ke arah pintu yang baru saja tertutup, memandangi bayangan William yang menjauh. Riley menjatuhkan gelasnya. “Dulu dia bahkan nggak pernah peduli sama perempuan itu. Sekarang... dia bertingkah seolah Grace miliknya.” Sementara itu, William tidak mengendurkan cengkeramannya. Ia menarik Grace melintasi lorong belakang bar. Tangannya panas dan kaku. Grace berusaha menjaga keseimbangannya, tapi langkahnya terantuk-antuk. “Lepasin aku, William!” Namun William tetap tidak merespons. Begitu mereka mencapai dinding dingin di ujung lorong, William menghentikan langkahnya, lalu mendorong tubuh Grace hingga bersandar pada permukaan keras itu. Nafasnya cepat. Pundaknya tegang. Grace bisa merasakan hawa dingin menembus pakaiannya. Tapi sebelum dia bisa bergerak, tubuh William sudah mencondong ke arahnya. Bayangannya menjulang, membuat udara di sekeliling mereka seakan terhisap. Wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Grace. Napas hangatnya menyapu pipi perempuan itu. Matanya gelap. Tapi di balik tatapan yang intens itu, ada sesuatu yang lain. Luka. Kemarahan. Kebingungan. Semua bercampur menjadi satu. “Grace... kamu benar-benar berpikir bisa melakukan ini seolah-olah aku nggak pernah ada?”“Karena kamu nyebelin,” balas si G. William bisa merasakan nada kesal meskipun itu hanya sebuah chat.Pria itu mengerutkan kening. Ia tak mengerti sama sekali kenapa G ini tiba-tiba bereaksi seperti itu.Namun ia hanya membalas dengan bertanya "apa maksudmu?", lalu meletakkan ponselnya di meja dan kembali fokus pada dokumen-dokumen yang sedang ia pelajari.Begitu pekerjaannya rampung, malam sudah larut. William berdiri, berjalan ke dapur untuk menuang segelas air putih, dan saat kembali ke kamar, matanya melirik ke arah ranjang. Grace sudah tertidur.Ia berniat kembali ke sofa, tetapi saat itu juga, suara notifikasi terdengar.Ponsel Grace yang tergeletak di samping bantal menyala. Sebuah pesan masuk.William melirik sejenak. Dalam sepersekian detik, matanya menyipit. Pandangannya tertuju pada layar ponsel yang menampilkan sebuah pop up beberapa chat di WhatsApp.Dan ia tertegun. Salah satu pesan yang tampil di home screen adalah dirinya.Tubuhnya bergerak cepat mendekati ranjang. Ta
William baru saja selesai mandi dan kini mengenakan piyama sutra berwarna hitam. Rambutnya masih basah, dan beberapa tetes air terlihat mengalir perlahan dari ujungnya. Uap tipis yang menyelimuti tubuhnya membuat pria itu terlihat lebih muda dan memesona dibanding saat ia memakai jas resmi. Grace melirik sekilas ke arahnya. Pria itu memang punya penampilan yang luar biasa. Suara dering ponsel yang lembut mendadak memecah keheningan. Seseorang menelepon. William melangkah pelan dan mengangkat panggilan itu, lalu suara Paul terdengar dari seberang. "Ada kabar, Tuan. White Scalpel bersedia menemui Anda besok di rumah sakit pusat." Ekspresi William tetap datar. "Waktu itu dia datang lalu pergi sesuka hati, sok misterius. Besok, aku mau lihat siapa dia sebenarnya." Seketika, tubuh Grace terasa dingin. Jantungnya mencelus. Itu akhir baginya. William belum lupa bagaimana White Scalpel mempermainkannya. Berani-beraninya dia? Dia tidak akan membiarkannya lolos begitu saja. Besok, merek
Grace sudah tidak mencintai William. Tatapan dingin William mengunci pandangannya. Mata itu tajam, seolah bisa menembus isi pikirannya. Sebuah senyum miring mengembang di sudut bibir pria itu. "Aku beneran udah nggak ada di hatimu?" "...Iya... Mm!" Belum sempat Grace menyelesaikan kalimatnya, William tiba-tiba membungkuk dan mencium bibirnya dengan kasar. Kepala Grace langsung kosong. Tatapannya membelalak, tak percaya kalau pria itu menciumnya begitu saja. Ini bukan pertama kalinya mereka berciuman. Tapi waktu terakhir—di kamar mandi—dia yang mencium duluan. Dia yang menarik, memeluk, dan mencium pria itu. Tapi kali ini... William yang melakukannya lebih dulu. Grace langsung bereaksi. Ia mendorong dada pria itu, mencoba menjauh. "William, lepasin aku!" ucapnya yang hanya terdengar seperti gumaman tidak jelas. Namun tubuh besar William mendesaknya ke dinding. Bibirnya menekan dengan kuat, penuh dominasi dan hasrat yang agresif. Begitu Grace membuka mulut untuk bicara, Willia
"Ahhh!" Teriakan Camila yang melengking membuat William menginjak rem mendadak, dan Mercedes-Maybach yang mereka tumpangi berhenti seketika. Camila terengah-engah, wajahnya pucat ketakutan. “Kamu ngapain sih, nyetir secepat itu?” Wajah William tetap dingin dan sulit ditebak. Saat menoleh ke depan, dia sadar Lamborghini yang tadinya hampir dia kejar kini sudah melesat pergi entah ke mana. Dia mengatupkan bibir tipisnya. “Kamu gak apa-apa?” Camila mengangguk kecil. “Aku gak apa-apa.” Tapi setelah itu dia menambahkan dengan nada getir, “Aku bener-bener gak nyangka Grace bisa dapetin perhatian Theo... Kamu lihat sendiri gimana dia joget di dance floor tadi, kan? Dia cuma cewek kampung yang gak berpendidikan. Pasti hidupnya cuma diisi belajar godain cowok. Murahan banget, gak ada harga diri.” Tatapan William berubah dingin. Bayangan Grace yang bergerak luwes di tengah keramaian langsung muncul di benaknya. Bahkan Theo, yang selama ini dikenal picky dan gak gampang tertarik, bisa jat
"Itu dia!" Theo langsung mengenalinya. Sementara itu, Camila menatap dengan pandangan tak percaya. Grace, di tengah kerumunan, sedang menari? Di bawah cahaya terang Bar Lumière, tubuhnya bergerak luwes di dekat Clara, mengikuti irama musik dengan keanggunan yang sulit dijelaskan. Gerakannya terlihat alami, tanpa usaha berlebihan, tapi setiap detailnya terkendali dan memesona. Bahkan Camila, yang dikenal sebagai penari balet terbaik, harus mengakui dalam hati. Grace menari lebih baik darinya. Lebih menggoda. Lebih berbahaya. Gila. Para pria di Bar tak bisa mengalihkan pandangan. Siulan dan sorakan mulai terdengar dari berbagai sudut ruangan. Tatapan mereka sudah cukup jadi bukti. Camila mengepal tangan. Dadanya sesak oleh amarah yang mulai naik ke ubun-ubun. Cewek kampung itu? Berani-beraninya mencuri perhatian seperti ini? Kenapa harus Grace lagi yang bersinar? Tiba-tiba, Camila merasakan kekosongan. Tangan William... sudah tak lagi melingkari pinggangnya. Pria itu melangkah
William menunduk, menatap foto di tangannya. Matanya yang gelap dan tajam tiba-tiba menyipit. Ferrari itu… terlihat sangat familiar. Ia mengangkat pandangannya ke arah Theo. "Perempuan itu yang nyetir mobil ini?" Theo mengangguk pelan. "Iya. Dan dia bahkan berhasil ninggalin aku di belakang. Perempuan itu bener-bener menarik." Kalau ingatannya nggak salah, itu Ferrari yang pernah dia kasih ke Grace. Awalnya dia kira Grace meminta Ferarri hanya untuk menguras uangnya, dia bahkan tidak pernah tahu kalau Grace benar-benar bisa nyetir mobil sport. William tahu betul kemampuan nyetir Theo. Mereka pernah turun bersama di lintasan balap beberapa kali. Tapi sekarang... Grace, cewek dari kampung yang polos dan pendiam itu, bisa meninggalkan Theo dengan Ferrari? Saat itulah Paul muncul dan langsung mendekat. "Pak." William berdiri. "Aku pergi sebentar," katanya. Langsung keluar dari lounge mewah itu. Paul sedikit berbisik saat mulai bicara. "Pak, tadi, Nyonya Grace sempat telepon. Katan