Share

Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya
Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya
Author: Rosa Rasyidin

1. Himpitan Ekonomi

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2024-06-27 12:24:33

“Minta uang, Mas,” ucap Alda pada suaminya Arzan yang baru saja pulang.

Lelaki penyabar itu menghela napas sesaat. Baru saja ia duduk, bukannya disuguhi air putih tapi malah penagihan lagi yang ia dapat.

Arzan—ia berusia 30 tahun sedang merogoh dompet di kantong celananya. Namun, belum sempat ia membukanya, benda berwarna hitam lusuh telah dirampas oleh Alda.

“Cuman segini?” Tatapan Alda tajam pada Arzan sambil memegang lembaran biru.

“Dapatnya hanya segitu, karena tidak sesuai target.” Arzan lekas berlalu.

Ia meletakkan sepatunya di belakang yang menyatu dengan dapur. Haus, sales rumah itu membuka kulkas dan mencari air dingin. Sejenak panas di tubuhnya mereda, tetapi hanya beberapa saat saja.

“Mas, aku mau bayar utang kita di warung dan bayar SPP TK Sasi. Segini ya nombokin, donk.” Alda merengut.

Wanita berusia 25 tahun itu tak terima, sebab Arzan berjanji membawa uang lebih hari ini.

“Tahu, bayar yang penting-penting saja dulu, ya, Dek. Besok, Mas, usahakan bawa uang lagi.”

“Lah, masih diusahakan, gimana sih, Mas! Lama-lama aku capek dijanjiin melulu sama kamu.” Alda membuka pintu kamar kemudian menutupnya dengan suara bantingan.

Arzan mengelus dada. Sudah ia tahan-tahankan sabar atas sikap istrinya yang setiap hari semakin meninggikan suara padanya. Tak ada lagi kelembutan, tak ada lagi hangat rayuan. Hanya uang saja yang dibahas setiap hari.

Tujuh tahun mereka sudah menikah. Awal pernikahan ekonomi masih bisa diselamatkan sebab anak masih satu dan Arzan juga mudah menjual rumah tipe 36, karena kondisi keuangan sebagian rakyat masih baik-baik saja.

Guncangan terjadi lima tahun ini, terutama pasca wabah melanda. Jangankan menjual rumah tipe besar, tipe kecil saja banyak yang tidak mau karena ekonomi masyarakat terus merosot termasuk pula Arzan. Bahkan ada yang rumahnya dilelang serta disita bank.

Sejak saat itu kerja Alda merengut saja karena kurangnya uang yang dibawa suaminya. Arzan sudah berusaha mencari sampingan.

Terkadang ia mengambil sampingan dengan menjadi driver online. Namun, di tengah persaingan yang ketat, kadang pemasukan menutupi kadang tidak.

Rumah tak lagi nyaman sebagai tempat Arzan pulang. Hanya saja tak ada tempat bernaung yang lain. Lelaki berambut pendek dan rapi itu telah memiliki dua anak perempuan. Jika dia tak kembali bagaimana dengan dua bidadari kecilnya.

“Gini, nih, aku nyesel nambah anak lagi tahu, nggak!” Alda keluar dari kamar dengan memakai pakaian rapi.

“Kamu mau ke mana? Ini udah malam, Sayang,” tegur Arzan baik-baik. Sudahlah aroma parfum Alda wangi menyengat sampai ke ubun-ubun.

“Aku mau bantu-bantu masak, Mas, besok pagi di rumah Bude Siti di ujung blok paling depan ada ulang tahun anaknya yang paling besar. Lumayan bantu masak dapat 200, bisa buat beli beras. Tuh, tong udah kosong,” tunjuk Alda ke arah ember besar menggunakan bibirnya yang dimonyongkan.

“Mana ada orng masak malam-malam, Dek. Nanti kalau anak nangis gimana?” Arzan tak yakin dengan kata istrinya.

“Ya, kamu tenangin, Mas, kan kamu papanya. Aku pergi.” Alda mencium kening Arzan, hingga lelaki itu luluh dan tak jadi melarangnya. Ia hanya bisa memperhatikan istrinya yang berjalan kaki menuju blok paling depan rumahnya.

“Coba aku banyak uang seperti dulu.” Lelaki dengan postur tinggi 185 cm itu menghela napas berat.

Ada sebuah keputusan besar yang amat ia sesali sampai sekarang. Sayangnya nasi sudah menjadi bubur. Kehidupan harus tetap berjalan. Dua putrinya Sasi dan Rere sedang dalam masa pertumbuhan dan tak boleh menjadi korban kemiskinan orang tuanya.

Rere yang baru berusi dua tahun merengek dan mencari mamanya. Ia bangun dan langsung berlari ke depan pintu. Gegas Arzan menangkap dan menggendongnya.

“Mimpi buruk, ya, Nak? Nggak apa-apa, ada Papa di sini.” Arzan mengelus rambut putri keduanya yang tipis.

Tiga perempuan yang ia sangat sayangi di dunia ini, Alda, Sasi, dan Rere. Segala hal ia lakukan agar mereka hidup tak kekurangan. Namun, apa daya terkadang tangannya tak sanggup menggenggam semua hal.

Bagaimana dengan ibu kandung Arzan? Sudah meninggal dunia karena syok dengan keputusan anaknya yang nekat melawan restu. Arzan bahkan diusir dari pemakaman. Ketika itu ia baru tiga bulan menikah dengan Alda.

“Semoga keputusan yang aku ambil tidak salah. Demi cintaku pada Alda aku sampai rela meninggalkan keluargaku.” Arzan menepuk kaki Rere agar gadis kecil itu tertidur pulas.

Selepas Rere tertidur, Sasi pula yang merengek minta makan. Ketika tudung saji dibuka hanya ada sisa sayur bening bayam dan jagung serta telor dadar seperempat saja.

Lauk yang masih sama sejak pagi tadi. Artinya Alda tak memasak. Padahal setahu Arzan masih ada sisa uang belanja selembar berwarna biru.

Dengan penuh kesabaran lelaki itu menyuapi Sasi. Beruntung putri sulungnya tak pilih-pilih soal makanan dan harus melulu ada ayam.

Andai ekonomi mereka masih baik-baik saja, seekor ayam goreng tepung sanggup dibelikan Arzan setiap hari. Bahkan ia pun hanya menyantap sisa makanan Sasi. Nasi di magic com pas-pasan sekali tersisa. Lapar yang masih ada diganjal dengan air putih saja.

***

Jam di dinding menunjukkan angka sembilan tepat. Usai mencuci piring dan menggiling cucian di mesin, Arzan meminta Sasi segera pergi tidur sebab besok harus sekolah. Gadis kecil itu lekas masuk dan menuruti apa kata papanya.

Tersisa dirinya saja yang menyapu setiap sudut rumah. Seperti sengaja tak dirapikan oleh Alda sebab terasa sekali debunya lengket di telapak kaki.

Pintu rumah mereka diketuk berkali-kali. Lekas Arzan membuka dan terlihat dua orang lelaki berbaju warna gelap serta rambut panjang di sana. Mereka datang dengan wajah garang dan tatapan nyalang.

“Bini lu tu, suruh bayar hutang, tak sok tar sok terus. Gue gorok juga lehernya.” Lelaki berkumis tebal itu tersulut emosi. Arzan bingung.

“Hutang apa, ya, Bang? Saya nggak tahu istri saya punya hutang.”

“Gini nih, yang gue gak demen. Bini ambil hutang tapi nggak ngasih tahu lakiknya. Kita yang dibuat susah nagih. Nih, lu, liat sendiri perjanjian kami. Ini udah dua kali bini lu mangkir. Tiga kali, gue culik bini lu gue perkosa rame-rame ama temen gue.”

Arzan kaget dengan ancaman lelaki berbadan besar di depannya. Dengan napas sesak ia lihat perjanjian hutang antara Alda dengan rentenir yang belum ia tahu namanya.

Hutang sebesar 10 juta rupiah dengan bunga 30 persen setiap bulannya dan harus lunas dalam waktu satu tahun. Sulit bagi Arzan menghirup oksigen malam itu, apalagi berkata-kata.

“Bang, maaf, bisa saya bicarakan ini dulu sama istri saya.”

“Bacot, bayar dulu angsuran ketiga. Gue gak mau tahu!”

“Saya nggak ada uang sekarang, Bang, sumpah.”

“Ah, sialan lu sama aja laki bini!” Tangan tukang tagih itu terkepal ingin meninju wajah tampan Arzan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya     48 Negosiasi

    Arzan mengangkat gelas dan memperhatikan cairan keemasan yang berputar di dalamnya. Buih-buih kecil naik ke permukaan. Di luar jendela apartemen, langit senja menyala merah jingga, tapi semua warna terasa pudar di matanya.Ia menarik napas panjang lalu membiarkan aroma sampanye mengisi paru-paru sebelum menyesapnya perlahan. Namun, rasa dingin yang menggelitik tenggorokan tak cukup untuk meredakan beban yang bergelayut di pikirannya.Baron Hermanto masih terbaring lemah di rumah sakit. Setiap kabar yang datang hanya berisi ketidakpastian, membuat Arzan semakin merasa terasing dari rumah yang sudah lima tahun menjadi tempatnya berpulang.Lalu soal Karel, kakaknya seperti bayangan yang tak bisa dihindari. Entah kesengajaan atau kebetulan, selalu saja ada sesuatu yang membuat mereka bersinggungan dalam konflik yang terus berulang. Arzan memijit pelipisnya, mencoba meredam sakit kepala yang mulai menjalar.Bunyi bel pintu apartemen memecah lamunannya. Pesanan telah datang. Ia bangkit dari

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    47 Mata Pisau

    “Zayn, itukan namamu?” Gadis itu pergi meninggalkan tamu yang tidak diundang.Nada membuka pintu. Berdiri di depan dengan tubuh tegak. Rambutnya diikat rapi. Matanya waspada.“Pergi, Zayn. Aku nggak mau ulang dua kali. Jangan ganggu Bu Vio lagi.”Zayn berdiri tenang, bersandar pada dinding seolah malas pergi. Matanya menatap lurus ke wajah Nada. Tidak ada senyuman. Tidak ada emosi.“Tenang, saya cuma mau ngobrol. Tapi kalau kamu paksa.” Lelaki itu mendekati Nada.Nada menghela napas pendek, lalu mendorong pintu agar tertutup.Zayn menahan pintu dengan tangannya. Lalu menyelinap masuk. Gerakannya cepat dan penuh percaya diri.“Kamu baru saja membuat kesalahan. Aku bukan perempuan lemah.”Belum sempat Zayn bicara, Nada menyerang lebih dulu. Sebuah belati nyaris menggores pipi Zayn. Ia mundur cepat. Napasnya mulai berat. Nada bergerak tanpa aba-aba. Ciri khas petarung jalanan. “Tahan, saya hanya ingin bertanya baik-baik.” “Wajahmu bukan orang baik. Terlihat seperti pedofil campur gay.”

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya     46 Siluet

    Arzan merapikan lipatan jasnya di depan cermin. Kancing terakhir ditutup dengan pasti, mempertegas siluet bahunya yang tegap dan kekar. Sebotol kecil parfum ia angkat dari rak. Botol berisi aroma maskulin dengan sentuhan cedar dan amber yang selalu mengingatkannya pada satu nama. Vio. Wanita yang lima tahun lalu memilih pergi tanpa penjelasan. Namun meninggalkan banyak jejak. Termasuk parfum di tangannya, yang dulu ia pilihkan untuk Arzan. “Aromanya bikin perempuan susah lupa dan kamu jadi lebih maskulin,” kata Vio waktu itu. Tiga semprotan, tidak lebih di titik-titik yang membuat wangi jadi lebih menguar. Saat ia hendak keluar kamar, ketukan halus terdengar dari arah pintu. Suara pelayan dari balik pintu mengatakan Tuan Baron Hermanto ingin bicara sebentar, di ruang kerjanya. Tanpa banyak kata, Arzan mengangguk. Langkahnya terlihat santai menyusuri lorong rumah keluarga Hermanto yang luas, tapi terasa dingin malam itu. Lampu-lampu gantung memantulkan cahaya kebohongan di sepanjan

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    45 Mata-mata

    Seorang lelaki berdiri tepat di pinggir lampu hijau yang menyala di persimpangan Shibuya, dan kerumunan pejalan kaki bergerak serempak. Mata-mata berbadan tegap dan berjaket hitam itu melangkah tenang. Di balik masker dan topinya, mata Zayn selalu mengamati satu titik.“Target mulai terdeteksi!” ucap Zayn penuh keyakinan.Langkah Zayn melambat. Sekilas, dari seberang jalan, ia melihat sosok perempuan dengan rambut panjang dan gaya berpakaian sederhana. Vio, begitu bosnya memanggil.Di samping Vio berjalan seorang bocah lelaki berusia sekitar empat tahun. Zayn tidak terkejut. Tidak juga tersentuh. Kehidupan mafia walau itu perempuan sangat sulit ditebak.Zayn hanya sedang menjalankan misi. Satu dari sekian banyak tugas pengintaian. Dan seperti biasa, ia tidak boleh melibatkan emosi serta perasaan. Jika tidak, Vio bisa saja mengetahui langkahnya. Wanita itu dulu bergelar ratu kematian dan mungkin gelar itu masih Vio pegang.Tiga hari pengintaian berlangsung senyap. Vio hanya keluar unt

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    44 Bertemu Mantan

    Mobil hitam berhenti di basement parkir hotel, jauh dari keramaian pesta di atas. Lantai beton dingin dan sunyi, hanya suara kipas ventilasi dan sesekali deru mesin mobil lain yang lewat. Cahaya temaram dari lampu-lampu neon menyoroti sosok pria yang duduk di kursi belakang dengan dasi yang sudah dilonggarkan.Arzan Aditya Hermanto, wajahnya tampak tenang, bahkan tampan di mata siapa pun. Namun, dari mata cokelat gelap itu, jelas ada badai yang sedang ia tahan. Tangan kirinya menekan pelipis, sementara tangan kanan menggenggam daftar tamu undangan pernikahan yang baru saja ia sobek beberapa jam lalu."Bukan hal seperti ini yang aku mau," gumamnya perlahan saja.Seseorang masuk ke mobil dan duduk di kursi kemudi. Pria bersetelan jas hitam, berwajah keras, menggunakan kacamata, rambut cepak, dan gerak-geriknya sangat teratur.“Zayn.” Arzan memanggil tanpa menoleh.“Ke tempat biasa, Boss?”“Bukan. Kali ini beda,” ucap Arzan singkat. Ia menyandarkan tubuh, lalu menatap kaca depan mobil ya

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    43 Jepang dan Semua Rasa yang Ada

    Vio menggeliat di kasur tipisnya. Ia mengumpulkan nyawa untuk rutinitas harian yang menyenangkan. Rutinitas di sebuah tempat baru yang membuatnya betah berlama-lama di sana.Pagi di Tokyo selalu datang dengan kesunyian yang tenang, begitu kata orang. Sinar matahari mengintip malu-malu dari balik tirai tipis apartemen kecil di daerah Meguro, lalu menyusup ke dalam kamar sederhana yang dipenuhi aroma bunga teh dan bedak bayi.Vio membuka mata perlahan, menoleh ke sisi ranjang di mana seorang anak kecil masih terlelap dalam pelukannya. Namanya Reino, anak laki-laki yang usianya genap 4 tahun.Hasil dari cinta singkat yang sudah ia kubur dalam-dalam, sempat ingin Vio aborsi tapi tak jadi karena rasa iba dan cinta datang tiba-tiba dalam hatinya. Reino terlihat lucu dan begitu polos, damai, dan tak ada sedikit pun jejak kelam masa lalu di wajah mungil itu.Wanita itu menyentuh pipi Reino dengan lembut. Perlahan-lahan putra pertamanya pun membuka mata,“Ayo bangun, mau lihat bunga sakura mek

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status