Share

2. Violetta

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2024-06-28 08:07:23

Beruntung Pak RT lewat di depan rumah Arzan tepat waktu, debt collector itu pun mundur ketika hampir tinjunya mengenai wajah pemilik rumah. Mereka pulang tetapi sebelumnya meninggalkan pesan untuk lelaki itu.

“Tiga hari lagi, duitnya harus ada kalau nggak anak lu dua-duanya gue jual sama germo biar jadi pelacur.” Setelahnya mereka benar-benar pergi.

Arzan menahan sesak di dadanya. Ia menutup pintu rumah dengan rapat dan tubuhnya luruh di lantai. Dari mana ia harus mencari uang angsuran senilai pokok ditambah denda yang hampir menembus angka dua juta rupiah. Dirinya masih kesulitan menjual rumah.

“Alda, sebenarnya uang itu untuk apa?” Arzan menyugar rambutnya yang kering.

Setelah mengunci pintu lelaki itu mandi dan mengguyur diri dengan air dingin sebanyak-banyaknya. Hal demikian penting agar saat Alda pulang nanti ia tak melayangkan tangan dengan mudah. Meski selama menikah ia tak pernah melakukan kekerasan apalagi bentakan pada tiga perempuan yang menghiasi hidupnya.

Hari sudah menunjukkan jam sebelas malam, Alda tak juga pulang. Acara memasak apa yang sampai malam seperti ini. Satu jam lagi Arzan tunggu, kalau tidak juga kembali maka ia akan jemput istrinya dan meminta penjelasan tentang uang pinjaman dengan bunga berbunga.

Tepat jam 12 malam. Arzan pun mengenakan jaket dan mencari Alda. Namun, ketika pintu dibuka istrinya kembali dengan membawa kresek hita di tangannya.

“Mau ke mana, Mas?” Justru Alda yang bertanya.

“Cari kamu, kenapa pulang semalam ini, Sayang?”

“Kan, aku udab bilang masak di rumah orang. Uangnya aku pakai buat beli beras sama lauk masak besok. Tahu nggak di kulkas nggak ada apa-apa lagi.” Alda merengut lagi dan langsung ke dapur.

Arzan merasa harga dirinya terluka. Selain tak ada uang juga karena Alda kasar padanya. Wanita dengan kulit licin dan sedikit jerawat itu berubah dengan cepat dari lembut ke kasar karena himpitan ekonomi.

“Besok aja mungkin tanyakan uangnya. Hari ini aku capek sekali,” ucap lelaki tersebut perlahan.

Ia masuk ke kamar dan merebahkan diri tanpa sadar Alda tak pernah ada di sisinya sampai pagi menjelang.

***

Aroma kopi diseduh air panas menguar dan membuat Arzan membuka mata. Ia lirik jam di dinding, sudah pukul 06.30 pagi. Ia pun bangkit dan lekas mandi. Jam 07.00 sudah harus mengantar Sasi ke TK.

Sepiring nasi goreng putih dan telor dadar tersaji di meja untuk sarapan. Arzan menyantap dengan lahap karena tadi malam masih lapar. Tak lupa ia bantu Sasi agar lebih cepat selesai.

Tiba-tiba saja lelaki berusia 30 tahun itu teringat dengan rentenir tadi malam.

“Dek, kamu pinjam uang 10 juta, ya?” tanyanya langsung. Alda yang sedang cuci piring diam sejenak.

“Iya, Mas.” Wanita itu tak menyangkal.

“Untuk apa, Dek, Mas nggak pernah ajarin kamu berhutang. Hidup kita udah susah.”

“Untuk orang tuaku, Mas, mereka sakit butuh uang. Bapak sesak napas, Ibu kena tipes. Kamu pikir mau dapat uang dari mana? Gaji kamu jadi sales rumah nggak cukup sama sekali, aku aja masih nyambi jadi babu di rumah orang!” Prang. Sebuah piring pecah di sink karena Alda membantingnya dengan sengaja.

“Dek, maaf, Mas nggak becus cari uang, tapi nggak sebanyak itu juga kalau mau kirim orang tua, dua kakak kamu masih ada, kan? Mereka juga bisa diminta tolong.” Arzan tak mau membuat suasana rumah gaduh karena tersulut emosi.

“Dua kakakku udah gantian, Mas, aku aja yang belom, malu tahu nggak? Sama sekali nggak pernah nyumbang untuk orang tua. Udah berasa anak durhaka aku rasanya.”

“Iya, oke, Dek, tapi tagihannya sampai 2 juta satu bulan, Mas mau cari uang dari mana? Tiga hari lagi mereka datang mau nagih. Tadi malam aja mereka kasar.”

“Kamu pikir aja sendiri, Mas, aku siang ini mau nyuci nyetrika di rumah orang. Rere aku bawa, nanti kalau kamu pulang rumah sepi nggak usah nyariin kami, ya. Udah nggak usah dibahas lagi soal hutang, cariin aja uangnya. Lagian, kan, aku nggak macam-macam di luar. Gitu aja pelit banget sih!” Tak bosan-bosan Alda menggerutu pada suaminya.

Bertambah sudah beban di pundak Arzan. Dua juta, itu setara dengan f*e nya menjual satu buah rumah tipe 36.

Lelaki tinggi dan tegap itu menaikkan Sasi di motor bagian belakang. Arzan duduk dan menstarter kendaraan lalu berjalan dengan perlahan melewati berberapa polisi tidur di gang rumahnya.

Sampai di depan rumah Bude Susi—tempat Alda masak tadi malam, tidak terlihat satu pun aktifitas perayaan ulang tahun. Seperti biasa rumah besar dan mewah itu sepi dari aktifitas. Mereka semua pergi kerja dan sekolah bersama-sama.

“Apa Alda bohong, ya?” gumam Arza. Ia pun berkendara lagi dan 10 menit kemudian sampai di TK tempat Sasi sekolah.

Lelaki itu kemudian bergerilya lagi dari satu mall ke mall lain. Ia menyebarkan brosur perumahan. Ya, terkadang ia diusir oleh security atau kadang sudah banyak brosur dibagi ia tak dapat memperoleh satu pelanggan pun.

“Ke mana aku mau mencari uang dua juta, ya?” Arzan duduk di kursi cokelat di depan toko roti. Perutnya lapar tapi kalau beli di dalam mall tentu harganya mahal.

Tak lama kemudian seorang perempuan menggunakan blazer warna putih kecoklatan duduk di sebelahnya. Heels tinggi ia lepas sebelah dan kakinya dinaikkan. Wanita itu berdandan dengan sempurna. Lipstick merah agak gelap menambah kesan wibawa pada dirinya.

Arzan melirik sebentar lalu berpaling. Cantik dan tegas adalah kosa kata yang tepat untuk menggambarkan wanita independent di sisinya.

“Iya, baik, Pak, akan saya kerjakan secepatnya,” ucap perempuan itu sebelum menutup panggilan. “Tolong pegang sebentar, Mas.” Ia sodorkan tasnya. Kikuk, Arzan terima saja toh bukan hal berat yang diminta.

“Terima kasih, ya, Mas, maaf merepotkan.” Wanita itu tersenyum.

“Mbak, Maaf, saya mau kasih ini, kalau tidak keberatan mungkin mau dilihat-lihat dulu.” Aji mumpung, Arzan promosi rumahnya sekalian. Wanita itu mengambil dan membuka brosur tersebut.

“Rumah tipe 36 ya, Mas. Nggak ada yang tipe besar, 100 gitu. Saya nggak bisa tinggal di rumah sempit gini, nggak level,” lirik perempuan itu dengan kesan angkuh.

“Saya sales tipe rumah kecil, Mbak, tapi saya bisa bantu carikan yang tipe besar kalau Mbak mau.”

“Oh, gitu, oke, hari ini saya libur, bisa lihat-lihat di mana rumahnya?” Wanita itu menoleh dan kali ini keduanya berhadap-hadapan. Arzan terpukau sejenak tapi kilasan wajah Alda di rumah membuatnya lekas sadar.

“Boleh, boleh, Mbak, saya hubungi teman saya dulu, ya.”

“Oke, nama saya Violetta, kamu siapa?” Perempuan cantik itu mengulurkan tangan. Ragu-ragu Arzan menyambutnya meski akhirnya bersalaman

“Arzan, Mbak.” Ia pun balas tersenyum. Mereka berjabatan tangan sampai akhirnya Violetta yang melepaskan. Arzan seperti tersihir dengan kecantikan tanpa cela di depannya. Bolehkah ia berharap?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya     48 Negosiasi

    Arzan mengangkat gelas dan memperhatikan cairan keemasan yang berputar di dalamnya. Buih-buih kecil naik ke permukaan. Di luar jendela apartemen, langit senja menyala merah jingga, tapi semua warna terasa pudar di matanya.Ia menarik napas panjang lalu membiarkan aroma sampanye mengisi paru-paru sebelum menyesapnya perlahan. Namun, rasa dingin yang menggelitik tenggorokan tak cukup untuk meredakan beban yang bergelayut di pikirannya.Baron Hermanto masih terbaring lemah di rumah sakit. Setiap kabar yang datang hanya berisi ketidakpastian, membuat Arzan semakin merasa terasing dari rumah yang sudah lima tahun menjadi tempatnya berpulang.Lalu soal Karel, kakaknya seperti bayangan yang tak bisa dihindari. Entah kesengajaan atau kebetulan, selalu saja ada sesuatu yang membuat mereka bersinggungan dalam konflik yang terus berulang. Arzan memijit pelipisnya, mencoba meredam sakit kepala yang mulai menjalar.Bunyi bel pintu apartemen memecah lamunannya. Pesanan telah datang. Ia bangkit dari

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    47 Mata Pisau

    “Zayn, itukan namamu?” Gadis itu pergi meninggalkan tamu yang tidak diundang.Nada membuka pintu. Berdiri di depan dengan tubuh tegak. Rambutnya diikat rapi. Matanya waspada.“Pergi, Zayn. Aku nggak mau ulang dua kali. Jangan ganggu Bu Vio lagi.”Zayn berdiri tenang, bersandar pada dinding seolah malas pergi. Matanya menatap lurus ke wajah Nada. Tidak ada senyuman. Tidak ada emosi.“Tenang, saya cuma mau ngobrol. Tapi kalau kamu paksa.” Lelaki itu mendekati Nada.Nada menghela napas pendek, lalu mendorong pintu agar tertutup.Zayn menahan pintu dengan tangannya. Lalu menyelinap masuk. Gerakannya cepat dan penuh percaya diri.“Kamu baru saja membuat kesalahan. Aku bukan perempuan lemah.”Belum sempat Zayn bicara, Nada menyerang lebih dulu. Sebuah belati nyaris menggores pipi Zayn. Ia mundur cepat. Napasnya mulai berat. Nada bergerak tanpa aba-aba. Ciri khas petarung jalanan. “Tahan, saya hanya ingin bertanya baik-baik.” “Wajahmu bukan orang baik. Terlihat seperti pedofil campur gay.”

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya     46 Siluet

    Arzan merapikan lipatan jasnya di depan cermin. Kancing terakhir ditutup dengan pasti, mempertegas siluet bahunya yang tegap dan kekar. Sebotol kecil parfum ia angkat dari rak. Botol berisi aroma maskulin dengan sentuhan cedar dan amber yang selalu mengingatkannya pada satu nama. Vio. Wanita yang lima tahun lalu memilih pergi tanpa penjelasan. Namun meninggalkan banyak jejak. Termasuk parfum di tangannya, yang dulu ia pilihkan untuk Arzan. “Aromanya bikin perempuan susah lupa dan kamu jadi lebih maskulin,” kata Vio waktu itu. Tiga semprotan, tidak lebih di titik-titik yang membuat wangi jadi lebih menguar. Saat ia hendak keluar kamar, ketukan halus terdengar dari arah pintu. Suara pelayan dari balik pintu mengatakan Tuan Baron Hermanto ingin bicara sebentar, di ruang kerjanya. Tanpa banyak kata, Arzan mengangguk. Langkahnya terlihat santai menyusuri lorong rumah keluarga Hermanto yang luas, tapi terasa dingin malam itu. Lampu-lampu gantung memantulkan cahaya kebohongan di sepanjan

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    45 Mata-mata

    Seorang lelaki berdiri tepat di pinggir lampu hijau yang menyala di persimpangan Shibuya, dan kerumunan pejalan kaki bergerak serempak. Mata-mata berbadan tegap dan berjaket hitam itu melangkah tenang. Di balik masker dan topinya, mata Zayn selalu mengamati satu titik.“Target mulai terdeteksi!” ucap Zayn penuh keyakinan.Langkah Zayn melambat. Sekilas, dari seberang jalan, ia melihat sosok perempuan dengan rambut panjang dan gaya berpakaian sederhana. Vio, begitu bosnya memanggil.Di samping Vio berjalan seorang bocah lelaki berusia sekitar empat tahun. Zayn tidak terkejut. Tidak juga tersentuh. Kehidupan mafia walau itu perempuan sangat sulit ditebak.Zayn hanya sedang menjalankan misi. Satu dari sekian banyak tugas pengintaian. Dan seperti biasa, ia tidak boleh melibatkan emosi serta perasaan. Jika tidak, Vio bisa saja mengetahui langkahnya. Wanita itu dulu bergelar ratu kematian dan mungkin gelar itu masih Vio pegang.Tiga hari pengintaian berlangsung senyap. Vio hanya keluar unt

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    44 Bertemu Mantan

    Mobil hitam berhenti di basement parkir hotel, jauh dari keramaian pesta di atas. Lantai beton dingin dan sunyi, hanya suara kipas ventilasi dan sesekali deru mesin mobil lain yang lewat. Cahaya temaram dari lampu-lampu neon menyoroti sosok pria yang duduk di kursi belakang dengan dasi yang sudah dilonggarkan.Arzan Aditya Hermanto, wajahnya tampak tenang, bahkan tampan di mata siapa pun. Namun, dari mata cokelat gelap itu, jelas ada badai yang sedang ia tahan. Tangan kirinya menekan pelipis, sementara tangan kanan menggenggam daftar tamu undangan pernikahan yang baru saja ia sobek beberapa jam lalu."Bukan hal seperti ini yang aku mau," gumamnya perlahan saja.Seseorang masuk ke mobil dan duduk di kursi kemudi. Pria bersetelan jas hitam, berwajah keras, menggunakan kacamata, rambut cepak, dan gerak-geriknya sangat teratur.“Zayn.” Arzan memanggil tanpa menoleh.“Ke tempat biasa, Boss?”“Bukan. Kali ini beda,” ucap Arzan singkat. Ia menyandarkan tubuh, lalu menatap kaca depan mobil ya

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    43 Jepang dan Semua Rasa yang Ada

    Vio menggeliat di kasur tipisnya. Ia mengumpulkan nyawa untuk rutinitas harian yang menyenangkan. Rutinitas di sebuah tempat baru yang membuatnya betah berlama-lama di sana.Pagi di Tokyo selalu datang dengan kesunyian yang tenang, begitu kata orang. Sinar matahari mengintip malu-malu dari balik tirai tipis apartemen kecil di daerah Meguro, lalu menyusup ke dalam kamar sederhana yang dipenuhi aroma bunga teh dan bedak bayi.Vio membuka mata perlahan, menoleh ke sisi ranjang di mana seorang anak kecil masih terlelap dalam pelukannya. Namanya Reino, anak laki-laki yang usianya genap 4 tahun.Hasil dari cinta singkat yang sudah ia kubur dalam-dalam, sempat ingin Vio aborsi tapi tak jadi karena rasa iba dan cinta datang tiba-tiba dalam hatinya. Reino terlihat lucu dan begitu polos, damai, dan tak ada sedikit pun jejak kelam masa lalu di wajah mungil itu.Wanita itu menyentuh pipi Reino dengan lembut. Perlahan-lahan putra pertamanya pun membuka mata,“Ayo bangun, mau lihat bunga sakura mek

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status