POV RISWAN
Part 14
"Titip anak-anak, Bang. Aku harus segera membantu, Emak," ucap istriku Risma yang biasa kupanggil dengan sebutan Eneng sembari mengusap air matanya. Kemudian berbalik meninggalkan aku yang masih berdiri terdiam.
Kesedihan terlihat jelas dari tatap matanya hanya karena membela aku, suami miskinnya.Apakah salah aku memilih diam? Apakah juga salah jika aku terus mengalah? Apakah itu menandakan jika aku sudah tidak lagi memiliki harga diri.
"Jika semuanya habis mereka injak-injak, apalagi yang harus eneng banggakan sama suami sendiri, Bang."
Sembari menemani kedua putriku Yuli dan Neti, memetik cabai dan tomat di depan pekarangan rumah, ucapan istriku selalu terngiang-ngiang.
Istriku memang tidak pernah mengeluh tentang kemiskinan kami, hampir selama enam tahun kami membina rumah tangga."Tidak apa-apa eneng dibilang miskin. Tetapi jangan sampai Abang dianggap tidak punya harga diri!"
Menemani kedua ana
Part 15Dengan menaiki ojek motor, aku langsung menuju ke pabrik pengolahan teh, berhenti tepat di depan gerbang pabrik tanpa sempat pulang terlebih dahulu untuk berganti baju. Kemeja pendek berwarna oranye pudar, celana bahan, dan sandal jepit, aku langsung menuju ke pos satpam yang terletak di balik pintu gerbang."Permisi Pak, selamat siang, saya ingin bertemu dengan Pak Julius?" tanyaku, kepada dua petugas security berseragam yang berjaga. Seseorang yang usianya sudah cukup umur, dan seorang pemuda yang sepertinya baru lulus sekolah dua atau tiga tahun sebelumnya. Bapak tua itu sepertinya sedang sibuk membuat laporan, dan security yang berusia lebih muda menanggapi pertanyaanku seperti acuh, setelah sebelumnya memperhatikan penampilanku dari wajah hingga sandal jepit yang kupakai."Buat apa?" Tidak menjawab pertanyaanku dan malah balik bertanya, tanpa memandang ke arahku sama sekali sembari asyik dengan handphone-nya."Ingin bertemu, Pak. Penting," ja
Part 16Tujuh Tahun Sebelumnya.Dering suara handphone yang kuletakkan di atas meja ruang meeting berbunyi, di saat aku sedang memimpin rapat dengan para petinggi di kantor pusat Niskala group, bilangan Sudirman Jakarta Selatan. Biasanya jika sedang rapat penting seperti ini aku tidak pernah ingin diganggu, tetapi melihat jika nomor berasal dari handphone Mamah, maka langsung kuterima.--Haloo, Mah?--Ris, ini Tante Else, Mamahmu kena serangan jantung di rumah Tante, sekarang sudah ada di rumah sakit.--Rumah sakit mana, Tan?--Siloam Semanggi--Baik Tante, saya langsung ke sana.Segera mematikan handphone."Rapat hari ini kita cukupkan dulu sampai di sini, saya harus segera ke rumah sakit," ucapku, tanpa meminta persetujuan dari peserta rapat, yang sebagian besar adalah pimpinan usaha di bawah group Niskala. langsung bergegas keluar dari ruangan pertemuan.Tony--sopir pribadi yang merangkap juga sebagai pengawal
PART 12Mamah tergeletak pingsan di lantai. Penyakit jantung yang dideritanya, sepertinya kumat. Aku segera menelepon Toni yang menunggu di bawah untuk segera naik ke tempatku berada, guna membantu untuk meng-evakuasi Mamah.Kedua orang " penghianat" itu terlihat sibuk mencari-cari bajunya yang berserakan di lantai, dan terlihat terburu-buru saat memakainya.Si wanita, Maharani, yang terlihat dan berkelakuan seperti wanita lugu, baik, perduli, hanya menangis ketakutan. Sementara si pria yang setiap bertemu kupanggil Papah, sok-sokan terlihat panik. Aku benci dengan kedua manusia bejat tersebut.Sang pria selesai memakai baju secara asal lantas berniat ingin membantu, kucegah langkahnya."Jangan coba-coba kau berani sentuh mamahku!" sentakku geram, sembari menunjuk ke wajah Papah. Pria paruh baya itu terdiam, tidak berani mendekat."Ta-tapi, Ris," sanggahnya terbata, sembari mencoba lagi untuk mendekat."Aku bilang jangan sentuh mamahku!
PART 18Selepas dari pemakaman Mamah. Aku meminta Toni ke rumah dahulu guna mengambil beberapa barang berharga, lalu meminta Toni kembali mengantarkan aku ke sebuah bank pemerintah ternama untuk menyimpan surat-surat dan benda-benda berharga kedalam safety deposit box yang banyak tersedia di bank-bank besar.Mengajak Toni sebentar menikmati kopi di sebuah kedai kedai kopi lokal yang tidak jauh dari lokasi bank."Ton, aku minta kunci mobilnya," pintaku, sembari menyeruput kopi hitam hangat."Baik, Pak." Toni lalu memberikan kunci tersebut tepat di meja depanku."Mulai hari ini, kamu kembali kerja di kantor, Ton. Saya sudah hubungi Dipta agar menyiapkan satu tempat buat kamu di Sudirman," jelasku, lalu menyenderkan tubuh di kursi."Bapak sudah tidak butuh saya lagi?" tanyanya hati-hati. Yah, Toni ini sudah dari pertama mengikutiku, sejak saat almarhum Kakek mulai memintaku membantu untuk membesarkan bisnis keluarga Kusumateja. Selalu ikut kema
"Lebih cantik dari Maharani," ucapku sedikit bergumam."Apa, Bang?" tanyanya lagi, mungkin suara gumamku sedikit terdengar di telinganya."Tidak, tidak apa-apa," jawabku, aku dibuatnya menjadi serba salah. "Itu yang kamu pegang buku apa?" Paras wanita itu terlihat heran. Matanya memperhatikan aku."Abang bukan orang Islam?" tanyanya. Setahuku keluargaku Islam. Kami ikut berlebaran, tetapi memang tidak ada nilai-nilai keagamaan dalam rumah besar kami.Sedari TK hingga kuliah, aku sekolah di yayasan Katholik yang terbilang ternama di Jakarta. Walaupun SMA, tetapi murid-muridnya hanya khusus lelaki semua.Di rumah besar kami pun penghuninya tidak ada yang ibadah, karena lingkungan perumahan elit tempat aku tinggal dikelilingi mayoritas etnis Tionghoa. Dan kakekku sepertinya penganut kepercayaan, begitupun Mamah. Kolom agama kupikir hanya supaya terisi saja."Sebentar," jawabku, sembari mengambil kartu pengenal dan melihat kolo
Ini beneran, Wan?" tanyanya, seperti ragu-ragu.Aku mengangguk, dan memang aku sudah yakin ingin membeli rumah itu."Yang 15 juta, hitung-hitung saya ingin bersedekah buat ikut membantu pembangunan kobong, juga untuk di-sedekahkan atas nama almarhumah Mamah," ucapku lirih, ada rasa nyeri di hati jika menyebut ataupun mengingat almarhumah."Subhanallah," ucap Ustaz Arief. "Nanti soal surat-surat jual belinya biar saya yang urus, dan kita akan adakan tahlilan untuk mendoakan secara khusus buat almarhumah," lanjutnya lagi."Terima kasih, Ustaz," jawabku, sembari mengambil teh hangat yang sudah disediakan istri Ustaz Arief."Ngomong-ngomong, uang kamu banyak juga, Wan?" tanya Ustaz Arief, berseloroh."Ngumpulin sedikit-sedikit, Ustaz, saat kerja di luar kemaren," jawabku, menyembunyikan jati diri. Hening sejenak, lalu aku mulai memberanikan diri untuk kembali bertanya hal yang belakangan ini membuatku risau."Taz, saya mau tan
Part 15Pegunungan, perbukitan, dan hamparan kebun-kebun teh mengelilingi Desa Cibungah ini. Udara sejuk dan angin semilir menentramkan hatiku yang gelisah, tetapi tetap tidak mengurangi debaran dada yang mengiringi derap langkahku menuju ke rumah orang tua Risma.Kekhawatiran akan adanya penolakan dari orang tua gadis yang kusuka, terutama tentang sikap bapaknya yang banyak tuntutan setiap kali ada pria yang berniat ingin meminang putrinya Risma. Akan tetapi itu semua tidak menyurutkan niatku untuk mempersuntingnya. Langkah kami bertiga sudah sampai di depan teras rumah keluarga besar Risma, dan jantungku semakin berdebar keras."Assalamualaikum." Salam kedatangan terlontar dari mulut Ustaz Arief."Waalaikum salam." Emak datang menyambut dengan ditemani Risma, dan ... gadis lugu itu berdandan, cantik sekali. Dandanan yang sederhana tanpa warna-warna yang berkesan berani, paras wajahnya semakin terlihat lembut, senyuman termanis dia lemparkan untukku, lal
Rasa sesak merasuki rongga dada, bercampur dengan kesedihan dan pengharapan.Kecewa atas sikap dan penolakan yang ditunjukkan Juragan Hasyim. Sedih melihat Risma dengan sebegitu kuatnya berupaya melawan keputusan bapaknya, hingga harus berakhir dengan tamparan untuknya. Berharap, aku dan Eneng dapat dipersatukan dalam ikatan suci pernikahan.Langkah kakiku seperti mengambang, pikiranku hanya dipenuhi tentang Eneng. Seorang gadis desa yang belum lama mengenalku, tetapi yakin terhadapku. Berani mempertahankan keinginannya untuk tetap menikah denganku, walaupun harus melawan keputusan bapaknya. Hanya wanita yang benar-benar jatuh cinta yang berani seperti itu. Meyakini rasa yang ada di hati, jika aku memang pilihan yang tepat untuknya."Kamu tidak apa-apa, Wan?" tegur Ustaz Arief, saat kami berjalan bersisian, sementara Umi Hasanah sudah berjalan lebih dulu."Tidak apa-apa, Ustaz," jawabku pelan. Ustaz Arief terus menoleh ke arahku."Wan ... jika takdir