Tri terduduk di lantai, kakinya lemas karena gemetar, lelaki itu ia lihat jelas tadi pagi dan sebelum memastikan jati dirinya dia kini sudah berdiri di hadapan Tri dengan begitu gagahnya.Dewi bahkan tak sanggup lagi berkata-kata, dia seperti mimpi melihat lelaki yang di rindukan penuh kecemasan kini berdiri dengan takdir yang bahkan tak pernah dia bayangkan."Berani kalian menyentuh putriku!" Teriaknya lantang, mendekati Aziz yang masih terpaku menatapnya tanpa berkedip."A_Alif?" Aziz tergagap, menatap lekat adik iparnya itu, Alif bahkan tampak gagah dengan setelan jas mahal yang melekat pada tubuhnya.Plak!Tamparan nyaring terdengar, Alif mendaratkan tamparan di pipi Aziz, membuat lelaki itu hampir tersungkur dan kini darah keluar dari sudut bibirnya."Jangan memanggilku sesukamu mas, aku sudah berusaha menahan diri, namun tak akan aku biarkan putriku terluka, lepaskan Nadia!" Teriaknya dengan lantang.Hendra yang gemetar melepaskan cengkraman tangannya pada Nadia, gadis itu meloro
Aziz masuk ke dalam rumah ibu nya lebih dulu, disusul Hendra dan Ratna di belakang memapahnya tubuh lemas Tri kakak iparnya."Ya Allah, kenapa dengan mbak Tri?" Sinta keluar bersama Adam suami nya yang semalam baru saja datang, mereka terkejut melihat wajah kakak iparnya pucat dan lemas."Duduk dulu mbak, duduk. Bisa ambilkaan minum Sin?" Ratna meminta tolong dan Sinta segera ke belakang mengambilkan minum untuk kakak iparnya."Sudah mbak, jangan di pikirkan lagi, mbak Dewi itu memang keterlaluan!" Ucap Ratna kesal.Tri hanya memandang kosong ke arah Ratna dan menangis saat melihat suaminya berkacak pinggang di depan pintu."Huaaaa... mas Aziz!" Tri merangkak mendekati kaki suaminya, memeluk kaki itu dengan gemetar ketakutan."Kamu kenapa to Tri? Ada apa?" Aziz yang juga terkejut mendudukkan Tri di kursi lagi."Ada apa mbak Tri, ini minum dulu!" Sinta membawakan segelas air putih dan segera memberikannya pada Tri."Ibu di mana Sin?" Azi bertanya pada adik bungsunya."Pergi ngaji mas,
"Mas Alif, sebenarnya siapa mas Alif ini?" Tanya Adam pada Alif."Sekarang itu tak penting, yang aku mau adalah kejujuran mbak Tri dulu. Botol di tangan Lisa bukan miliknya, botol itu edisi terbatas dan hanya Nadia yang punya dengan inisial namanya, kalaupun Lisa punya botol yang sama, tak akan mungkin ada inisial nama Nadia di situ!"Lisa menangis sekarang, Sinta memeluk keponakannya karena kasihan."Katakan Lisa, botol ini punya siapa?" Sinta bertanya dengan lembut."Punya Nadia tante, Huaaaa" Tangisnya pecah setelah menggakui semua.Aziz menatap ke arah istrinya dengan tajam, wajahnya bagai di coreng sekarang, bagaimana bisa dirinya tak tau apapun tentang kebenaran ini."Bagaimana tanggung jawabmu sekarang mas? apa yang kamu lakukan pada anakku tadi sungguh keterlaluan!" Dewi menatap ke arah Aziz, namun lelaki angkuh itu hanya diam tak bergeming."Dan kamu Lisa, tante sudah lihat rekaman cctv di sekolah, Nadia mendorong Lisa karena terus di cakar dan di amuk, tapi kenapa kamu menga
"Alif akan bahagiakan Dewi lebih dari ini bu, untuk menebus semua salah Alif pada Dewi dan keluarga ini juga.""Ya, ibu percaya itu, jadi sekarang ibu minta kamu juga menerima dan memaafkan keluarga ini atas sikapnya padamu le." Ibu menatap penuh harap namun Alif masih diam tak menjawab."Mau kan Le memaafkan saudaramu di sini?" Tanya ibu lagi, matang berembun penuh harap.Alif masih diam, tak sanggup lagi menjawab tanya ibu mertuanya, di tatapnya wajah-wajah yang bahkan sedetik lalu masih menggores luka, mereka kini hanya diam, tak meminta sendiri kata maaf dari nya namun juga tak lagi punya nyali untuk melontarkan hinaan pada keluarganya."Maaf itu sesuatu yang tak hanya di di minta bu!" Dewi yang sejak tadi meremas batinnya yang tergores menjawab dengan gemetar, gemuruh amarah di dadanya seolah meluap bagai lahar panas yang di muntahkan dari perut bumi."Maaf itu sesuatu yang datang dari sini!" Ucapnya menunjuk dadanya sendiri.Matanya tajam kini menatap ke arah kakak dan adiknya.
"Sepuluh tahun lalu, aku tak pernah melupakan hari di mana aku kehilangan segalanya." Alif mengingat kembali hari kelam yang bahkan sudah terkubur terlalu dalam."Hari itu aku baru saja pulang dari Australia, setelah hampir empat tahun aku menempuh pendidikan di sana, aku pulang. Mama menjemputku di bandara dengan senyum mengembang, tapi kamu tau sayang, senyumnya terasa berbeda. Kupikir karena kita lama tak jumpa, namun ternyata senyum itu menyimpan banyak luka.""Dari mana kamu tau itu senyum luka?""Dari tindakan yang mama lakukan."Dewi menaikkan alisnya, dia masih belum mengerti kemana arah ucapan suaminya."Mamaku sakit Wi, kanker rahim stadium lanjut, orang bilang hadirku adalah keajaiban, mama bahkan divonis tak bisa memiliki anak, namun nyatanya aku lahir setelah perjuangannya melawan penyakit."Dewi mengengam tangan suaminya, setelah menjalani rumah tangga delapan tahun, baru hari ini Alif menceritakan kisah keluarganya."Mama berjuang untuk sembuh, meski hampir lima tahun
"Bagaimana ini mas, kita bisa hancur jika Alif melakukan sesuatu pada kita!" Hendra terlihat cemas, sejak tadi ia tak bisa duduk dengan tenang.Aziz yang tak tau harus berbuat apa kini juga menatap Hendra dengan gelisah, tak pernah terbayangkan sedikitpun dalam benaknya bahwa Alif yang selama ini dia anggap miskin memiliki kekayaan yang tak terbayangkan olehnya."Ibu sudah pernah bilang pada kalian untuk bersikap baik dengan sesama keluarga, kamu yang paling besar Aziz, tapi tak bisa memberikan contoh yang baik." Reni bicara setelah semua yang terjadi, sejak dulu Aziz memang yang paling terlihat tak menyukai Alif."Ibu jangan buat aku tambah pusing!""Kenapa menyalahkan ibu mas, apa yang ibu katakan benar menurutku!" Ucap Sinta, dia dan sang suami hanya melihat saja kebingungan dua kakak lelakinya itu.Aziz mengusap kasar rambutnya, ia tak tau bagaimana harus membawa wajah sekarang saat bertemu Alif dan Dewi." Bagaimana jika besok Alif memecat aku mas?" Tri, istrinya juga menambah be
Setelah selesai solat berjamaah di masjid, Alif duduk sebentar di teras nya, ia sudah berganti memakai baju koko sementara Deren mendelik kesal sembari memakai sepatunya di ujung teras."Kenapa?" Tanya Alif sembari menatap sahabatnya itu."Baru ini aku ke masjid pakai jas lengkap, serasa mau baca teks proklamasi aku ini."Alif tersenyum. "Ya nggak apa to, wong ya di sukai banyak, tu buktinya yang senyum lihat kamu banyak."Deren lalu melihat sekitar, memang beberapa jamaah solat keluar dan tersenyum dengannya. "Mereka membantin mungkin!" Ucapnya kesal sendiri.Kali ini Alif tak menjawab, dia kembali duduk menghadap ke depan sembari memperhatikan suasana sekitar masjid. Masjid ini di bangun di atas tanah wakaf seorang warga, berdiri hampir tiga tahun namun belum juga bisa menyempurnakan pembangunannya. Keterbatasan dana jadi salah satu alasan mengapa mesjid yang jadi tempat warga desa ini beribadah tak juga bisa rampung sesuai rencana."Assalamualaikum Kyai Mustofa!" Alif memanggil le
Hendra diam di sudut rumahnya, pikirannya kacau membayangkan bagaimana jika Alif benar-benar memberinya pelajaran, rasanya seluruh tulang dan sendinya melemah sekarang."Mas, kenapa melamun?" Ratna duduk di samping suaminya, setelah kejadian besar tadi Ratna nampak puas melihat Nadia di seret begitu oleh suaminya."Aku takut mas Alif akan membalas kita setelah ini, bagaimanapun dia sekarang kaya raya sekali"Senyum simpul Ratna mengembang dengan angkuhnya. " Apa yang akan dia balas pada kita? lagi pula mas meski kita di musuhi mas Alif dan mbak Dewi, kita tak akan pernah jatuh miskin!" Ucap wanita itu dengan senangnya, bagaimanapun hidup Dewi dan Alif tak akan membuat Ratna jadi miskin.Ya, Ratna memang sadar bahwa apapun yang dia lakukan tak berpengaruh pada siapapun, bagi Ratna usahanya dan Hendra tak tergantung pada Dewi dan suaminya, jadi dirinya tak akan merasa rugi bila bersikap seenaknya sendiri."Mas kan pegawai bank dan juga pemilik toko besar, jadi nggak akan berpengaruh pada