Share

4. Tuan Muda yang pulang

POV Alif

Aku meninggalkan Dewi dan Nadia sendiri, hatiku terasa sakit saat orang yang aku sayang di hina terus menerus karena miskin. Memang apa salahnya hidup sederhana? kami tak pernah meminta belas kasih mereka selama ini, aku bahkan masih bisa memenuhi kehidupan kami sehari-hari, walau dengan sederhana.

Mereka boleh saja menghinaku sendiri, namun melihat Dewi di pojok kan hanya karena aku memilih hidup sederhana, hatiku serasa begitu terluka. Terlebih Nadia putriku, apa salah gadis itu pada mereka, bahkan sepotong ayam_pun kini jadi lara bagi hatinya.

Sebuah mobil berhenti setelah lama aku menunggu di jalan masuk desa dan saat aku masuk ke dalam mobil tak sengaja aku melihat mobil mas Aziz juga keluar dari gang rumah ibu mertuaku. Aku tak perduli pada kaca mobil nya yang turun memperhatikan aku sekarang.

"Jalan saja!" Ucapku singkat dan mobil mewah milikku berjalan meninggalkan kampung tempat Dewi tinggal.

Satu jam perjalanan membawa aku sampai di rumah megah yang sepuluh tahun laluk aku tinggali, rumah yang saat itu begitu aku benci namun karena istri dan anakku kini aku memilih kembali. Aku melangkah masuk ke dalam rumah, menatap halaman yang masih sama sejak aku pergi dulu, menatap kolam tempat ikan-ikan kesayangan papa dulu di pelihara, semua masih terasa sama, bahkan karena itu aku kembali mengenang luka lama ku.

Aku masuk ke dalam rumah, berjalan menuju ruang tengah dan terdiam saat melihat lelaki yang mengalirkan darahnya padaku terduduk di atas kursi roda.

"Askara!" Teriaknya memecah hening, tubuhnya rubuh ke lantai dan merangkak mendekatiku.

Aku mendekat, membantunya berdiri dan duduk kembali di atas kursi rodanya, tangannya tak berhenti mengusap wajahku, bahkan matanya yang mengguning menatapku sayu.

"Benarkah ini kamu?" Ucapnya parau, tangisnya meledak bagai bayi yang kelaparan.

"Putraku! dia memang putraku Askara Rendra Sanjaya!" Ucapnya terus mengelus punggungku yang membungkuk ke arahnya.

"Katakan Aska, katakan ini bukan mimpi?"

"Bukan Papa, ini memang aku." Aku berjongkok di di hadapannya sekarang.

Benciku padanya hilang saat aku menatap matanya yang sayu, amarahku lenyap seketika saat merasakan tubuhnya bergetar lemah, kini yang aku rasakan justeru rindu yang memburu. Menggapa lelaki yang dulu begitu gagah nan berkarisma, kini bahkan tak sanggup menopang raganya sendiri.

"Terimakasih Tuhan, terimakasih anakku sudah kembali!" Papa berucap dengan tangisan hingga bulir bening_pun ikut lolos dari mata ini.

Aku di bantu asisten pribadi papa membawanya berdiri lalu duduk di sofa ruang tengah yang lega, bahkan ruang ini bisa menampung lebih dari lima ratus orang bila acara di gelar.

Papa menatap aku dengan lekat, kaos putih dengan lubang kecil di dekat perut membuat dia menatap aku sayu, netranya seakan mengisyaratkan ibanya yang besar padaku, tanya jelas tergambar dari sorotnya yang suram.

"Ah, hidupku tak se_ menyedihkan ini pa, aku masih bisa hidup layak." Ucapku berusaha tersenyum sembari menarik kaos putih yang melekat di tubuh.

Ada rasa malu saat aku mengatakan kalimat itu, bagaimana tidak, aku kemari untuk mengembalikan harga diri keluarga kecilku di kampung dan tentu saja membeli kesombongan keluarganya.

"Papa tak menyimpulkan apapun Ka, tapi mungkin nanti kamu akan cerita sendiri. Papa hanya ingin bertanya pakah kamu bahagia dengan hidupmu selama ini ?"

Aku tersenyum "Bahagia pa, sangat bahagi. Aku bahkan merasa hidupku terlalu indah untuk ku tinggalkan."

Papa masih menatap aku sendu. "Papa lega mendengarnya Ka."

"Papa tau, Aska sudah menikah dan punya anak."

"Apa?" Mata tua itu menatap aku terkejut.

"Papa punya cucu juga, gadis cantik berusia tujuh tahun." Ucapku lagi, meyakinkannya bahwa aku tak sedang bercanda.

"Dimana mereka?"

"Di kampung, Aska belum membawa mereka kemari.".

"Kenapa tidak membawanya kemari?"

"Belum saatnya pa, nanti jika semua sudah siap."

Papa menganggukkan kepalanya. "Papa terkejut mendengarnya Ka, bahkan pernikahanmu saja papa tak ada. Kamu kemari untuk pulang selamanya?"

"Mungkin, apa posisiku masih ada?" Aku bertanya pada Papa, meski jawaban yang kudengar adalah jawaban yang sudah jelas.

Papa tertawa, tawanya tak pernah berubah, selalu renyah dan hangat. "Siapa yang berani mengambilnya darimu?" Ucapnya memastikan.

Ya, lagi pula akulah anak tunggalnya, tak mungkin juga ada yang akan menggantikan posisiku di rumah papa.

"Obatnya tuan." Seorang pelayan mendekat dengan obat dan segelas air.

"Papa sakit?"

"Ya, sebentar." Papa memasukkan obat di tangannya ke dalam mulut dan meminum habis segelas air dari aras nampan.

"Sejak kamu pergi papa tak lagi sehat, bahkan mengurus begitu banyak perusahaan membuat papa membutuhkan om Bram."

Aku terdiam mendengarnya, om Bram adalah adik tiri papa dari pernikahan nenek dan seorang lelaki keturunan Cina, sementara semua harta dan usaha yang papa punya sekarang adalah warisan dari kakekku, ayah kandung papa sendiri.

"Sekarang kamu sudah kembali, papa senang semua kini ada pada tempat yang seharusnya." Ucapnya dengan tulus.

"Kamu ingin ke kamarmu? Papa harus kembali istirahat." Papa menawari, beliau terlihat letih sekarang.

Aku berdiri mengantarkan papa ke kamarnya, lelaki itu nampak begitu sulit membuka mata,namun sebelum masuk beliau berpesan agar aku tak lagi pergi saat beliau bangun nantin.

"Apa papa sudah lama sakit?" Aku bertanya pada Pak Agus, sekertaris papa di rumah, dia yang paling dekat dengan papa dan yang paling bisa di percaya.

"Sejak tuan muda pergi kesehatan tuan Rendi menurun."

"Sejak kapan papa selalu minum obat?" Aku kembali bertanya dan sekertaris papa menganggukkan kepala.

"Sejak lama tuan , namun keadaannya semakin memburuk."

Aku mengangguk paham.

"Lantas bagaimana perusahaan sekarang?" Aku kembali bertanya.

"Baik tuan, semua berkembang baik, hanya saja tuan Bram tak mau terbuka soal keuangan."

"Kenapa?" Alisku berkerut mendengar nama pamanku itu.

"Alasanya semua laporan langsung ke tuan besar, jadi bawahan tak perlu tau."

"Begitu? terimakasih sudah memberi tahuku pak Agus, kamu boleh kembali menjaga papa"

"Baik tuan, ini ponsel yang anda minta tuan." Agus memberikan aku kotak berisi ponsel terbaru .

"Terimakasih!"

.

Aku hanya mengatakan itu dan berjalan ke arah tangga menuju ke kamarku.

Kubuka pintu besar yanh lama aku tinggalkan, ruangan yang baunya saja bahkan aku lupa, ranjang besar itu bahkan masih berada di tempatnya, lengkap dengan banyaknya koleksiku saat masih remaja dulu. Sekarang usiaku hampir kepala tiga, dan setatusku tak lagi sendiri seperti dulu.

Ponsel yang aku bawa dari rumah sengaja aku matikan sejak tadi, aku tau Dewi pasti menghubungi aku sekarang, namun aku memilih menghindar dulu untuk menyelesaikan beberapa hal.

Kunyalakan ponsel yang di berikan pak Agus, menghubungi seseorang yang pasti telah lamaa menunggu kabarku.

" Apa kabar, aku sudah kembali." Ucapku memulai kalimat saat ponsel telah terangkat.

Komen (58)
goodnovel comment avatar
Bambang Iswaanto
menarik ceritanya tp sayang harus bayar kalo mau baca selanjutnya ............
goodnovel comment avatar
Amelia Nabela
yah pake koin
goodnovel comment avatar
Sumarni Sungkono
gmn in i, tdi saya dah baca sampai bab 12kok ngulang lagi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status