Share

3. Aku pergi, Wi!

Aku hanya terdiam, melihat nasi tanpa lauk yang ada di depanku, sementara wajah berbinar Nadia menghilang begitu saja, dia hanya terduduk diam menahan tangis.

"Mungkin tante Ratna lupa kasih masuk ayamnya nduk. Besok kita beli saja ya? Kalau ibuk punya rezeki, kita buat ayam yang sama enaknya"

Gadis itu mengelengkan kepala." Nadia gak mau lagi makan ayam buk, Nadia gak suka ayam. Kenapa tante jahat sama Nadia, Nadia gak nakal, gak minta jajan juga. Semua jajan Es, Nadia gak minta, kenapa ayam juga gak dikasih sama tante buk? " Ucapan lirihnya membuat hatiku memanas.

"Tante ngak jahat, kita do'akan saja tante biar tambah sayang sama Nadia ya?"

"Gak mau, Nadia do'a saja untuk ibu dan Ayah, Nadia cuma mau Ibuk dan Ayah saja, nggak mau tante, bude atau siapapun!" Ucapnya pelan.

Ya Allah, remuk hatiku, anak kecil ini pandai sekali menyembunyikan rasanya. Nadia, ada apa denganmu?

Aku mencoba tersenyum, lalu berdiri dan mengusap wajahku sendiri. "Yasudah, Ayo kita beli telur saja di warung mbak Mul, ibu buatkan telur mata sapi yanh besar. sebentar, ibu ambil uang ya." Aku berjalan ke dalam kamar dan melihat mas Alif baru saja selesai sholat.

Ya Allah, bantu hambamu ini, bagaimana harus aku katakan pada mas Alif. Baru saja ia beradu urat dengan saudaraku apakah harus aku aduk lagi, air yang masih keruh?

"Kenapa lihat begitu?"

"Em, Mas, ada uang?" Aku berbisik gelisah. Di .dompetku hanya tersisa dua ribu rupiah. Sementara upahku mencuci belum di bayar minggu ini.

"Buat apa?" Mas Alif melihat sajadah dan menaruhnya di rak.

"Beli telur mas"

"Telur? Bukannya sudah ada nasi berkat dari rumah ibu?"

Aku terdiam, Bagaimana harus aku jelaskan?

"Em, anu mas_"

"Assalamualaikum, Mbak Dewi." Belum juga aku menjawab, suara salam sudah terdengar dari depan.

Waalaikumsalam." Bergegas aku menuju ke depan ibu Iin tetanggaku sudah berdiri di ambang pintu. Senyumnya mengembang saat melihatku berjalan mendekat. "Mbak Dewi, bisa setrika baju besok?"

"Bisa bu, diantar ke sini atau saya yang ke rumah?"

"Di sini saja nggak apa, ini saya sudah bawa bajunya " Dia letakkan dua kantong besar baju di depanku. "Dan ini upah cuci baju beberapa hari lalu. Maaf baru bisa kasih, saya baru pulang penataran dari luar kota." Dia berikan tiga lembar seratus ribuan di tanganku.

"Ini banyak sekali bu? Sekalian uang setrika?"

"Mana ada, itu uang cuci baju saja. Setrika saya kasih besok kalau ambil ya. Sudah, saya pulang dulu." Bu Iin berbalik hampir keluar halaman.

"Ya Allah lupa!" Dia kembali mendekatiku.

"Ini ayam bakar madu buat si cantik Nadia, tadi kami makan di luar dan Bapak keingat Nadia suka sekali ayam bakar ini, dulu pas ikut mbak Dewi nyuci di rumah dia lahap sekali waktu kami ajak makan."

Bu Iin menyerahkan keresek putih kepadaku, entah kenapa mata ini langsung berembun karena terharu, baru saja beberapa saat lalu hatiku gamang, Allah sudah bayar lunas dalam hitungan menit.

"Sudah ya mbak, Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam, terimakasih bu" Aku berucap pelan dan melihat bu Iin sudah berlalu pergi meninggalkanku di ambang pintu.

Segera kubawa masuk bungkusan itu, lalu menaruhnya di meja dapur, kupotong segera menjadi beberapa bagian, lalu kusajikan di atas meja.

"Nad, kita makan yuk!" Aku mengelus punggung Nadia, dia sedang mengambar di dalam kamarnya.

"Nadia sedang apa?" Aku terkejut saat melihat gambar Nadia, sepertinya bukan sesuatu yang asing.

"Ini gambar paha ayam yang di makan mbak Lisa tad, Nadia gak benci ayam kok bu, Kalau ibu punya uang, maukan ibu masak ayam begini?"

Ya Allah Nadia, rupanya hatimu benar-benar kecewa nak.

Aku tersenyum, bagaimanapun tak boleh ada air mata keluar dihadapan Nadia.

"Kalau ayam bakar madu, Nadia mau nggak?"

"Seperti punya Pak Imam ya bu? Waktu Nadia diajak makan di sana, ayamnya enak sekali." Gadis polos itu berucap.

Aku tersenyum. "Iya, ada ayam bakar madu buat makan malam kita, dari pak Imam khusus buat Nadia, ayo kita makan!"

Dia nampak tersenyum. "Betul buk? Ibuk gak bohong kan?"

"Ngak dong sayang, kan bohong itu....

" Dosa buk, iya ya, mana mungkin ibuk bohong. Ayo buk kita makan ayam sama-sama." Ucapnya segera berlari ke depan, di sana sudah berdiri mas Alif yang melihat isi dalam piring di meja.

"Dari bu Iin dan pak Imam mas, buat Nadia."

"Alhamdulillah ya buk, gambar ayam Nadia jadi beneran." gadis itu tersenyum dengan senangnya, memandang ayam utuh yang ada di meja.

"Alhamdulillah. Nad, ayo cuci tanganmu, kita makan bersama ya." mas Alif bicara dan gadis kecilku itu segers berlari ke belakang.

"Dek, ini uang buat beli telur." Mas Alif memberiku dua lembar dua puluh ribuan.

"Nggak jadi mas, sudah ada ayam bakar madu."

"Lho, terus kenapa tadi minta telur, bukanya sudah bawa ayam kecap juga dari rumah ibu?"

Aku menunjuk isi kardus pemberian Ratna.

"Mas lihat sendiri isinya, hanya itu yang mereka berikan, Nadia sampai menangis karena kecewa pada kardus tanpa ayam yang kita bawa, tapi Alhamdulillah bu Iin kemari membawa ayam bakar buat Nadia mas."

Mas Alif berjalan mendekati kardus dari rumah Shinta, mengelus dada saat melihat isi dalam nasi berkat di meja itu.

Brak!

Mas Alif membuang kasar kardus itu ke samping rumah.

"Ya Allah, mereka fikir kita ini apa dek, ayam? Kacung mereka? Besok lagi, jika keluargamu punya acara, kamu tak perlu bantu-bantu, datang saja seperti tamu, lalu pulang!"

Ya Allah, apa lagi ini?

"Mas, sabar dulu."

"Tak ada sabar Dewi, aku sudah menelan sabar sejak pertama kali datang sebagai suamimu!" Ucapannya meninggi dengan nada marah.

"Mas, nanti Nadia dengar."

Mas Alif melihat ke belakang, Nadia sudah datang dengan senyum sumringah.

"Yah, ayo makan."

"Nadia makan dulu sebentar ya, ayah dan ibu mau ke warung dulu."

Mas Alif berucap tanpa melihatku, aku tau ada yang harus mas Alif katakan padaku sekarang dan tidak di depan Nadia.

"Nad, di rumah sebentar berani?"

Nadia mengangguk pelan. "Berani, Nadia sudah besar." Ucapnya dengan yakin dan membuat aku merasa tenang.

Mas Alif lalu membawaku ke taman dekat jalan masuk desa, kami duduk di sana sembari mengurai panas yang menjalar ke hati.

"Maaf atas apa yang terjadi di keluargaku mas." Aku bicara lebih dulu, mas Alif pasti sangat kecewa sekarang.

"Aku memilih hidup sederhana bukan untuk di hina Wi, jika mereka memperlakukan aku buruk, aku masih bisa terima, bahkan tak perduli, tapi kenapa kamu tak mau cerita jika sikap mereka begitu selama ini pada Nadia?"

Aku menatap wajah lelakiku itu, ada gurat kecewa di matanya.

"Hari ini aku melihat mereka makan tanpa perduli Nadia, mbak Tri bahkan membentaknya tadi siang."

"Mas lihat itu?" Aku terkejut mendengar mas Alif melihat mbak Tri membentak Nadia.

"Mataku tidak buta Wi, tadinya aku ingin membantu di belakang, tapi melihat itu aku putuskan pulang!" Mas Alif kembali menghela napas berat.

"Jika bukan karena ibu dan Sinta yang begitu baik pada keluarga kita, aku sudah mengamuk mereka semua Wi! Kenapa kamu tak cerita padaku selama ini?"

"Buat apa cerita mas, tak akan merubah juga nasib kita ini."

Mass Alif menatapku lekat. "Siapa bilang, aku akan bawakan mereka kemegahan yang mereka banggakan Wi." Mas Alif berdiri dengan kesal.

"Apa maksudmu mas?"

"Pulanglah dulu Wi, jangan tunggu aku pulang juga, mungkin aku akan pergi sedikit lama, biar ku bungkam mulut jahat saudara-saudaramu itu!"

Mas Alif menyerahkan kunci motornya padaku dan berjalan meninggalkan aku di taman.

"Mas, mau kemana?" Aku mengejarnya meminta penjelasan.

Mas Alif menghentikan langkahnya. "Wi, kamu percaya padaku?"

Aku mengangguk, tentu saja aku percaya, jika tidak buat apa juga aku menikahinya.

"Aku titipkan Nadia padamu Wi, jaga dia selagi aku pergi, jangan dengarkan kata orang padamu, percaya saja aku akan kembali." Ucapnya lalu benar-benar berjalan meninggalkan aku sendiri.

Kemana kamu akan pergi mas? bagaimana akan aku jelaskan pada Nadia dan keluargaku sekarang ini?

Comments (5)
goodnovel comment avatar
pikapiku7
cerita aneh, hidup sederhana ya sederhana. Tapi kalau istri dijadikan buruh cuci, ini suaminya gak ada otak.
goodnovel comment avatar
Supar Supar
mantap cerita nya
goodnovel comment avatar
Mismaruddin Didin
mantap ceritanya.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status