Aku hanya terdiam, melihat nasi tanpa lauk yang ada di depanku, sementara wajah berbinar Nadia menghilang begitu saja, dia hanya terduduk diam menahan tangis.
"Mungkin tante Ratna lupa kasih masuk ayamnya nduk. Besok kita beli saja ya? Kalau ibuk punya rezeki, kita buat ayam yang sama enaknya"Gadis itu mengelengkan kepala." Nadia gak mau lagi makan ayam buk, Nadia gak suka ayam. Kenapa tante jahat sama Nadia, Nadia gak nakal, gak minta jajan juga. Semua jajan Es, Nadia gak minta, kenapa ayam juga gak dikasih sama tante buk? " Ucapan lirihnya membuat hatiku memanas."Tante ngak jahat, kita do'akan saja tante biar tambah sayang sama Nadia ya?""Gak mau, Nadia do'a saja untuk ibu dan Ayah, Nadia cuma mau Ibuk dan Ayah saja, nggak mau tante, bude atau siapapun!" Ucapnya pelan.Ya Allah, remuk hatiku, anak kecil ini pandai sekali menyembunyikan rasanya. Nadia, ada apa denganmu?Aku mencoba tersenyum, lalu berdiri dan mengusap wajahku sendiri. "Yasudah, Ayo kita beli telur saja di warung mbak Mul, ibu buatkan telur mata sapi yanh besar. sebentar, ibu ambil uang ya." Aku berjalan ke dalam kamar dan melihat mas Alif baru saja selesai sholat.Ya Allah, bantu hambamu ini, bagaimana harus aku katakan pada mas Alif. Baru saja ia beradu urat dengan saudaraku apakah harus aku aduk lagi, air yang masih keruh?"Kenapa lihat begitu?""Em, Mas, ada uang?" Aku berbisik gelisah. Di .dompetku hanya tersisa dua ribu rupiah. Sementara upahku mencuci belum di bayar minggu ini."Buat apa?" Mas Alif melihat sajadah dan menaruhnya di rak."Beli telur mas""Telur? Bukannya sudah ada nasi berkat dari rumah ibu?"Aku terdiam, Bagaimana harus aku jelaskan?"Em, anu mas_""Assalamualaikum, Mbak Dewi." Belum juga aku menjawab, suara salam sudah terdengar dari depan.Waalaikumsalam." Bergegas aku menuju ke depan ibu Iin tetanggaku sudah berdiri di ambang pintu. Senyumnya mengembang saat melihatku berjalan mendekat. "Mbak Dewi, bisa setrika baju besok?""Bisa bu, diantar ke sini atau saya yang ke rumah?""Di sini saja nggak apa, ini saya sudah bawa bajunya " Dia letakkan dua kantong besar baju di depanku. "Dan ini upah cuci baju beberapa hari lalu. Maaf baru bisa kasih, saya baru pulang penataran dari luar kota." Dia berikan tiga lembar seratus ribuan di tanganku."Ini banyak sekali bu? Sekalian uang setrika?""Mana ada, itu uang cuci baju saja. Setrika saya kasih besok kalau ambil ya. Sudah, saya pulang dulu." Bu Iin berbalik hampir keluar halaman."Ya Allah lupa!" Dia kembali mendekatiku."Ini ayam bakar madu buat si cantik Nadia, tadi kami makan di luar dan Bapak keingat Nadia suka sekali ayam bakar ini, dulu pas ikut mbak Dewi nyuci di rumah dia lahap sekali waktu kami ajak makan."Bu Iin menyerahkan keresek putih kepadaku, entah kenapa mata ini langsung berembun karena terharu, baru saja beberapa saat lalu hatiku gamang, Allah sudah bayar lunas dalam hitungan menit."Sudah ya mbak, Assalamualaikum!""Waalaikumsalam, terimakasih bu" Aku berucap pelan dan melihat bu Iin sudah berlalu pergi meninggalkanku di ambang pintu.Segera kubawa masuk bungkusan itu, lalu menaruhnya di meja dapur, kupotong segera menjadi beberapa bagian, lalu kusajikan di atas meja."Nad, kita makan yuk!" Aku mengelus punggung Nadia, dia sedang mengambar di dalam kamarnya."Nadia sedang apa?" Aku terkejut saat melihat gambar Nadia, sepertinya bukan sesuatu yang asing."Ini gambar paha ayam yang di makan mbak Lisa tad, Nadia gak benci ayam kok bu, Kalau ibu punya uang, maukan ibu masak ayam begini?"Ya Allah Nadia, rupanya hatimu benar-benar kecewa nak.Aku tersenyum, bagaimanapun tak boleh ada air mata keluar dihadapan Nadia."Kalau ayam bakar madu, Nadia mau nggak?""Seperti punya Pak Imam ya bu? Waktu Nadia diajak makan di sana, ayamnya enak sekali." Gadis polos itu berucap.Aku tersenyum. "Iya, ada ayam bakar madu buat makan malam kita, dari pak Imam khusus buat Nadia, ayo kita makan!"Dia nampak tersenyum. "Betul buk? Ibuk gak bohong kan?""Ngak dong sayang, kan bohong itu...." Dosa buk, iya ya, mana mungkin ibuk bohong. Ayo buk kita makan ayam sama-sama." Ucapnya segera berlari ke depan, di sana sudah berdiri mas Alif yang melihat isi dalam piring di meja."Dari bu Iin dan pak Imam mas, buat Nadia.""Alhamdulillah ya buk, gambar ayam Nadia jadi beneran." gadis itu tersenyum dengan senangnya, memandang ayam utuh yang ada di meja."Alhamdulillah. Nad, ayo cuci tanganmu, kita makan bersama ya." mas Alif bicara dan gadis kecilku itu segers berlari ke belakang."Dek, ini uang buat beli telur." Mas Alif memberiku dua lembar dua puluh ribuan."Nggak jadi mas, sudah ada ayam bakar madu.""Lho, terus kenapa tadi minta telur, bukanya sudah bawa ayam kecap juga dari rumah ibu?"Aku menunjuk isi kardus pemberian Ratna."Mas lihat sendiri isinya, hanya itu yang mereka berikan, Nadia sampai menangis karena kecewa pada kardus tanpa ayam yang kita bawa, tapi Alhamdulillah bu Iin kemari membawa ayam bakar buat Nadia mas."Mas Alif berjalan mendekati kardus dari rumah Shinta, mengelus dada saat melihat isi dalam nasi berkat di meja itu.Brak!Mas Alif membuang kasar kardus itu ke samping rumah."Ya Allah, mereka fikir kita ini apa dek, ayam? Kacung mereka? Besok lagi, jika keluargamu punya acara, kamu tak perlu bantu-bantu, datang saja seperti tamu, lalu pulang!"Ya Allah, apa lagi ini?"Mas, sabar dulu.""Tak ada sabar Dewi, aku sudah menelan sabar sejak pertama kali datang sebagai suamimu!" Ucapannya meninggi dengan nada marah."Mas, nanti Nadia dengar."Mas Alif melihat ke belakang, Nadia sudah datang dengan senyum sumringah."Yah, ayo makan.""Nadia makan dulu sebentar ya, ayah dan ibu mau ke warung dulu."Mas Alif berucap tanpa melihatku, aku tau ada yang harus mas Alif katakan padaku sekarang dan tidak di depan Nadia."Nad, di rumah sebentar berani?"Nadia mengangguk pelan. "Berani, Nadia sudah besar." Ucapnya dengan yakin dan membuat aku merasa tenang.Mas Alif lalu membawaku ke taman dekat jalan masuk desa, kami duduk di sana sembari mengurai panas yang menjalar ke hati."Maaf atas apa yang terjadi di keluargaku mas." Aku bicara lebih dulu, mas Alif pasti sangat kecewa sekarang."Aku memilih hidup sederhana bukan untuk di hina Wi, jika mereka memperlakukan aku buruk, aku masih bisa terima, bahkan tak perduli, tapi kenapa kamu tak mau cerita jika sikap mereka begitu selama ini pada Nadia?"Aku menatap wajah lelakiku itu, ada gurat kecewa di matanya."Hari ini aku melihat mereka makan tanpa perduli Nadia, mbak Tri bahkan membentaknya tadi siang.""Mas lihat itu?" Aku terkejut mendengar mas Alif melihat mbak Tri membentak Nadia."Mataku tidak buta Wi, tadinya aku ingin membantu di belakang, tapi melihat itu aku putuskan pulang!" Mas Alif kembali menghela napas berat."Jika bukan karena ibu dan Sinta yang begitu baik pada keluarga kita, aku sudah mengamuk mereka semua Wi! Kenapa kamu tak cerita padaku selama ini?""Buat apa cerita mas, tak akan merubah juga nasib kita ini."Mass Alif menatapku lekat. "Siapa bilang, aku akan bawakan mereka kemegahan yang mereka banggakan Wi." Mas Alif berdiri dengan kesal."Apa maksudmu mas?""Pulanglah dulu Wi, jangan tunggu aku pulang juga, mungkin aku akan pergi sedikit lama, biar ku bungkam mulut jahat saudara-saudaramu itu!"Mas Alif menyerahkan kunci motornya padaku dan berjalan meninggalkan aku di taman."Mas, mau kemana?" Aku mengejarnya meminta penjelasan.Mas Alif menghentikan langkahnya. "Wi, kamu percaya padaku?"Aku mengangguk, tentu saja aku percaya, jika tidak buat apa juga aku menikahinya."Aku titipkan Nadia padamu Wi, jaga dia selagi aku pergi, jangan dengarkan kata orang padamu, percaya saja aku akan kembali." Ucapnya lalu benar-benar berjalan meninggalkan aku sendiri.Kemana kamu akan pergi mas? bagaimana akan aku jelaskan pada Nadia dan keluargaku sekarang ini?POV AlifAku meninggalkan Dewi dan Nadia sendiri, hatiku terasa sakit saat orang yang aku sayang di hina terus menerus karena miskin. Memang apa salahnya hidup sederhana? kami tak pernah meminta belas kasih mereka selama ini, aku bahkan masih bisa memenuhi kehidupan kami sehari-hari, walau dengan sederhana.Mereka boleh saja menghinaku sendiri, namun melihat Dewi di pojok kan hanya karena aku memilih hidup sederhana, hatiku serasa begitu terluka. Terlebih Nadia putriku, apa salah gadis itu pada mereka, bahkan sepotong ayam_pun kini jadi lara bagi hatinya.Sebuah mobil berhenti setelah lama aku menunggu di jalan masuk desa dan saat aku masuk ke dalam mobil tak sengaja aku melihat mobil mas Aziz juga keluar dari gang rumah ibu mertuaku. Aku tak perduli pada kaca mobil nya yang turun memperhatikan aku sekarang."Jalan saja!" Ucapku singkat dan mobil mewah milikku berjalan meninggalkan kampung tempat Dewi tinggal.Satu jam perjalanan membawa aku sampai di rumah megah yang sepuluh tahun la
Apa yang akan aku katakan pada Nadia, mas Alif bahkan pergi tanpa berpamitan padanya, gadis itu pasti sedih bila tau apa yang terjadi.Kutatap rumah tempat kami tinggal, rumah yang mas Alif kontrak di awal pernikahan kami. Dia pendatang di kampung ini kala itu, membantu pengerjaan proyek jembatan besar dan mas Alif adalah salah satu buruh yang datang dari kota.Dia menikahiku setelah dua tahun kami saling kenal, bapak adalah rekan kerjanya di proyek dan kami berkenalan karena aku sering di minta mengantarkan makan siang bapak. Di mataku mas Alif orang yang baik, sabar dan rajin, bapak mungkin juga berpikir begitu, karena itulah beliau menjodohkan aku dengannya."Ibuk sudah pulang?" Aku terkejut, Nadia sudah berdiri di ambang pintu depan, menatapku yang masih terdiam di pelataran."Sudah, Nadia sudah selesai makan?"Gadisku menganggukkan kepala, namun matanya tak berhenti menelisik ke balik punggungku."Ayah mana buk?"Deg!Tubuhku gemetar rasanya, aku bahkan belum tau apa yang sedang
"Tunggu Wi, aku melihat suamimu pergi dengan mobil mewah, kamu tau itu siapa?" Kalimat mas Aziz menghentikan langkahku."Apa yang mas katakan?"" Mas Aziz lihat mas Alif pergi semalam, naik mobil mewah mbak, di jemput orang berjas hitam." Ratna bicara dengan nada meremehkan, matanya melirik seolah sedang menertawakan situasiku sekarang."Mobil mewah?" Aku terkejut mendengar ucapan Ratna, mas Alif bahkan tak pamit dengan jelas akan pergi kemana, bagaimana bisa ada mobil mewah menjemputnya semalam."Kamu nggak tau?" mas Aziz bertanya lagi"Aku ngak tau mas, mas yakin itu mas Alif?""Kamu kira aku bohong? mataku juga masih sehat Wi!" Mas Aziz nampak tersinggung.."Bukan begitu mas, hanya mas Alif memang belum bilang ke mana, tapi kok aneh kalau dia naik mobil mewah.""Iyakan aneh, aku juga berpikir begitu mas, lagi pula mana mungkin seles makanan saja kok bisa punya teman atau kenalan orang kaya!" Mbak Tri melipat tangan di dada."Jangan merendahkan suamiku begitu mbak!"Tatapan mbak Tr
"Kenapa kamu tak kesal?" Deren bertanya dengan heran."Buat apa aku kesal, mereka hanya meminjam tapi tak benar-benar memiliki, toh jika bukan karena satu hal aku mungkin tak akan kembali Ren, aku sudah bahagia dengan keluargaku sendiri?""Keluarga? kamu sudah menikah? ini gila!" "Hahahaaa, apanya yang gila, aku lelaki normal Deren, wajar saja bila aku menikah dan punya anak.""Kamu sudah punya anak juga? apa yang sudah merasukimu sepuluh tahun ini Lif?" Deren masih terheran-heran mendengar jawaban sahabatnya itu, mereka berteman telah lebih dari dua puluh tahun dan sekarang seorang tuan muda kembali dengan jatidiri yang jauh berbeda."Aku akan ceritakan semuanya nanti, sekarang Ceritakanlah padaku apa yang sudah terjadi selama aku pergi?"Alif bicara dengan serius pada sahabatnya itu, selama dia pergi bahkan Alif tak pernah ingin melihat dan membaca berita apapun tentang keluargnya sendiri. Terlalu sakit dan pedih mengingat kembali mamanya yang menderita karena penghianatan sang pap
"Aku ingin meminta bantuan Deren, tolong minta orang datang ke rumah istriku dan pastikan kebutuhan mereka terpenuhi dulu." Alif tiba-tiba saja meminta pada Deren."Sekarang?" Deren menaikkan alisnya terkejut"Ya, sejak semalam aku tak tau harus berbuat apa untuk memastikan mereka aman, tolong kirim orang ke sana selama aku tak ada.""Baiklah,tapi kamu yakin akan baik-baik saja? Kenapa kita tak menjemputnya saja sekarang?" Deren mengamati wajah sahabatnya, ada gurat ragu dan takut di sana."Aku nggak apa-apa Deren, tolong saja urus keperluan istri dan anakku. Menjemput mereka itu perkara mudah, yang sulit adalah memastikan mereka aman lebih dulu.""Ya aku mengerti, jika begitu akan aku urus mereka sekarang juga." Deren berjalan mendahului Alif, membuka pintu aula dan terdiam saat melihat Lukas sudah berdiei dengan wajah tak suka padanya."Pak Deren, apakah rapat mendadak ini perintahmu?" Lelaki dua puluh lima tahun itu menatap Deren dengan marah."Iya bisa di bilang begitu, tapi tidak
pov penulisDewi masih terus memikirkan apa yang terjadi pada suaminya, setelah selesai setrika baju dia bahkan tak bisa duduk dengan tenang, tangannya masih terus berusaha mencari kegiatan untuk mengalihkan pikirannya yang entah sedang berada di mana."Bagaimana jika mas Aziz benar?"Tiba-tiba saja kalimat itu terlintas di dalam kepalanya, segala prasangka buruk seolah terus mencoba mengusai."Tidak, itu tidak mungkin benar! Bagaimana bisa mas Alif melakukaan itu pada kami" Dewi berpikir Alif terlalu baik untuk berbuat jahat pada dirinya dan Nadia."Tapi bagaimana jika itu benar?""Ark! apasih isi kepalaku ini!" Dewi menolak sendiri pikiran buruknya itu."Ah, aku bahkan lupa menjemput Nadia!" Ucapnya panik saat jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Bergegas dia mengambil motor untuk menjemput Nadia, namun baru saja motornya keluar halaman sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapannya. Seorang wanita dengan pakaian formal turun dan mendekati Dewi."Permisi, ibu saya mau tanya rum
Beni mengikuti Alif masuk ke dalam ruang kerjanya, meninggalkan Lukas yang masih terlihat kesal menatap barang-barangnya di luar ruangan. Alif duduk di sofa ujung dekat jendela, menatap wajah om nya yang terlihat sedang tak baik-baik saja."Bagaimana kabar om selama aku pergi?" Alif bertanya pada Beni, lelaki bertubuh ideal itu duduk sembari membetulkan letak jasnya."Aku baik, bahkan bekerja dengan penuh tanggung jawab, kamu bisa lihat sendiri bagaimana perusahaan ini maju saat kamu tinggalkan. "Alif menaikkan kedua alisnya, mendengar kalimat jumawa om nya yang bahkan belum dia lihat sendiri hasilnya, membuat lelaki itu tertawa dengan dalam hati."Bagaimana kabarmu Aska, kemana saja kamu selama ini?" Beni bertanya dengan ramah, namun matanya seolah menelisik mencari tau kemana jalan pikiran lawan bicaranya."Aku baik om, aku memulai hidup baru yang bahagia dan jauh dari segala kemewahan.""Hahahaaa, Benarkah? Bahagia tanpa kemewahan?." Tawa Beni menggema di ruangan kerja Alif."Lucu
Mendapat pesan dari Deren, Alif segera meninggalkan kantornya, dia keluar menuju lantai satu dan berhenti di dekat tangga saat melihat Bram sedang berdiri sembari bicara di telepon dengan seseorang."Aku tak mau tau, tempatkan Lukas di pabrik lain yang jauh dari Aska!"Nampaknya Bram sedang berusaha melindungi putranya itu, dia berusaha menjauhkan Lukas dari Alif agar segala kebobrokan bocah itu tak terbongkar oleh Alif."Aku tak mau tau, segera urus kepindahan Lukas!" Suara kesal Bram terdengar sedikit menggema.Alif sengaja diam, memilih pergi dan tak lagi memikirkan polah om nya itu, dirinya punya urusan yang jauh lebih penting sekarang. Alif berjalan menuju ke tempat parkir, seluruh staf dan satpam sudah tau siapa dirinya sekarang, hingga sikap mereka semua berubah baik.Deren sudah menunggu di depan gedung, berjalan membukakan pintu untuk bos yang juga sahabatnya itu."Kau sudah menjalankan pesanku?" Alif bertanya memastikan."Sudah, mana berani aku mmmembantah tuan muda.""Henti