"Kenapa kamu tak kesal?" Deren bertanya dengan heran."Buat apa aku kesal, mereka hanya meminjam tapi tak benar-benar memiliki, toh jika bukan karena satu hal aku mungkin tak akan kembali Ren, aku sudah bahagia dengan keluargaku sendiri?""Keluarga? kamu sudah menikah? ini gila!" "Hahahaaa, apanya yang gila, aku lelaki normal Deren, wajar saja bila aku menikah dan punya anak.""Kamu sudah punya anak juga? apa yang sudah merasukimu sepuluh tahun ini Lif?" Deren masih terheran-heran mendengar jawaban sahabatnya itu, mereka berteman telah lebih dari dua puluh tahun dan sekarang seorang tuan muda kembali dengan jatidiri yang jauh berbeda."Aku akan ceritakan semuanya nanti, sekarang Ceritakanlah padaku apa yang sudah terjadi selama aku pergi?"Alif bicara dengan serius pada sahabatnya itu, selama dia pergi bahkan Alif tak pernah ingin melihat dan membaca berita apapun tentang keluargnya sendiri. Terlalu sakit dan pedih mengingat kembali mamanya yang menderita karena penghianatan sang pap
"Aku ingin meminta bantuan Deren, tolong minta orang datang ke rumah istriku dan pastikan kebutuhan mereka terpenuhi dulu." Alif tiba-tiba saja meminta pada Deren."Sekarang?" Deren menaikkan alisnya terkejut"Ya, sejak semalam aku tak tau harus berbuat apa untuk memastikan mereka aman, tolong kirim orang ke sana selama aku tak ada.""Baiklah,tapi kamu yakin akan baik-baik saja? Kenapa kita tak menjemputnya saja sekarang?" Deren mengamati wajah sahabatnya, ada gurat ragu dan takut di sana."Aku nggak apa-apa Deren, tolong saja urus keperluan istri dan anakku. Menjemput mereka itu perkara mudah, yang sulit adalah memastikan mereka aman lebih dulu.""Ya aku mengerti, jika begitu akan aku urus mereka sekarang juga." Deren berjalan mendahului Alif, membuka pintu aula dan terdiam saat melihat Lukas sudah berdiei dengan wajah tak suka padanya."Pak Deren, apakah rapat mendadak ini perintahmu?" Lelaki dua puluh lima tahun itu menatap Deren dengan marah."Iya bisa di bilang begitu, tapi tidak
pov penulisDewi masih terus memikirkan apa yang terjadi pada suaminya, setelah selesai setrika baju dia bahkan tak bisa duduk dengan tenang, tangannya masih terus berusaha mencari kegiatan untuk mengalihkan pikirannya yang entah sedang berada di mana."Bagaimana jika mas Aziz benar?"Tiba-tiba saja kalimat itu terlintas di dalam kepalanya, segala prasangka buruk seolah terus mencoba mengusai."Tidak, itu tidak mungkin benar! Bagaimana bisa mas Alif melakukaan itu pada kami" Dewi berpikir Alif terlalu baik untuk berbuat jahat pada dirinya dan Nadia."Tapi bagaimana jika itu benar?""Ark! apasih isi kepalaku ini!" Dewi menolak sendiri pikiran buruknya itu."Ah, aku bahkan lupa menjemput Nadia!" Ucapnya panik saat jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Bergegas dia mengambil motor untuk menjemput Nadia, namun baru saja motornya keluar halaman sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapannya. Seorang wanita dengan pakaian formal turun dan mendekati Dewi."Permisi, ibu saya mau tanya rum
Beni mengikuti Alif masuk ke dalam ruang kerjanya, meninggalkan Lukas yang masih terlihat kesal menatap barang-barangnya di luar ruangan. Alif duduk di sofa ujung dekat jendela, menatap wajah om nya yang terlihat sedang tak baik-baik saja."Bagaimana kabar om selama aku pergi?" Alif bertanya pada Beni, lelaki bertubuh ideal itu duduk sembari membetulkan letak jasnya."Aku baik, bahkan bekerja dengan penuh tanggung jawab, kamu bisa lihat sendiri bagaimana perusahaan ini maju saat kamu tinggalkan. "Alif menaikkan kedua alisnya, mendengar kalimat jumawa om nya yang bahkan belum dia lihat sendiri hasilnya, membuat lelaki itu tertawa dengan dalam hati."Bagaimana kabarmu Aska, kemana saja kamu selama ini?" Beni bertanya dengan ramah, namun matanya seolah menelisik mencari tau kemana jalan pikiran lawan bicaranya."Aku baik om, aku memulai hidup baru yang bahagia dan jauh dari segala kemewahan.""Hahahaaa, Benarkah? Bahagia tanpa kemewahan?." Tawa Beni menggema di ruangan kerja Alif."Lucu
Mendapat pesan dari Deren, Alif segera meninggalkan kantornya, dia keluar menuju lantai satu dan berhenti di dekat tangga saat melihat Bram sedang berdiri sembari bicara di telepon dengan seseorang."Aku tak mau tau, tempatkan Lukas di pabrik lain yang jauh dari Aska!"Nampaknya Bram sedang berusaha melindungi putranya itu, dia berusaha menjauhkan Lukas dari Alif agar segala kebobrokan bocah itu tak terbongkar oleh Alif."Aku tak mau tau, segera urus kepindahan Lukas!" Suara kesal Bram terdengar sedikit menggema.Alif sengaja diam, memilih pergi dan tak lagi memikirkan polah om nya itu, dirinya punya urusan yang jauh lebih penting sekarang. Alif berjalan menuju ke tempat parkir, seluruh staf dan satpam sudah tau siapa dirinya sekarang, hingga sikap mereka semua berubah baik.Deren sudah menunggu di depan gedung, berjalan membukakan pintu untuk bos yang juga sahabatnya itu."Kau sudah menjalankan pesanku?" Alif bertanya memastikan."Sudah, mana berani aku mmmembantah tuan muda.""Henti
Sepanjang perjalanan pulang, Nadia masih tetap bersikukuh lelaki yang di lihatnya sangat mirip dengan sang ayah, Dewi yang tak tau lagi harus berkomentar apa hanya bisa meng_iya kan saja apa yang putrinya yakini. Motor kecil miliknya masuk ke pekarangan rumah, Nadia turun sembari menjinjing permen kapas yang di mintanya di kota tadi, hari sudah menjelang sore saat mereka sampai ke rumah.Klek! Klek!Dewi membuka pintu rumah dan membiarkan Nadia masuk lebih dulu, dirinya sedang mengambil tas kulit yang di letakkan nya di dalam jok motor."Ibuk, ini kotak apa?"Mendengar suara Nadia, Dewi baru teringat akan dua kardus besar yang di bawa orang-orang berbadan besar itu tadi siang."Sebentar sayang!" Ucapnya bergegas masuk dan menutup pintu dengan rapat."Kok di tutup?" Nadia bertanya heran."Ibuk mau istirahat, capek." Dewi mencari alasan yang mudah di terima putrinya.Nadia hanya mengangguk dan menarik tangan Dewi mendekati dua kardus seukuran mesin cuci di depan mereka."Nadia boleh buk
"Tunggu dulu!" Alif tiba-tiba saja teringat sesuatu, dia berjalan menuju meja di dekat jendela dan mengambil kalender yang berdiri di dekat vas bunga."Bukankah hari ini kami harus bayar kontrakan?' Alif teringat pada tanggal jatuh tempo pembayaran kontrakan mereka, Dewi bahkan tak tau tempat dirinya biasa menyisihkan uang kontrakan."Tapi Deren bilang sudah memberi Dewi uang." Tiba-tiba saja dia teringat kata Deren tadi siang."Tapi Dewi pasti tak akan pakai uang itu!" Alif yang begitu kenal watak istrinya merasa yakin Dewi bahkan tak menyentuh semua barang dan uang yang dia kirimkan."Tidak, ini tak benar, aku harus menghubungi Dewi sekarang!" Ucapnya lalu mengambil ponsel jadulnya dan menyalakannya segera.Banyaknya panggilan yang Dewi lakukan, membuat Alif sungguh merasa bersalah sekarang. Tangannya gemetar saat memencet tombol telpone di layarnya. Nada sambung terdengar pada ponselnya, membuat jantung lelaki berparas menawan itu bahkan. berdebar hebat."Mas Alif!" Suara kesal Dew
"Buk, kenapa tidur di sini?" Dewi mengerjapkan mata dan terduduk dengan mata berat, Nadia sudah berdiri di sampingnya menatap dengan binggung."Jam berapa ini sayang?" Dewi bertanya pada Nadia, namun matanya melihat sendiri jam yang ada di dinding ruang tengah."Ya Allah hampir setengah enam! ayo Nad, kamu mandi dulu, ibu mau solat subuh sebentar." Dewi berdiri dengan panik, mendorong putrinya ke kamar mandi belakang dan membawakan handuk ke pundak sang putri.Semalam ia bahkan tak tau tidur jam berapa, setelah membawa semua kardus itu ke kamar belakang dan saat bangun dia mendapati dirinya masih tertidur di ruang tengah, di atas kursi kayu yang di buat bapak dan suaminya dulu.Dewi mengikat asal rambut nya yang tergerai, segera mengambil wudhu dan menjalankan solat subuh. Pukul setengah enam saat dirinya selesai dan melipat kembali mukena ke tempatnya, dia lalu menyusul Nadia ke kamar mandi, memandikan gadis itu dengan cepat dan segera memakaikan seragam sekolahnya."Kita sarapan apa