pov penulisDewi masih terus memikirkan apa yang terjadi pada suaminya, setelah selesai setrika baju dia bahkan tak bisa duduk dengan tenang, tangannya masih terus berusaha mencari kegiatan untuk mengalihkan pikirannya yang entah sedang berada di mana."Bagaimana jika mas Aziz benar?"Tiba-tiba saja kalimat itu terlintas di dalam kepalanya, segala prasangka buruk seolah terus mencoba mengusai."Tidak, itu tidak mungkin benar! Bagaimana bisa mas Alif melakukaan itu pada kami" Dewi berpikir Alif terlalu baik untuk berbuat jahat pada dirinya dan Nadia."Tapi bagaimana jika itu benar?""Ark! apasih isi kepalaku ini!" Dewi menolak sendiri pikiran buruknya itu."Ah, aku bahkan lupa menjemput Nadia!" Ucapnya panik saat jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Bergegas dia mengambil motor untuk menjemput Nadia, namun baru saja motornya keluar halaman sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapannya. Seorang wanita dengan pakaian formal turun dan mendekati Dewi."Permisi, ibu saya mau tanya rum
Beni mengikuti Alif masuk ke dalam ruang kerjanya, meninggalkan Lukas yang masih terlihat kesal menatap barang-barangnya di luar ruangan. Alif duduk di sofa ujung dekat jendela, menatap wajah om nya yang terlihat sedang tak baik-baik saja."Bagaimana kabar om selama aku pergi?" Alif bertanya pada Beni, lelaki bertubuh ideal itu duduk sembari membetulkan letak jasnya."Aku baik, bahkan bekerja dengan penuh tanggung jawab, kamu bisa lihat sendiri bagaimana perusahaan ini maju saat kamu tinggalkan. "Alif menaikkan kedua alisnya, mendengar kalimat jumawa om nya yang bahkan belum dia lihat sendiri hasilnya, membuat lelaki itu tertawa dengan dalam hati."Bagaimana kabarmu Aska, kemana saja kamu selama ini?" Beni bertanya dengan ramah, namun matanya seolah menelisik mencari tau kemana jalan pikiran lawan bicaranya."Aku baik om, aku memulai hidup baru yang bahagia dan jauh dari segala kemewahan.""Hahahaaa, Benarkah? Bahagia tanpa kemewahan?." Tawa Beni menggema di ruangan kerja Alif."Lucu
Mendapat pesan dari Deren, Alif segera meninggalkan kantornya, dia keluar menuju lantai satu dan berhenti di dekat tangga saat melihat Bram sedang berdiri sembari bicara di telepon dengan seseorang."Aku tak mau tau, tempatkan Lukas di pabrik lain yang jauh dari Aska!"Nampaknya Bram sedang berusaha melindungi putranya itu, dia berusaha menjauhkan Lukas dari Alif agar segala kebobrokan bocah itu tak terbongkar oleh Alif."Aku tak mau tau, segera urus kepindahan Lukas!" Suara kesal Bram terdengar sedikit menggema.Alif sengaja diam, memilih pergi dan tak lagi memikirkan polah om nya itu, dirinya punya urusan yang jauh lebih penting sekarang. Alif berjalan menuju ke tempat parkir, seluruh staf dan satpam sudah tau siapa dirinya sekarang, hingga sikap mereka semua berubah baik.Deren sudah menunggu di depan gedung, berjalan membukakan pintu untuk bos yang juga sahabatnya itu."Kau sudah menjalankan pesanku?" Alif bertanya memastikan."Sudah, mana berani aku mmmembantah tuan muda.""Henti
Sepanjang perjalanan pulang, Nadia masih tetap bersikukuh lelaki yang di lihatnya sangat mirip dengan sang ayah, Dewi yang tak tau lagi harus berkomentar apa hanya bisa meng_iya kan saja apa yang putrinya yakini. Motor kecil miliknya masuk ke pekarangan rumah, Nadia turun sembari menjinjing permen kapas yang di mintanya di kota tadi, hari sudah menjelang sore saat mereka sampai ke rumah.Klek! Klek!Dewi membuka pintu rumah dan membiarkan Nadia masuk lebih dulu, dirinya sedang mengambil tas kulit yang di letakkan nya di dalam jok motor."Ibuk, ini kotak apa?"Mendengar suara Nadia, Dewi baru teringat akan dua kardus besar yang di bawa orang-orang berbadan besar itu tadi siang."Sebentar sayang!" Ucapnya bergegas masuk dan menutup pintu dengan rapat."Kok di tutup?" Nadia bertanya heran."Ibuk mau istirahat, capek." Dewi mencari alasan yang mudah di terima putrinya.Nadia hanya mengangguk dan menarik tangan Dewi mendekati dua kardus seukuran mesin cuci di depan mereka."Nadia boleh buk
"Tunggu dulu!" Alif tiba-tiba saja teringat sesuatu, dia berjalan menuju meja di dekat jendela dan mengambil kalender yang berdiri di dekat vas bunga."Bukankah hari ini kami harus bayar kontrakan?' Alif teringat pada tanggal jatuh tempo pembayaran kontrakan mereka, Dewi bahkan tak tau tempat dirinya biasa menyisihkan uang kontrakan."Tapi Deren bilang sudah memberi Dewi uang." Tiba-tiba saja dia teringat kata Deren tadi siang."Tapi Dewi pasti tak akan pakai uang itu!" Alif yang begitu kenal watak istrinya merasa yakin Dewi bahkan tak menyentuh semua barang dan uang yang dia kirimkan."Tidak, ini tak benar, aku harus menghubungi Dewi sekarang!" Ucapnya lalu mengambil ponsel jadulnya dan menyalakannya segera.Banyaknya panggilan yang Dewi lakukan, membuat Alif sungguh merasa bersalah sekarang. Tangannya gemetar saat memencet tombol telpone di layarnya. Nada sambung terdengar pada ponselnya, membuat jantung lelaki berparas menawan itu bahkan. berdebar hebat."Mas Alif!" Suara kesal Dew
"Buk, kenapa tidur di sini?" Dewi mengerjapkan mata dan terduduk dengan mata berat, Nadia sudah berdiri di sampingnya menatap dengan binggung."Jam berapa ini sayang?" Dewi bertanya pada Nadia, namun matanya melihat sendiri jam yang ada di dinding ruang tengah."Ya Allah hampir setengah enam! ayo Nad, kamu mandi dulu, ibu mau solat subuh sebentar." Dewi berdiri dengan panik, mendorong putrinya ke kamar mandi belakang dan membawakan handuk ke pundak sang putri.Semalam ia bahkan tak tau tidur jam berapa, setelah membawa semua kardus itu ke kamar belakang dan saat bangun dia mendapati dirinya masih tertidur di ruang tengah, di atas kursi kayu yang di buat bapak dan suaminya dulu.Dewi mengikat asal rambut nya yang tergerai, segera mengambil wudhu dan menjalankan solat subuh. Pukul setengah enam saat dirinya selesai dan melipat kembali mukena ke tempatnya, dia lalu menyusul Nadia ke kamar mandi, memandikan gadis itu dengan cepat dan segera memakaikan seragam sekolahnya."Kita sarapan apa
Ratna kesal saat tiba di rumah, membanting sarapan yang dia beli di atas meja dan berteriak dengan kesal di dalam kamar."Ark!" Teriak nya kesal."Sialan itu si Dewi, bikin malu saja!" Umpat nya lagi meremas kesal uang dua ratus ribu yang di berikan Dewi pada nya tadi."Kenapa kamu teriak-teriak!" Hendra yang baru selesai mandi melihat istrinya terduduk dengan kesal di tepi ranjang."Tanya saja sama kakak iparmu itu, dia kasih aku uang ini di warung makan, dia beli semua lauk yang ingin aku beli, mas tau dia bilang apa saat memberiku uang ini, dia suruh aku beli ayam buat Juan, katanya kasihan sama Juan karena aku nggak bisa masak!" Ucap Ratna berapi-api.Hendra tersenyum simpul. "Jangan bercanda kamu, dari mana mbak Dewi punya uang buat beli banyak lauk dan kasih kamu juga?""Kamu nggak percaya sama aku mas? ibu-ibu di warung itu jadi saksi semua, mbak Dewi bayar sarapan mereka semua tadi, sudah gitu dia ungkit juga waktu aku ambil ayam Nadia." Ratna memayunkan bibirnya."Jangan kony
Sementara Hendra sangat marah saat tau kakaknya Dewi telah merendahkan Ratna istrinya di depan banyak orang, terlebih karena masalah itu dirinya jadi kehilanngan hari yang indah pagi tadi. Hendra memutuskan mampir ke rumah Dewi sebelum berangkat kerja, dan menatap Dewi dari dalam mobilnya."Itu dia orangnya!" Ucap Hendra saat melihat kakaknya.Dewi sedang memasukkan motor ke dalam teras rumah saat Hendra datang dan memarkirkan mobilnya tepat di depan pintu halaman. Dewi baru saja pulang mengantarkan Nadia ke sekolah saat Hendra mendekat dengan wajah marah menatapnya."Tumben mampir?" Dewi langsung saja bicara saat adiknya itu berjalan masuk ke dalam teras rumahnya."Mau melihat kakak kandungku yang tega sekali mempermalukan adik iparnya di depan banyak orang!" Ucapnya tak lagi menunjukkan sikap baik."Oh, sudah dapat laporan apa kamu dari Ratna?" Dewi dengan santainya menjawab ucapan Hendra. "Maksud mbak Dewi apa ya? mbak Dewi iri dengan hidup kami atau bagaimana?"Dewi tersenyum mend