Share

Saling Mencurigai

“Katakan padaku, siapa dirimu dan apa tujuanmu sebenarnya? Kenapa aku merasa, kalau semua ini sudah direncanakan?” cerca Ines. “Aku tidak berharap kebohongan, Damian. Karena aku tidak akan pernah bisa memaafkannya!”

Damian menelan saliva dalam-dalam, berlabuh biji mata ke lantai. Ines menangkap wajah kebingungan, dari lelaki yang perlahan mengendurkan tangan dari perutnya.

“Jangan sampai aku yang menemukannya sendiri, karena aku bisa memastikan kalau kamu tidak akan pernah selamat!” ancam Ines sungguh-sungguh.

Wanita yang memang tidak pernah lagi ingin mempercayai siapa-siapa itu, bertambah curiga. Terlebih, ketika Damian justru melepaskan dirinya dan menjauh. Semua semakin menjadi, sesaat mata Damian berupaya keras menghindari tatapan diberikan.

Hingga denting lift berbunyi, lelaki yang sudah membebaskan tubuh berotot dari jas hitam tersebut, masih saja menjadikan bungkam sebagai pilihan, tanpa pernah menaikkan biji mata dari lantai ruang sempit dinaiki bersama. Ines menghela napas panjang, menggeser heels membingkai kaki ke arah tempat parkir.

Damian sengaja berdiam diri menahan pintu lift terbuka, memastikan terlebih dahulu sampai istrinya sedikit menjauh. Ada beberapa pria gagah di sekitar lahan parkir, Damian melemparkan jas miliknya dan bertukar dengan topi serta jaket.

“Temui Vivian di atas, pastikan kalau dia baik-baik saja!” titah diberikan, oleh lelaki tengah mengenakan jaket hitam tersebut. “Jangan tinggalkan dia sendirian. Temani ke mana pun dia pergi! Satu lagi, cepat kirimkan semua informasi tentang anak buah Ines!”

“Baik, Tuan.” Seorang bodyguard membungkuk, lalu mengisyaratkan pada kawanan lain untuk menjalankan tugas masing-masing.

Lekas setiap pria melengkapi penampilan dengan alat komunikasi di telinga itu menjalankan titah, tanpa perlu bagi mereka menantikan detik berganti menit terlebih dahulu.

Sementara Damian, lelaki yang juga telah menyempurnakan diri dengan kaca mata hitam tersebut, mendekati sang istri yang hendak memasuki mobil. Damian mencegah pergelangan Ines, mengejutkan wanita yang tidak pernah lagi menoleh ketika sudah memutuskan pergi.

“Apa lagi?!” bentak Ines, mengejutkan suaminya.

“Tidak bisakah kamu lebih lembut padaku? Hatiku sangat rapuh, dan mudah terluka.” Damian memelas, lawan bicaranya malah menghela napas kasar.

“Pergilah, kembali ke kantor dan lanjutkan pekerjaanmu.” Ines acuh, membuka kembali pintu.

Lagi-lagi, Damian mencegah. Kali ini, pintu didorong menggunakan telapak tangan sampai tertutup rapat. Tentu saja itu membuat Ines jengkel, sampai-sampai gigi putih dirapatkan tanpa celah.

“A—aku tidak membawa kendaraan. Tadi aku bersama Leon, dan dia meninggalkanku. Jadi, bolehkah aku menumpang? Aku sudah menyamar, tidak akan ada yang mengenaliku.” Damian cepat memberi alasan, menyumbangkan senyum di akhir kalimat terangkai.

Ines melukiskan wajah malas, tangan membuka tas pada pergelangan dan mengambil dompet putih panjang. “Ambilah ini, naik taksi saja.” Beberapa lembar uang diserahkan, Damian membuntang dengan mulut membentuk lingkaran.

“Kamu pikir, aku pengemis?! Kenapa harus mengusirku dengan cara seperti ini?” cerca Damian memprotes.

“Aku hanya ingin menemanimu, apa itu salah? Lagi pula, tidak baik mengemudi dalam suasana hati buruk, itu sangat berbahaya.” Lelaki berkulit putih tersebut, menambahkan.

Nampaknya, Ines malas untuk memintal kata. Sekedar helaan napas beriringan mata terpejam diberlakukan, sebelum akhirnya ia menyingkir dari pintu tempat kemudi berada. Damian menarik ujung-ujung bibirnya panjang, secepat kilat menempati jok di balik kemudi.

Mobil merayap pergi setelah Ines duduk memangku tas, memusatkan perhatian ke depan. Damian berulang kali melirik, kepala dipaksa bekerja menyusun alfabet, agar hening tak sampai tercipta di antara mereka.

“Jangan berbicara apa-apa, aku tidak suka suara berisik.” Ines berucap, seakan ia mampu menangkap niat lelaki di sampingnya.

“Wah, apa kamu bisa membaca pikiran? Apa karena kamu terlalu mencintaiku, sampai bisa memahamiku dengan baik?” tutur Damian menoleh takjub.

Bukan jawaban didengar, atau sanggahan memancing keributan. Wanita tengah diajaknya berbicara, malah berpaling dan menyandarkan kepala serta terpejam. Damian berdesis, gigi merapat dengan bibir bergerak-gerak tanpa suara.

Lelaki kerap mengenakan cincin hitam pada telunjuk kanan itu, memfokuskan perhatian ke jalanan. Namun, tak lama matanya terpancing oleh sedan hitam mendahului dari sisi kiri, bersamaan dengan getar ponsel dalam saku celana.

Ulasan senyum ditunjukkan oleh Damian, tatkala jemari sudah menyambar alat komunikasi dan membuka pesan tertera. “Ini akan sangat menyenangkan,” ucapnya lirih di sela senyuman.

Pedal gas diinjak semakin dalam, mempercepat laju kendaraan menuju perusahaan yang sudah mampu ditangkap mata dari kejauhan. Ines menatap dari kaca, terbesit tanya akan apa yang membuat lelaki di dekatnya begitu bersemangat sekarang.

“Berhentilah di depan, aku akan meminta orang menjemputmu. Temui saja Vivian, dia lebih membutuhkanmu.” Ines bersuara, tertangkap lemas oleh pendengaran lawan bicaranya.

Damian merengkuh tangan istrinya, mengisi sela-sela jari dan mencium punggung tangan. Ines menoleh terkejut, hening memperhatikan paras lelaki yang menggiring tangannya ke atas pangkuan.

Sampai mobil tiba di parkiran, barulah tangan lembut Ines terlepas. Damian turun lebih dulu, mengibaskan tangan pada pengawal sang istri yang hendak membukakan pintu. “Bermimpilah untuk melakukan hal itu pada istriku!” tekan Damian sinis terhadap pengawal.

Lelaki sudah memakai masker hitam sebelum turun itu, menggeser kasar tubuh bodyguard, lalu membukakan pintu istrinya dengan tangan kembali menggenggam.

Ines segera mengibaskan, tanpa bersedia untuk mengayunkan langkah beriringan. “Pergilah, pakai mobil pengawal. Orang-orang akan tahu kalau ini mobilku.”

“Setidaknya, biarkan aku mengantarmu sampai ruangan. Itu akan membuatku tenang, setelah hatiku terus kamu hancurkan!” seru Damian, sedikit mengerucutkan bibir.

“Kenapa? Kamu takut kalau aku akan kembali ke apartemen Vivian?” sahut Ines cepat. “Tenang saja, aku tidak akan melakukannya. Kamu bisa menemaninya dan menghabiskan waktu bersama!” imbuhnya menekan, bergerak pergi lebih dulu.

Damian mengangkat ujung bibir kanan, menyapu lembut bagian bibir bawah mengenakan jari manis kiri. “Dia terlihat jauh lebih seksi saat cemburu,” ucapnya sembari menggerak-gerakkan lidah pada pipi kiri dalam.

Alunan lebar kaki panjang tercipta, buru-buru Damian mengikuti sang istri yang telah lenyap dari pengamatan. Lift sudah mengantarkan Ines lebih dulu, dinantikan oleh Damian, sambil menekan-nekan layar ponsel—mengirim pesan pada Vivian.

Apa lagi jika bukan untuk memperingatkan, agar Vivian tidak meninggalkan apartemen sebelum keadaan dipastikan. Setidaknya, Damian harus tahu bahwa Ines tidak menjatuhkan titah pada anak buahnya, yang bisa saja mengancam keselamatan Vivian.

‘Aku harus tahu, apa hubungan Ines dengan orang-orang di apartemen tadi. Bagaimana bisa Ines mengenal mereka? Mungkinkah, Ines ada kaitannya dengan perusahaan keluargaku?’ pikir lelaki sudah memasuki elevator tersebut.

Salah satu dari pria yang ditemui di apartemen, memang cukup familier bagi ingatan Damian. Pasalnya, pria bertubuh tinggi bak monster itu ada, ketika badai kehancuran menerpa perusahaan Xander.

Isi kepala digali lebih dalam oleh Damian, mengingat setiap kejadian di mana pria berparas tegas sama, tak pernah absen memarkan wajah.

'Mungkinkah, keluargaku bermasalah dengan keluarga Ines?' pikir lagi Damian. 'Tidak. Aku harus menanyakan ini pada Daddy secepatnya!'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status