Atas apa dikatakan perihal orang tua Ines, Damian merasa sangat bersalah. Dia berusaha keras untuk terus meminta maaf, atas luka terpendam yang kembali terangkat ke permukaan.
Sampai hari-hari berganti pun, maaf tak pernah absen diutarakan oleh Damian, pada wanita yang juga ditebarkan pesona luar biasa olehnya. Menyelam sambil meminum air, itulah yang coba dilakukan oleh lelaki yang terus berharap cinta, dari pencuri hatinya.
Itu tak berbeda dari apa dilakukan oleh Damian pagi ini. Lelaki dengan balutan celana pendek serta hoodie hitam tersebut, langsung menuju dapur tempat istrinya berada.
Pahatan senyum diciptakan tampan oleh Damian, ketika mata menangkap pujaan hatinya menyibukkan diri dengan alat masak. Ayunan kaki sengaja dihentikan, demi mengagumi dari kejauhan.
Sampai akhirnya Damian menemukan sesuatu dalam saku celana, senyum pun dibuat semakin lebar. “Bukankah, kamu harus mengikat rambut saat memasak?” ujarnya, sembari mengikat tinggi rambut panjang sang istri.
Ines menghela napas panjang, enggan baginya menoleh. Sampai sesuatu dirasakan menyebalkan, dari kedua tangan yang memeluknya dari belakang. Refleks saja Ines mendaratkan gagang pisau tengah dipergunakan memotong sayuran, ke atas kepala Damian.
“Aduh! Kenapa memukulku?” protes Damian, mengangkat segera dagu sempat bersandar pada pundak istrinya. “Sakit,” imbuhnya memelas, mengerucutkan bibir dan menyapu ujung kepalanya sendiri.
“Berapa kali harus aku katakan, jangan menyentuhku tanpa izin!”
“Aku juga sudah mengatakan, kalau suami tidak membutuhkan izin untuk menyentuh istrinya!”
“Pergilah. Jangan masuk ke dapur, kalau kamu belum mandi. Aku benci bau keringat.”
“Hehehe, kamu akan sangat menyukai keringatku nanti. Mau mencobanya malam ini? Kita juga bisa tahu, keringat siapa yang lebih banyak.”
“Ish!” Ines mengangkat kembali pisau di tangan. Damian membeliak, sigap kaki menjauh.
“Kamu ingin membunuhku?!”
“Kalau saja aku mampu, aku sudah melakukannya dari lama!” sinis Ines, sengaja memenggal wortel dan menciptakan suara kencang.
Damian membuntang, seraya mengusap dada juga mengomel samar. Kaki digiring merayap ke arah meja dapur dan mulai bersandar. Sengaja menghadap wanita berparas cantik, yang sudah melanjutkan aktivitasnya semula.
“Kamu memiliki uang. Tapi, kenapa selalu membawa bekal ke kantor? Kamu tidak suka sarapan di rumah?” tanya Damian, membuka percakapan.
“Suka. Sebelum kamu datang.”
“Ish, mulutnya memang sangat berbisa.” Damian menggerutu. “Berhentilah memasak, atau tubuhmu akan bau.”
“Apa kamu tidak tahu fungsi pelayan dan koki? Mereka dibayar untuk membuat makanan, bukan melihatmu memasak seperti sekarang.” Damian menatap beberapa orang dalam dapur, dan berhasil membuat mereka tertunduk.
“Manusia-manusia tidak berguna. Bagaimana bisa mereka membiarkan orang yang menggaji masak sendiri? Tidak tahu diri!”
“Jangan terus mengomel, pergi mandi sana. Kamu ada meeting pagi ini.” Ines risi, menyambar Damian dengan suara tegas.
“Kamu yang akan memimpin meeting. Jadi, lebih baik kamu bersiap dan berangkat lebih awal!” balas lelaki beralis tebal tersebut, langsung mendapat tatapan tajam.
“Hehehe, aku tidak memerintahmu. Aku hanya mengingatkan.” Damian cengengesan. “Tidak perlu melihatku terus, aku memang tampan. Untuk itulah, terima saja cintaku dan maafkan aku. Kita akan menjadi pasangan yang serasi.”
“Kamu mencintaiku?”
“Tentu. Aku sangat mencintaimu.”
“Tapi, aku membencimu. Pergilah ke kamar, mandi dan bersiap.”
“Aku bukan anak kecil yang harus ditekan, karena takut terlambat ke sekolah. Aku suamimu, bukan anakmu. Jadi, perlakukan aku seperti suami.”
Damian memprotes, Ines hanya membalas dengan tatapan dingin, namun menyimpan peringatan. “Ah, baiklah aku akan pergi. Aku tidak suka saat kamu melihatku seperti itu!”
Buncis dimainkan sedari tadi, dilemparkan oleh Damian. Sepatu olahraga putih mulai menyisir lantai, namun hanya beberapa langkah saja. Lelaki berambut hitam pekat itu kembali, mencium pipi kiri Ines kilat.
“Love you!” seru Damian usai mengecup.
Ines menoleh, sisi wajah disentuh menggunakan punggung tangan. Damian perlahan menghilang dari jangkauan matanya, Ines meredupkan mata seraya menghela napas.
Pelayan serta koki yang melihat, secepat kilat berpaling. Seolah tak melihat apa-apa, meski jantung masing-masing juga berdetak kencang, karena takut akan amarah dari majikannya.
Siapa yang tidak memahami ketika Ines benar-benar murka dan kehilangan rasa sabar. Tiap kali Damian membuat ulah, selalu saja penghuni istana Ines merasa waswas.
“Selamat pagi, Nyonya.” Terdengar sapaan, beriringan langkah kaki mendekat.
“Oh, pagi Kamu sudah membawa yang aku minta?” sahut wanita berbalut dress rumahan tersebut, tanpa menoleh.
“Saya sudah membawakan semua yang Anda minta.” Alex menjawab. Ines menyudahi acara masaknya, menoleh pada koki agar melanjutkan.
Tangan dibersihkan lebih dulu oleh Ines, kemudian pergi meninggalkan dapur dan diikuti oleh sekretarisnya. Ruang tengah dijadikan pelabuhan, wanita pemilik lekukan tubuh indah itu duduk lebih dulu.
Alex menyerahkan benda pipih berukuran delapan inchi, di mana sebuah video telah diputar olehnya lebih dulu. Ines mengamati saksama, jemari menghentikan ketika ia menangkap adanya wajah cukup familier.
“Bukankah ini ....”
“Malam itu, tuan Damian datang ke bar bersama Vivian. Mereka menghabiskan waktu dari sore di apartemen.”
“Ya?!” Ines kaget, hingga alisnya bertaut. “Maksudmu, Max dan Damian berkelahi hanya demi memperebutkan Vivian lagi?”
“Saya tidak mengatakan hal itu, Nyonya. Tapi, itu bukan hal mustahil, Karena mereka juga pernah melakukannya, saat di pesta penghargaan Vivian dulu.”
Ines terdiam sesaat mendengar penjelasan Alex. Ia mengingat sangat baik, bagaimana awal mula kerja sama saling menguntungkan dengan Damian terjalin.
“Apa Damian sering menemui Vivian? Mereka berkencan?” Ines tampak sangat penasaran. “Kamu memiliki bukti kebersamaan mereka? Maksudku, saat mereka ada di apartemen atau lainnya.”
Alex membuka map di tangan kiri, mengeluarkan lembaran-lembaran foto dan diserahkan pada Ines. Itu adalah kebersamaan Damian bersama Vivian, yang terus terpantau oleh anak buah Ines, sesuai titah dilayangkan.
“Saya belum berani memastikan tentang hubungan tuan Damian dan Vivian. Tapi, bukankah ini baik? Dengan begitu, pernikahan ini akan segera berakhir.”
Ines berhenti mengobrak-abrik lembaran foto diserahkan, mengalihkan biji mata pada lelaki yang menghujani dirinya dengan alfabet santun.
“Kerja sama Nada dengan tuan Damian, akan berakhir saat tuan Damian sudah mencapai tujuannya. Vivian adalah salah satu tujuan tuan Damian menerima kesepakatan pernikahan ini.”
“Saat tuan Damian sudah berhasil mendapatkan Vivian kembali, bukankah kita hanya perlu membantu untuk mengurus perusahaan Xander, dan membalas Max saja?”
“Lagi pula, dua bulan ini sudah cukup untuk membuat isu tentang Anda dilupakan. Jadi, Anda bisa secepatnya terbebas dari tuan Damian.”
Ines hening, mendengarkan Alex yang tak bisa disalahkan, atau disanggah. Kerja sama pernikahan itu memang akan berakhir, ketika tujuan tercapai. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal hati Ines, ketika ia mendengar tentang Vivian juga Damian.
“Awasi terus mereka.” Ines meninggalkan semua di kursi, bangkit dan pergi.
Alex memata-matai curiga, dari raut wajah berbeda ditampilkan oleh atasannya. ‘Apa dia sudah jatuh cinta? Kenapa wajahnya seperti orang patah hati?’
Alex mengembuskan napas panjang, menelisik ke arah lantai dua. “Aku pastikan, kau akan terusir sebelum rencanamu berjalan.”
“Sampai kapan kau akan mampu menyembunyikan rahasiamu Damian?” Alex menarik tinggi ujung bibir kirinya.
Cukup singkat untuk Damian berulah seperti anak kecil hari ini, karena sang istri memaksanya untuk cepat bersiap dan menghadiri pernikahan Alex. Ya, meski sebenarnya Damian ingin sekali dibujuk, tapi sendirinya juga tidak memiliki pilihan lain setelah mengingat nama besar Ines turut dipertaruhkan hari ini.Wajah cemberut tidak bisa dipalsukan dengan senyuman, Damian menggendong putrinya seraya berjalan menemui keluarga besar yang telah bersiap menjadi saksi terucapnya janji suci Alex pada wanita pilihan hatinya sendiri. Orang-orang yang diminta mempersiapkan dokumen pernikahan pun telah menanti di kediaman Ines, bersama pria paruh baya yang akan menikahkan dua insan saling mencinta yang kini tengah dirundung gugup luar biasa.Ines mendekati adiknya bersama Damian, sekadar memeriksa pakaian dari lelaki yang tampak lesi kali ini. Dasi melingkar pada leher Alex dirapikan oleh Ines, berganti kemeja serta jas. Hal itu tentu saja mengundang perhatian semua orang, di samping tanya tentang wa
Ines tersenyum membelai sisi wajah kanan adiknya, kemudian memberikan kecupan paling hangat pada kening sang adik. “Aku merestui setiap kebaikan yang akan kamu lakukan.”Alex membalas senyum semringah, mengangkat sedikit tubuh dan memeluk kakaknya. “Terima kasih banyak, karena sudah bersedia menjadi orang paling berarti dalam hidupku. Terima kasih untuk semua yang sudah kakak berikan padaku, itu lebih berharga dari apa pun yang ada di dunia ini.”“Aku jauh lebih berterima kasih padamu, karena sudah bersedia menerimaku apa adanya dan melindungiku selama ini. Aku sangat menyayangimu, Alex.” Ines menyapu punggung lebar adiknya. “bisakah aku meminta sesuatu darimu?Alex melepaskan pelukan, menatap tanya pada wanita cantik yang turut mengarahkan biji mata terhadap dirinya. “Katakan saja, kalau memang aku bisa untuk memenuhinya, aku akan sangat bahagia.”“Bisakah kamu tinggal di rumah ini meski sudah menikah?” tanya Ines lirih. “Bukan karena aku ingin menguasai, atau memantau kalian. Tapi,
Satu setengah jam berlalu, Damian tiba di kediaman istrinya bersama Leon juga Max. Ketiganya terburu-buru masuk, melihat Alex sudah bergabung dengan lainnya dan terpancing kesal merapatkan gigi kompak.Damian menghampiri istrinya, memeluk dan mencium di hadapan semua orang, lalu mengambil alih tubuh putrinya yang tengah sibuk berusaha memasukkan jari ke mulut.Leon menyapa kedua orang tuanya, di mana Vivian dan Veli sudah bergabung bersama David juga Amanda serta kedua orang tua Max. Arthur pun menjadi bagian dari perbincangan keluarga yang berkumpul tanpa kabar, hingga membingungkan tiga sahabat yang kini saling beradu mata menunjuk siapa yang akan bertanya.“Kami di sini karena mendengar kabar kurang mengenakan!” seru ayah kandung Max, melirik pada Damian.“Aku?” Damian merasa sendiri. “Memangnya ada apa denganku?” bisiknya pada sang istri.“Kamu sudah tidak menganggap kami keluarga, sampai menikah tanpa memberitahu! Haruskah kami mengetahui dari keributan kalian tadi malam?!” tekan
“Kau memang orang paling menyusahkan yang pernah kutemui seumur hidup!” tekan Alex menyiratkan murka dari wajah serta binar mata, lalu pergi meninggalkan ruang di mana kakaknya memperhatikan tanpa berusaha mencegah. Louisa berdiri, hendak menyusul Alex. Akan tetapi, Ines melarang perempuan itu.“Biarkan dia sendiri, dia butuh waktu untuk berpikir. Beberapa hari ini dia sudah banyak tertekan dalam kebingungan, aku minta padamu untuk tidak mengusiknya sekarang.” Ines mengatakan tanpa ekspresi pada Louisa.“Maaf,” pilu Louisa.“Tidak ada yang membutuhkan kata maafmu, jadi simpanlah. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan kata maaf, Louisa. Ucapan yang tidak tepat, hanya akan memunculkan banyak masalah yang tidak perlu. Pelajari hal itu, sebelum kau hanya tahu berkata tanpa berpikir.” Ines menekan meski nadanya cukup tenang. “Duduklah, itu akan jauh lebih baik sekarang.” Ines menghela napas berat, Arthur menyapu punggung keponakannya.“Temani Ellyn, aku akan membantu suamimu dari sini.
Keesokan pagi, Damian sengaja menghampiri Alex ke rumahnya ketika tak menemukan lelaki itu di rumah. Langsung saja Damian menerobos, karena penjaga juga sudah tahu siapa dirinya. Pelayan yang menyambut di depan menjawab tanya keberadaan tuannya, Damian langsung masuk dan menuju kamar ditempati Alex. Tanpa mengetuk lebih dulu, lelaki berpakaian santai itu membuka pintu kamar, keterkejutan hebat dirasakan ketika melihat adanya dua orang tengah berada di atas ranjang sama.“Oh, Tuhan mataku!” seru Damian kencang, membangunkan dua orang masih terlelap dalam jarak dekat.Louisa dan Alex terbangun, di mana adik Ines itu mengangkat sedikit kepala dan mengintip, kemudian merebahkan kembali kepala begitu tahu siapa yang datang. Alex melenguh panjang, turun dari ranjang dan mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Pintu sudah ditutup kembali oleh Damian, menyisakan celah sekitar lima sentimeter.“Aku akan menemuinya,” ucap Alex, pada perempuan yang terlihat kaget dalam nyawa belum terkumpul.
“Jangan hanya diam, katakan apa yang harus kulakukan!” Suara kencang menyambar-nyambar, mengejutkan Alex dan membuka kedua matanya.‘Oh, Tuhan! Apa yang baru saja ada di kepalaku?’ batin Alex, napasnya tersengal. Lelaki itu menyapu dada berulang, mulut membola dijadikan sarana pertukaran udara.Alex menatap arah Louisa, kemudian berbalik dan keluar dari kamar mandi. Pintu ditutup kencang olehnya yang kini menyisir kamar sembari menoleh ke kamar mandi telah tertutup rapat.“Sepertinya aku memang sudah tidak waras!” umpat Alex, keluar dari kamar dan memutuskan untuk menghubungi Vivian.Cumbuan gila yang dilakukan pada Louisa, memanglah angan semata yang berkeliaran di kepala Alex. Entah mengapa hal itu sampai hadir, terpenting adalah sekarang ia terselamatkan dari fantasi yang memang tidak harus disalurkan.Alex menenggak sebotol air dingin untuk menyadarkan dirinya sendiri, sembari menanti jawaban dari panggilan yang tengah disambungkan. Alex mengakui keindahan tubuh Louisa sekarang, i