Share

Mencintai Keangkuhannya

Detik waktu menggeser menit, bekerja sama mendorong jam berputar. Damian sudah tiba di perusahaan utama Ines, tempat meeting akan dilangsungkan.

Paduan jas hitam, dasi serta kemeja telah melengkapi penampilan Damian. Bersama Leon ia memasuki ruang meeting, dan ternyata beberapa orang sudah lebih dulu menempati ruangan dingin tersebut.

“Wah, lihatlah siapa yang datang. Bukankah, ini pewaris tunggal Xander?” Salah seorang langsung berceloteh, begitu Damian juga tangan kanannya masuk.

“Hahaha, maksudmu ... pewaris hutang Xander?” timpal lainnya.

Damian acuh, pantofel hitam mengilat diajak mendekati kursi telah disediakan untuknya. Wajah-wajah tak suka mengiringi langkah, bisik-bisik pun mulai terdengar bersama lirikan bengis tak jauh berbeda.

“Apa kau datang untuk mengemis sekarang? Atau, kau ingin menawarkan tubuhmu pada nyonya Ines?”

“Hahaha, kau gila? Nyonya Ines sudah memiliki suami, mana mungkin beliau mau berselingkuh dengan gembel sepertinya.”

“Setidaknya, nyonya Ines juga memiliki standar kalau memang ingin berselingkuh. Suaminya seorang yang terhormat, mungkinkah jika dia akan berpaling hanya untuk gelandangan?”

“Benar juga. Dia bahkan dicampakkan oleh calon istrinya, karena miskin.”

“Memalukan!” cibir salah seorang dalam ruangan.

Telinga Damian terus merekam setiap hinaan tertuju padanya. Mata tajam bak elang hendak mencabik buruan pun, dipergunakan mengabsen wajah orang-orang yang sengaja mencemooh, tanpa memandang perasaan.

“Nyonya Ines?” Salah satu pria berkacamata terkejut dan lekas berdiri membungkuk, kala melihat empunya perusahaan memasuki ruangan.

Semua orang menyusul, melakukan hal serupa demi memberikan sapaan hormat mereka. Namun, itu tak dilakukan oleh Damian—lelaki yang menjadi pusat perhatian sekarang.

Leon menepuk pundak Damian, sekedar binar mata malas ditunjukkan, seraya mengembuskan napas.

“Tidak perlu. Duduklah.” Ines menyambar, dia tahu Damian enggan melakukan.

“Aku memang tidak ingin berdiri. Aku bukan bawahanmu, dan tidak perlu membungkuk.” Damian berucap, sukses besar membuat mata semua orang membuntang dengan bibir membentuk lingkaran.

Ines melemparkan karbondioksida kasar, lalu duduk pada kursi keagungannya dengan bantuan Alex. “Langsung saja. Aku tidak memiliki banyak waktu.”

“Baik, Nyonya.” Kompak semua orang menjawab, menempelkan tubuh ke kursi bersamaan.

Suara demi suara mulai terdengar, dari para pemegang saham yang sengaja dihadirkan. Namun, sepertinya Ines terlalu malas untuk terus menyimak, hingga tangan kiri diangkat tinggi untuk menghentikan.

“Cukup. Laporkan semua pada Alex.” Ines memenggal, mengejutkan semua orang.

“Saya sudah membaca proposal Xander, saya putuskan untuk menggandeng Xander dalam proyek kali ini.”

“Y—ya?!” nanap tiap anggota, saling memandang satu sama lain.

“I—itu tidak mungkin, Nyonya Ines. Kita sama-sama tahu, kalau Xander adalah perusahaan bermasalah. Lagi pula, mereka sudah bangkrut sekarang.”

“Ya, itu benar. Pikirkan masa depan perusahaan Anda juga, Nyonya. Bekerja sama dengan perusahaan Xander, adalah kesalahan terbesar yang akan mengancam perusahaan Walter.”

Ines menaikkan pandangan pada pria-pria telah menyumbangkan suara. “Kalian melihat saya butuh nasihat, sekarang?”

“Ti—tidak, Nyonya. Maafkan saya.” Pria-pria tersebut, menurunkan kelopak mata.

“Tidak ada yang membutuhkan suara kalian sama sekali. Meeting ini hanyalah formalitas, agar tidak ada kesalahpahaman di depan.”

“Xander akan berada di bawah naungan Walter mulai hari ini. Siapa pun yang menolak, boleh memutuskan kerja sama dengan Walter.”

Ines mendorong kursi, berdiri dari tempatnya singgah. “Alex akan mendampingi Xander. Dia juga akan menjadi mata dan telinga untuk Walter.”

“Jadi, siapa pun dari kalian yang berani mengusik Xander, akan langsung berhadapan dengan Walter. Kalian pasti tahu, akhir dari melawan Walter.”

“Hanya hitungan detik, kalian akan kehilangan segalanya.”

Ketajaman kata-kata Ines yang tenang, mampu membuat semua orang mendorong saliva dalam tenggorokan menciut. Wanita bercelana panjang kerja krem itu melenggang pergi lebih dulu.

“Saya menolaknya!” tegas seseorang, berdiri tegak menghadap Ines. “Proyek kali ini, juga bekerja sama dengan Colton. Saya secara tegas mengatakan, bahwa tidak akan pernah bergabung dengan Xander.”

Ines berhenti, menoleh dan memandang angkuh. “Bagus. Kita akhiri kerja sama Colton dan Walter.” Wanita berwajah tegas itu, melanjutkan ayunan kaki.

“Tunggu, Nyonya. Bukan itu maksud saya, ta—“ cegah lelaki berperawakan tinggi tersebut, menjangkau pergelangan Ines.

“Jangan pernah menyentuh saya!” bentak kencang Ines, mengibaskan tangan dan sukses menghentikan detak jantung tiap pengusaha dalam tempat sama.

“Jangan pernah berani menyentuh saya, atau Anda akan menyesalinya seumur hidup!” Ines menunjuk wajah lawan bicaranya, mata terpancar kobaran api.

“Ma—“ Kata urung dilanjutkan, pemilik Walter sudah menghilang dari pandangan.

“Ah, aku mencintai keangkuhannya.” Damian bergumam, menahan senyuman.

Keturunan Xander itu terus mengamati Ines, bahkan saat wanita dikenal singa betina tersebut berhasil membekukan setiap orang dihadapi. Seksi. Gambaran terbaik yang mampu diberikan oleh Damian, setiap kali melihat istrinya mengendalikan perusahaan.

“Kau ... jangan pernah kau merasa menang, karena nyonya Ines membelamu. Aku pastikan, kau tidak akan pernah bisa membangun kembali perusahaan Xander!”

“Benarkah? Tapi, sayangnya aku tidak peduli.” Damian tersenyum santai, menaikkan kedua pundaknya.

“Lebih baik, kau berhati-hati dengan tanganmu.” Damian menatap tangan yang tadi sempat dipergunakan menyentuh Ines.

Max terlihat sangat berang, kepalan tangan menguat di samping tubuh, Ya, itu memang Max Colton—lelaki yang membuka hinaan untuk Damian, juga lelaki sama yang melayangkan penolakan terang-terangan kepada Ines Walter.

Damian pergi bersama Leon, setelah lebih dulu Alex memboyong dokumen keluar, tanpa bersedia menyaksikan keributan. ““Berhati-hatilah dengan apa yang kau katakan dan lakukan, Max Colton. Karena maaf tidak pernah berguna dalam hidup ini,” ucapnya sambil menepuk pundak Max.

Beberapa detik kemudian, Max turut menyapu lantai dengan kaki panjangnya. Sengaja ia mempercepat langkah, agar mampu mengejar Damian. Namun, sayangnya tak lagi terlihat si pemilik tubuh gagah yang tadi membuatnya terhina dalam ruangan.

Max melewati dua pintu kaca terbuka otomatis, menuju mobil sport hitam telah disediakan untuknya. Namun, sambutan luar biasa didapatkan, seketika ia keluar dari perusahaan megah Walter.

Punggung Max ada yang mendendang, dan hampir saja berhasil membuatnya tumbang. Beruntung, ada petugas keamanan sigap menahan, hingga Max tidak perlu berkenalan dengan lantai marmer putih Walter.

“Siapa yang ber—“ berang Max terpenggal.

“Aku!” Suara khas bariton menyambar, Max menoleh dan menemukan seseorang melenggang tenang ke arahnya. “Ada masalah?”

“Kau! Beraninya kau menen—“ Sekali lagi makian Max tersendat, kali ini dada ditendang oleh Damian tanpa mengeluarkan kedua tangan dari saku celana.

“Akh!” pekik Max.

Damian mengulas senyum, menaikkan sepatu pantofel mewahnya di atas dada Max. “Berpikirlah ribuan kali untuk membuat masalah denganku, Max Colton.”

“Atau, kau tidak akan pernah selamat dari mautku.”

“Cih!” Max meludah. “Kau hanyalah sampah tidak berguna, Damian! Jangan pernah mengancamku, atau semua akan kembali pada dirimu sendiri!”

“Ah, benarkah? Aku tidak meyakini itu sama sekali.” Damian menjawab tenang, meski kaki diperdalam menekan.

“Kau mengetahui siapa diriku yang sebenarnya, bukan? Jadi, akan lebih baik kalau kau menjaga tingkah dan ucapanmu, karena itu bisa menggali kuburanmu sendiri.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ainun Umshar
keren ines, darah Brandon, reynand, Robert ngalir di tubuh ines......... aku suka sangat, kayanya damian sm max musuh bebuyutan dah.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status