"Mil, mulai sekarang biarkan kios kamu Jemima yang jaga ya," pinta bapak disaat kami sedang menikmati sarapan sederhana berupa nasi goreng tanpa lauk buatan ibu tiriku.
"Lah, ogah!" jawabku tanpa basa-basi."Daripada nanti nggak ada orang yang mau belanja di kios kamu lagi, gimana?" ujar bapak.Aku mengangkat bahu masa bodoh. "Kenapa juga orang nggak mau belanja di kiosku? Lagian rezeki setiap orang juga sudah ada yang atur. Aku nggak khawatir sama sekali," jawabku dengan santai."Duh, Mil. Mungkin kamu nggak tahu ini, tapi warga di sini sudah kehilangan respect sama kamu. Mereka takut belanja di kios kamu karena takut kena azab," ucap ibu mertuaku turut nimbrung."Pffttt,"Hembusan tawa tiba-tiba meluncur mulus dari bibir Abra yang duduk di sampingku. Perilakunya menyebabkan kami menoleh ke arahnya dengan gerakan kepala serentak."Kamu kenapa ketawa?!" seru ibu tiriku seraya menatap galak pada Abra.Pria yang"Apa? Kenapa kamu melihat ibu seperti itu?" tanya ibu tiriku dengan nada meledek."Apakah menyenangkan melihatku menderita?" tanyaku sambil menyembunyikan kekesalan di balik dada."Menyenangkan!" bisik wanita paruh baya ini tepat di depan wajahku. Ekspresi culasnya persis seperti ekspresi pemeran antagonis dalam sinetron.Aku yang tidak lagi terkejut dengan jawaban ini pun menganggukkan kepala pelan sebagai tanda mengerti. "Begitu!" ujarku."Asal kamu tahu saja, semua hal-hal baik sudah seharusnya menjadi milik Jemima seorang. Kamu sama sekali tidak berhak untuk itu. Bahkan meskipun kios ini kamu bangun dengan jerih payah sendiri, tapi cepat atau lambat, kios ini akan menjadi milik Jemima. Dan harus menjadi milik Jemima!" tukas ibu tiriku. Setiap kata yang dia ucapkan diberi penekanan yang keras.Sebelum aku sempat menimpali perkataan ini, ibu tiriku telah lebih dulu menyeret langkahnya pergi. Alhasil, aku hanya bisa menatap punggungnya d
Keesokan harinya, "Loh, Mil. Kamu nggak buka kios?" tanya bapak yang hari ini melihatku berbaring malas di sofa panjang ruang keluarga sambil menonton TV."Nggak. Malas!" jawabku sekenanya."Kalau begitu, berikan saja kuncinya pada Jemima. Biarkan dia yang urus kios kamu mulai sekarang," ujar bapak masih dengan wacananya untuk mengambil kios dariku."Nggak!" jawabku dengan tegas."Mil, ayolah. Jangan begitu," ucap bapak." ... "Aku tidak membuang-buang kata dan langsung mendiamkan bapak sambil terus fokus pada ponsel yang ada di tanganku. Aku mulai berpikir bahwa jika tidak ada lagi warga sekitar yang mau membeli sesuatu di kiosku, aku hanya perlu menjualnya secara online untuk meminimalisir kerugian. Awalnya aku berniat untuk tidak mempedulikan bapak sebentar, tetapi aku malah terlarut dalam berselancar di media sosial. Aku sampai tidak mengetahui kapan bapak pergi.Hal ini terus berlangsung hingga
"Kamu tunggu pembalasanku Jemima!" Aku bergumam dengan suara super pelan seraya mulai menilik isi kulkas.Bahkan tanpa iming-iming uang dari Abra tadi, aku memang sudah memupuk niat sejak kemarin bahwa aku akan ongkang-ongkang kaki saja di rumah mulai hari ini. Aku ingin melihat bagaimana frustrasinya bapak dan ibu tiriku itu ketika melihat aku yang tidak mau lagi campur tangan dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dan jika benar ada uang senilai 300 juta di dalam ATM yang diberikan oleh Abra, maka itu akan lebih baik. Aku bisa pamer pada mereka nanti.Sambil sesekali mendendangkan lagu, aku mengeluarkan sekantong cumi sepanjang telapak tangan dari dalam kulkas. Ada juga kangkung beserta segala sayur mayur lainnya. Hari ini aku berencana untuk membuat cumi bakar asam manis dan cah kangkung untuk suamiku itu.Setelah berkutat sekitar satu jam lebih lamanya di dapur, makanan sederhana buatanku akhirnya selesai juga. "Abra, ayo makan.
"Mil, kamu serius dengan kata-kata kamu itu?" tanya bapak tidak percaya."Tentu saja!" jawabku dengan mantap. "Mil, bapak tahu kamu marah karena apa yang sudah kami lakukan padamu. Tapi tidak bisakah kamu mentolerir kami untuk kali ini saja? Yakinlah, Mil. Apa yang kami lakukan padamu itu, semuanya demi keluarga ini," tukas bapak. Nada suaranya terdengar begitu memelas penuh permohonan.Akan tetapi, sayang sekali. Hatiku tidak terketuk oleh semua narasi ini. Aku sudah cukup bertoleransi atas sikap sewenang-wenang bapak di sepanjang kehidupanku, dan aku tidak ingin terus berputar-putar dalam lingkaran setan."Nggak ah. Aku capek disuruh terus-terusan mentolerir sikap kalian semua. Sekarang gantian dong kalian yang harus mentolerir sikapku," pungkasku." ... "Ruang makan itu seketika jatuh dalam keheningan karena kata-kataku. Mereka bertiga pun lantas saling tatap penuh arti. Sekilas aku dapat melihat sorot meringis dari pancaran
Aku memang mengatakan pada diri sendiri agar tidak terlalu memikirkan asal-usul Abra. Akan tetapi, begitu aku berhadapan dengan pria yang berstatus sebagai suamiku ini, rasa penasaran itu kembali muncul ke permukaan."Kamu sebenarnya siapa?" tanyaku.Sekembalinya dari ATM, aku terus menatap tajam pada Abra yang sedang duduk bersandar di kepala tempat tidur. Mata pria itu tampak fokus menekuri laptop yang ada di pangkuannya. Dan akibat dari pertanyaanku itu, Abra perlahan mengangkat pandangannya ke arahku sambil mengangkat alis tinggi-tinggi."Kamu ingin tahu?" tanya Abra.Aku kemudian dengan cepat mengangguk sebagai tanggapan."Ada pepatah yang mengatakan bahwa keingintahuan membunuh kucing. Apa kamu yakin benar-benar ingin tahu?" tanya Abra sekali lagi. Kali ini matanya menyipit tajam menatap ke arahku.Aku pun tanpa sadar menelan ludah. Namun, rasa penasaran yang menggantung di hatiku lebih besar daripada rasa takut. Mungkin ka
"Kesepakatan seperti apa lagi sih?" tanyaku dengan ogah-ogahan."Kamu tahu Universitas X di kota sebelah?" Abra balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan yang telah aku ajukan lebih dulu.Aku tidak tahu ke mana topik pembicaraan ini akan dibawa. Apalagi karena Abra tiba-tiba menyebutkan soal Universitas X di kota sebelah tempatku berkuliah dulu. Namun, meskipun begitu, aku tetap menganggukkan kepala."Tahu. Kenapa?" tanyaku."Aku memiliki kos-kosan 23 pintu di sekitaran sana. Jadi aku ingin meminjam namamu dalam pengelolaannya. Aku mau tetap bersikap low profil. Aku tidak mau ketahuan oleh musuhku sebelum aku memiliki persiapan matang untuk menghadapinya," pungkas Abra dengan serius. Aku yang mendengar ucapannya spontan meneguk ludah."Tentang musuhmu, apakah masalah di antara kalian begitu serius?" tanyaku dengan sedikit was-was. Jantungku pun berdetak heboh di balik dada."Kalau tidak, aku tidak akan terluka seperti ini," jawab
"Apa kamu tidak bisa membeli sepeda motor yang agak bagusan dikit?!" Aku berseru dengan keras dari boncengan motor Abra yang bisa dikatakan hampir seperti rongsokan. Seluruh badan motor itu begitu tipis karena hanya tinggal kerangka. Di sepanjang jalan aku terus dibuat khawatir kalau-kalau motor yang kami tunggangi ini akan terbelah karena tidak mampu menahan bobot kami berdua."Siapa yang tahu aku akan membonceng orang suatu saat nanti," timpal Abra turut berteriak karena suaranya dihanyutkan oleh angin."Tsk!" Aku mendecakkan lidah dengan tidak puas."Nanti deh aku beli yang baru," ucap Abra kemudian dengan entengnya. " ... "Aku tidak menimpali. Seluruh tubuhku tegang karena waspada. Jika sepeda motor ini menunjukkan gejala aneh, aku akan langsung melompat. Aku bahkan meminta pada Abra untuk berkendara dengan pelan, dan mengambil sisi pinggir jalan."Itu dia kos-kosannya," celetuk Abra.Dia menghentikan sep
Tok tok tok,Ayam baru saja selesai berkokok ketika pintu kamarku digedor dengan keras dari luar. Aku yang baru saja menyelesaikan sholat subuh hanya melirik dengan malas ke arah pintu."Kamilia! Bangun!" Suara ibu tiriku menggema dengan keras. Jelas sekali terdengar bahwa dia sedang marah.Tok tok tok,"Kamilia!"Aku yang lambat laun tidak tahan dengan keributan ini pun mau tidak mau beranjak membuka pintu untuknya."Ada apa sih pagi-pagi sudah ribut aja!" seruku seraya menunjukkan wajah tidak senang."Kamu masih tidak mau masak dan bersih-bersih rumah juga?!" hardik ibu tiriku itu sambil berkacak pinggang, dan matanya melotot marah."Tidak mau!" jawabku dengan santai."Kamu!" "Percuma saja sih marah-marah. Kenapa tidak menyuruh putrimu saja yang membantu ibunya tersayang memasak dan beres-beres rumah? Biar nanti kalau menikah, dia bisa menyenangkan suami dan mertuanya," ucapku sembari mencib