"Mas, minta uang dong!" ujar Jemima ketika aku hendak berangkat bekerja.
"Nggak ada!" jawabku dengan terus terang.Biaya mahar dan hutang untuk menyelenggarakan pernikahan kemarin telah membuatku jatuh miskin. Uang di dalam tabunganku hanya tersisa dua juta saja. Sementara gajian masih lama. Terlebih lagi, aku enggan untuk memberikannya pada wanita culas ini."Mas, kamu nggak bisa gini dong. Aku ini istri kamu. Sudah sepantasnya kamu memberi nafkah padaku," protes Jemima tidak terima.Aku mengangkat bahu dengan masa bodoh. "Uangku sudah habis untuk membayar maharmu beserta biaya pernikahan dan lain sebagainya. Sampai nanti hutangku pada Januar habis, aku tidak bisa memberikan nafkah finansial untukmu," ungkapku."APA?!" pekik Jemima membuat telingaku seketika pengang."Kamu tidak usah teriak. Aku bilang kalau aku tidak akan memberikan nafkah padamu sampai hutangku pada Januar habis," ucapku mengulang pernyataan sebelumnya.<"Mil, Bapak harus sampaikan ini ke kamu.”"Ada apa, Pak?" tanyaku ragu-ragu. Alisku berkerut dalam. Keseriusan dalam nada suara yang terlontar dari bibir bapak itu membuatku memiliki firasat buruk di dalam hati.Bapak tidak langsung menjawab. Dia terlebih dahulu menghela napas panjang sembari memasang wajah sendu. "Begini, Mil,” ujar Bapak. “Bapak punya hutang 300 juta pada Abra. Dan keluarga kita tidak mampu untuk membayarnya," Perasaanku makin tidak enak.“Jadi … Bapak tidak punya pilihan lain selain menikahkan kamu dengan Abra.”Tidak ada angin, tidak ada hujan, tetapi duniaku tiba-tiba bagaikan disambar petir setelah mendengar ucapan bapak yang satu ini."Abra?" Aku berseru dengan tidak percaya. "Abraham Suseno? Bapak jangan bercanda deh!" "Bapakmu tidak sedang bercanda, Kamilia,” tukas ibu tiriku yang sedang duduk di samping Bapak. "Kenapa aku?" tanyaku tidak terima.“Ck. Pake nanya,” balas ibu tiriku dengan nada ketusnya. “Jelas karena Abra maunya sama kamu!”Sudut mataku spo
"AARRGGGGHH!"Pekikan nyaringku mewarnai awal pagi ini. Untuk yang pertama kalinya dalam hidup, aku dibuat terkesiap oleh pemandangan yang aku temukan saat bangun tidur. Di sisi sebelah kiriku, tiba-tiba ada seorang pria yang sebagian wajahnya ditutupi oleh janggut dan kumis lebat sedang berbaring lelap. Pria ini adalah Abraham Suseno yang aku perdebatan dengan bapak kemarin."Dasar pria brengsek!""Pria mesum!"Dengan menggunakan bantal yang ada, aku memukul tubuh pria itu dengan keras. Segala emosi kacau yang tengah menguasai diriku, tidak segan-segan aku lampiaskan pada pria itu. Hingga pria itu terbangun dengan mata merah yang langsung melotot ke arahku."Kamu apa-apaan sih!" bentak pria itu dengan marah seraya menangkis bantal yang aku gunakan untuk memukulnya."Kamu yang apa-apaan!" bentakku tidak mau kalah."Aku? Memangnya apa yang sudah aku lakukan?!" seru pria itu dengan nada garang."Jangan pura-pura tidak tahu deh. Kamu menggunakan hutang orang tuaku yang senilai 300 juta it
"Abra!""Kamilia!""Keluar kalian!"Suara gedoran pintu disertai dengan teriakan orang-orang terdengar semakin riuh. Aku yang ada di dalam kamar bersama Abra pun hanya bisa berjalan mondar-mandir dengan gundah. Jika orang-orang itu memergoki aku dan Abra ada di dalam kamar yang sama, entah gosip apa yang akan tersebar di desa."Di sini ada pintu belakang, nggak?" tanyaku pada Abra."Nggak ada!" jawabnya."Terus kita harus gimana?" tanyaku. Abra mengangkat bahu tampak tak berdaya. Aku lantas diam-diam mendesahkan nafas kecewa sembari mengedarkan pandangan ke segala penjuru kamar berukuran 3 x 3 meter itu. Di dalam kamar tempat kami berada ini, aku hanya melihat ada satu tempat tidur, dan satu lemari susun plastik tergeletak di pojok kamar. Sama sekali tidak ada ruang yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk persembunyian."Bapak kamu cukup kejam juga ya. Dia memimpin warga untuk datang menggerebek kita di sini," gumam Abra.Aku yang mendengar nada satir dalam suara pria ini pun mengep
"Kenapa kamu mengatakan kamu akan menikahiku? Aku tidak mau menikah!" Aku berseru dengan marah pada Abra begitu para warga telah bubar, dan hanya menyisakan kami sekeluarga.Abra pun mengangkat bahunya dengan masa bodoh. "Toh pilihannya cuma ada dua. Aku tidak mau diarak keliling kampung, dan menjadi pusat perhatian. Menikah adalah pilihan yang tersisa," jawabnya." ... "Aku pun terdiam cukup lama mendengar ucapan santai pria brewok ini. Seolah pernikahan bukanlah sesuatu yang penting dan sakral untuknya. "Sudahlah, Mil. Tolong bantu keluarga kita sekali ini saja, mumpung Abra juga bersedia menikahimu," tukas ibu tiriku menyela dengan enteng.Dengan sorot mata berkobar, aku menatap ke arah wanita paruh baya itu. "Makanya!" sentakku dengan keras. "Tolong beritahu aku masalah apa yang sedang dihadapi oleh keluarga ini sehingga aku harus difitnah sampai sebegininya?!" seruku penuh emosi."Nanti juga kamu akan tahu, tapi bukan sekarang," timpal bapak dari samping.Jawaban ini membuat naf
'Sampai ketemu besok, calon istri,'Ucapan Abra terus terngiang di dalam kepalaku sampai kami sekeluarga keluar dari pintu kontrakan pria itu. Namun, bukan karena aku tiba-tiba terpesona dengan apa yang diucapkan oleh Abra, hanya saja sikap tenang yang dia tunjukkan telah menimbulkan tanda tanya bagiku."Mereka keluar!"Suara para warga yang ternyata masih berkerumun di depan rumah kontrakan itu menyadarkan aku dari lamunan singkat."Adi, Bagas, Ilham, aku mau minta tolong jaga si Abra tetap di kontrakan ini sampai besok. Jangan sampai dia kabur!" ujar bapak pada ketiga orang pemuda tanggung yang berdiri tidak jauh dari pintu. "Waduh..."Tiga orang yang bapak sebutkan namanya itu saling pandang sesaat. Mereka kemudian dengan serempak menggaruk tengkuk yang aku yakin tidak gatal sama sekali."Kalian jangan khawatir, nanti pasti ada upahnya. Kalian tidak disuruh dengan cuma-cuma kok," ucap bapak saat melihat keraguan keti
"Kamilia, kamu kenapa?!" Pertanyaan ini terlontar seiring dengan pintu kamarku yang menjeblak terbuka. Tiga orang anggota keluarga ini kemudian satu demi satu mulai menampakkan wajah penasaran mereka melalui ambang pintu kamar."Apa yang kamu lakukan? Kenapa semuanya berantakan begini?" tanya bapak sambil matanya menatap kekacauan yang ada di lantai."Aku benci kalian semua. Kalian semua jahat!" Aku mendesis dari balik gigi yang terkatup rapat sambil nafasku masih naik turun tidak beraturan. Mataku pun menyorot penuh dendam pada ketiga orang yang harusnya aku sebut sebagai keluarga ini."Kamu kenapa tiba-tiba bilang gitu?" tanya bapak seraya memasang wajah muram."Apa yang sudah kalian lakukan sehingga bahkan Mas Damar pun bersedia mengkhianatiku?" Aku tidak menjawab pertanyaan bapak, dan justru akulah yang balik melemparkan tanya. "Kami tidak melakukan apa-apa kok. Memang dia saja yang sudah bosan sama kamu, tapi dia-nya nggak
Aku mematut diriku di depan satu-satunya cermin yang ada di kamar. Saat ini tubuhku sudah dibalut oleh sebuah gamis berwarna putih polos tanpa banyak hiasan indah. Kepalaku ditutup dengan jilbab asal-asalan yang masih menunjukkan helaian rambut hitamku. Adapun wajahku hanya dibaluri bedak tipis dan lipstik berwarna pink yang tidak menggairahkan. Tidak ada hiasan mata yang bisa membuat pangling.Yah, lagipula tidak ada orang yang ingin aku buat terkesan dengan penampilanku."Mil, kamu udah selesai belum? Pengantin pria dan Pak Penghulu sudah datang," ujar ibu tiriku dari balik pintu yang masih di kunci dari luar."Sudah!" jawabku dengan patuh."Ya sudah, ayo keluar!" ucap ibu tiriku seraya membuka pintu kamar.Walau dengan berat hati, aku tetap mengikuti langkahnya. Toh, tidak ada gunanya menentang sekarang. "Pengantin wanitanya sudah tiba," ucap ibu tiri yang mendampingiku ke ruang tamu rumah kami.Setibanya di ruang ta
Aku termangu cukup lama setelah mendengar kalimat yang diucapkan oleh Abra. Keseriusan dalam nada suaranya sama sekali tidak bisa diabaikan. Belum lagi karena pria ini pernah berkata bahwa gosip-gosip yang tersebar tentangnya di luaran sana itu tidak sepenuhnya salah. Pikiran di kepalaku pun tak terhindarkan berputar dengan liar."Benarkah?" tanyaku memberanikan diri. Tidak ada yang tahu bagaimana jantungku sudah berdegup kencang karena ngeri membayangkan kalau pria ini benar-benar seorang penjahat buron yang sedang bersembunyi di desa ini."Tentu saja!" jawab Abra masih sambil berbisik di samping telingaku.Tanpa sadar aku menelan ludah dengan susah payah. "Lalu, hal paling kejam apa yang pernah kamu lakukan untuk membuat musuhmu menderita karena telah membuatmu marah?" tanyaku ingin tahu. Lebih tepatnya aku ingin memancing pria ini untuk menggali informasi akurat tentangnya lebih dalam."Kenapa? Apa kamu takut?" tanya Abra terdengar be