Share

Makan di Restoran

Author: Rini Annisa
last update Last Updated: 2022-09-09 08:38:44

"Prok, prok, prok ... Hebat Ma, sebenarnya siapa yang enggak tau di untung di sini, kalian atau aku?" kataku sambil menunjuk. 

"Anak Mama memberi uang belanja lima puluh ribu, uang segitu hanya cukup beli beras empat kilo. Sedangkan setiap hari aku masak sekilo, untuk sapa lagi kalo bukan untuk makan kalian juga. Jadi sisanya bagaimana itu, lauknya aku beli di warung Wak Narti. Mama tanya sendiri berapa utang di warung? Jadi tolong utang di warung itu kalian yang lunasi atau Mas Andre, aku enggak mau tau lagi."  Aku coba jelaskan biar mereka tidak seenaknya lagi. 

Tiba-tiba tidak sengaja melintas Wak Narti yang baru pulang belanja dari kota untuk stok warungnya. Melihatku dan mertua ribut di luar rumah, Wak Narti berhenti lalu bertanya. 

"Ada apa, Ratih kok pada ribut?" 

"Wak, bilang sama Mama berapa utang kami belanja di warung Wak Narti?" seruku. 

"Utang kalian sudah dua juta, kapan mau bayar? Wak juga perlu uangnya!" desak Wak Narti. 

Mama dan Mbak Rina kulihat mendelik, mungkin saja mereka tidak menyangka. Karena selama ini aku hanya diam. 

"Wak Narti minta saja sama Mama atau suamiku melunasi hutang kami, karena mereka yang paling banyak makan. Wak Narti tau sendiri 'kan, aku belanja banyak juga untuk makan Mama dan Mbak Rina serta anak dan suaminya," ucapku seraya melirik mertua. 

"Bohong itu, bisa saja Ratih beli untuk keperluan sendiri. Utang sampai dua juta terlalu boros untuk belanja lauk," timpal Mbak Rina tidak percaya. 

"Mbak Rina enggak percaya? Wak Narti punya catatan belanja loh, di situ lengkap tertulis. bukankah begitu Wak?" tanyaku beralih ke arah Wak Narti yang mengangguk. 

"Benar yang dibilang Ratih, semua hutang belanja itu cuma sekitar lauk saja enggak ada soal lain. Pokoknya dalam Minggu ini kalian mesti sudah bayar kalo enggak saya laporkan ke polisi," ancam Wak Narti menakuti. 

Mama dan Mbak Rina gemetar, mereka berdua memang takut. Aku hanya tersenyum geli melihatnya, walaupun aku sendiri bisa melunasi hutang itu. Namun, hutang itu tetap tanggung jawab Mas Andre. 

Wak Narti segera berlalu setelah memberi ancaman, mertua dan kakak ipar yang semula ketakutan berubah seperti biasa malah masih tetap sombong. Hutang itu sama sekali tidak mereka pikirkan, huh terbuat dari apa hati mereka, keluhku. 

"Yuk, Ma. Kita pergi saja, Rina sudah lapar ini!" ajak Mbak Rina menarik tangan anaknya. 

"Eh, kalian lunasi hutang dulu. Biar enggak numpuk lagi itu," kataku mencegah. 

"Masa bodohlah, itu bukan urusan kami. 'Kan yang belanja itu kamu, Ratih," sahut Mbak Rina ngotot. 

"Terserah, mulai besok aku enggak mau masak lagi kalo hutang itu belum lunas," ujarku sambil menaikkan bahu dan masuk ke dalam rumah. 

Di dalam rumah aku mengintip mereka dan mereka tetap saja pergi. Aku segera membalas pesan Nova. 

[Nova, lauknya bisa diantar sekarang ya!] 

[Baik, Bu. Tunggu ya Bu! Segera siap!] 

[Oke] balasku pendek. 

Yes, akhirnya aku bisa makan tenang tanpa mereka. Aku tertawa cekikikan dan membayangi keterkejutan Mama dan Mbak Rina nanti.

***

Selesai makan, aku sengaja membuang kotak dari restoranku ke depan rumah. Sengaja ingin melihat reaksi Mama dan Mbak Rina. Untunglah mereka belum pulang, jadi aku bisa menyiapkan beberapa rencana untuk membuat mereka bungkam nantinya. 

Sisa lauk segera kusimpan di kamar, stok buat makan sore nanti. Sambil menunggu mereka pulang, aku mengambil ponsel dan membuka aplikasi biru. Banyak pemberitahuan masuk di aplikasi tersebut, penasaran segera membacanya. 

Dahiku mengernyit, melihat sebuah postingan dengan foto masakan kuliner. Ya aku tau itu pasti postingan Mbak Rina, karena tangan yang dihiasi banyak cincin itu memang tangan kakak ipar. 

'Alhamdulillah, bisa makan di restoran mewah. Apalagi makanannya serba wah, enggak seperti masakan di rumah' 

Begitulah caption yang tertulis di postingannya, apa maksudnya masakan di rumah? Apa dia menyindirku, huh sudah mending dia tinggal makan tidak perlu capek-capek masak. 

Selama ini aku sudah bersabar menghadapi kelakuan mereka. Kini saatnya bagiku untuk bertindak, sementara ini aku masih mengalah ingin melihat sampai kapan Mas Andre tetap bertahan dengan sifat pelitnya. 

Kembali aku memperhatikan postingan Mbak Rina, tiada balasan komentar dari Mas Andre. Mungkin saja dia tidak tau atau tepatnya tidak membuka aplikasi biru itu. 

Saat mataku masih fokus pada foto yang tertangkap kamera Mbak Rina, aku seperti merasa tidak asing pada restoran itu. Bukankah itu restoran milikku, kok bisa mereka makan di situ? 

Hahahaha ... tiba-tiba aku senang. Ya akhirnya duit mereka berlabuh juga di rekeningku. Bagusnya aku tidak masak terus biar mereka semakin sering makan di restoran, dengan begitu pundi-pundi uangku bertambah. 

Kamu lihatlah Mas, walaupun kamu berubah pelit tapi Allah Maha Adil. Dengan caranya sendiri, Allah menuntun uang yang sudah menjadi hakku sampai kepadaku melalui pesanan mama dan kakakmu di restoranku. 

Lamunanku buyar saat terdengar suara cekikikan di luar, pasti Mama dan Mbak Rina sudah pulang. Mereka terlihat senang, sebelum mereka membuka pintu pagar gegas aku keluar dan duduk di teras. 

Sambil pura-pura tidak tahu mereka pulang, aku memainkan ponsel. Aku menajamkan pendengaran, sambil mata tetap fokus pada ponsel. 

"Duh, senang ya Ma kita bisa makan di restoran. Aku baru tau ada restoran semewah itu, makanannya juga sungguh enak!" seru Mbak Rina. 

"Iya, sayangnya kita baru tahu. Kalo enggak kita pasti sering ke sana," ucap mertua membalas sanjungan Mbak Rina. 

"Iya, kita pasti bakal ke sana lagi. Apalagi Andre sering ngasih kita uang, jadi tanpa perlu nunggu Ratih masak kita bisa kenyang," katanya sambil melirikku. 

"Eh, Ratih. Kasihannya, ngapain duduk di luar? Nunggu Andre ya, kamu pasti lapar enggak makan dari pagi. Ckckck, makanya jadi istri jangan suka melawan suami. Sekarang rasain sendiri 'kan, kamu enggak dikasih Andre uang," ejek Mbak Rina seraya geleng-geleng kepalanya. 

"Biarkan saja dia, kita lihat sampai kapan dia bisa nahan lapar!" sahut mertua menyambung. 

Aku yang dikatai terus merasa tergelitik, saatnya membalas mereka. Aku menurunkan ponsel lalu menatap mereka tajam, kemudian tertawa geli. 

"Dasar gila, kenapa kamu malah tertawa? Apa karena kelaparan jadi otakmu korslet!" sindir Mbak Rina heran. 

"Hahahaha .... Kalian pikir aku kelaparan ya! Aku bahkan sudah makan kenyang, ini lihat perutku sudah buncit," kataku sambil menepuk perutku. 

Mama dan Mbak Rina mencibir melihatku, "Halah, enggak usah bohong kamu. Bilang saja blom makan, kamu pikir kami bisa tertipu." 

"Kalo enggak percaya ya sudah, aku baru saja makan pakai itu. Lihat!" kataku sambil menunjuk tumpukan kotak makan dari restoran. 

Mbak Rina yang penasaran mendekat ke tempat sampah, matanya terbelalak. 

"Ini 'kan restoran tempat yang kita makan tadi, Ma!" ujar mbak Rina sambil mengambil dan mengangkat kotak nasi yang berlabel nama restoran. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Pelit Melarat Saat Kutinggalkan   Pernikahan

    Hari Minggu pun tiba, dari pagi sudah sudah mulai terlihat kesibukan. Para tetangga yang rewang sudah banyak yang berdatangan, membantu memasak di dapur. Sedari malam aku luluran dan memakai inai, sengaja sebelum subuh aku mandi agar segar seharian saat menjadi pengantin. Walaupun sudah pernah menikah tapi perasaan gugup dan tegang itu masih ada. Perias pengantin yang mendandani aku juga tak makan waktu lama karena sudah profesional dan ahli. Hingga Mas Gun dan keluarga besar datang, dimulailah ijab qobul. Aku duduk di sebelah Mas Gun yang dipakaikan selendang putih di kepala. Dengan lancar Mas Gun mengucap ijab qobul, yang dijawab sah oleh penghulu dan hadirin. Acara berlanjut hingga temu pengantin sampai selesai lalu setelah duduk di pelaminan maka anggota perwiritan ibu-ibu yang mendapat giliran marhaban. Bunyi gendang yang ditabuh serta doa dan nyanyian pengantin mengiringi. "Tiara, kamu cantik sayang!" bisik Mas Gun setelah acara selesai. Kami berdua tinggal duduk saja meny

  • Suami Pelit Melarat Saat Kutinggalkan   Sebar undangan

    Akhirnya sampai juga di kampung, aku membangunkan Nova yang terlelap tidur. Aku tak bisa tidur sama sekali karena Mas Gun mengajak ngobrol dan tertawa. "Mas, kejadian penculikan ini jangan beritahu pada orang tuaku ya! Tiara nggak ingin mereka jadi khawatir," kataku sebelum turun dari mobil. Mas Gun mengangguk dan mengedipkan matanya. Nova juga sudah kuperingatkan, lalu turun membantu mengambil koper di bagasi. Ibu menyambut kedatangan kami dengan senyum. "Oh, udah sampai kamu Nak! Datangnya kok rame-rame gini?" "Iya, Bu! Tadi sebenarnya cuma Nova yang akan mengantar, tapi Mas Gun minta ikut, katanya kangen sama ibu. Iya kan, Mas!" ujarku terkekeh. Mas Gun gelagapan karena sandiwaraku lalu terpaksa mengangguk juga. Mas Gun pasti tak menyangka aku sampai berkata itu. "Ya udah, ayo masuk dulu. Kebetulan ibu udah siap masak, kita makan dulu. Kalian pasti udah lapar, kan !" ajak ibu. "Assiiaap, Bu!" kelakar Mas Gun. Kami semua tertawa melihatnya, Mas Gun pasti sudah ingin mencicip

  • Suami Pelit Melarat Saat Kutinggalkan   Penyelamatan

    "Jadi, kalian bersengkongkol untuk menculikku!" hardikku marah. "Andre, lepaskan aku! Apa kamu nggak takut ditangkap polisi, pikirkan ibumu," sergahku. "Hahahaha ... Kamu pikir Andre akan mendengarkanmu setelah apa yang kamu perbuat pada dirinya. Kamu sungguh licik, dasar wanita penggoda yang merampas kebahagiaan orang!" cemooh Mona mencibir sinis. "Merampas kebahagiaan siapa? Kebahagiaan kamu gitu? Cih, seharusnya kamu tau diri kalo Mas Gun nggak tertarik padamu sedikitpun. Dasar penguntit!" aku kembali mengejeknya. Plak! "Apa kamu bilang? Penguntit? Awalnya aku mengejar Gunawan dan akan mendapatkannya tapi kamu datang merusak semua usahaku. Jadi, kamu harus membayarnya," ucap Mona meninggi. Pipiku yang ditampar terasa sakit dan perih. Kulihat Andre cuma diam saja, aku celingukan mencari Nova. Kemana dia? Nova pasti di tempat lain. "Andre, mau kita apakan ini Ratih?" tanya Mona melirik Andre. Andre cuma diam memandangku, lalu memandang kedua kakiku yang sedikit terbuka hingga

  • Suami Pelit Melarat Saat Kutinggalkan   Diculik

    Hari pernikahan tinggal seminggu lagi, persiapan sudah delapan puluh persen. Tinggal menyebar undangan, untuk pesta di kampung memang tak banyak. Sekitar seribu undangan saja, karena kami pun tak banyak kenalan. Di kampung, ibu sudah menelepon memberitahukan persiapan pernikahan. Surat undangan sudah siap dicetak, tinggal menungguku datang untuk mengundang siapa saja. Ibu menyuruhku seminggu sebelum akad, sudah pulang. Aku pun mempersiapkan diri termasuk urusan restoran. Semua karyawan aku liburkan sehari pas pesta pernikahan. Mereka menyambut dengan gembira, setelah mendengar aku akan menikah. Mereka ingin menghadiri pernikahanku, aku bilang nanti saja saat pesta ke dua di gedung. Agar tidak terlalu jauh dari tempat tinggal, mereka pun menyetujuinya. Gegas aku masukkan baju ke koper, selama seminggu aku akan berada di kampung. Setelah seminggu pesta di kampung baru ngunduh temanten di gedung. Nova membantuku membawa koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil. Sengaja meminta Nova ya

  • Suami Pelit Melarat Saat Kutinggalkan   Penguntit

    Mas Gun kembali mengajak ke Mall, membeli barang untuk hantaran nanti. Kali ini aku yang memilih karena aku yang tau ukurannya, seperti mukena set, sepatu, sampai BH dan CD hingga saat aku mengangkatnya Mas Gun memalingkan wajah karena malu. Aku pun tertawa terbahak-bahak. "Oh iya, Mas gimana ranjang dan lemari apa udah disiapkan juga?" tanyaku kepo. "Sudah disiapkan Mama jauh-jauh hari, udah ada di rumah. Apa Tiara mau melihat ke rumah?" tanya Mas Gun. "Boleh, Mas! Tiara juga ingin tau kan blom pernah ke rumah Mas, sekalian ketemu Mama Laras," jawabku. Tentu saja ke rumah Mas Gun juga bagus, barang-barang yang dibeli tadi juga di taruh di rumah Mas Gun dulu. Di bungkus yang cantik untuk hantaran nanti. Setibanya di depan gerbang rumah, lagi-lagi aku melongo. Ini kan bukan rumah tapi istana, indah dan besar. Bahkan halaman yang begitu luas membuat mobil agak masuk ke dalam lagi. Mas Gun memencet mobil, terlihat satpam tergopoh-gopoh membuka gerbang. Mas Gun melajukan mobilnya ma

  • Suami Pelit Melarat Saat Kutinggalkan   Membeli cincin

    Hari pernikahan dengan Mas Gun semakin dekat. Rencana setelah sidang cerai selesai, dalam dua minggu Mas Gun akan melamarku. Masa iddahku juga sudah selesai, kusambut dengan bahagia hari yang akan membawaku menuju pelaminan. Ibu sudah balik kampung duluan untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan aku masih di restoran mengurus segala tetebengeknya. Sesuai musyawarah, pesta pernikahan akan diadakan dua kali. Pertama di kampung dan kedua di gedung. Siang itu Mas Gun datang, seperti biasa akan makan siang. Kali ini dia datang sendiri, sekalian membicarakan pernikahan kami. "Tiara, Mas sungguh senang saat mendengar ceritamu tentang sidang itu. Apalagi Mama udah nggak sabar melihat kita menikah," kata Mas Gun cekikan. "Alhamdulillah, Mas! Sidang berjalan lancar. Gimana persiapan pernikahan kita Mas?" tanyaku menatap pria tampan di depanku. "Untuk mahar, Tiara mau yang mana? Oh iya siap makan kita akan mencari cincin nikah dulu, kamu mau kan?" "Baik, Mas! Kalo gitu Tiara siap-siap dul

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status