Share

Makan di Restoran

"Prok, prok, prok ... Hebat Ma, sebenarnya siapa yang enggak tau di untung di sini, kalian atau aku?" kataku sambil menunjuk. 

"Anak Mama memberi uang belanja lima puluh ribu, uang segitu hanya cukup beli beras empat kilo. Sedangkan setiap hari aku masak sekilo, untuk sapa lagi kalo bukan untuk makan kalian juga. Jadi sisanya bagaimana itu, lauknya aku beli di warung Wak Narti. Mama tanya sendiri berapa utang di warung? Jadi tolong utang di warung itu kalian yang lunasi atau Mas Andre, aku enggak mau tau lagi."  Aku coba jelaskan biar mereka tidak seenaknya lagi. 

Tiba-tiba tidak sengaja melintas Wak Narti yang baru pulang belanja dari kota untuk stok warungnya. Melihatku dan mertua ribut di luar rumah, Wak Narti berhenti lalu bertanya. 

"Ada apa, Ratih kok pada ribut?" 

"Wak, bilang sama Mama berapa utang kami belanja di warung Wak Narti?" seruku. 

"Utang kalian sudah dua juta, kapan mau bayar? Wak juga perlu uangnya!" desak Wak Narti. 

Mama dan Mbak Rina kulihat mendelik, mungkin saja mereka tidak menyangka. Karena selama ini aku hanya diam. 

"Wak Narti minta saja sama Mama atau suamiku melunasi hutang kami, karena mereka yang paling banyak makan. Wak Narti tau sendiri 'kan, aku belanja banyak juga untuk makan Mama dan Mbak Rina serta anak dan suaminya," ucapku seraya melirik mertua. 

"Bohong itu, bisa saja Ratih beli untuk keperluan sendiri. Utang sampai dua juta terlalu boros untuk belanja lauk," timpal Mbak Rina tidak percaya. 

"Mbak Rina enggak percaya? Wak Narti punya catatan belanja loh, di situ lengkap tertulis. bukankah begitu Wak?" tanyaku beralih ke arah Wak Narti yang mengangguk. 

"Benar yang dibilang Ratih, semua hutang belanja itu cuma sekitar lauk saja enggak ada soal lain. Pokoknya dalam Minggu ini kalian mesti sudah bayar kalo enggak saya laporkan ke polisi," ancam Wak Narti menakuti. 

Mama dan Mbak Rina gemetar, mereka berdua memang takut. Aku hanya tersenyum geli melihatnya, walaupun aku sendiri bisa melunasi hutang itu. Namun, hutang itu tetap tanggung jawab Mas Andre. 

Wak Narti segera berlalu setelah memberi ancaman, mertua dan kakak ipar yang semula ketakutan berubah seperti biasa malah masih tetap sombong. Hutang itu sama sekali tidak mereka pikirkan, huh terbuat dari apa hati mereka, keluhku. 

"Yuk, Ma. Kita pergi saja, Rina sudah lapar ini!" ajak Mbak Rina menarik tangan anaknya. 

"Eh, kalian lunasi hutang dulu. Biar enggak numpuk lagi itu," kataku mencegah. 

"Masa bodohlah, itu bukan urusan kami. 'Kan yang belanja itu kamu, Ratih," sahut Mbak Rina ngotot. 

"Terserah, mulai besok aku enggak mau masak lagi kalo hutang itu belum lunas," ujarku sambil menaikkan bahu dan masuk ke dalam rumah. 

Di dalam rumah aku mengintip mereka dan mereka tetap saja pergi. Aku segera membalas pesan Nova. 

[Nova, lauknya bisa diantar sekarang ya!] 

[Baik, Bu. Tunggu ya Bu! Segera siap!] 

[Oke] balasku pendek. 

Yes, akhirnya aku bisa makan tenang tanpa mereka. Aku tertawa cekikikan dan membayangi keterkejutan Mama dan Mbak Rina nanti.

***

Selesai makan, aku sengaja membuang kotak dari restoranku ke depan rumah. Sengaja ingin melihat reaksi Mama dan Mbak Rina. Untunglah mereka belum pulang, jadi aku bisa menyiapkan beberapa rencana untuk membuat mereka bungkam nantinya. 

Sisa lauk segera kusimpan di kamar, stok buat makan sore nanti. Sambil menunggu mereka pulang, aku mengambil ponsel dan membuka aplikasi biru. Banyak pemberitahuan masuk di aplikasi tersebut, penasaran segera membacanya. 

Dahiku mengernyit, melihat sebuah postingan dengan foto masakan kuliner. Ya aku tau itu pasti postingan Mbak Rina, karena tangan yang dihiasi banyak cincin itu memang tangan kakak ipar. 

'Alhamdulillah, bisa makan di restoran mewah. Apalagi makanannya serba wah, enggak seperti masakan di rumah' 

Begitulah caption yang tertulis di postingannya, apa maksudnya masakan di rumah? Apa dia menyindirku, huh sudah mending dia tinggal makan tidak perlu capek-capek masak. 

Selama ini aku sudah bersabar menghadapi kelakuan mereka. Kini saatnya bagiku untuk bertindak, sementara ini aku masih mengalah ingin melihat sampai kapan Mas Andre tetap bertahan dengan sifat pelitnya. 

Kembali aku memperhatikan postingan Mbak Rina, tiada balasan komentar dari Mas Andre. Mungkin saja dia tidak tau atau tepatnya tidak membuka aplikasi biru itu. 

Saat mataku masih fokus pada foto yang tertangkap kamera Mbak Rina, aku seperti merasa tidak asing pada restoran itu. Bukankah itu restoran milikku, kok bisa mereka makan di situ? 

Hahahaha ... tiba-tiba aku senang. Ya akhirnya duit mereka berlabuh juga di rekeningku. Bagusnya aku tidak masak terus biar mereka semakin sering makan di restoran, dengan begitu pundi-pundi uangku bertambah. 

Kamu lihatlah Mas, walaupun kamu berubah pelit tapi Allah Maha Adil. Dengan caranya sendiri, Allah menuntun uang yang sudah menjadi hakku sampai kepadaku melalui pesanan mama dan kakakmu di restoranku. 

Lamunanku buyar saat terdengar suara cekikikan di luar, pasti Mama dan Mbak Rina sudah pulang. Mereka terlihat senang, sebelum mereka membuka pintu pagar gegas aku keluar dan duduk di teras. 

Sambil pura-pura tidak tahu mereka pulang, aku memainkan ponsel. Aku menajamkan pendengaran, sambil mata tetap fokus pada ponsel. 

"Duh, senang ya Ma kita bisa makan di restoran. Aku baru tau ada restoran semewah itu, makanannya juga sungguh enak!" seru Mbak Rina. 

"Iya, sayangnya kita baru tahu. Kalo enggak kita pasti sering ke sana," ucap mertua membalas sanjungan Mbak Rina. 

"Iya, kita pasti bakal ke sana lagi. Apalagi Andre sering ngasih kita uang, jadi tanpa perlu nunggu Ratih masak kita bisa kenyang," katanya sambil melirikku. 

"Eh, Ratih. Kasihannya, ngapain duduk di luar? Nunggu Andre ya, kamu pasti lapar enggak makan dari pagi. Ckckck, makanya jadi istri jangan suka melawan suami. Sekarang rasain sendiri 'kan, kamu enggak dikasih Andre uang," ejek Mbak Rina seraya geleng-geleng kepalanya. 

"Biarkan saja dia, kita lihat sampai kapan dia bisa nahan lapar!" sahut mertua menyambung. 

Aku yang dikatai terus merasa tergelitik, saatnya membalas mereka. Aku menurunkan ponsel lalu menatap mereka tajam, kemudian tertawa geli. 

"Dasar gila, kenapa kamu malah tertawa? Apa karena kelaparan jadi otakmu korslet!" sindir Mbak Rina heran. 

"Hahahaha .... Kalian pikir aku kelaparan ya! Aku bahkan sudah makan kenyang, ini lihat perutku sudah buncit," kataku sambil menepuk perutku. 

Mama dan Mbak Rina mencibir melihatku, "Halah, enggak usah bohong kamu. Bilang saja blom makan, kamu pikir kami bisa tertipu." 

"Kalo enggak percaya ya sudah, aku baru saja makan pakai itu. Lihat!" kataku sambil menunjuk tumpukan kotak makan dari restoran. 

Mbak Rina yang penasaran mendekat ke tempat sampah, matanya terbelalak. 

"Ini 'kan restoran tempat yang kita makan tadi, Ma!" ujar mbak Rina sambil mengambil dan mengangkat kotak nasi yang berlabel nama restoran. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status