Sebagai seorang istri walaupun di perlakukan kasar, Ratih tidak mengeluh. Namun, kesabarannya mencapai batas kala suaminya menjadi pelit. Hingga dirinya difitnah oleh mertua dan iparnya. Lukanya bertambah saat suaminya selingkuh. Ratih yang sudah tidak tahan segera meninggalkan suaminya, hingga Andre melarat dan menyesal.
Lihat lebih banyak"Ratih ... !" Teriak Mas Andre dari ruang depan.
Aku yang sedang mencuci piring di dapur tergopoh-gopoh menemui suamiku. Kulihat Mas Andre berkacak pinggang. "Ada apa, Mas? Masih pagi sudah teriak," kataku kesal. "Ada apa, ada apa! Mana teh manisnya? Kenapa enggak kamu buat?" tanyanya melotot. Aku segera berlalu menuju dapur ingin mengambil toples gula yang kosong, agar Mas Andre tau. "Hei, ditanya kok malah pergi! Dasar istri enggak ada sopan santun!" ejeknya. "Ini, Mas liat sendiri. Toples gula kosong, jadi aku enggak buat teh manis," jawabku sambil menunjukkan toples itu pada Mas Andre. "Halah, kamu 'kan bisa beli gula sebentar!" hardiknya lagi. "Mana uangnya, sini!" kataku sambil menadahkan tangan. "Uang apa? Bukankah aku udah ngasih lima puluh ribu tiap Minggu, hah! Apa itu enggak cukup? Makanya jadi istri jangan boros, anak saja belum ada, masa' uang segitu enggak cukup!" Lagi-lagi Mas Andre ngotot. Aku menghela nafas, rasanya ingin mencakar mukanya. Apa Mas Andre tidak berpikir, lima puluh ribu untuk seminggu itu tidak cukup bahkan sangat kurang. Aku sering berutang ke warung untuk menutupi kekurangan. Walaupun belum punya anak, tapi pengeluaran sudah banyak. Selama ini aku selalu mencatat pengeluaran, setelah mendapat uang dari Mas Andre aku segera mengatur untuk ini dan itu. Beli beras tujuh kilo untuk stok seminggu, ini lebih aku prioritaskan karena asal ada nasi makan pakai sambel atau tempe goreng pun cukup. Aku mesti beli beras banyak karena tiap hari masak satu kilo beras. Selain aku dan Mas Andre, mama mertua dan kakak ipar suka nebeng makan di rumah kami. Apalagi kakak ipar, sudah menikah tapi malas masak. Tidak ada uang yang selalu dijadikan alasan, padahal jika dilihat perhiasan di tangannya banyak. "Sudah sana beli gula, malah bengong!" bentak Mas Andre membuyarkan lamunanku. "Uangnya mana? Biar kubelikan!" "Enggak ada, utang dulu sana!" "Aku malu, Mas! Utang kita udah numpuk di warung, Mas saja enggak mau membayarnya. Pakai apa aku bayarnya? Aku juga enggak enak sama Wak Narti," keluhku. "Mas enggak mau tau, pokoknya teh manis kudu sudah ada sekarang!" Aku melengos membiarkan Mas Andre dan kembali ke dapur melanjutkan pekerjaan. Terdengar kembali teriakan dan umpatan Mas Andre, aku yang sudah terbiasa tidak ambil pusing. Bukan sekali itu saja Mas Andre mencela, aku tetap bersabar karena keadaan tapi lihatlah nanti Mas, aku akan balas perbuatanmu. Tidak lama terdengar bantingan pintu, Mas Andre pasti keluar, ya kemana lagi kalau bukan ke rumah mamanya. Rumah mertua persis di sebelah rumah kami dan rumah yang kami tempati ini adalah milik mertua yang diberikan saat kami menikah. Entah apa yang dilakukan Mas Andre di rumah mamanya. Mungkin saja dia minum teh manis dan sarapan. Seperti biasa kalo aku tidak membuat teh manis dan sarapan untuknya. Aku juga bukan sengaja, tiap tiga hari uang belanja sudah habis. Selesai mencuci piring, aku menyapu rumah. Sampai di teras rumah aku melihat Mas Andre di rumah mamanya akan berangkat kerja. Namun, sebelum pergi Mas Andre membuka dompet dan memberikan lembaran merah pada Mamanya serta lembaran biru pada kakak dan ponakannya. Melihat itu hatiku sangat sakit. Sebagai istri, aku hanya di kasih uang belanja seminggu lima puluh ribu, itupun masih menanggung makan mereka semua. Tidak terasa air mata menetes, namun aku segera menghapus karena tak ingin terlihat lemah dihadapan mereka. 'Dasar suami pelit!' sungutku kesal.Tahu sedang kuperhatikan, dengan angkuhnya Mas Andre pergi. Hingga Mas Andre menghidupkan motornya tetap tidak sedikitpun melihat ke arahku. Aku pun meneruskan menyapu teras hingga selesai. Kepergok sedang menatap Mas Andre, Mbak Rina kakak iparku dengan sengaja mengipas wajahnya dengan uang yang diberikan Mas Andre. Demi apa coba kalo bukan untuk memanasiku. "Duh, Andre baik banget ya Ma. Mau ngasih kita uang, kita bisa belanja banyak ini. Hahahaha ..." Ketawanya jahat. "Tentu dong, siapa lagi kalo bukan anak Mama," balas mertua sambil mencebik ke arahku. Aku yang tidak peduli tetap menyapu seraya mencoba mendengar apa yang akan mereka katakan selanjutnya. "Hei, Ratih! Jangan lupa nanti masak yang enak ya! Mama dan aku akan makan siang di rumahmu, bukankah tadi kamu eanggak buatkan teh manis dan sarapan untuk Andre. Istri macam apa kamu?" cemooh Mbak Rina. "Menantu kurang ajar kamu, masa' pagi-pagi suami mau kerja bukannya dilayani baik-baik malah mesti Mama yang mengurusnya. Trus apa gunanya kamu, hah!" hardik Mama. Aku yang sudah tidak tahan menjadi dongkol, lalu dengan memegang sapu mendekati mereka. Terlihat mbak Rina berjalan berlindung di belakang mertua. Dipikir aku mau memukulnya pakai sapu. "Maaf, Ma dan Mbak Rina. Sebelum kalian mencela ada bagusnya tuh anak Mama dinasehati. Sebagai suami saja enggak memenuhi nafkahnya. Ratih cuma dikasih uang belanja lima puluh ribu, apa kalian pikir uang segitu cukup?" kataku mendelik. "Abisnya kata Andre, kamu boros. Uang segitu sudah cukup untuk belanjalah, kamu saja yang enggak pinter ngaturnya," ucap Mbak Rina menyela. "Ya ampun, Mbak Rina memang enggak tau karena males masak. Kalian makan itu dari mana kaloau bukan aku yang masak? Sebaiknya Mbak Rina ngaca, apa mau aku yang ambilkan kacanya?" Aku terus melawan mereka. Biar mereka tidak terus menerus memijakku, selama ini aku sudah bersabar. Awalnya aku mengira Mas Andre tetap akan menjadi suami yang royal seperti saat dia berusaha menarik perhatian orang tuaku dulu. Setiap mengunjungi rumahku, Mas Andre banyak membawa oleh-oleh dan saat pulang Mas Andre juga menitipkan uang padaku. Katanya untuk jajanku. "Apa ini, Mas?" tanyaku saat Mas Andre mau pulang. "Ini sedikit dari Mas, ambillah untuk beli apapun yang kamu sukai," jawabnya seraya menyerahkan amplop. Aku yang awalnya menolak tapi tetap dipaksa menerimanya akhirnya aku terima dengan senang, kata orang-orang tidak baik menolak rezeki. Setelah Mas Andre pulang, aku yang penasaran segera membuka amplop pemberiannya. Mataku terbelalak saat melihat lembaran merah berjumlah lima lembar. Begitulah perhatian Mas Andre tiap Minggu datang, bahkan bapak dan ibu tahu hingga mereka pun luluh dan mengizinkan saat Mas Andre datang melamar. "Bapak dan ibu, saya sangat menyayangi Ratih. Saya janji akan bahagiakan Ratih sebagai istri saya kelak," ucap Mas Andre mengikrarkan janjinya. "Ya, bapak dan ibu merestui kalian. Semoga kalian samawa dan bahagia selalu," jawab bapak dan ibu terharu. "Aamiin," ucapku dan Mas Andre serentak. Selang sebulan kemudian, Mas Andre menikahiku dan memboyongku ke rumah mamanya. Kami menempati rumah sebelah agar bisa mandiri, rumah sebelah yang mulanya rumah kontrakan beralih menjadi milik kami. Beberapa bulan berumah tangga, sikap Mas Andre masih tetap royal. Namun, entah sejak kapan Mas Andre berubah. Kala itu aku yang sedang belanja di warung Wak Narti dikatai yang tidak enak oleh ibu-ibu. "Neng Ratih belanja ya?" tanya Bu Ratna. "Iya, Bu. Seperti biasa 'kan!" jawabku pendek sambil memilah sayur. "Neng Ratih kalo belanja jangan banyak-banyak, boros atuh! Kasian suaminya yang nyari duit, sudah capek tapi istri malah bisanya ngabisi duit," timpal Bu Widya sewot.Hari Minggu pun tiba, dari pagi sudah sudah mulai terlihat kesibukan. Para tetangga yang rewang sudah banyak yang berdatangan, membantu memasak di dapur. Sedari malam aku luluran dan memakai inai, sengaja sebelum subuh aku mandi agar segar seharian saat menjadi pengantin. Walaupun sudah pernah menikah tapi perasaan gugup dan tegang itu masih ada. Perias pengantin yang mendandani aku juga tak makan waktu lama karena sudah profesional dan ahli. Hingga Mas Gun dan keluarga besar datang, dimulailah ijab qobul. Aku duduk di sebelah Mas Gun yang dipakaikan selendang putih di kepala. Dengan lancar Mas Gun mengucap ijab qobul, yang dijawab sah oleh penghulu dan hadirin. Acara berlanjut hingga temu pengantin sampai selesai lalu setelah duduk di pelaminan maka anggota perwiritan ibu-ibu yang mendapat giliran marhaban. Bunyi gendang yang ditabuh serta doa dan nyanyian pengantin mengiringi. "Tiara, kamu cantik sayang!" bisik Mas Gun setelah acara selesai. Kami berdua tinggal duduk saja meny
Akhirnya sampai juga di kampung, aku membangunkan Nova yang terlelap tidur. Aku tak bisa tidur sama sekali karena Mas Gun mengajak ngobrol dan tertawa. "Mas, kejadian penculikan ini jangan beritahu pada orang tuaku ya! Tiara nggak ingin mereka jadi khawatir," kataku sebelum turun dari mobil. Mas Gun mengangguk dan mengedipkan matanya. Nova juga sudah kuperingatkan, lalu turun membantu mengambil koper di bagasi. Ibu menyambut kedatangan kami dengan senyum. "Oh, udah sampai kamu Nak! Datangnya kok rame-rame gini?" "Iya, Bu! Tadi sebenarnya cuma Nova yang akan mengantar, tapi Mas Gun minta ikut, katanya kangen sama ibu. Iya kan, Mas!" ujarku terkekeh. Mas Gun gelagapan karena sandiwaraku lalu terpaksa mengangguk juga. Mas Gun pasti tak menyangka aku sampai berkata itu. "Ya udah, ayo masuk dulu. Kebetulan ibu udah siap masak, kita makan dulu. Kalian pasti udah lapar, kan !" ajak ibu. "Assiiaap, Bu!" kelakar Mas Gun. Kami semua tertawa melihatnya, Mas Gun pasti sudah ingin mencicip
"Jadi, kalian bersengkongkol untuk menculikku!" hardikku marah. "Andre, lepaskan aku! Apa kamu nggak takut ditangkap polisi, pikirkan ibumu," sergahku. "Hahahaha ... Kamu pikir Andre akan mendengarkanmu setelah apa yang kamu perbuat pada dirinya. Kamu sungguh licik, dasar wanita penggoda yang merampas kebahagiaan orang!" cemooh Mona mencibir sinis. "Merampas kebahagiaan siapa? Kebahagiaan kamu gitu? Cih, seharusnya kamu tau diri kalo Mas Gun nggak tertarik padamu sedikitpun. Dasar penguntit!" aku kembali mengejeknya. Plak! "Apa kamu bilang? Penguntit? Awalnya aku mengejar Gunawan dan akan mendapatkannya tapi kamu datang merusak semua usahaku. Jadi, kamu harus membayarnya," ucap Mona meninggi. Pipiku yang ditampar terasa sakit dan perih. Kulihat Andre cuma diam saja, aku celingukan mencari Nova. Kemana dia? Nova pasti di tempat lain. "Andre, mau kita apakan ini Ratih?" tanya Mona melirik Andre. Andre cuma diam memandangku, lalu memandang kedua kakiku yang sedikit terbuka hingga
Hari pernikahan tinggal seminggu lagi, persiapan sudah delapan puluh persen. Tinggal menyebar undangan, untuk pesta di kampung memang tak banyak. Sekitar seribu undangan saja, karena kami pun tak banyak kenalan. Di kampung, ibu sudah menelepon memberitahukan persiapan pernikahan. Surat undangan sudah siap dicetak, tinggal menungguku datang untuk mengundang siapa saja. Ibu menyuruhku seminggu sebelum akad, sudah pulang. Aku pun mempersiapkan diri termasuk urusan restoran. Semua karyawan aku liburkan sehari pas pesta pernikahan. Mereka menyambut dengan gembira, setelah mendengar aku akan menikah. Mereka ingin menghadiri pernikahanku, aku bilang nanti saja saat pesta ke dua di gedung. Agar tidak terlalu jauh dari tempat tinggal, mereka pun menyetujuinya. Gegas aku masukkan baju ke koper, selama seminggu aku akan berada di kampung. Setelah seminggu pesta di kampung baru ngunduh temanten di gedung. Nova membantuku membawa koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil. Sengaja meminta Nova ya
Mas Gun kembali mengajak ke Mall, membeli barang untuk hantaran nanti. Kali ini aku yang memilih karena aku yang tau ukurannya, seperti mukena set, sepatu, sampai BH dan CD hingga saat aku mengangkatnya Mas Gun memalingkan wajah karena malu. Aku pun tertawa terbahak-bahak. "Oh iya, Mas gimana ranjang dan lemari apa udah disiapkan juga?" tanyaku kepo. "Sudah disiapkan Mama jauh-jauh hari, udah ada di rumah. Apa Tiara mau melihat ke rumah?" tanya Mas Gun. "Boleh, Mas! Tiara juga ingin tau kan blom pernah ke rumah Mas, sekalian ketemu Mama Laras," jawabku. Tentu saja ke rumah Mas Gun juga bagus, barang-barang yang dibeli tadi juga di taruh di rumah Mas Gun dulu. Di bungkus yang cantik untuk hantaran nanti. Setibanya di depan gerbang rumah, lagi-lagi aku melongo. Ini kan bukan rumah tapi istana, indah dan besar. Bahkan halaman yang begitu luas membuat mobil agak masuk ke dalam lagi. Mas Gun memencet mobil, terlihat satpam tergopoh-gopoh membuka gerbang. Mas Gun melajukan mobilnya ma
Hari pernikahan dengan Mas Gun semakin dekat. Rencana setelah sidang cerai selesai, dalam dua minggu Mas Gun akan melamarku. Masa iddahku juga sudah selesai, kusambut dengan bahagia hari yang akan membawaku menuju pelaminan. Ibu sudah balik kampung duluan untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan aku masih di restoran mengurus segala tetebengeknya. Sesuai musyawarah, pesta pernikahan akan diadakan dua kali. Pertama di kampung dan kedua di gedung. Siang itu Mas Gun datang, seperti biasa akan makan siang. Kali ini dia datang sendiri, sekalian membicarakan pernikahan kami. "Tiara, Mas sungguh senang saat mendengar ceritamu tentang sidang itu. Apalagi Mama udah nggak sabar melihat kita menikah," kata Mas Gun cekikan. "Alhamdulillah, Mas! Sidang berjalan lancar. Gimana persiapan pernikahan kita Mas?" tanyaku menatap pria tampan di depanku. "Untuk mahar, Tiara mau yang mana? Oh iya siap makan kita akan mencari cincin nikah dulu, kamu mau kan?" "Baik, Mas! Kalo gitu Tiara siap-siap dul
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen