Share

3. Cuma Butuh Istirahat

Ayra pergi ke kota. Dirinya berjalan tak tentu arah di terotoar. Pikirannya berkelana kemana-mana. Ia menyeret tubuh yang serasa lemas. Dengan kupluk jaket yang ia gunakan menutup kepalanya. Tangannya bersembunyi di balik saku jaket.

Jangan tanya apa yang mau ia lakukan. Ayra juga tidak tau apa. Harapan dan angan akan segera menikah di pacahkan di waktu yang sangat menyakitkan.

Bisa bernafas dan makan saja masih untung. Ia berjalan-jalan begini menyusuri malam di tengah kota yang ramai ini juga agar tidak gila.

Setidaknya dingin angin malam sedikit banyak mengobati rasa sakit di hatinya.

Tanpa Ayra sadari, ia berjalan kaki terlalu jauh dari keramaian. Ia sampai di taman kota yang lebih sepi dari jalanan tadi.

Alih-alih ingin kembali ke keramaian, rasanya ia lebih tenang bila duduk di kursi taman ini sembari merasakan hembusan angin malam.

Ia membuka handphone, jarinya iseng membuka sosial media. Yang pada akhirnya membuat Ayra menyesal.

Jesikaa.Jes Akhirnya setelah beberapa bulan saling menguatkan, kita jadi yakin bersama adalah pilihan tepat.

Maaf. Kebahagiaan kami membuat kamu sakit. Tapi kami juga berhak bahagia.

Jesika_friends 1 jam

Cocok banget. Kalian berhak bahagia.

Balas

Jesika_friends 2 jam

Dari dulu aku udah feeling kalau kalian berdua lebih cocok. Semoga rumah tangga kalian bahagia.

Balas

Jesika_friends 1 jam

Wah. Selamat buat Jesika dan Ari. Akhirnya kalian bisa bersama. Kalian memang gak seharusnya mengorbankan cinta.

Balas

Jesika_friends 3 jam

Setelah berjuang buat bersama ya. Akhirnya kalian bisa bahagia. Jangan hiraukan yang lama Ari. Yang baru lebih bersinar.

Balas

Ayra menggigit punggung jemarinya. Sebisa mungkin menahan rasa yang ingin meledak dalam hatinya.

Sebuah foto yang penuh dengan senyuman lebar itu, semakin memperdalam luka di hatinya. Kolom komentar yang di penuhi selamat, seolah menempatkan dirinya sebagai orang yang pernah mengganggu dua insan yang sedang tersenyum bahagia itu.

Sebelum kehilangan kendali, Ayra menutup sosial medianya. Ia mematikan daya pada handphonenya.

Ia memejamkan mata sembari bersandar merasakan sentuhan angin di pipinya. Berusaha menenangkan diri, walau di hatinya sedang terjadi kebakaran.

"Eh, ada cewek!? Lagi apa nih? Butuh abang temani?"

Ayra spontan membuka mata. Sekali lihat saja Ayra sudah bisa menyimpulkan dua orang ini preman.

Ia segera berdiri. Berusaha menjauh.

Sialnya lengannya di cengkram.

"Mau kemana manis? Kok buru-buru?"

"Tolong. Jangan ganggu saya," pinta Ayra baik-baik.

Ia menyentak lengannya hingga terlepas. Dirinya cepat menjauh.

Biasanya ada Satpol PP yang berkeliaran di taman ini. Tapi tidak ada satupun dari mereka sekarang.

Ayra baru sadar kalau sekarang bukan malam minggu. Satpol PP itu biasanya di suruh jaga taman karena banyak pengunjung yang rata-rata anak muda pacaran.

Semakin cepat langkahnya, makin cepat juga langkah kedua preman itu.

Ayra makin di buat panik. Dirinya seorang di permainkan karena ejekan dari mulut mereka dan langkah kaki keduanya terasa menakutkan.

"Buru-buru sekali cantik. Tunggu abang. Kamu mau kemana sih?"

"Iya. Abang ketinggalan nih. Kamu jangan takut. Kami cuma mau main-main aja. Duduk bareng kami ke warung ujung sana."

Tawa melecehkan keduanya makin membuat Ayra merinding. Mereka seolah sedang mempermainkan Ayra. Masih jauh dirinya dari keramaian. Hingga tipis kemungkinan ada yang menolong.

Dirinya tak mempedulikan keduanya. Terus berjalan menuju kerumunan orang banyak.

Ayra tersentak dengan teriakan kecil. Tubuhnya di tarik hingga terasa membentur sesuatu.

"Sayang? Aku cari kamu dari tadi."

Ia di buat melongo sejenak saat mengenali dengan jelas siapa yang bicara dengannya ini.

"Abang-abang? Ada urusan apa dengan calon istri saya?"

Kedua preman itu tak menjawab lalu mundur perlahan. Hingga keduanya benar-benar pergi, pelukan di tubuh Ayra terlepas.

"Kamu gak kenapa-napa?" tanyanya.

Ayra menggeleng. "Kamu kok di sini?"

Azri tertawa. "Harusnya aku yang tanya kenapa kamu bisa ada di sini. Sendirian, malam-malam. Inget, kamu masih gadis."

"Aku. . . ," Ayra menghela nafas. "Gak apa-apa. Makasih," katanya.

"Kamu butuh sesuatu?" tanya Azri.

Ayra menggeleng. "Aku permisi."

Ia berjalan meninggalkan Azri menuju keramaian sambil berniat akan pulang dengan memesan ojek.

Hampir saja terjadi hal buruk. Ayra merasa dirinya harus bersyukur. Dan segera pulang agar kejadian ini tidak terulang lagi. Bisa saja dirinya berakhir lebih mengenaskan dari gagal lamaran.

Tapi langkah yang mengikutinya membuat Ayra sontak melihat ke belakang.

"Aku gak bisa biarin kamu pergi sendiri, Ay."

Azri berdiri di belakanganya.

"Gak apa-apa. Aku bakal pesan ojek terus pulang."

"Aku antar, ya?" ajak Azri.

"Gak usah."

Ayra melanjutkan jalannya, namun baru beberapan langkah ia sudah di buat jengkel karena tau Azri masih mengikutinya.

"Gak usah ikuti aku. Aku bisa pulang sendiri," ujar Ayra.

Lelaki itu bukannya membiarkan dirinya pergi, malah semakin merapatkan jarak mereka. Mungkin hanya seperempat meter jarak yang memisahkan mereka.

"Aku punya dua alasan kenapa harus nganterin kamu pulang, Ay." Azri tetap kuekeh. "Sebagai calon suami kamu, aku harus memastikan kamu pulang dengan selamat. Dan sebagai orang terdekat bapak kamu, aku gak bisa biarin kamu pulang sendiri malam-malam gini."

Ayra diam.

"Aku antar ya?" pinta Azri sekali lagi.

Akhirnya mau tak mau Ayra mengikuti keinginan Azri yang hendak mengantarnya. Dirinya sudah terlalu lelah untuk berdebat. Apalagi berdebat dengan Azri yang pada dasarnya sudah keras kepala.

Mereka jalan bersama ke parkiran motor. Tepat di mana motor butut Azri terpakir.

Walaupun motor butut, tampak terawat dengan pajak yang masih hidup dan komponen layak pakai.

Motor yang masih bagus tapi gak bayar pajak sih kalah sama motor butut Azri.

Ayra mencari sesuatu dalam tas selempangnya.

Ia di buat panik karena benda yang di carinya tak ada di sana.

"Kenapa, Ay?" tanya Azri.

"Handphoneku, hilang." Ayra merogoh tasnya dengan panik.

Azri meraih tas selempang itu dan mencarikan untuk Ayra.

Benar. Tak ada handphone di dalamnya.

Ayra semakin panik dengan sudut matanya yang berair.

"Duh. Gimana!? Jangan-jangan ketinggalan di bangku taman tadi," gumamnya dengan nafas tersengal. Seolah Ayra berusaha menahan tangis.

Ayra seolah hendak kembali ke sana namun lengannya di tangan oleh Azri.

"Cek saku jaket kamu," ujarnya.

Ayra sempat terdiam setengah detik lalu merogong saku jaketnya.

Benda itu di sana.

Harusnya Ayra memang bisa menemukan handphonenya karena di saku jaketnya Handphone itu tercetak cukup jelas.

"Udah. Naik," kata Azri membuyarkan lamunan Ayra.

Kenapa dirinya jadi kurang fokus begini. Hatinya juga dengan mudah bisa merasa sedih hingga mengundang air mata.

Di atas motor mereka tak saling berbincang satu sama lain.

Sejujurnya Ayra cukup tau Azri. Lelaki ini biasanya sering di suruh bapak kalau lagi butuh bantuan. Lalu akan di upah oleh Bapak. Setaunya begitu.

Mungkin begitulah pria ini masih bisa hidup walau pengangguran.

Kata orang, Azri sering dikasih makan gratis sama bapak dan istrinya. Makanya gak kerja tetap bisa hidup. Kalau udah sepuh sih gak masalah. Ini masih sehat walafiat. Kalau di kasih kerjaan kasar masih bisa ngerjain.

Dasarnya males aja kali.

Mereka cukup baik kalau berbincang saat Ayra ke rumah bapaknya dulu. Sesungguhnya Ayra tak peduli dengan lelaki ini. Jadi mau kata orang apapun, ia tidak peduli dan tetap akan biasa saja dengan Azri.

Tapi niat bapak yang mau menikahkan dirinya dengan Azri seolah membuat dinding tebal antara mereka.

Ayra jadi canggung bila berdekatan dengan Azri.

"Ini bukan jalan ke rumahku!" pekik Ayra saat sadar jalanannya yang berbeda.

Ia waspada dan panik di saat yang bersamaan.

"Tenang. Ini jalan ke rumah Bapak."

"Tapi kenapa ke rumah Bapak?"

"Istirahat di rumah Bapak. Kamu butuh suasana tenangkan?"

Beberapa saat ia terpaku dengan pertimbangan.

Memang kalau di rumah Bapak tidak akan ada yang mengoceh itu ini. Tapi, kalau ke rumah Bapak ada. . . .

"Ibu tiri kamu sedang tidak ada. Dia di rumah sakit menemani adiknya yang opname."

Seolah bisa membaca ketidak inginan Ayra berjumpa dengan perempuan itu, Azri cukup membuat dirinya tenang.

Mereka sampai di rumah Bapak tak lama setelahnya.

Bapak menyambut dirinya dengan wajah biasa karena tau Ayra akan datang dan pergi sesuka hati ke rumah ini.

Tapi saat melihat Azri yang mengantarnya kemari, beliau terlihat kaget.

"Ayra mau menginap," ujarnya saat bapak seperti akan bertanya.

Beliau mengangguk mempersilahkan Ayra masuk ke kamar.

****

Setidaknya tubuhnya tidak lagi kelelahan. Ayra bangun dengan tubuh yang lebih segar walau hati dan pikirannya masih sekacau di hari batal lamaran.

Ternyata yang dirinya butuhkan memang cuma istirahat lebih lama.

Ia melihat jam di dinding menujukan pukul 9 pagi. Sangat lama sekali ia tidur. Tapi rasanya masih kurang untuk menyembuhkan penat tubuh dan hatinya.

Pintu kamarnya di ketuk oleh seseorang. Ayra berjalan lalu membuka pintunya.

"Ay? Kamu mau makan apa pagi ini?" tanya orang dihadapannya dengan ceria.

"Aku langsung pulang aja. Gak sarapan," ujar Ayra dengan wajah di tekuk.

Khas dirinya kalau lagi bertemu ibu tirinya ini.

"Ibu belikan nasi bungkus deh ya? Kamu makan dulu."

Ayra menggeleng. Ia menutup pintu lalu mengambil tasnya.

Jujur, ia paling benci kalau istri ayahnya mengisyaratkan diri sebagai ibu.

Ia tak suka berlama-lama melihat orang itu. Dirinya bersiap pulang.

"Azri akan antar kamu pulang, Ay." Bapak menahan Ayra yang mau keluar.

"Gak usah. Ayra bisa pulang sendiri."

"Bapak mau kamu pulang dengan Azri."

"Pak. Sekali aja. Aku cuma mau sendiri."

"Udah, Mas. Jangan di debat."

Ayra memutar bola matanya malas melihat ibu tirinya itu.

Dasar pelakor!

Di mana-mana pelakor sama saja!

Ayra pergi meninggalkan rumah dengan perasaan kesalnya.

Baru saja keluar rumah, ia sudah melihat Azri dengan muka bantalnya memanaskan motornya itu.

"Pulang sekarang?" tanyanya.

Ayra tak mau menjawab. Ia melengos pergi.

Rumah Azri berada di samping rumah bapak. Katanya sih rumah itu rumah bapak yang di sewakan pada Azri. Bayarnya ya gitu. Pakai kasian. Makanya di kasih rumah sama bapak cuma-cuma karena kasian.

"Langsung ke rumah atau mau mampir dulu?"

Azri di atas motornya menghentikan langkah Ayra.

"Aku mau pulang sendiri," kata Ayra.

"Gak apa-apa aku antar. Aku free kok."

"Pengangguran emang selalu free. Namanya juga pengangguran," kata Ayra terbawa rasa kesal.

Padahal ia selama ini tak pernah mengatai orang seperti Azri. Tapi dirinya sudah kepalang greget dengan lelaki ini.

"Iya. Bagukan aku pengangguran? Jadi bisa nganter kamu."

Ayra ternganga melihat balasan sangat santai dari pria itu. Tidak ada tersinggungnya sama sekali.

"Ya sudah. Naik."

Entah karena sudah lelah berdebat atau kenapa, pokoknya ia naik saja ke motor itu. Padahal niatnya ia mau makan dulu di jalan nanti.

Tapi kalau ngomong sama Azri kalau dirinya mau singgah ke warung, nanti malah harus bayarin dia. Buang-buang uang aja.

Lagian gak heran kalau Azri pengangguran. Jam segaini baru bangun. Kalau ia bangun jam 9 itu karena sedang di landa gundah gulana. Biasanya sebelum jam 5 subuh ia sudah bangun kok.

Seperti kemarin, mereka tak ngobrol sama sekali. Lagian mau ngobrolin apa. Ayra tak mampu berbasa basi. Tenaganya cepat habis.

Setelah sampai di rumah, ia mengeluarkan selembar uang 20 ribuan.

"Buat ganti ongkos bensin," Kata Ayra pada Azri.

Tanpa berfikir panjang laki-laki itu menyambutnya.

Ayra memutar bola mata. Namun tangannya di tahan oleh Azri

Uang 20 ribu berubah jadi 100 ribu.

"Buat beli seblak." katanya lalu tertawa kecil dan pergi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status