Ayra pergi ke kota. Dirinya berjalan tak tentu arah di terotoar. Pikirannya berkelana kemana-mana. Ia menyeret tubuh yang serasa lemas. Dengan kupluk jaket yang ia gunakan menutup kepalanya. Tangannya bersembunyi di balik saku jaket.
Jangan tanya apa yang mau ia lakukan. Ayra juga tidak tau apa. Harapan dan angan akan segera menikah di pacahkan di waktu yang sangat menyakitkan.Bisa bernafas dan makan saja masih untung. Ia berjalan-jalan begini menyusuri malam di tengah kota yang ramai ini juga agar tidak gila.Setidaknya dingin angin malam sedikit banyak mengobati rasa sakit di hatinya.Tanpa Ayra sadari, ia berjalan kaki terlalu jauh dari keramaian. Ia sampai di taman kota yang lebih sepi dari jalanan tadi.Alih-alih ingin kembali ke keramaian, rasanya ia lebih tenang bila duduk di kursi taman ini sembari merasakan hembusan angin malam.Ia membuka handphone, jarinya iseng membuka sosial media. Yang pada akhirnya membuat Ayra menyesal.Jesikaa.Jes Akhirnya setelah beberapa bulan saling menguatkan, kita jadi yakin bersama adalah pilihan tepat.Maaf. Kebahagiaan kami membuat kamu sakit. Tapi kami juga berhak bahagia.Jesika_friends 1 jamCocok banget. Kalian berhak bahagia.BalasJesika_friends 2 jamDari dulu aku udah feeling kalau kalian berdua lebih cocok. Semoga rumah tangga kalian bahagia.BalasJesika_friends 1 jamWah. Selamat buat Jesika dan Ari. Akhirnya kalian bisa bersama. Kalian memang gak seharusnya mengorbankan cinta.BalasJesika_friends 3 jamSetelah berjuang buat bersama ya. Akhirnya kalian bisa bahagia. Jangan hiraukan yang lama Ari. Yang baru lebih bersinar.BalasAyra menggigit punggung jemarinya. Sebisa mungkin menahan rasa yang ingin meledak dalam hatinya.Sebuah foto yang penuh dengan senyuman lebar itu, semakin memperdalam luka di hatinya. Kolom komentar yang di penuhi selamat, seolah menempatkan dirinya sebagai orang yang pernah mengganggu dua insan yang sedang tersenyum bahagia itu.Sebelum kehilangan kendali, Ayra menutup sosial medianya. Ia mematikan daya pada handphonenya.Ia memejamkan mata sembari bersandar merasakan sentuhan angin di pipinya. Berusaha menenangkan diri, walau di hatinya sedang terjadi kebakaran."Eh, ada cewek!? Lagi apa nih? Butuh abang temani?"Ayra spontan membuka mata. Sekali lihat saja Ayra sudah bisa menyimpulkan dua orang ini preman.Ia segera berdiri. Berusaha menjauh.Sialnya lengannya di cengkram."Mau kemana manis? Kok buru-buru?""Tolong. Jangan ganggu saya," pinta Ayra baik-baik.Ia menyentak lengannya hingga terlepas. Dirinya cepat menjauh.Biasanya ada Satpol PP yang berkeliaran di taman ini. Tapi tidak ada satupun dari mereka sekarang.Ayra baru sadar kalau sekarang bukan malam minggu. Satpol PP itu biasanya di suruh jaga taman karena banyak pengunjung yang rata-rata anak muda pacaran.Semakin cepat langkahnya, makin cepat juga langkah kedua preman itu.Ayra makin di buat panik. Dirinya seorang di permainkan karena ejekan dari mulut mereka dan langkah kaki keduanya terasa menakutkan."Buru-buru sekali cantik. Tunggu abang. Kamu mau kemana sih?""Iya. Abang ketinggalan nih. Kamu jangan takut. Kami cuma mau main-main aja. Duduk bareng kami ke warung ujung sana."Tawa melecehkan keduanya makin membuat Ayra merinding. Mereka seolah sedang mempermainkan Ayra. Masih jauh dirinya dari keramaian. Hingga tipis kemungkinan ada yang menolong.Dirinya tak mempedulikan keduanya. Terus berjalan menuju kerumunan orang banyak.Ayra tersentak dengan teriakan kecil. Tubuhnya di tarik hingga terasa membentur sesuatu."Sayang? Aku cari kamu dari tadi."Ia di buat melongo sejenak saat mengenali dengan jelas siapa yang bicara dengannya ini."Abang-abang? Ada urusan apa dengan calon istri saya?"Kedua preman itu tak menjawab lalu mundur perlahan. Hingga keduanya benar-benar pergi, pelukan di tubuh Ayra terlepas."Kamu gak kenapa-napa?" tanyanya.Ayra menggeleng. "Kamu kok di sini?"Azri tertawa. "Harusnya aku yang tanya kenapa kamu bisa ada di sini. Sendirian, malam-malam. Inget, kamu masih gadis.""Aku. . . ," Ayra menghela nafas. "Gak apa-apa. Makasih," katanya."Kamu butuh sesuatu?" tanya Azri.Ayra menggeleng. "Aku permisi."Ia berjalan meninggalkan Azri menuju keramaian sambil berniat akan pulang dengan memesan ojek.Hampir saja terjadi hal buruk. Ayra merasa dirinya harus bersyukur. Dan segera pulang agar kejadian ini tidak terulang lagi. Bisa saja dirinya berakhir lebih mengenaskan dari gagal lamaran.Tapi langkah yang mengikutinya membuat Ayra sontak melihat ke belakang."Aku gak bisa biarin kamu pergi sendiri, Ay."Azri berdiri di belakanganya."Gak apa-apa. Aku bakal pesan ojek terus pulang.""Aku antar, ya?" ajak Azri."Gak usah."Ayra melanjutkan jalannya, namun baru beberapan langkah ia sudah di buat jengkel karena tau Azri masih mengikutinya."Gak usah ikuti aku. Aku bisa pulang sendiri," ujar Ayra.Lelaki itu bukannya membiarkan dirinya pergi, malah semakin merapatkan jarak mereka. Mungkin hanya seperempat meter jarak yang memisahkan mereka."Aku punya dua alasan kenapa harus nganterin kamu pulang, Ay." Azri tetap kuekeh. "Sebagai calon suami kamu, aku harus memastikan kamu pulang dengan selamat. Dan sebagai orang terdekat bapak kamu, aku gak bisa biarin kamu pulang sendiri malam-malam gini."Ayra diam."Aku antar ya?" pinta Azri sekali lagi.Akhirnya mau tak mau Ayra mengikuti keinginan Azri yang hendak mengantarnya. Dirinya sudah terlalu lelah untuk berdebat. Apalagi berdebat dengan Azri yang pada dasarnya sudah keras kepala.Mereka jalan bersama ke parkiran motor. Tepat di mana motor butut Azri terpakir.Walaupun motor butut, tampak terawat dengan pajak yang masih hidup dan komponen layak pakai.Motor yang masih bagus tapi gak bayar pajak sih kalah sama motor butut Azri.Ayra mencari sesuatu dalam tas selempangnya.Ia di buat panik karena benda yang di carinya tak ada di sana."Kenapa, Ay?" tanya Azri."Handphoneku, hilang." Ayra merogoh tasnya dengan panik.Azri meraih tas selempang itu dan mencarikan untuk Ayra.Benar. Tak ada handphone di dalamnya.Ayra semakin panik dengan sudut matanya yang berair."Duh. Gimana!? Jangan-jangan ketinggalan di bangku taman tadi," gumamnya dengan nafas tersengal. Seolah Ayra berusaha menahan tangis.Ayra seolah hendak kembali ke sana namun lengannya di tangan oleh Azri."Cek saku jaket kamu," ujarnya.Ayra sempat terdiam setengah detik lalu merogong saku jaketnya.Benda itu di sana.Harusnya Ayra memang bisa menemukan handphonenya karena di saku jaketnya Handphone itu tercetak cukup jelas."Udah. Naik," kata Azri membuyarkan lamunan Ayra.Kenapa dirinya jadi kurang fokus begini. Hatinya juga dengan mudah bisa merasa sedih hingga mengundang air mata.Di atas motor mereka tak saling berbincang satu sama lain.Sejujurnya Ayra cukup tau Azri. Lelaki ini biasanya sering di suruh bapak kalau lagi butuh bantuan. Lalu akan di upah oleh Bapak. Setaunya begitu.Mungkin begitulah pria ini masih bisa hidup walau pengangguran.Kata orang, Azri sering dikasih makan gratis sama bapak dan istrinya. Makanya gak kerja tetap bisa hidup. Kalau udah sepuh sih gak masalah. Ini masih sehat walafiat. Kalau di kasih kerjaan kasar masih bisa ngerjain.Dasarnya males aja kali.Mereka cukup baik kalau berbincang saat Ayra ke rumah bapaknya dulu. Sesungguhnya Ayra tak peduli dengan lelaki ini. Jadi mau kata orang apapun, ia tidak peduli dan tetap akan biasa saja dengan Azri.Tapi niat bapak yang mau menikahkan dirinya dengan Azri seolah membuat dinding tebal antara mereka.Ayra jadi canggung bila berdekatan dengan Azri."Ini bukan jalan ke rumahku!" pekik Ayra saat sadar jalanannya yang berbeda.Ia waspada dan panik di saat yang bersamaan."Tenang. Ini jalan ke rumah Bapak.""Tapi kenapa ke rumah Bapak?""Istirahat di rumah Bapak. Kamu butuh suasana tenangkan?"Beberapa saat ia terpaku dengan pertimbangan.Memang kalau di rumah Bapak tidak akan ada yang mengoceh itu ini. Tapi, kalau ke rumah Bapak ada. . . ."Ibu tiri kamu sedang tidak ada. Dia di rumah sakit menemani adiknya yang opname."Seolah bisa membaca ketidak inginan Ayra berjumpa dengan perempuan itu, Azri cukup membuat dirinya tenang.Mereka sampai di rumah Bapak tak lama setelahnya.Bapak menyambut dirinya dengan wajah biasa karena tau Ayra akan datang dan pergi sesuka hati ke rumah ini.Tapi saat melihat Azri yang mengantarnya kemari, beliau terlihat kaget."Ayra mau menginap," ujarnya saat bapak seperti akan bertanya.Beliau mengangguk mempersilahkan Ayra masuk ke kamar.****Setidaknya tubuhnya tidak lagi kelelahan. Ayra bangun dengan tubuh yang lebih segar walau hati dan pikirannya masih sekacau di hari batal lamaran.Ternyata yang dirinya butuhkan memang cuma istirahat lebih lama.Ia melihat jam di dinding menujukan pukul 9 pagi. Sangat lama sekali ia tidur. Tapi rasanya masih kurang untuk menyembuhkan penat tubuh dan hatinya.Pintu kamarnya di ketuk oleh seseorang. Ayra berjalan lalu membuka pintunya."Ay? Kamu mau makan apa pagi ini?" tanya orang dihadapannya dengan ceria."Aku langsung pulang aja. Gak sarapan," ujar Ayra dengan wajah di tekuk.Khas dirinya kalau lagi bertemu ibu tirinya ini."Ibu belikan nasi bungkus deh ya? Kamu makan dulu."Ayra menggeleng. Ia menutup pintu lalu mengambil tasnya.Jujur, ia paling benci kalau istri ayahnya mengisyaratkan diri sebagai ibu.Ia tak suka berlama-lama melihat orang itu. Dirinya bersiap pulang."Azri akan antar kamu pulang, Ay." Bapak menahan Ayra yang mau keluar."Gak usah. Ayra bisa pulang sendiri.""Bapak mau kamu pulang dengan Azri.""Pak. Sekali aja. Aku cuma mau sendiri.""Udah, Mas. Jangan di debat."Ayra memutar bola matanya malas melihat ibu tirinya itu.Dasar pelakor!Di mana-mana pelakor sama saja!Ayra pergi meninggalkan rumah dengan perasaan kesalnya.Baru saja keluar rumah, ia sudah melihat Azri dengan muka bantalnya memanaskan motornya itu."Pulang sekarang?" tanyanya.Ayra tak mau menjawab. Ia melengos pergi.Rumah Azri berada di samping rumah bapak. Katanya sih rumah itu rumah bapak yang di sewakan pada Azri. Bayarnya ya gitu. Pakai kasian. Makanya di kasih rumah sama bapak cuma-cuma karena kasian."Langsung ke rumah atau mau mampir dulu?"Azri di atas motornya menghentikan langkah Ayra."Aku mau pulang sendiri," kata Ayra."Gak apa-apa aku antar. Aku free kok.""Pengangguran emang selalu free. Namanya juga pengangguran," kata Ayra terbawa rasa kesal.Padahal ia selama ini tak pernah mengatai orang seperti Azri. Tapi dirinya sudah kepalang greget dengan lelaki ini."Iya. Bagukan aku pengangguran? Jadi bisa nganter kamu."Ayra ternganga melihat balasan sangat santai dari pria itu. Tidak ada tersinggungnya sama sekali."Ya sudah. Naik."Entah karena sudah lelah berdebat atau kenapa, pokoknya ia naik saja ke motor itu. Padahal niatnya ia mau makan dulu di jalan nanti.Tapi kalau ngomong sama Azri kalau dirinya mau singgah ke warung, nanti malah harus bayarin dia. Buang-buang uang aja.Lagian gak heran kalau Azri pengangguran. Jam segaini baru bangun. Kalau ia bangun jam 9 itu karena sedang di landa gundah gulana. Biasanya sebelum jam 5 subuh ia sudah bangun kok.Seperti kemarin, mereka tak ngobrol sama sekali. Lagian mau ngobrolin apa. Ayra tak mampu berbasa basi. Tenaganya cepat habis.Setelah sampai di rumah, ia mengeluarkan selembar uang 20 ribuan."Buat ganti ongkos bensin," Kata Ayra pada Azri.Tanpa berfikir panjang laki-laki itu menyambutnya.Ayra memutar bola mata. Namun tangannya di tahan oleh AzriUang 20 ribu berubah jadi 100 ribu."Buat beli seblak." katanya lalu tertawa kecil dan pergi."Ayra di dalam." Yang menunggunya ternyata bos dari istrinya. Baru saja ia menaiki lorong, Bu Adelia sudah menunggunya di depan kamar rawat.Azri segera masuk ke dalam."Dia masih belum sadar sampai sekarang," ucap Adelia saat Azri terpaku melihat istrinya terbaring di atas bangsal rumah sakit.Azri merengkuh tubuh Ayra tak kuasa menahan rasa yang bergejolak dalam dirinya melihat sang istri di sini. Atas alasan apa dan kejadian apa yang menimpa istrinya."Tenang. Dia baik-baik saja. Dokter bilang dia cuma kecapean. Tapi Doktar bilang ingin bertemu denganmu. Katanya ada yang mau di sampaikan.""Ayra kenapa? Dia. . . ." Suara Azri tercekat hendak menanyakan apa yang membuat istrinya sampai berakhir di rumah sakit."Handphone Ayra kehabisan batrai. Jadi kami tidak bisa langsung menghubungimu.""Apa yang terjadi dengan Ayra?""Ayra pingsan saat bersama Fandi. Dia menggunakan handphone adm
Sejak selesai acara resepsi beberapa bulan lalu, Azri dan Ayra memutuskan tinggal di apartement. Tidak lagi tinggal di kampung di rumah bapak Rahman.Apartement yang mereka tinggali pula, bukan tempat tinggal Azri yang dulu.Rupanya sebelum acara resepsi Azri membeli apartement baru dan menjual yang lama. Pokoknya Azri kali ini benar-benar mempersiapkan kehidupan mereka ke depannya dengan jauh lebih baik.Sudah hampir 5 bulanan lebih mereka tinggal di sini."Malam ini jadi nginap di rumah bapak dan kak Ambar, kan?" Azri keluar dari ruang kerjanya dengan earphone di lehernya. Tampak wajah lelah pria itu karena bekerja hampir semalaman."Iya. Aku sudah siapkan barang kita."Ayra masih sibuk masak untuk makan siang mereka. Dirinya menyempatkan diri masak dulu sebelum berangkat kerja.Tak lupa ia juga menyiapkan masakan untuk di bawa nanti malam. Sedikit cemilan buat bapaknya dan kak Ambar. Jadi tak
Jesika duduk menunduk di sebuah taman yang cukup sepi. Ia mengenakan masker wajah, dan kacamata menutupi wajahnya. Topi lebar juga ia kenakan agar tidak dikenali.Dengan memegang sebuah undangan pernikahan, senyum dua insan yang tampak berbahagia dalam undangan itu membuat hatinya perih.Kejadian saat dirinya melawan suami dan mertuanya berbuah bahkan sampai pembicaraan perceraian. Batin Jesika tak henti-hentinya merasa nyeri dengan hal yang menimpanya.Segala bentuk kebahagiaan yang Jesika bayangkan setelah menikah dengan Ari, hanya tinggal bayangan. Bahkan tak pernah ada kebahagiaan yang nyata untuknya.Sekarang, hidupnya hancur sehancur-hancurnya. Berita perselingkuhan Jesika dan atasannya di bongkar istri Jacob. Bahkan istri atasannya yang notabenenya adalah seorang model, menyewa infotement gosib untuk mempermalukannya.Wajahnya terpampang di portal-portal gosib sebagai pelakor yang sudah tidur dengan suaminya.T
Ayra tak menyangka Azri bisa menemukan nama teman-teman sekolahnya. Bahkan teman-teman dekat masa kuliahnya. Ibu kostnya dulu, bahkan sampai orang-orang yang pernah berkenalan dengannya sesama penganjar bimbel. Semua ada dalam daftar list tamu undangan. Segelas es susu coklat tersaji di hadapannya. Lalu Azri yang duduk di kursi dengan wajah lelah. "Ada lagi yang mau di masukan dalam list?" tanya Azri lalu menguap. Undangan belum di sebar karena Ayra mau memeriksa list undangannya dulu. "Sudah cukup kok." Azri mengangguk kecil. Ia menghubungi tim WO dengan handphonenya. Detail kecil seperti menyebar undangan pun Azri gunakan tim WO nya. Walau harus bayar lebih, tapi pekerjaan jadi lebih mudah. "Kamu mau tidur aja gak? Kayaknya ngantuk," kata Ayra. "Enggaklah. Aku mau nemenin kamu coba gaunnya." Mereka menunggu di sebuah tempat perancang busana pernikahan. Padahal sepertinya Azri butuh istirahat.
Azri berjalan dengan langkah lemas. Hampir semalaman ia tak tidur mencari Ayra yang pergi setelah kejadian gila tadi malam.Saat maghrib menjelang, Ayra menghubunginya jika akan pulang terlambat karena ada urusan di bimbelnya. Hingga isya, Ayra tak kunjung pulang membuatnya khawatir, tapi Azri mencoba berpikir positif dengan terus menyelesaikan pekerjaannya.Namun gedoran pintu membuat Azri seketika menghentikan pekerjaannya. Ia membuka layar monitor yang menunjukkan CCTV di pintu depan.Dirinya tentu kaget melihat Lisa yang menggedor pintu rumahnya. Dan yang lebih mengagetkan lagi, perempuan itu hanya mengenakan sarung untuk menutupi tubuhnya."Mas! Tolong buka pintunya!" teriakan bercampur tangisan itu membuatnya berjalan ke depan untuk tau apa yang terjadi pada Lisa.Sedetik setelah pintu terbuka, Lisa memeluk Azri erat."Tolong aku, Mas. Aku mau di bunuh." Lisa meraung sambil memeluk Azri erat."Di bunu
"Kak ambar baik-baik ajakan?"Ayra menghampiri Ambar yang terkulai lemas habis mual-mual."Kakak gak apa-apa, Ay. Cuma reaksi hamil ya gini. Suka muntah-muntah."Rasa cemas Ayra berkali lipat setelah kejadian ibunya. Ia takut Kak Ambar kenapa-napa, dan Azri akan sangat murka nantinya.Apalagi mengingat sudah berkali-kali kak Ambar keguguran."Aku udah gak apa-apa, Ay. Setelah melihat Azri sekarang bahagia, aku sudah berhasil melupakan masalalu yang sangat menyedihkan itu. Terlepas, meski kadang ingat, tapi aku tidak apa-apa. Dia juga sepertinya kuat di dalam sana."Ambar mengusap perutnya yang sudah mulai berbentuk."Syukurlah, Kak. Aku gak kebayang akan sesedih apa Azri dan bapak kalau sampai kakak kenapa-napa.""Gak, Ay. Kakak gak kenapa-napa."Ayra mengangguk, lalu menundukkan wajahnya dengan bibir tertutup. Raut wajahnya menimbulkan penasaran Ambar."Tapi muka kamu kenap