Share

2. Pilihan Bapak

"Ibu malu, Ayra. Gara-gara kamu batal nikah, satu keluarga kita jadi bahan omongan orang-orang!" Ibu mengeluh dengan dengusan kesalnya kala Ayra memasuki ruang makan.

"Iya nih. Lagian kakak tuh kenapa sih? Sampai bisa di serempet temen sendiri?" Alia menyahut.

Ayra berusaha tak mempedulikan mereka. Ia memilih duduk tanpa banyak bicara. mengambil makanan

"Contoh tuh, Ay. Alia dia gak sesusah kamu. Dia nikah sama laki-laki yang kerjanya di tambang batu bara. Gak ada tuh drama-drama kayak kamu gini." Ibunya berkata lagi.

"Memang anak gadisku pada dasarnya beruntung. Sekolahnya hanya sampai SMA, di lamar laki-laki mapan, dan hidup enak. Gak perlu tuh kayak anak kamu." Suami ibunya menyahut dengan nada bangga.

Sungguh. Hal yang Ayra butuhkan saat ini hanya pengertian dari orang-orang terdekatnya. Setidaknya sedikit saja mereka mau mengerti. Hatinya saat ini begitu terluka.

"Percuma aja kamu sampai kuliah S1. Jadi guru tapi malahan kalah sama adik kamu yang cuma sekolah sampai kelas 1 SMA." Ibu lagi-lagi menyudutkannya.

Padahal sedikit saja pengertian dan support ibunya. Sebagai anak Ayra hanya butuh itu untuk kembali bangkit.

"Bu. Bisa gak jangan bahas masalah pendidikan? Ini gak ada sangkut pautnya ke sana. Kalaupun ibu merasa malu, Ayra minta maaf. Tapi sungguh Ayra gak pernah menginginkan hal kayak gini kejadian."

'Kuat, Ay.' Memang support sistem yang bisa memberikan kekuatan di hati itu hanya diri sendiri.

Ayra menghentikan makannya. Ia sudah tak mampu mengunyah makanan ini lagi. Bahkan hanya untuk bertahan hidup, Ayra berusaha untuk tetap menjalani kehidupan senormal yang ia bisa.

"Aku berangkat kerja, Bu."

Ayra meninggalakan ruang makan dengan perasaan lunglai. Ia sempat melihat layar handphonenya saat merasakan getaran kecil seperti pesan masuk

[Sore bapak akan ke rumah. Pastikan kamu sudah pulang.]

****

Sorenya, Bapak datang bersama Azri. Keduanya berpakaian rapi. Azri membawa sebuah bingkisan buah.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Bapak.

"Baik. Aku bahkan bisa kerja hari ini," balas Ayra sebisa mungkin tegar.

Walau rasanya seluruh hidup Ayra hancur, bukan berarti pula ia melupakan hidupnya dengan menyakiti diri sendiri. Meski tadi malam ia habiskan dengan tangis.

Ya walaupun malu juga ia di bimbel. Kala di tanya bagaimana lamarannya, tapi ia hanya bisa menjawab kalau lamarannya di undur.

"Di mana ibumu?" tanya Bapak. "Suruh ke sini."

Ayra berdiri menuju dapur lalu kembali dengan ibunya yang terlihat tidak senang dengan kedatangan Bapaknya.

"Kenapa lagi?" tanya ibunya dengan wajah ditekuk. "Sudah jelaskan anakmu ini gagal nikah. Mau apa lagi sekarang?"

Bapak tidak mempedulikan pertanyaan itu. Ia menatap Ayra yang sangat jelas dari wajahnya kalau saat ini Ayra benar-benar terluka.

"Bapak sudah memutuskan, Ay. Kamu akan tetap menikah sesuai hari yang sudah kita sepakati."

"Kamu udah gila? Nikah sama siapa?" Ibu menyahut.

"Azri akan menikahi Ayra."

Mata Ayra melotot sekilas ia menatap pada Azri yang sejak tadi diam seperti orang bodoh.

Mungkin harus ada yang menggeplak kepalanya agar Ayra lebih yakin dengan yang ia dengar barusan.

"Anakmu ini mau kamu jodohkan dengan jongosmu yang mantan narapidana pengangguran ini?!" marah ibu.

"Azri akan jadi suami terbaik untuk Ayra. Dia akan menjaga Ayra sepenuh hatinya."

"Gak usah ngaur. Lagian mau jadi apa anak kita nikah sama laki-laki gak ada masa depannya gini. Putus asa banget apa cuma gara-gara anakmu gagal nikah. Kayak gak ada laki-laki lain aja!"

"Aku memintamu ke sini bukan untuk meminta pendapatmu. Aku cuma mau kau dengar apa yang kusampaikan. Suka tidak suka, mau tidak mau, Aku akan tetap menikahkan Ayra dengan Azri."

Azri menyentuh pundak Bapak yang tampak sudah naik pitam.

"Saya berjanji akan memberikan yang terbaik untuk Ayra. Izinkan saya membahagiakan Ayra dengan menjadikannya sebagai istri saya." Azri bersuara setelah sejak tadi hanya jadi pendengar.

"Apa yang bisa kau beri ke anakku? Udah miskin, jadi jongos, gak ada kerjaan," tantang Ibu dengan seretetan makian.

"Saya akan berusaha untuk Ayra."

"Halah. Usaha!"

"Ayra. Bapak mau kamu terima Azri. Tidak ada penolakan."

Bak tak peduli mau sepanjang apa hinaan yang kleuar dari mulut mantan istrinya, Bapak Rahman seolah sudah bulat dengan keputusannya.

"Pak. Aku. . . ."

Ayra tidak mau. Tentu ia tidak akan mau. Ia tidak mau di jodohkan dengan Azri. Mungkin untuk saat ini dirinya bahkan tidak mau di jodohkan dengan siapa saja.

Tidak adakah satu orang saja yang mengerti kalau yang Ayra butuhkan saat ini hanyalah ketenangan agar bisa memperbaiki hati dan pikirannya.

"Apa-apaan! Harusnya kasih Ayra pilihan." Ibu tetap menolak dengan cuitan bijaknya.

"Aku memberikan yang terbaik untuk anakku. Dan Azri adalah pilihan terbaik."

Sejak tau sifat bapak selalu sama. Apa yang sudah dia katakan tidak bisa di tentang. Tidak ada kata menolak bila sudah direncanakan Bapak.

"Gak ngerti sama pola pikirmu itu. Aku sebagai ibunya, tidak bisa memberikan Ayra pada laki-laki begitu. Gak makan nanti anakku!"

"Tolong, Bu. Kasih saya kesempatan. Bagaimana sekiranya agar ibu mau menerima saya?" Azri berkata.

Ibu Riri tertawa remeh. "Kalau kamu bisa, kasih mahar 200 juta, baru kukasih anakku."

Secara tidak langsung ibu baru saja bilang kalau beliau tidak akan mau menerima Azri. Secara logika, bagaimana Azri bisa mewujudkan keinginan ibunya itu.

Ayra memilih tidak ikut bicara. Hati dan pikirannya sudah lebih kacau. Dirinya tidak bisa ikutan berdebat.

Ia yakin ibunya tidak akan mau dirinya di nikahkan dengan Azri. Jadi Ayra bisa tenang dulu. Dirinya harus istirahat. Sekujur tubuhnya lelah menghadapi masalah beruntun.

Apalagi, luka di hatinya masih menganga atas perkhianatan kekasih hati dan sahabatnya.

****

"Kakak di jodohin sama pengangguran? Terus kakak mau gitu? Ih, mending sama temennya suamiku. Seenggaknya gajinya 5 jutaan. Dari pada nikah sama laki-laki gak jelas kayak gitu."

Ibu bercerita pada Alia tentang kedatangan Bapak dan Azri tadi sore.

Dan jadilah suara sahut menyahut mereka yang semakin menyebalkan dan membuat telinga Ayra semakin gatal mendengarnya.

"Tau tuh, Ay. Mending dengerin kata adikmu."

Ayra memijit pelipisnya demi mengurangi rasa pusing di kepalanya. Bagaimana caranya agar mereka semua mau diam?

Ia memilih pergi menjauh. Dari pada terus-terusan mendengarkan celotehan yang isinya sama sekali tidak ada rasa iba kepadanya, malah isinya hinaan semua.

"Mantan suamimu bodoh juga. Saking putus asanya anak gadis tak jadi di nikahi orang, sampai mencari siapa saja yang mau nikahin anaknya." Suami ibunya menyahut.

"Kalau memang ada, jodohin aja kakakmu sama temen suamimu itu. Biar hidup kakakmu gak sial-sial banget." Ibu berkata.

"Nanti deh aku omongin ke suamiku. Kasian juga kalau sampai nikah sama pengangguran."

Ayra menghembuskan nafas sambil mengenakan jaket di kamarnya. Ia melirik jam dinding yang baru menunjukkan pukul 8 malam.

Ia harus keluar menenangkan diri beberapa saat saja. Setidaknya sampai semua orang tidur. Telinganya panas mendengar ocehan begitu.

Memesan ojek online, Ayra pergi tanpa pamit. Orang rumah juga tampak tidak peduli dirinya pergi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status