"Ibu malu, Ayra. Gara-gara kamu batal nikah, satu keluarga kita jadi bahan omongan orang-orang!" Ibu mengeluh dengan dengusan kesalnya kala Ayra memasuki ruang makan.
"Iya nih. Lagian kakak tuh kenapa sih? Sampai bisa di serempet temen sendiri?" Alia menyahut.Ayra berusaha tak mempedulikan mereka. Ia memilih duduk tanpa banyak bicara. mengambil makanan"Contoh tuh, Ay. Alia dia gak sesusah kamu. Dia nikah sama laki-laki yang kerjanya di tambang batu bara. Gak ada tuh drama-drama kayak kamu gini." Ibunya berkata lagi."Memang anak gadisku pada dasarnya beruntung. Sekolahnya hanya sampai SMA, di lamar laki-laki mapan, dan hidup enak. Gak perlu tuh kayak anak kamu." Suami ibunya menyahut dengan nada bangga.Sungguh. Hal yang Ayra butuhkan saat ini hanya pengertian dari orang-orang terdekatnya. Setidaknya sedikit saja mereka mau mengerti. Hatinya saat ini begitu terluka."Percuma aja kamu sampai kuliah S1. Jadi guru tapi malahan kalah sama adik kamu yang cuma sekolah sampai kelas 1 SMA." Ibu lagi-lagi menyudutkannya.Padahal sedikit saja pengertian dan support ibunya. Sebagai anak Ayra hanya butuh itu untuk kembali bangkit."Bu. Bisa gak jangan bahas masalah pendidikan? Ini gak ada sangkut pautnya ke sana. Kalaupun ibu merasa malu, Ayra minta maaf. Tapi sungguh Ayra gak pernah menginginkan hal kayak gini kejadian."'Kuat, Ay.' Memang support sistem yang bisa memberikan kekuatan di hati itu hanya diri sendiri.Ayra menghentikan makannya. Ia sudah tak mampu mengunyah makanan ini lagi. Bahkan hanya untuk bertahan hidup, Ayra berusaha untuk tetap menjalani kehidupan senormal yang ia bisa."Aku berangkat kerja, Bu."Ayra meninggalakan ruang makan dengan perasaan lunglai. Ia sempat melihat layar handphonenya saat merasakan getaran kecil seperti pesan masuk[Sore bapak akan ke rumah. Pastikan kamu sudah pulang.]****Sorenya, Bapak datang bersama Azri. Keduanya berpakaian rapi. Azri membawa sebuah bingkisan buah."Bagaimana keadaanmu?" tanya Bapak."Baik. Aku bahkan bisa kerja hari ini," balas Ayra sebisa mungkin tegar.Walau rasanya seluruh hidup Ayra hancur, bukan berarti pula ia melupakan hidupnya dengan menyakiti diri sendiri. Meski tadi malam ia habiskan dengan tangis.Ya walaupun malu juga ia di bimbel. Kala di tanya bagaimana lamarannya, tapi ia hanya bisa menjawab kalau lamarannya di undur."Di mana ibumu?" tanya Bapak. "Suruh ke sini."Ayra berdiri menuju dapur lalu kembali dengan ibunya yang terlihat tidak senang dengan kedatangan Bapaknya."Kenapa lagi?" tanya ibunya dengan wajah ditekuk. "Sudah jelaskan anakmu ini gagal nikah. Mau apa lagi sekarang?"Bapak tidak mempedulikan pertanyaan itu. Ia menatap Ayra yang sangat jelas dari wajahnya kalau saat ini Ayra benar-benar terluka."Bapak sudah memutuskan, Ay. Kamu akan tetap menikah sesuai hari yang sudah kita sepakati.""Kamu udah gila? Nikah sama siapa?" Ibu menyahut."Azri akan menikahi Ayra."Mata Ayra melotot sekilas ia menatap pada Azri yang sejak tadi diam seperti orang bodoh.Mungkin harus ada yang menggeplak kepalanya agar Ayra lebih yakin dengan yang ia dengar barusan."Anakmu ini mau kamu jodohkan dengan jongosmu yang mantan narapidana pengangguran ini?!" marah ibu."Azri akan jadi suami terbaik untuk Ayra. Dia akan menjaga Ayra sepenuh hatinya.""Gak usah ngaur. Lagian mau jadi apa anak kita nikah sama laki-laki gak ada masa depannya gini. Putus asa banget apa cuma gara-gara anakmu gagal nikah. Kayak gak ada laki-laki lain aja!""Aku memintamu ke sini bukan untuk meminta pendapatmu. Aku cuma mau kau dengar apa yang kusampaikan. Suka tidak suka, mau tidak mau, Aku akan tetap menikahkan Ayra dengan Azri."Azri menyentuh pundak Bapak yang tampak sudah naik pitam."Saya berjanji akan memberikan yang terbaik untuk Ayra. Izinkan saya membahagiakan Ayra dengan menjadikannya sebagai istri saya." Azri bersuara setelah sejak tadi hanya jadi pendengar."Apa yang bisa kau beri ke anakku? Udah miskin, jadi jongos, gak ada kerjaan," tantang Ibu dengan seretetan makian."Saya akan berusaha untuk Ayra.""Halah. Usaha!""Ayra. Bapak mau kamu terima Azri. Tidak ada penolakan."Bak tak peduli mau sepanjang apa hinaan yang kleuar dari mulut mantan istrinya, Bapak Rahman seolah sudah bulat dengan keputusannya."Pak. Aku. . . ."Ayra tidak mau. Tentu ia tidak akan mau. Ia tidak mau di jodohkan dengan Azri. Mungkin untuk saat ini dirinya bahkan tidak mau di jodohkan dengan siapa saja.Tidak adakah satu orang saja yang mengerti kalau yang Ayra butuhkan saat ini hanyalah ketenangan agar bisa memperbaiki hati dan pikirannya."Apa-apaan! Harusnya kasih Ayra pilihan." Ibu tetap menolak dengan cuitan bijaknya."Aku memberikan yang terbaik untuk anakku. Dan Azri adalah pilihan terbaik."Sejak tau sifat bapak selalu sama. Apa yang sudah dia katakan tidak bisa di tentang. Tidak ada kata menolak bila sudah direncanakan Bapak."Gak ngerti sama pola pikirmu itu. Aku sebagai ibunya, tidak bisa memberikan Ayra pada laki-laki begitu. Gak makan nanti anakku!""Tolong, Bu. Kasih saya kesempatan. Bagaimana sekiranya agar ibu mau menerima saya?" Azri berkata.Ibu Riri tertawa remeh. "Kalau kamu bisa, kasih mahar 200 juta, baru kukasih anakku."Secara tidak langsung ibu baru saja bilang kalau beliau tidak akan mau menerima Azri. Secara logika, bagaimana Azri bisa mewujudkan keinginan ibunya itu.Ayra memilih tidak ikut bicara. Hati dan pikirannya sudah lebih kacau. Dirinya tidak bisa ikutan berdebat.Ia yakin ibunya tidak akan mau dirinya di nikahkan dengan Azri. Jadi Ayra bisa tenang dulu. Dirinya harus istirahat. Sekujur tubuhnya lelah menghadapi masalah beruntun.Apalagi, luka di hatinya masih menganga atas perkhianatan kekasih hati dan sahabatnya.****"Kakak di jodohin sama pengangguran? Terus kakak mau gitu? Ih, mending sama temennya suamiku. Seenggaknya gajinya 5 jutaan. Dari pada nikah sama laki-laki gak jelas kayak gitu."Ibu bercerita pada Alia tentang kedatangan Bapak dan Azri tadi sore.Dan jadilah suara sahut menyahut mereka yang semakin menyebalkan dan membuat telinga Ayra semakin gatal mendengarnya."Tau tuh, Ay. Mending dengerin kata adikmu."Ayra memijit pelipisnya demi mengurangi rasa pusing di kepalanya. Bagaimana caranya agar mereka semua mau diam?Ia memilih pergi menjauh. Dari pada terus-terusan mendengarkan celotehan yang isinya sama sekali tidak ada rasa iba kepadanya, malah isinya hinaan semua."Mantan suamimu bodoh juga. Saking putus asanya anak gadis tak jadi di nikahi orang, sampai mencari siapa saja yang mau nikahin anaknya." Suami ibunya menyahut."Kalau memang ada, jodohin aja kakakmu sama temen suamimu itu. Biar hidup kakakmu gak sial-sial banget." Ibu berkata."Nanti deh aku omongin ke suamiku. Kasian juga kalau sampai nikah sama pengangguran."Ayra menghembuskan nafas sambil mengenakan jaket di kamarnya. Ia melirik jam dinding yang baru menunjukkan pukul 8 malam.Ia harus keluar menenangkan diri beberapa saat saja. Setidaknya sampai semua orang tidur. Telinganya panas mendengar ocehan begitu.Memesan ojek online, Ayra pergi tanpa pamit. Orang rumah juga tampak tidak peduli dirinya pergi.Ayra pergi ke kota. Dirinya berjalan tak tentu arah di terotoar. Pikirannya berkelana kemana-mana. Ia menyeret tubuh yang serasa lemas. Dengan kupluk jaket yang ia gunakan menutup kepalanya. Tangannya bersembunyi di balik saku jaket.Jangan tanya apa yang mau ia lakukan. Ayra juga tidak tau apa. Harapan dan angan akan segera menikah di pacahkan di waktu yang sangat menyakitkan.Bisa bernafas dan makan saja masih untung. Ia berjalan-jalan begini menyusuri malam di tengah kota yang ramai ini juga agar tidak gila. Setidaknya dingin angin malam sedikit banyak mengobati rasa sakit di hatinya.Tanpa Ayra sadari, ia berjalan kaki terlalu jauh dari keramaian. Ia sampai di taman kota yang lebih sepi dari jalanan tadi.Alih-alih ingin kembali ke keramaian, rasanya ia lebih tenang bila duduk di kursi taman ini sembari merasakan hembusan angin malam.Ia membuka handphone, jarinya iseng membuka sosial media. Yang pada akhirnya membuat Ayra menyesal.Jesikaa.Jes Akhirnya setelah beberapa bulan sal
"Kamu izin dulu aja kerjanya hari ini, Ay."Ayra yang sedang mempelajari bahan ajar untuk anak yang akan ia ajari hari ini, mengerut kening heran.Ia bekerja sebagai guru bimbel. Jadi tiap harinya bisa dapat dapat murid yang berbeda-beda. Tergantung jadwal dan pelajaran murid yang cocok dengan keahliannya."Gak bisa gitu, Bu. Aku harus banget kerja hari ini.""Alah. Kamu kerja kayak gitu berapa sih gajinya. Sebulan paling sejuta dua juta. Suaminya Alia mau datang hari ini sama temennya yang sama-sama kerja jadi supir di perusahaan tambang batu bara.""Terus apa masalahnya sama aku?""Ya ampun. Dia mau ngenalin temennya itu. Siapa tau kamu sama dia bisa kenal terus nikah. Lumayan, Ay. Biar kamu bisa hidup enak kayak Alia.""Apa sih, Bu!" Ayra sudah kepalang kesal. Tidak Bapak, tidak Ibu, sama-sama gak ngerti anaknya lagi patah hati. Ia maunya di support, di mengerti sama seluruh keluarganya biar bisa cepat move on dari masalah ini. Biar bisa hodup normal dan kembali ceria kayak dulu.
Bersikap ramah dan frandly saat pikiran kacau itu perlu bakat dan ketahanan mental yang kuat. Apalagi pada anak-anak TK yang baru belajar membaca.Banyak drama yang perlu di sikapi dengan hati yang lapang. Jujur membuat kepalanya berputar tujuh keliling. Harus tetap ramah dan tegas dalam satu waktu. Pun juga ia harus membuat suasana kelas nyaman tapi si murid harus belajar dengan baik tapi tak boleh tertekan.Tugas guru bimbel itu berat. Tapi gajinya kadang kalah dari gaji para PNS guru yang kerjanya kadang gak becus tapi gajinya besar.Ini gak mencakup semuanya ya. Cuma beberapa yang kadang udah tua tapi skillnya gak terupgrad. Biasanya nyalain LCD buat belajar di kelas aja rempong.Jangan bahas soal kalau ada acara. Para guru PNS lebih banyak diam dan melihat aja.Malah para guru honerer yang banyak di kembani tugas tapi gajinya, sama kayak relawan. Kerjaannya banyak, gak sesuai gajinya.Memang sih Ayra bukan guru honorer. Sejak lulus kuliah ia bekerja di bimbel. Jadi pengajar yang
Pagi hari. Saat semua orang baru saja bangun. Sebuah mobil datang yang tentunya orang rumah tau itu mobil bapak Rahman.Dengan Azri yang menyupirnya. Lelaki itu keluar bersama bapak Rahman.Membawa sebuah kotak hitam. Dari pakaian mereka, tampak lebih rapi.Bahkan Azri yang biasanya tidak penampilan seperti orang tidak pernah mandi saja kelihatan lebih baik sekarang ini."Ayra. Bapak dan Azri datang untuk membicarakan yang kemarin."Bapak kali ini tampak lebih serius. Bahkan tak peduli kalau mantan istrinya tak setuju sekalipun."Mau apa lagi sih kau bawa jongosmu? Aku bilang anakku tidak akan menjadi istri dari pengangguran satu itu!" Ibu Riri langsung membalas dengan kalimat telak."Dengar dulu, Bu. Saya harap di beri kesempatan untuk bicara. Setidaknya kasih kesempatan saya masuk."Ibu Riri mendengus sambil masuk.Daster dengan ketiak bolong yang sejak tadi malam di kenakan beliau menunjukkan kalau beliau baru bangun tidur.Sejujurnya sangat tidak relevan bertamu sepagi ini. Baru j
"Bapak baik-baik aja?"Azri panik di tambah istri bapak Rahman yang lebih panik lagi darinya.Napas tak teratur bapak Rahman seolah sedang sakaratul maut membuat istrunya seolah tidak siap untuk kehilangan. Sementara Azri yang sejak tadi di penuhi pikiran tentang Ayra yang batal menikah, ikutan panik hingga bingung harus bagaimana.Bapak tampak tidak baik-baik saja sejak kembali. Usai mengantar Ayra perkara lamaran yang kacau, mereka kembali pulang.Tentunya dengan perasaan marah dan kecewa pada orang yang telah mempermainkan Ayra.Tadi istri Bapak Rahman menggedor pintu rumahnya karena keadaan bapak Rahman yang tiba-tiba setengah sadar."Minum dulu, Pak." Azri membawa teh hangat dari dapur karena istri Bapak Rahman tampak tidak bisa bergerak melihat suaminya yang seperti orang sekarat.Konon katanya teh hangat obat segala penyakit.Tapi penyakit suka ngutang dan suka susah bayar tuh gak bisa di
"Maaf. Aku belum bersihkan rumah."Azri tampak tidak enak saat Ayra akan memasuki rumahnya. Rumah yang tidak bisa lagi di bilang berantakan. Ini sih lebih parah dari kandang kambing."Ya. Rumah bujangan," balas Ayra.Kalau Ayra sih juga bukan orang yang bersih. tapi kalau sekotor ini, apa bisa di bilang habis di huni manusia."Aku sibuk sekali beberapa waktu ini. Jadinya tidak sempat membersihkan rumah."Yang benar saja. "Sibuk apa?" tanya Ayra sambil memunguti sampah kulit bekas snack."Sibuk. . . ."Kurang ngenes apa hidup Ayra. Sudah di selingkuhi, di tikung sahabat sendiri, lalu harus menikah dengan Azri karena ibunya.Cuma perkara tidak jadi dapat uang 200 juta, ibunya sampai stroke. Ini lagi lebih parah. Baru menikah bukannya senang-senang malah harus bersih-bersih rumah."Sibuk apa?" tanya Ayra yang sejak tadi menunggu jawaban Azri.Menerima menikah dengan
Ayra memperhatikan gerak gerik Azri. Setelah sarapan, lelaki itu duduk di teras dengan dengan sebungkus rokok. Dari ruang tamu, ia melihat kepulan asap yang dihasilkan oleh batang-batang rokok itu.Ia mulai membayangkan hal yang kemungkinan terjadi sekarang.Tentang ibu tirinya dan Azri.Lelaki itu bahkan tidak bekerja. Dari mana dapat uang untuk beli rokok. Sudah pasti dari ibu tirinya itu bukan?Sejujurnya Ayra tidak merasa perlu mencurigai keduanya jikalau perasaan Bapaknya tidak dipertaruhkan.Bahkan Ayra tidak peduli kalau lelaki pengangguran yang berstatus suaminya ini mau selingkuh atau bagaimanapun. Tidak ada gunanya juga.Dari sekian banyak kemungkinan yang muncul di otaknya, Ayra yakin ibu tirinya sedang berusaha memoroti uang bapaknya. Bisa saja suatu hari nanti Azri dan ibu tirinya pergi membawa semua harta bapaknya.Dan sebelum itu terlambat, ia harus menyelamatkan harta bapaknya dan memastikan
Ayra menatap Azri dengan kilat kemarahan."Oh, jadi kalian mau nyewa rumah depan itu ya?" tanya Azri dengan senyum terpaksa.Sembari ia menatap tatapan Ayra yang menghunus dirinya.Kalau itu sudah di luar prediksi BMKG. Azri awalnya hanya mau Ayra tampak berkelas dan terhormat depan sahabat dan mantan calon suaminya."Semoga kita bisa jadi tetangga yang baik ya, Ay," ujar Jesika girang.'Semoga saja kalian ditemui mbak kunti penjaga rumah depan itu. Jadi kalian tidak betah dan pergi.' Ayra membatin.Mereka tinggal di tempat yang lumayan jauh dari kehidupan Ayra saja, ia sudah ngeri dengan ucapan Azri. Apalagi kalau sudah jadi tetangga. Apa gak kecium duluan bangkai rumah tangganya ini?Usai keduanya pergi, Ayra mematung di sofa. Pandangannya lurus dengan nafas yang tipis."Belum matikan, Ay?""Udah pulangkan mereka?""Iya. Udah di luar.""Udah jauh?"Az