Bisik-bisik terdengar nyaring, saat aku menuruni anak tangga menuju gedung ekonomi di kampus. Setiap kali ada orang yang berpapasan denganku akan berbisik dengan temannya, dan memperhatikanku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Aku berusaha bersikap biasa saja dan masa bodo dengan apa yang mereka katakan. Apa Kiki, Isna, dan Maria sudah mengatakan kalau aku menikah dengan seorang office boy di universitas ini?Seseorang menarik lengan dan mengajakku ke suatu tempat. Aku menoleh dan mendapati Isna yang menyeretku di sana.“Na, bukan aku! Demi Tuhan.”“Apa?”Isna memperlihatkan sebuah video di YouTube yang sedang viral. Di sana video pernikahanku tersebar dengan judul Pernikahan Paling Fenomenal. Aku terdiam lama, mencoba memahami apa yang baru saja aku alami. Di video itu terlihat jelas bagaimana hancurnya riasanku saat mencoba mengejar Mas Irwan yang seperti kesetanan membawa sebilah parang. Video berakhir, saat Mas Hada maju ke depan. Hanya saja, di sana tak terlihat wajahnya kare
"Aku kecewa sama kamu, Ki,” kataku sambil sesekali menyeka air mata.“Maaf, Han. Tolong jangan masukkan aku ke penjara. Kasihan bapakku yang sudah bersusah payah menguliahkanku. Kamu tahu keadaan keluargaku itu seperti apa. Bapakku hanya pensiunan PNS. Harapannya besar padaku, jangan sampai aku terjerat kasus hukum yang membuatnya pusing, Han.”Isna mendekat, lalu memegang tanganku. “Han, aku tahu Kiki. Kita tahu dia seperti apa. Dia pasti dihasut oleh Maria sampai tega memberikan video itu.”“Kalian bahkan percaya, kan saat Maria bilang aku menamparnya? Padahal, cerita sebenarnya enggak seperti itu. Dia memberi Mas Hada makanan, dan aku ada di sana. Kalian tahu pukul berapa dia menemui Mas Suhada di kampus ini?”Mereka berdua menggeleng. “Hampir pukul 22.00, dan dia nekat mencium Mas Hada. Bagaimana aku enggak marah? Kalaupun aku bukan istrinya Mas Hada, aku pasti akan memperingatkan. Alasannya, karena dia teman kita.”Isna dan Kiki saling berpandangan. “Kami benar-benar dihasut Mar
POV : Hana***Bu Wiwin memegang bahuku, lalu mengajak duduk.“Nak Hana, kamu apa kabar?” tanyanya sambil memegang sebelah tanganku.“Baik, Bu.”Tiba-tiba gawai papa Maria berdering. Segera dia menjauh, dan mengangkatnya. Setelah beberapa saat, pria itu kembali dan pamit ada urusan penting. Tinggallah di depan kelas ini kami bertiga. Aku, ibunya Maria, dan seseorang yang sepertinya seorang pengacara.“Langsung saja. Sebelumnya Ibu minta maaf atas ulah kekanak-kanakannya Maria. Dia itu belum terlalu dewasa, jadi tolong kita selesaikan ini dengan cara kekeluargaan saja.”Aku melirik pria di sebelahnya. “Dia siapa, Bu?”“Dia pengacara keluarga kami. Dia selalu menang menangani kasus apa saja. Dia hanya menemani Ibu ke sini, untuk berjaga-jaga.”“Oh.”“Hana, kamu itu sudah seperti anak Ibu sendiri. Berapa kali kamu tidur di rumah kami—”Belum selesai Bu Wiwin bicara, gawai bergetar. Aku mengeluarkannya dari tas, terlihat nama Mas Irwan di layar. Kugeser tombol hijau, dan menempelkannya ke
Bicara dengan Ibu tak ada habisnya. Selesai menceritakan masalah video, aku menceritakan masalah Maria, lalu tentang kebaikan Ibu dan Mbok Romlah di rumah. Tidak ketinggalan, cerita keseharianku di kampus yang beberapa hari ini cukup menguras hati dan pikiran. Hingga tibalah kami di depan halaman rumah. Aku segera memarkir mobil di garasi dan turun dari sana. Setelahnya, masuk beriringan dengan Ibu yang dibukakan pintu oleh Mbok di rumah.“Sudah lama enggak setor pakaian kotor, Non Hana?” tanya Mbok, saat aku dan Ibu berjalan ke arah belakang.“Libur dulu, Mbok. Entah nanti.” Kami terkekeh secara bersamaan.Tak lama setelah kami sampai di rumah, Mas Irwan juga sampai. Dia menceritakan pertemuannya dan ibu Maria, juga pengacaranya. Akhirnya setelah diberi tahu alasan mengapa kami ingin Maria dihukum, ibu wanita itu bisa menerima. Bahkan, sekarang mendukung penuh dengan apa pun yang akan kami lakukan, dengan harapan anaknya bisa benar-benar berubah. Puas bercerita soal ibu Maria, aku me
“Mas akan memberitahu semuanya padamu. Hanya saja, perlu kamu tahu, Mas sudah mencintaimu sejak dulu. Perasaan itu nggak pernah berubah sedikit pun. Dari kamu yang dulu manja sampai menjadi mandiri seperti ini, rasa itu tetap sama. Enggak bertambah, juga nggak pernah berkurang. Mas selalu mengagumi kelebihanmu, tapi enggak pernah berusaha menghakimi kekuranganmu. Karena kita masih sama-sama belajar, bertahap menjadi yang lebih baik lagi.”Aku tertegun mendengar pengakuan itu. Dia bahkan tidak pernah membenciku, meskipun dulu, aku sudah bersikap tidak adil padanya. Dugaanku yang mengira kalau dia ingin membalas dendam akan masa lalu terbantahkan dengan sikapnya selama ini dan pengakuannya malam ini. “Kalau Mas mencintaiku, seharusnya Mas jujur dari awal mengenai alasannya."“Mas pikir, belum waktunya. Tapi, jika kamu benar-benar ingin tahu, Mas akan mengatakannya malam ini. Karena Demi Tuhan, Mas juga tersiksa menyimpan rahasia ini darimu.”Kemudian aku diam. Mas Suhada menyandarkan d
Setelah melewati jam pertama mata kuliah, aku permisi pada kedua temanku untuk menemui Mas Hada di perpustakaan. Tampak dia asyik berdiri di salah satu rak buku di tengah-tengah ruangan ini. Aku tersenyum dan mendekatinya. Kuambil satu buku, dan berdiri di samping pria itu. Mengikuti cara dan gayanya membaca buku. Awalnya dia tidak terganggu, tapi setelah aku mengubah posisi berdiri tepat di hadapan Mas Hada, dia tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Jahil,” bisiknya sambil menarik tanganku, mengajak duduk di kursi yang ada di sudut ruangan. “Dah, baca di sini saja.” Akhirnya kami duduk bersebelahan. Mas Hada terlihat serius membaca buku di hadapannya, sampai keberadaanku diabaikan olehnya. Aku menatapnya lama, tapi dia tidak sadar juga. Aku pura-pura merajuk, lalu memanggilnya dengan bibir cemberut.“Mas!" “Em.”Menyedihkan sekali pesonaku dikalahkan oleh lembaran buku ekonomi itu. Mas Hada tertawa kecil dan akhirnya aku ikut tersenyum.“Nanti malam, libur kerja, ya?” tanyaku sek
Aku menganggu, tapi kemudian kulanjutkan kata-kataku. “Tapi ... aku nggak tega lihat kamu banting tulang siang dan malam, Mas,” ucapku dengan suara serak. “Kamu tahu, balasan atas apa yang Mas lakukan ini untuk keluarga?” Aku menggeleng lemah. “Ada pahala Maha Dahsyat yang Allah berikan untuk Mas dari atas sana.” Dia menunjuk langit. Aku menunduk. Dia menegakkan wajahku dengan telunjuk. “Jangan nangis. Kamu itu semangat Mas dalam mengais rezeki. Setelah menikah denganmu, Allah memberikan rezeki lebih untuk Mas.” Entah ingin tertawa atau menangis. Karena bibirku berusaha menunjukkan tawa, sementara mata terus saja dilanda gerimis. “Aku enggak tega liat Mas disuruh ini itu sama orang lain,” ucapku tertahan.“Enggak apa-apa. Itu cara mereka meminta pertolongan terhadap kita. Orang kaya sudah banyak di muka bumi ini, tapi orang yang berguna sangat jarang. Bukankah suamimu ini menjadi orang yang berguna jika dibutuhkan banyak orang?”Aku kembali mengangguk cepat diiringi tetes demi
“Han, boleh aku angkat teleponnya sebentar?”“Oh, angkat saja, Mas. Enggak apa-apa.”Dia berdiri, mengambil gawai dan menjauh dariku. Di sudut ruangan, Mas Hada mengangkat telepon. Meskipun tampak serius bicara, tapi tatapan matanya terus tertuju padaku. Aku merasa, dia seperti menghawatirkan sesuatu. Selesai bicara, pria itu kembali ke mejaku, duduk dan melanjutkan makan seperti tidak terjadi apa-apa. Sementara rasa bahagiaku yang tadi hinggap, kini berubah jadi rasa penasaran yang beberapa hari ini terus coba kulupakan. “Mas kerja lagi, ya?” tanyanya selesai makan. Aku mengangguk. Mas Hada berdiri, lalu kembali sibuk melayani pengunjung. Kafe tutup pukul 23.00, karena sepi. Di luar, air yang berasal dari langit mengguyur bumi. Beberapa teman Mas Hada sudah pulang lebih dulu. Ada yang memesan taksi OL, ada yang dijemput temannya, hingga tinggallah kami berdua di depan kafe. Kebetulan, Mas Hada tak membawa jas hujannya. “Han, kamu mau pulang duluan? Mas pesenin taksi OL, ya?”“Eng