Share

Kissing

Mas Hada membuatku mati kutu semalam. Sampai pagi, aku tidur dengan menutupi seluruh tubuh karena malu. Dia bilang pengin nyium, pas aku memejamkan mata bilang enggak jadi. Kan malunya sampai ubun-ubun. Jadi, kesannya kok aku kayak keganjenan, sih! Kalau bisa, rasanya semalem aku ingin menghilang dari hadapannya.

Hari ini jam pagi kosong, dua dosen enggak masuk. Menurut informasi yang dikirimkan melalui WA group, cuma isi absen saja. Aku memutuskan untuk menitip absen sama Kiki, itung-itung ngirit ongkos kalau mau bolak-balik ke kampus . Ini pertama kalinya aku diam di rumah, karena biasanya kuliah dari pagi hingga sore. Aku keluar kamar, lalu menuju ke belakang, terlihat ada Bik Romlah yang sedang memasak di dapur.

“Masak apa, Bik?” tanyaku mendekat ke arahnya.

“Ini, Nak. Si Hada minta masakin tumis daun pepaya sama bunga-bunganya. Kalau kami ngomongnya kembang kates. Kalau kalian apa ngomongnya?”

“Kembang kates juga, sih, Bik. Soalnya Ibu orang Jawa. Cuma, katanya rasa daun dan kembang kates itu pahit, ya?”

“Tergantung cara ngolahnya bagaimana. Ada beberapa orang yang masaknya bisa enggak pahit sama sekali.”

“Oh, ya? Bagaimana caranya?”

“Bibi juga enggak tahu, sih. Hehehe.”

“Wah, aku pikir bibik tahu." Aku tersenyum, setelahnya menatap sekeliling, mencari apa yang bisa aku lakukan, tapi akhirnya bertanya pada Bik Romlah. "Bik, ada yang bisa aku bantu?”

“Emmm, apa, ya?" Nampak Bik Romlah berpikir. "Oh ini aja, Nak Hana. Kupas bawang merah saja sama bawang putih. Bisa?”

Mendengar pertanyaan Bik Romlah sontak aku tertawa.

"Ya ampun, Bik. Kalau cuma kupas bawang bisalah." Bik Romlah ikut tertawa.

Aku langsung bergerak mencari keberadaan keduanya, dan menemukan bawang itu di samping kompor, lalu mengambilnya beberapa dan mengupasnya.

“Ibu mana, Bik?” tanyaku sambil lesehan, setelah membentang tikar berbahan purun di lantai dapur.

“Kasih makan burung-burung perkutut di belakang.”

“Burung punya siapa?”

“Punya tetangga, tapi karena Ibu suka memberi makannya ... jadi suka dibeliin sama Hada makanan burungnya.”

“Oh.”

Aku lanjut mengupas bawang, lalu memperhatikan cara Bik Romlah masak sambil bertanya banyak hal. Makanan kesukaan Mas Hada, dan semua informasi tentangnya. Dari pagi dia berangkat bekerja, mungkin pulangnya malam hari seperti biasa. Selesai membantu Bik Romlah masak, aku ke belakang menemui Ibu. Terlihat Ibu duduk di sambil memberi makan burung-burung yang nampak asik memakan makanannya di sekitaran Ibu.

“Bu, lauk pauknya sudah masak. Ibu mau makan sekarang?” tanyaku sambil berjalan mendekatinya.

“Hana?” tanyanya dengan tangan meraba-raba setelah aku sampai di dekatnya.

Aku langsung menangkap tangan ibu, dan membantunya berdiri. “Iya, Bu. Kita masuk, ya. Makan dulu!”

“Masak apa kamu, Nak?”

“Bukan Hana yang masak, tapi Bik Romlah, Bu. Hana hanya bantuin dikit-dikit aja. Hana kan baru mau banyak belajar banyak hal di sini, Bu.”

“Iya, enggak apa-apa, Nak. Nanti belajar pelan-pelan sama Bik Romlah, ya.”

“Iya, Bu,” sahutku seraya tersenyum.

Aku menuntun Ibu masuk, membawanya ke dapur dan mendudukkannya di tikar yang sudah kami siapkan untuk alas makan kami saat ini. Di atas tikar terlihat berbagai makanan sudah Bik Romlah hidangkan

“Enggak makan di meja makan saja, Bik?”

“Di sini saja, Nak. Kami biasa makan lesehan begini kalau pagi.”

"Oh, oke."

Perlahan aku mendudukkan ibu, lalu aku sendiri duduk di sisinya. Kami duduk lesehan dan makan bersama. Padahal baru pukul 10 pagi, karena di rumahku biasa makan siang paling cepat jam 11.00.

“Beginilah kerja kami kalau enggak ada orang Nak Hana. Habis masak ya makan, meskipun belum waktunya makan siang. Karena itu, lihat nih tubuh Bibi. Melar enggak ketulungan.” Bik Romlah terkekeh, yang membuatku maupun Ibu ikut tertawa. “Ini tempenya, Nak Hana.” Ia mendekatkan gorengan tempe ke arahku.

“Iya, Bik. Makasih.”

Aku menerimanya dan mengambil satu. Jujur, ini pertama kalinya aku makan di rumah ini. Karena biasanya aku makan di luar saat kuliah pagi. Malamnya pun aku memilih makan di luar. Mengingat pesan Mas Hada untuk hidup sederhana, aku akan mencobanya. Entah kenapa, setiap apapun yang dikatakan pria itu, aku mau menurutinya. Apa mungkin aku mulai memiliki rasa?

***

Malam aku tak memiliki jam kuliah, sehingga hanya diam di rumah. Setelah salat Isya tadi, aku hanya bolak-balik gelisah. Kulirik jam di atas sana, jam sudah menunjukkan pukul 20.00. Aku beringsut dan memutuskan melihat Ibu di kamarnya. Niatku ingin menghilangkan kebosanan dengan cara mengajaknya mengobrol, sayang Ibu sudah terlelap. Akhirnya aku balik lagi ke kamar. Detik, menit, dan jam sudah terlewati, tapi Mas Hada tak kunjung datang. Aku bosan, dan memutuskan meneleponnya.

“Assalamu’alaikum, Han.”

“Wa’alaikumsalam, Mas. Di mana? Kamu belum pulang?”

“Maaf, Mas lupa bilang. Mulai malam ini, Mas pulang malam. Mas ambil pekerjaan malam, jadi pelayan kafe di dekat sebuah restoran. Gajinya lumayan buat bayar biaya semesteran kamu, Han.”

Aku terdiam, antara terharu, bahagia, sekaligus kasihan.“Mas, kamu ... kamu enggak capek?”

“Enggak, insyaallah. Kamu tenang saja, ya.”

Tanpa menjawab, aku menutup teleponnya. Aku turun dari kasur dan berbaring di tempat Mas Hada biasa terlelap, di atas karpet di bawah kasur ini. Mas, apa kamu enggak lelah?' Kamu kenapa, sih, melakukan banyak hal buat aku? Sementara aku cuma bisa nyusahin kamu. Air mata jatuh begitu saja. Aku terisak, lalu duduk dan menunduk dalam. Isakan demi isakan kian menjadi, tatkala kubayangkan tenaganya akan terkuras habis setiap hari. Aku menghapus air mata dan duduk di ruang depan, menunggu dia pulang.

Pukul 22.00, pukul 23.00, hingga 24.00. Sungguh, hatiku tak tenang. Mataku mulai berat, tapi kupaksa untuk terlihat segar. Aku harus menunggunya pulang. Aku ingin memeluk dan mengucapkan terimakasih, karena dia melakukan ini semua. Perlahan mata mulai berat. Tepat jam 01.00, suara pintu terbuka. Kantukku hilang dan kulihat Mas Hada pulang dengan membawa bungkusan.

“Mas,” panggilku seraya berdiri dan mendekat.

“Kamu belum tidur, Han?”

Tanpa menjawab, aku langsung menghambur memeluknya. Mas Hada diam beberapa saat, kemudian membalas pelukan saat mendengar aku terisak.

“Kamu kenapa nangis?” tanyanya sambil melerai pelukan.

“Kamu kenapa, sih, melakukan semua ini? Apa yang sudah kulakukan untukmu sampai kamu rela bersusah-susah seperti ini untukku, Mas?”

Mas Hada tersenyum kecil, lalu menghapus air mataku. “Mas melakukan semua ini karena ingin melihatmu bahagia. Supaya bisa memenuhi semua kebutuhan gadis yang cantik ini.”Dia tersenyum kecil seraya mengusap lembut rambutku.

“Nanti kalau kamu sakit bagaimana? Kamu kenapa, sih, Mas seperti ini?”

Aku masih tergugu, memukul kecil dadanya yang bidang. Antara kesal dan kasihan. Mas Hada memegang kedua tanganku, lalu sedikit menunduk memperhatikan wajahku sambil berkata,“Mas harus melakukan ini, Han. Harga diri seorang pria adalah bekerja, karena dia kepala keluarga dan mencari nafkah adalah tugasnya. Suatu kebanggaan dan kebahagiaan bagi dirinya sendiri jika bisa memenuhi kebutuhan keluarga; terutama istri, dan anak-anaknya.”

Aku menatap wajah itu dengan saksama. Setelah cukup lama, aku berjinjit kecil untuk ...

menciumnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status