Share

Pertemuan Keluarga

Hari ini, pertemuan keluargaku dan keluarga Mas Suhada. Mas Irwan menjemput kami ke rumah dan membawa kami ke restoran Ibu. Di sini kami dijamu dengan sangat mewah. Makanan-makanan andalan dikeluarkan semua. Bik Rahmi dan Bik Romlah bahkan turut serta membawa salah seorang anaknya yang bernama Kelana. Dua keluarga berbincang hangat. Ibu bahkan mempercayakan kasir sementara pada pegawainya.

“Han, nanti Mas transfer untuk bayar semesteran, ya!” kata Mas Irwan tiba-tiba.

Aku menatap Mas Hada. Dia hanya diam, pura-pura menikmati makanan.

“Eh, Mas, enggak usah. Aku akan bayar sendiri. Lagian, uang kemarin-kemarin yang Mas kasih masih ada, kok.”

“Loh, kenapa? Biasanya juga begitu, kan? Biaya sekolah kamu itu cukup tinggi loh. Gaji Suhada enggak akan cukup untuk itu. Dia bisa kuliah di sana karena beasiswa, sedangkan kamu enggak gratis kayak dia. Mas cari uang juga buat kamu dan ibu, jadi terima saja pemberian dari Mas, ya!"

Suasana yang tadinya hangat, hening seketika. Kata-kata Mas Irwan sepertinya menyinggung perasaan keluarga dari Mas Hada. Mas Irwan memang orangnya ceplas ceplos seperti itu. Ia memang tidak pernah memikirkan perasaan orang lain jika ingin mengatakan sesuatu. Aku menelan saliva beberapa kali. Ibu beserta bibi-bibi yang lain ikut merasa kikuk. Tidak berapa lama Mas Hada permisi untuk ke toilet. Aku menatap ke arah ibu, dan beliau hanya menunduk.

“Permisi,” kataku sambil mengajak Mas Irwan ke luar restoran untuk membahas masalah ini. Sampai di luar aku berdiri di hadapannya, lalu berkata,“Mas, kok ngomong seperti itu, sih di depan keluarga Mas Hada? Kan enggak enak, Mas! Bisa nggak jaga perasaan keluarganya. Jangan singgung soal gajinya Mas Hada di sini.”

“Loh, kenapa? Kenyataannya kan memang seperti itu. Han, dia bukan Prio yang banyak uang. Mas tahu betul pekerjaan seorang office boy itu seperti apa, dan gajinya berapa! Kamu kenapa sih? Hada dan keluarganya aja biasa aja.”

"Biasa aja dari mana, Mas nggak sadar, suasana jadi canggung setelah Mas berkata seperti itu."

"Canggung dari mana? Itu perasaan kamu saja. Jadi Mas harus bilang apa? Hada gajinya tinggi, dia mampu bayar uang kuliahmu? Han, dia bahkan kekurangan untuk dirinya sendiri, ini ditambah dengan biaya hidup kamu. Jadi terima saja uang dari Mas, jangan sok jual mahal!"

Aku diam saja, untuk saat ini rasanya percuma bicara dengan Mas Irwan. Seperti biasa, Mas Irwan bicara dengan nada tinggi dan meledak-ledak. Kami saling bertatapan dengan emosi masing-masing. Aku memejamkan mata, menarik napas yang panjang, lalu mengalihkan pandangan. Kemudian mataku membelalak saat melihat ke suatu arah. Sialnya, di ujung sana aku melihat Mas Hada sedang memperhatikan kami berdua. Bahkan sepertinya dia mendengar apa yang kami bicarakan.

Ya Allah ....

***

Perjalanan pulang aku hanya diam, sementara Mas Hada dan Mas Irwan nampak asik bercerita di depan sana seperti tidak terjadi apa-apa. Ibu dan yang lainnya terlihat pulas, mungkin mereka kelelahan. Sampai di rumah Mas Irwan langsung ijin pulang karena hari sudah malam. Kami juga langsung masuk untuk beristirahat. Aku dan Mas Hada bergantian salat Isya. Saat akan tidur, aku melihat Mas Hada asik membaca buku di bawah sana. Aku memilih untuk turun dan duduk di sebelahnya.

“Mas .... "

Mas Hada yang sedang asik membaca buku, menghentikan kegiatannya. Ia menutup bukunya, lalu menoleh ke arahku.

"Ya?"

"Mas, maaf untuk kejadian—”

Kata-kataku terhenti. Aku terus menunduk, saat bicara dengan Mas Hada. Memang, sepulang dari sana tadi, tak ada ekspresi marah atau tak suka sama sekali pada raut Mas Hada pada Mas Irwan. Suamiku bersikap biasa saja, bahkan terlihat baik saja. Entah dia hanya pura-pura tak melihat dan mendengar perbincangan kami tadi, atau benar-benar tak melihat, aku tak tahu.

“Kok berhenti ngomongnya. Maaf untuk apa? Kenapa kamu belum tidur?”

Pria ini langsung duduk menghadap ke arahku, saat melihatku duduk di sampingnya. Aku sengaja turun dari kasur untuk bicara dengan Mas Hada. Aku ingin meminta maaf, karena kata-kata Mas Irwan tadi cukup pedas jika memang dia mendengarnya.

“Apa Mas enggak mendengar kata-kata Mas Irwan tadi, saat kami bicara di luar resto?”

Mas Hada tersenyum kecil, lalu mencubit kecil pipiku. “Kirain apa, itu ternyata.” Dia diam sesaat, menarik napas yang panjang lalu berkata, “Mas mendengar semuanya, dan apa yang dikatakan Mas Irwan itu benar.”

“Mas enggak marah?”

“Awalnya, Mas sedikit tersinggung. Lalu Mas pikir-pikir lagi, apa pun yang dikatakan Mas Irwan itu benar. Hanya cara penyampaiannya yang lumayan agak kasar. Tapi dari awal Mas tahu sifat Mas Irwan itu bagaimana. Bukankah dia memang seperti itu orangnya? Mas Irwan pasti tidak bermaksud mem-bully atau mengejek Mas, maksudnya baik. Dia hanya nggak mau kalau kamu itu nanti bakal sengsara.”

“Bener, Mas enggak marah?”

“Enggak. Bisa kamu lihat tadi, kan? Baik aku ataupun Mas Irwan malah banyak bercerita dan terlihat baik-baik saja, kan di mobil?”

“Iya.”

“Menjalin silaturahmi itu mudah, mempertahankannya yang susah. Ada banyak tipe manusia di muka bumi ini. Kalau kita paham karakternya, insyaallah hubungan silaturahmi antar umat akan baik-baik saja. Mungkin jika itu tadi Ibu yang bilang dia akan bicara seperti ini; ‘Memangnya kenapa, Han? Maaf, apa kata-kata Ibu ada yang salah? Hada berbeda dengan Prio. Rezeki Hada hanya lebih sedikit dibanding Prio. Ibu tahu betul pekerjaannya dan rezeki halal yang dikasih Allah untuknya, tapi insyaallah ... dia lebih tampan dari pada Prio.”

Aku yang sejak tadi serius mendengarnya berbicara tertawa seketika. “Ih!PD banget, sih, Mas!”

“Eh, memang iya. Cakep Mas, kan daripada Prio? Buktinya kamu pilih aku, bukan dia.”

“Dih, malas banget!”

“Eh, tapi kamu sudah mulai jatuh cinta, kan sama Mas? Ngaku saja.”

“Terpaksa!” kataku sedikit berteriak di depan wajahnya.

“Lihat kamu dari dekat, jadi kangen muka dakocanmu.”Dia tertawa, sementara aku cemberut kesal. Malunya kebangetan kalau ingat itu. Sumpah, demi apa wajahku sudah seperti mbahnya dakocan? Tiba-tiba aku kepikiran, bagaimana kalau Mas Irwan tetap nekat mentransfer sejumlah uang, meskipun aku telah menolaknya?

“Mas.”

“Em .”Dia fokus menatapku.

“Bisa enggak lihatinnya biasa saja.”

Dia tertawa. “Kenapa? Kamu deg-degan dilihatin begitu sama aku?”

“Dih, bukan.”

“Terus?”

“Aku enggak bisa konsen ngomongnya.”

“Kalau begini, bagaimana?”

Rasanya aku tak bisa bernapas. Mas Suhada mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku terdiam, sementara ujung hidung kami nyaris bersentuhan. Aku jadi lupa apa yang mau aku katakan barusan.

“Mata kamu bagus,” katanya seraya tersenyum tipis. “Alis kamu tebal, kayak semut hitam berkerumun.” Kini manik matanya mengarah ke alisku. “Hidung kamu mancung, kayak perosotan anak TK. “Bibir kamu ....” kini matanya beralih menatap bibirku.

“A-apa?” tanyaku sembari menahan rasa yang ... entah.

“Mau tahu?” tanyanya masih fokus pada bibirku.

“Ya.”

“Seksi.”

Oh, My God! Sumpah demi apa, aku pengin senyum. Aku mengulum bibir, menahan tawa.

“Jangan begitu, seksinya hilang.” Kini dia yang menahan tawa.

Mendengarnya mengatakan semua itu, aku jadi cemberut.

“Jangan cemberut.”

“Kenapa memang?” tanyaku sedikit menahan kesal.

“Kan jadi pengin ... nyium.”

Eh!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status