Share

Adik Ipar

Author: PutriNaysaa
last update Last Updated: 2023-10-02 12:50:48

Emily mengerutkan kening saat melihat Gallen dan Giana duduk bersebelahan pada sebuah cofe shop baru di pusat Ibu Kota.

“Sorry Giana ikut karena tadi dia minta jemput pulang kampus. Katanya hanya akan ikut kita makan.” Gallen menjelaskan tatap tanya Emily.

“Enggak apa-apa.” Emily memilih duduk di hadapan Gallen menyaksikan Giana tidak perduli dengan kedatangannya, asyik dengan piring berisi dua potong sandwich tuna tanpa sayuran.

“Giana,” tegur Gallen pada sang adik yang acuh pada kedatangan kakak iparnya.

Giana mengangkat kepalanya dengan dengus kecil, melambaikan tangan sesaat pada Emily dan kembali menekuri isi piringnya dengan sebelah tangan memegang ponsel.

“Kamu mau pesan apa? sudah makan?” Gallen menyodorkan daftar menu pada Emily yang sudah duduk dan meletakan tas di kursi kosong sampingnya.

Emily menerima daftar menu dan membaca sesaat sebelum memanggil waiters dan mengatakan ia pesan salad sayur dan buah dengan jus mangga. Mendengar pesanan Emily, Giana kembali mendengus tidak kentara. Namun jelas Emily melihat hal tersebut. 

“Sudah makan berat? Hanya salad?” tanya Gallen.

“Tidak terlalu lapar, saya memang suka sayur dan buah. Sehat.” Emily mengatakan kata sehat dengan penuh penekanan dan lirikan pada Giana yang rupanya sudah memandangnya dengan tatap datar.

Setelah pesanan Emily datang, Gallen menarik air mineral miliknya dan ia geser ke arah Giana yang gelasnya sudah kosong. Setiap gerak-gerik kakak adik di depannya tidak luput dari pandangan Emily.

“Saya mau mengatakan sesuatu yang mungkin akan buat kamu kaget. Terus terang saja saya sangat mampu membeli rumah atau setidaknya Apartemen. Tapi papa dan mama melarang kami berdua memiliki itu karena ingin tetap tinggal bersama kedua putrinya sampai kami meninggalkan rumah karena kami sudah menikah.” Emily mengatakannya setelah ia terdiam lama dan sedikit ragu untuk memulai bicara.

Gallen mengangguk mengerti, ia paham mengenai hal tersebut karena ia juga melarang sang adik tinggal tidak bersamanya sebelum ada yang meminangnya.

“Jadi saya diminta mama untuk bilang sama kamu .... “

Gallen masih menunggu kelanjutan dari perkataan Emily, namun hanya sampai sana saja. Tidak ada kelanjutannya. Emily tampak sangat berat untuk melanjutkan, lebih memilih meminum jusnya dalam diam.

“Emily, tidak dilanjutkan?” tanya Gallen.

“Emily ingin tinggal sama Abang,” celetuk Giana dengan nada malas.

“Benar seperti itu Emily?” tegas Gallen.

Emily mendesah panjang. “Saya sungguh hanya menuruti keinginan mama, kata mama apa pun alasan pernikahan kita. Kamu tetap sudah mengucap janji di hadapan papa.”

“Iya saya paham. Tapi jika kamu merasa keberatan untuk wacana tinggal bersama, tidak apa-apa. Kamu saya bolehkan tinggal tetap dengan mama kamu. Tidak masalah kok,” jawab Gallen.

Emily kembali terdiam mengaduk aduk salad di hadapannya. Tidak lagi bersuara, kepalanya terlalu penuh saat ini. Hari ini adalah perdana untuknya keluar rumah semenjak kepergian papanya.

“Abang bagi uang boleh, aku mau jajan saja atau beli jepit rambut. Sepertinya Emily tidak bisa bicara karena ada aku.” Giana langsung bersuara melihat kedua orang yang jauh lebih dewasa darinya justru adu diam-diaman.

“Uang kamu habis?” Walau mulutnya bertanya demikian, namun Gallen tetap mengeluarkan dompet dan memberikan beberapa lembar uang berwarna biru dan merah pada sang adik.

“Masih ada sih Bang, alasan aku saja minta uang sama Abang,” kekeh Giana.

“Dasar, jangan jauh-jauh. Abang enggak mau menunggu ya kalau kita mau pulang dan kamu masih belanja,” gumam Gallen.

Giana mengangguk dan mendaratkan kecupan kecil pada pipi kanan Gallen.

“Astaga anak itu.” Gallen menggelengkan kepala menyaksikan kepergian adiknya.

“Giana semester berapa?” Suara Emily memecah keterdiaman mereka berdua.

Gallen menoleh pada Emily. “ Semester empat, maaf ya jika sikapnya ya seperti bocah begitu. Dia sebetulnya tahu sopan santun kok, entah mengapa tiba-tiba seperti itu.”

“Giana sedikit membenci saya, saya rasa. Tidak apa-apa saya sangat mengerti alasannya tidak menyukai saya.” Emily segera melanjutkan perkataannya ketika melihat Gallen hendak menyela.

“Sikap Giana masih tergolong sangat wajar, dulu bahkan saya sangat tidak suka dengan almarhum kakak ipar saya.” Emily mengutarakan salah satu kenangannya dengan sang kakak ipar yang tidak berusia panjang.

“Kenapa memangnya?” Gallen mengerutkan kening dengan rasa ingin tahunya.

“Karena merebut kasih sayang kak Grace sama saya, childies sekali bukan. Mungkin Giana juga memiliki perasaan seperti itu.” Emily mengangkat bahunya samar.

“Dia anak yang sangat mandiri terlepas mungkin punya perasaan seperti yang kamu sebutkan. Ok kita balik pada tujuan utama kita bicara, benar kamu mau tinggal dengan saya? saya tinggal sama Giana tapi. Kalian tidak akan saling menjambak bukan saat saya tidak di rumah?” Gallen bersandar pada kursinya.

“Kamu menuduh saya akan menjambak adik kamu saat kamu tidak ada?” Emily berseru dengan mata membelalak lebar.

Gallen berdecap kecil, mengisyaratkan bukan seperti itu maksud perkataannya.

“Walau Giana badannya kecil seperti itu, saya yakin dia tidak akan tinggal diam jika kamu jambak.” Gallen menyulut apinya sekalian saat Emily menuangkan minyak pada percakapan mereka.

Emily menarik kedua ujung bibir kecil, teramat kecil sampai Gallen mengira ia hanya berhalusinasi melihat Emily tersenyum padanya. Untuk sepersekian detik Gallen ikut terpana.

“Silakan saja jika kamu berkenan tinggal sama kita. Ada tiga kamar tamu di rumah kami. Tapi jangan kaget ya, rumah kami jelas sangat jauh berbeda dengan kediaman kamu. Kami tinggal tidak di perumahan elite seperti kamu, tidak semewah rumah kamu juga. Hanya memiliki satu lantai dan .... “

“Saya bukan mau tinggal selamanya di sana juga,” dengus Emily tidak ia tutup-tutupi.

Perkataan tiba-tiba Emily membuat Gallen tersentak sesaat dan menganggukkan kepala tanpa mengatakan apa-apa lagi. Hal tersebut mengusik Emily sedikit banyak, ia baru sadar perkataannya mungkin menyinggung Gallen padahal Gallen sudah begitu baik menghadapi semua emosinya.

Akan tetapi walau Emily tahu perkataannya membuat suasana mereka menjadi seperti di kuburan, Emily enggan mengoreksi dan meminta maaf. Karena benar adanya, ia hanya akan tinggal sementara di rumah Gallen.

Keesokan harinya Gallen menjemput Emily untuk membawa dua koper pakaiannya. Gallen tidak mengatakan banyak hal saat menjemput Emily, hanya berpamitan pada mama dan kakak Emily serta memberikan alamat lengkapnya jika sewaktu-waktu mereka ingin datang berkunjung.

“Kamu boleh menempati kamar yang mana saja, itu berdempetan tiga kamar tamunya. Semua ukurannya sama, sudah dibersihkan juga. Kami punya Mbak tapi hanya datang pagi pulang petang dan hanya tiga kali satu minggu. Karena di jadwal itu Giana kuliahnya siang, dia yang minta seperti itu. Jika kamu butuh Mbak setiap hari, maka aku akan minta beliau menginap saja selama kamu ada di sini.” Gallen mempersilakan Emily memilih kamar yang mana saja.

“Tidak perlu, saya akan mengikuti peraturan pemilik rumah. Oh iya ada yang belum saya katakan, kenapa ada mutasi pengiriman atas nama kamu dengan nominal sepuluh juta?” Emily teringat tiba-tiba menerima pesan sebuah transfer uang atas nama Gallen Alejandro Munaf.

“Loh kamu lupa kalau itu uang nafkah dari aku,” terang Gallen.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Pengganti Wasiat Papa   Bola Mata Abu-abu  (The End)

    “Belum Sayang?” Suami Gracia baru datang setelah Emily masuk ruang operasi tiga puluh menit lalu. “Belum, baru setengah jam masuk.” Gracia menjawab dengan masih merangkul lengan mamanya yang sedari tadi terdiam dan Gracia tahu sang mama tiada memutuskan doanya untuk keselamatan Emily dan si kembar. Mereka berempat menunggu di luar pintu ruang operasi dengan jantung berdebar-debar. Sementara Gallen yang ikut ke dalam menemani proses kelahiran kedua putri mereka jauh lebih jantungan. Seluruh badannya dingin dan ada rasa ingin muntah namun ia tahan sekuat tenaga, bahkan serangan pusing akan dinginnya ruang operasi mampu membuat Gallen menggigil. Gallen berada di samping kepala istrinya memberikan pandangan menenangkan pada Emily walau isi hari dan kepalanya berkutat pada suara para tenaga medis yang meminta berbagai jenis alat bedah yang tidak Gallen pahami. “Sudah sampai mana?” tanya Emily pelan.Gallen terse

  • Suami Pengganti Wasiat Papa   Menunggu Dua Bidadari

    “Ada lagi enggak barang lainnya? Takutnya tertinggal.” Mama Emily bertanya kala Gallen memasukkan satu persatu perlengkapan untuk menemani Emily di rumah sakit. “Sepertinya sudah semua, Ma. Kalau memang ada yang kurang nanti aku akan ambil kembali. Mama naik duluan saja, aku akan bawa Emily.” Gallen membukakan pintu untuk sang mama agar naik ke mobil terlebih dahulu. Gallen kembali masuk ke dalam rumah di mana Emily duduk berdampingan dengan Giana dan Gracia. “Kita mau ke rumah sakit tapi kaya mau demo rame begini,” kelakar Emily. “Bagus dong Em, kita kan juga mau dampingi kamu biar deg-degannya dibagi-bagi,” jawab Gracia. “Deg-degan tapi juga excited, Kak.” Emily menerima uluran tangan Gallen yang berniat membantunya berdiri dari posisi duduk. “Ayo kita Bismillah sama-sama ya, Sayang.” Gracia mengecup kepala samping Emily dengan memegangi pinggang sang adik yang tampak kepa

  • Suami Pengganti Wasiat Papa   Kontraksi Berikutnya

    “Ah ... selamat, aduh ya ampun ... aku mau punya keponakan?” Emily kembali berseru, menggeser badan mengimpit Gracia untuk memeluknya dari samping dengan bersemangat. “Kamu tahu sekali aku sangat bahagia, Em. Aku sudah bisa membayangkan anak-anak kita berlarian merebutkan neneknya.” Gracia kembali mengusap sudut matanya yang basah. Emily mengangguk, menyetujui perkataan kakaknya yang ia yakin benar. Si kembar dan sepupu mereka akan memperebutkan sang nenek kelak seperti mama mereka. “Berapa minggu tadi usianya? aku hanya baca bagian positif.” Emily merangkul bahu Gracia erat. “Enam minggu,” jawab suami Gracia. “Titip kakak aku yang cerewet ini ya Bang, awas kalau kenapa- kenapa.” Emili pura-pura mengancam dengan menyipitkan matanya ke arah suami Gracia. “Pasti dong Dek, mereka adalah hidup aku sekarang ini,” tukas suami Gracia. Emily memeluk sang kakak dengan

  • Suami Pengganti Wasiat Papa   Kehamilan Kedua

    “Abang tanyanya seolah meremehkan begitu, aku enggak pernah pacaran sama sekali. Dari mana pernah ciuman. Dan kalaupun sudah pacaran belum tentu aku akan mau melakukan itu,” papar Giana. “Iya paham, kamu wanita baik-baik buka seperti aku yang banyak ceweknya di sana sini,” desah Prasetio. “Aku enggak mengungkit masalah itu, kenapa Abang malah seolah merendahkan diri sendiri seperti itu?” tuntut Giana. “Kita mau berantem masalah ciuman ini? bukankah kamu bilang kangen sama aku kemarin? Sekarang malah menanduk terus,” papar Prasetio. Giana menunduk kecil, diam. “Aku tidak meremehkan kamu yang belum pernah ciuman, bagus malah. Pergaulan kamu sangat baik dan sehat, dan aku enggak merendahkan diri karena bilang banyak cewek. Itu hanya sebagai pengingat untuk aku terus memperbaiki diri agar benar-benar layak disandingkan perempuan seterjaga kamu, Giana. Sumpah mati aku malu sama masa lalu aku pad

  • Suami Pengganti Wasiat Papa   Kencan Calon Adik Ipar

    “Wuih ngeri sekali perut kamu Em, seperti mau meletus,” kelakar laki-laki berjaket kulit hitam. “Asem,” kekeh Emily. “You look so beautyfull, how are you?” Prasetio memberikan pelukan hangat pada Emily dengan pakaian rumahnya, daster. “Peres amat bilang cantik, sudah tahu sebesar ini badan aku. Kabar sehat Alhamdulillah, ada perlu di rumah atau bagaimana kok tiba-tiba balik Indonesia?” tanya Emily. “Ada yang minta aku pulang, kangen katanya,” kekeh Prasetio. Emily tersenyum paham kemudian terkekeh kecil sebelum mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah barunya yang belum sepenuhnya rapi karena baru tiga hari lalu mereka pindahan. “Lagi dijemput sama abangnya, duduk Tio. Sudah pulang ke rumah kan tapi?” tanya Emily. “Sudah, semalam menginap juga di rumah. Iya Giana sudah bilang, bagaimana perkembangan si kembar?” Prasetio menunjuk perut Emily dengan dagunya.

  • Suami Pengganti Wasiat Papa   Pelajaran

    “Jangan terlalu stres ya Ibu, jangan sampai tekanan darahnya naik lagi kalau bisa. Pokoknya harus terus bahagia kalau ibu hamil itu dan selalu hati-hati.” Dokter berpesan pada Emily dan Gallen sebelum esok harinya diperbolehkan pulang. “Baik Dok, akan kami ingat.” Gallen dan Emily menjawab serentak. Gallen siap mendorong Emily yang duduk di kursi roda, sedangkan mama Emily dan Giana berdiri di samping keduanya denga tarikan nafas lega. “Kok kamu tiba-tiba punya darah tinggi si, Sayang?” tanya Mama Emily membelai kepala putrinya. “Ini Ma pelakunya yang buat aku tekanan darah tinggi terus, marahin Ma.” Emily menunjuk Gallen dengan wajah sengaja ia lipat-lipat secara dramatis. “Kamu yang buat anak Mama darah tinggi? Hah? dasar nakal kamu ya.” Mama dengan tertawa memukul lengan Gallen berkali-kali. “Pukul Ma pukul yang kencang, jewer kalau perlu.” Emily mengompori dengan bertepu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status