Rumah Sakit Anggrek ….
Udara di ruangan itu tiba-tiba terasa sangat dingin dan sesak. Dokter Argus berdiri kaku di belakang mejanya, wajahnya pucat melihat Ian memasuki ruangannya tanpa permisi. Senyum tipis di wajah Ian terasa lebih mengancam daripada amarah.“Tuan Ian,” Argus membuka percakapan, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil. “Apa yang membawa Anda kemari?”Ian tidak langsung menjawab. Dia berjalan mendekat, setiap langkahnya penuh wibawa, dan berhenti tepat di depan meja. “Aku tahu kau bertemu istriku, Dokter,” ucapnya, suaranya rendah dan datar, namun setiap katanya mengandung bahaya.Dokter Argus menelan ludah. “Saya hanya memberikan informasi yang seharusnya didapatkannya, Tuan Ian.” Dia mencoba bersikap profesional, memegang prinsip etiknya.Ian menyeringai, sinis. “Cukup basa-basinya.” Dia meletakkan kedua tangannya di atas meja, membungkuk sedikit sehingga wajahnya sejajar dengan Argus. “KatIan menyeringai. Dia kembali mendekatkan wajahnya ke arah Venus.“Ternyata selama ini kau hanya fokus pada dirimu sendiri, ya?”“Kau benar-benar tidak tahu apa-apa tentang aku. Kau tidak tahu bagaimana aku mengejarmu. Sejak lama.”Keheningan yang tiba-tiba terasa lebih menusuk daripada erangan mereka sebelumnya. Pernyataan Ian menggantung di udara, berat dan penuh arti, mematikan semua hasrat yang baru saja berkobar.Venus memandangnya, mata yang baru saja dipenuhi nafsu kini dipenuhi dengan kebingungan dan ketakutan yang mendalam. “Apa maksudmu, Ian?” tanyanya, suaranya bergetar.Ian menarik diri, duduk di tepi tempat tidur, punggungnya menghadap Venus. Bahunya naik turun mengikuti napasnya yang masih berat. “Aku mencintaimu,” ulangnya, suaranya rendah namun jelas. “Jauh sebelum kau dan Eric menjadi dingin.”Kalimat itu seperti pukulan bagi Venus. Pikirannya berputar cepat, mencoba memahami implikas
Udara malam yang seharusnya romantis tiba-tiba berubah menjadi tegang. Pertanyaan Ian menggantung di antara mereka, tajam dan tak terduga. Venus terdiam, matanya menghindari tatapan Ian yang menusuk. Kebersamaannya dengan Ian memang sudah melewati batas normal, tetapi nama Eric masih seperti bayangan yang mengikutinya. Bagaimanapun, mereka masih berstatus sebagai suami-istri. “Apa aku boleh tidak menjawab?” tanya Venus, suaranya kecil, mencoba mencari celah untuk mengelak. Senyum Ian sedikit memudar, digantikan oleh sorot mata yang lebih gelap. “Maka kau kalah, Sayang," ujarnya, nada suaranya rendah. “Dan hukumanmu akan berlaku.” Venus meneguk habis anggur di gelasnya, berusaha menenangkan gemetar di tangannya. Cairan merah tua itu terasa pahit di lidahnya. “Hukum saja aku,” katanya, akhirnya menyerah. “Aku tidak bisa menjawabnya.” Pengakuan itu keluar seperti desahan, sebuah pengakuan kekalahan dalam pe
Venus berdiri di ambang pintu, mantel bulu putihnya yang mewah menutupi gaun merah di baliknya. Jantungnya berdebar-debar, momen itu adalah momen penantiannya untuk misi yang lebih penting. Setiap detik menunggu kedatangan Ian terasa sangat panjang.Akhirnya, bel pintu berbunyi. Venus menarik napas dalam, mencoba melatih senyum terbaiknya sebelum membuka pintu.“Sayang, kau sudah pulang,” sambutnya, suara dibuat semanis mungkin. Tanpa basa-basi, dia mendekat dan langsung mengalungkan tangannya ke tengkuk Ian, menariknya dalam pelukan hangat.Ian, yang terkejut namun senang dengan sambutan ini, menyeringai. Tangannya secara refleks merangkul pinggang Venus.“Sambutan yang luar biasa, Sayang,” gumannya, sebelum menunduk dan mengecup bibir Venus dengan penuh nafsu, namun singkat. “Kita langsung pergi?” tanyanya, matanya berbinar melihat penampilan Venus yang terlihat sangat istimewa.Venus mengangguk, berusaha terlih
Rumah Sakit Anggrek ….Udara di ruangan itu tiba-tiba terasa sangat dingin dan sesak. Dokter Argus berdiri kaku di belakang mejanya, wajahnya pucat melihat Ian memasuki ruangannya tanpa permisi. Senyum tipis di wajah Ian terasa lebih mengancam daripada amarah.“Tuan Ian,” Argus membuka percakapan, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil. “Apa yang membawa Anda kemari?”Ian tidak langsung menjawab. Dia berjalan mendekat, setiap langkahnya penuh wibawa, dan berhenti tepat di depan meja. “Aku tahu kau bertemu istriku, Dokter,” ucapnya, suaranya rendah dan datar, namun setiap katanya mengandung bahaya.Dokter Argus menelan ludah. “Saya hanya memberikan informasi yang seharusnya didapatkannya, Tuan Ian.” Dia mencoba bersikap profesional, memegang prinsip etiknya.Ian menyeringai, sinis. “Cukup basa-basinya.” Dia meletakkan kedua tangannya di atas meja, membungkuk sedikit sehingga wajahnya sejajar dengan Argus. “Kat
Ian tidak menjawab dengan kata-kata. Jawabannya datang melalui sentuhan. Dua jarinya, yang hangat dan terlatih, menemukan ritme yang sempurna di antara kaki Venus. Tekanannya tepat, bergerak dengan mahir, seolah-olah ia menghafal setiap pusat kenikmatan di tubuh Venus.Venus mengerang, kepalanya terlempar ke belakang. Gelombang kenikmatan yang begitu kuat menyapu semua pikiran tentang amplop, tentang rahasia, tentang segala sesuatu yang bukan tentang saat ini. Rasanya seperti dikendalikan oleh arus listrik, setiap sarafnya hidup dan berteriak menyambut setiap gerakan Ian.“Ian …” erangnya, tetapi bukan bentuk protes Venus melainkan pengakuan, sebuah penyerahan.Ian membungkuk, bibirnya menangkap erangan Venus dalam ciuman yang dalam dan menguasai. Dia tidak memberikan jeda. Jari-jarinya terus bekerja, mempercepat ritme, mendorong Venus lebih dekat ke puncak gairahnya.Dunia menyempit hanya menjadi sensasi fisik. Menjadi napas I
Amplop cokelat itu tergeletak di atas tempat tidur seperti sebuah ancaman. Venus menatapnya, jantungnya berdebar kencang. Dengan napas tertahan, dia akhirnya membukanya.Dokumen-dokumen medis dengan grafik yang rumit membuat kepalanya pusing. Namun yang membuat darahnya membeku adalah beberapa foto hitam-putih yang terselip di antara berkas-berkas itu. Foto-foto itu menunjukkan Ian sedang berbicara dengan seorang pria bertubuh tegap yang mengenakan seragam laboratorium putih. Pria itu berdiri membelakangi kamera, wajahnya tidak terlihat, tetapi postur tubuhnya ...“Sepertinya aku pernah melihat seseorang yang posturnya seperti ini,” gumam Venus, jari-jarinya menelusuri bayangan pria dalam foto. Sebuah rasa familiar yang mengganggu menggelitik ingatannya, tetapi dia tidak bisa menangkapnya. “Apa hanya perasaanku saja, ya? Sepertinya dia mirip seseorang.”Tiba-tiba, deru mesin mobil dan suara klakson yang familiar memecah konsentrasinya.