"Nikahin aku, Dan."
Dengan degupan jantung yang tak menentu, ucapan tersebut meluncur dari mulut Adara yang kini duduk berhadapan dengan Danendra, sang sahabat.Barusaja mendapat musibah, Adara memang mengajak Danendra untuk bertemu dan karena merasa tak punya banyak waktu, to the point pun dia lakukan—membuat raut wajah pria di depannya tersebut seketika berubah."Lusa nanti, tolong nikahin aku.""Kenapa, Ra?" tanya Danendra dengan suara tercekat, setelah sebelumnya diam selama beberapa detik.Syok, mungkin itulah yang Danendra rasakan karena setelah sekian lama memendam rasa, diajak menikah secara dadakan oleh gadis yang dia cintai, bukanlah hal sepele."Rafly, Dan. Di-dia ...." Adara menjeda ucapannya ketika rasa sesak melanda. "Dia hilang.""Hilang?!" Lagi, untuk yang kedua kalinya, Danendra dibuat terkejut dengan ucapan Adara. "Hilang gimana maksud kamu?"Adara menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Danendra.Tepat empat hari sebelum pernikahan, Adara mendapat kabar buruk tentang Rafly—calon suaminya yang mengalami kecelakaan di daerah tempat tinggalnya.Kemarin, pria itu memang berpamitan pergi ke Majalengka untuk mengunjungi makam kedua orang tuanya.Mobil yang dikendarai Rafly masuk jurang dan sampai sekarang, pria itu belum ditemukan.Adara ingin menunda saja pernikahannya dengan Rafly.Namun, semua itu ditolak Ginanjar—sang papa yang tentu saja tak mau nama keluarga besarnya tercoreng jika pernikahan putrinya yang akan digelar dua hari lagi batal.Tanpa memedulikan perasaan Adara, Ginanjar menuntut putrinya untuk segera mencari pengganti Rafly, dan pilihan Adara jatuh pada Danendra."Rafly kemarin pulang ke Majalengka, Dan. Dia kecelakaan, dan mobilnya masuk jurang," ungkap Adara tercekat."Dan sampai sekarang Rafly belum ditemuin.""Ya ampun." Danendra berucap pelan lalu meletakkan telapak tangannya di dagu. "Aku turut berduka, Ra. Sabar ya.""Jadi gimana, Dan?" tanya Adara—mengabaikan ucapan bela sungkawa Danendra. "Kamu mau, kan, nikahin aku?"Danendra yang semula duduk sedikit condong, kini kembali duduk tegap."Kenapa pernikahannya enggak ditunda sampai Rafly ketemu, Ra?" tanya Danendra.Sejak dulu Danendra mencintai Adara, tapi mendapat ajakkan menikah secara dadakan seperti ini, dia pun bingung.Terlebih lagi, yang saat ini Danendra tahu alasan Adara mengajak dia menikah hanya karena Rafly kecelakaan dan hilang.Bukankah terlalu sepele jika hanya karena itu, Adara sampai ingin mengajaknya menikah dan membatalkan pernikahan dia dengan Rafly?"Enggak bisa, Dan. Situasi enggak memungkinkan buat nunggu Rafly.""Aku punya pacar, Ra," ucap Danendra kemudian. "Gimana nasib pacar aku kalau aku nikahin kamu?""Danendra." Adara mendesah, sementara kedua matanya mulai berkaca-kaca.Sungguh, jika bukan Danendra kepada siapa lagi Adara minta tolong?Ginanjar mengancam akan mengeluarkannya dari kartu keluarga kalau pernikahan tak jadi dilangsungkan dan Adara tentu saja tak siap dengan semua itu."Selain sama kamu, aku enggak tau harus minta tolong sama siapa lagi," lirih Adara. "Tolongin aku, Dan. Please."Adara mengulurkan kedua tangannya lalu menggenggam tangan Danendra yang kebetulan berada di atas meja."Aku punya Felicya, Ra. Aku udah enggak sendiri," kata Danendra. "Kalau aku nikahin kamu, Felycia pasti enggak akan terima.""Dan, ya ampun. Dan." Bukan lagi berkaca-kaca, Adara mulai terisak. "Bantuin aku, Dan. Please. Kamu cuman perlu nikahin aku. Setelah itu, mau kamu ceraikan aku lagi atau apa pun, terserah kamu. Aku butuh kamu besok lusa.""Pernikahan bukan untuk dipermainkan, Ra," ucap Danendra yang jujur saja sudah merasa sangat tidak tega melihat Adara menangis.Meskipun dia sudah menjalin hubungan dengan Felicya, sejauh ini perasaan cintanya pada Adara masih ada."Pernikahan itu sesuatu yang sakral, kamu tahu itu, kan?""Yes, i know, Dan," ucap Adara. "Tapi aku enggak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Papa ancam mau keluarin aku dari kartu keluarga kalau pernikahan ini sampai batal.""Serius?" tanya Danendra tak percaya, dan Adara mengangguk sebagai jawaban."Iya. Papa bilang keluarga besarnya akan malu kalau pernikahan aku batal. Kamu tahu sendiri kan, seberapa penting nama baik buat Papa aku?" tanya Adara."Mau gimana hidup aku kalau tanpa keluarga, Dan?"Danendra terdiam. Di satu sisi, dia mau membantu Adara dan menikahi gadis itu, karena selain rasa cintanya, Danendra juga tak tega jika Adara sampai dikeluarkan dari keluarganya.Namun, di lain sisi, bagaimana Felicya—gadis pilihan mamanya yang sudah menjalin hubungan sebulan lebih dengan Danendra?Felicya pasti akan sangat marah jika pulang dari luar negeri nanti mendapati Danendra sudah menikah dengan orang lain.Ah, Danendra bingung! Dia dilema dan tak tahu harus melakukan apa.Ya Tuhan, jalan apa yang harus Danendra ambil?"Danendra kamu mau kan, Dan?" tanya Adara memastikan."Ra, aku-"Ucapan Danendra terhenti ketika Adara beranjak dari kursi yang diduduknya lalu setelah itu dia duduk bersimpuh di samping kursi Danendra."Kalau perlu, aku sujud di kaki kamu supaya kamu mau bantu aku.""Ra, jangan gini, Ra," kata Danendra sambil membungkukan badannya. "Kamu enggak usah ngelakuin ini. Ayo bangun.""Nikahin aku, Danendra. Please." Setelah bersimpuh, Adara menyatukan kedua telapak tangannya.Memohon.Adara mengabaikan harga diri juga rasa malu akan tatapan para pengunjung restoran yang memerhatikannya.Bukan hanya tak siap miskin tanpa fasilitas sang Papa, Adara juga takut jika kacaunya pernikahan dia akan berimbas pada sang mama yang selalu menjadi pelampiasan amarah Ginanjar."Adara bangun, Ra. Orang-orang lihatin kita," pinta Danendra sambil meraih kedua tangan Adara agar gadis itu beranjak.Namun, Adara tetap pada posisinya. Sebelum Danendra mengiakan permintaannya, Adara tak akan bangun dan jika perlu, dia akan benar-benar bersujud di kaki sahabatnya itu."Enggak, Danendra. Sebelum kamu iyain apa yang aku minta, aku enggak akan bangun," tolak Adara."Adara," panggil Danendra.Demi apapun—melihat Adara seperti ini, hati Danendra rasanya makin teriris.Danendra tak bisa membiarkan air mata Adara keluar lebih banyak lagi, tapi dia pun masih bingung dengan status hubungannya dengan Felicya nanti."Enggak ada yang bisa aku mintai tolong selain kamu, Dan," kata Adara—masih dengan isakkan tangisnya. "Kamu harapan aku satu-satunya."Danendra diam. Tak menjawab ucapan Adara, dia memilih untuk memikirkan semuanya dengan matang."Ra," panggil Danendra setelah hampir satu menit dia berpikir. "Bangun.""Gimana, Dan?" tanya Adara."Bangun dulu," pinta Danendra sambil membantu Adara beranjak, dan untuk kali ini perempuan itu menurut.Adara berdiri lalu kembali duduk di kursinya semula dan yang dia lakukan adalah; menatap Danendra dengan kedua matanya yang sembab."Aku udah ambil keputusan," kata Danendra—membalas tatapan Adara, sementara kedua tangannya berada di atas meja.Kedua mata Adara sedikit berbinar. Secercah harapan muncul di hati—bersamaan dengan lengkukan tipis yang refleks terbentuk di bibir merah mudanya."Apa yang kamu putuskan, Dan?" tanya Adara penuh harap."Ra, aku ....""Mau, kan, kamu nikahin aku, Danendra?""Menikah lusa? Are you kidding, Danendra Alexander?"Adam Manuel Alexander, terlihat begitu terkejut ketika Danendra—sang putra mengutarakan niatnya untuk menikahi seorang gadis lusa nanti.Tahu dengan siapa putra keduanya itu memiliki hubungan, Adam tak menyangka Danendra meminta izin untuk menikahi gadis yang nyatanya bukan kekasih dia."Jangan ngaco, Dan. Kamu ini kalau bercanda suka enggak kira-kira."Sekarang bukan hanya Adam yang terlihat begitu terkejut dengan pernyataan Danendra, tapi Teresa—sang mama pun ikut terkejut. Bahkan, menduga jika semua ini hanya sebuah candaan belaka.Tentu saja. Selama sebulan ini Danendra sudah menjalin hubungan dengan Felicya—gadis cantik yang sengaja dijodohkan Teresa agar putra keduanya itu berhenti mengharapkan Adara.Namun, malam ini—tanpa ada kabar sebelumnya, Danendra tiba-tiba saja datang membawa Adara dan bilang akan menikah. Bukankah itu terlalu mengejutkan?Ah, jika seandainya Teresa punya penyakit jantiung, mungkin dia sudah di rumah s
***Garden party.Begitulah tema pesta resepsi pernikahan Adara dan Danendra sore ini. Digelar di tempat yang sama dengan tempat akad nikah, acara nampak meriah oleh tamu-tamu terhormat.Menjalani serangkaian proses, siang tadi Adara dan Danendra resmi menikah. Direstui kedua pihak keluarga, acara berjalan dengan lancar dan khidmat.Menggantikan Rafly, Danendra menjalankan tugasnya dengan baik—membuat keluarga Adara bahagia. Namun, tentunya tidak dengan Adara sendiri, karena alih-alih hanyut dalam kebahagiaan, perempuan itu justru dilanda sedih.Tak sebentar, rasa sedih Adara awet hingga sekarang karena melihat semua yang ada di venue pernikahan, dirinya teringat pada Rafly yang entah bagaimana nasibnya.Ah, Rafly. Di tengah hingar bingar pesta resepsi, pikiran Adara justru berkelana memikirkan kekasihnya itu. Masih hidupkah dia? Selamatkah dia? Atau mungkin sekarang Rafly sudah di surga?Ah, Ya Tuhan. Rasanya semua ini berat bagi Adara. Membayangkan Rafly tak selamat membuat hatinya
"Memalukan!"Adara hanya menunduk tanpa berani menatap sang papa yang terlihat cukup marah padanya.Pesta resepsi selesai, Ginanjar yang malu dengan kelakuan Adara—meninggalkan Danendra tadi begitu saja, tentunya langsung menarik tangan sang putri lalu membawanya ke kamar untuk dia tegur.Ginanjar Lazuardi—pengusaha yang memiliki ambisi tinggi itu memang cukup menjunjung tinggi nama baik keluarganya. Siapapun itu—sekalipun itu Adara, jika berani mencoreng nama baik keluarganya, Ginanjar akan memberikan teguran."Maaf, Pa. Adara cuman refleks tadi," kata Adara. "Adara tiba-tiba aja denger suara Rafly, Pa.""Pembodohan," celetuk Ginanzar. "Kamu pikir Papa akan percaya dengan cerita halusinasi kamu, hm? Rafly sudah mati, Adara. Lupakan dia. Suami kamu sekarang, Danendra.""Pa." Adara mendongak—menatap sang papa tak terima ketika kata 'mati' terlontar begitu saja. Padahal, sampai detik ini Adara masih berharap Rafly masih hidup. Meskipun kemungkinannya kecil. "Rafly belum tentu meninggal!
***"Dan, ini baju aku simpan di mana?""Di lemari yang putih aja, Ra. Kosong kok itu.""Oke."Hari ini—satu hari setelah hari pernikahan mereka, Danendra dan Adara langsung pindah ke apartemen milik Danendra.Tak terlalu membawa banyak baju, keduanya hanya menggerek dua koper menuju apartemen yang terbilang cukup mewah tersebut.Seorang Danendra Putra Alexander memang tak bisa diragukan lagi. Di usianya yang baru saja menginjak dua puluh delapan tahun, karirnya sudah bersinar.Disokong sang Papa yang menjadi salah satu pimpinan di perusahaan besar Alexander grup, tak sulit rasanya bagi Danendra membangun karir."Capek juga."Selesai membereskan semua bajunya di lemari, Adara duduk di ujung kasur dengan kedua tangannya yang bertumpu ke belakang."Capek?" tanya Danendra."Lumayan," jawab Adara.Danendra tersenyum lalu ikut duduk di samping Adara. "Habis ini kita makan," ucapnya."Makan apa?""Makan hati?" tanya Danendra yang membuat Adara memandangnya. "Aku bercanda."Adar tersenyum. U
***"Lagi ngerjain apa, Dan?"Baru keluar dari kamar mandi, Adara langsung melayangkan pertanyaan tersebut ketika melihat Danendra duduk di depan laptop yang disimpan di meja kerjanya.Memiliki ukuran yang cukup luas, kamar tersebut memang diisi beberapa furniture. Selain sofa, di kamar Danendra juga terdapat meja kerja, meja rias juga lainnya."Laporan keuangan," jawab Danendra. Dia kemudian menoleh—memandang Adara yang masih memakai bathrobes berwarna putih juga handuk yang melilit rambut basahnya. "Udah selesai mandinya?""Udah," jawab Adara. "Kenapa?""Mau ajak kamu makan," kata Danendra. "Aku udah pesen makanannya tadi. Udah datang juga.""Oh oke, aku pake baju dulu," kata Adara. Setelah itu dia berjalan menuju lemari lalu mengeluarkan setelan piyama satin berwarna merah muda dari sana. "Dan.""Ya?""Aku males ke kamar mandi," ucap Adara. "Kamu bisa keluar dulu, enggak? Aku mau pake baju.""Oh oke," kata Danendra. Tak banyak bicara, dia langsung meng-shut down laptopnya lalu meny
***"Dan, bangun. Udah pagi. Kamu mau ikut ke Majalengka, kan?"Adara yang sudah rapi dengan pakaiannya lantas duduk di pinggir kasur sebelah kanan untuk membangunkan Danendra yang masih tertidur pulas.Tak ada respon, Adara yabg semula duduk di kasur kini berpindah tepat. Dia berjongkok di depan wajah Danendra dan sial, jantungnya seolah berhenti berdetak ketika dia melihat wajah polos sang suami ketika tidur.Menggemaskan seperti bayi. Entah kenapa tiga kata itu langsung terbersit di pikiran Adara ketika pupil matanya tak kunjung beralih dari Danendra."Enggak, Ra. Kamu enggak boleh cinta sama Danendra," gumam Adara—segera menyadarkan dirinya dari lamunan. "Ada Rafly. Dia udah kembali, Ra. Sadar."Adara menarik napas pelan lalu fokus pada tujuan awalnya berjongkok di depan Danendra. Pelan, dia mengulurkan tangan lalu menepuk bahu pria itu. "Danendra bangun, Dan. Udah jam tujuh," kata Adara lagi dan kali ini Danendra merespon.Membuka matanya perlahan, Danendra mengerjap ketika persi
***"Siapa, Ra?"Danendra langsung keluar dari kamar sesaat setelah dirinya memakai kaos hitam polos juga celana pendek. Mengerutkan kening, dia memandang Adara yang masih berdiri di dekat pintu."Lho, enggak dibuka?""Degdegan," kata Adara apa adanya.Penasaran, Danendra berjalan mendekati Adara lalu memandang intercom di samping pintu. Teresa. Di luar sana sang mama berdiri sambil menenteng kotak makan susun di tangannya."Mama," gumam Danendra. Dari intercom, dia memandang Adara. "Mama aku lho, Ra. Kenapa enggak dibukain?""Kamu aja," kata Adara. "Aku takut.""Takut kenapa? Mama aku enggak makan orang kok," tanya Danendra.Adara hanya tersenyum meringis tanpa menjawab ucapan Danendra, sementara jantungnya berdegup dua kali lebih kencang.Sikap Teresa yang masih terlihat sinis padanya memang membuat Adara segan. Dia tahu mertuanya itu tak suka padanya karena sudah mengganggu hubungan Danendra dan Felicya.Dan sekarang—jika bisa, ingin sekali rasanya Adara minggat saja ke kamar agar
***"Dan.""Hm."Danendra yang sejak beberapa menit lalu berdiri di depan cermin—merapikan penampilan lantas bergumam pelan ketika namanya kembali dipanggil Adara yang saat ini duduk di pinggir kasur."Sekali lagi maaf ya," ucap Adara penuh sesal. Entah sudah berapa kali dia meminta maaf—sejak kejadian Teresa tadi, hatinya tetap merasa tak enak karena secara tak langsung dialah penyebab dari perselisihan ibu dan anak itu.Danendra menghela napas. Dia yang sudah tampan dengan kemeja abunya berbalik badan lalu bersandar pada meja rias di sana."Kenapa minta maaf terus? Kamu enggak salah," ucap Danendra.Tahu Danendra tak lagi membelakanginya, Adara menoleh lalu memandang sang suami. "Secara enggak langsung aku salah, Dan," ucapnya. "Semua ini kan bermula dari aku. Kalau aku enggak minta tolong kamu buat nika-""Sssst." Danendra beranjak. Dia berjalan menghampiri Adara lalu berjongkok di depan perempuan itu dan setelahnya, sebuah tatapan teduh diberikan Danendra untuk sang istri. "Semua