***
"Dan, ini baju aku simpan di mana?""Di lemari yang putih aja, Ra. Kosong kok itu.""Oke."Hari ini—satu hari setelah hari pernikahan mereka, Danendra dan Adara langsung pindah ke apartemen milik Danendra.Tak terlalu membawa banyak baju, keduanya hanya menggerek dua koper menuju apartemen yang terbilang cukup mewah tersebut.Seorang Danendra Putra Alexander memang tak bisa diragukan lagi. Di usianya yang baru saja menginjak dua puluh delapan tahun, karirnya sudah bersinar.Disokong sang Papa yang menjadi salah satu pimpinan di perusahaan besar Alexander grup, tak sulit rasanya bagi Danendra membangun karir."Capek juga."Selesai membereskan semua bajunya di lemari, Adara duduk di ujung kasur dengan kedua tangannya yang bertumpu ke belakang."Capek?" tanya Danendra."Lumayan," jawab Adara.Danendra tersenyum lalu ikut duduk di samping Adara. "Habis ini kita makan," ucapnya."Makan apa?""Makan hati?" tanya Danendra yang membuat Adara memandangnya. "Aku bercanda."Adar tersenyum. Untung beberapa detik saling melempar tatapan, dia buka suara. "Tapi, Dan," ucapnya. "Aku mau jujur sama kamu dari sekarang.""Jujur apa?""Aku enggak bisa masak," ungkap Adara. "Aku cuman buat mie rebus, telur ceplok, sama nasi goreng. Kamu enggak apa-apa, kan?""Its okay," jawab Danendra. "Aku bukan orang yang ribet. Masalah makanan, kita bisa beli.""Makasih udah banyak ngerti," ujar Adara."Sama-sama."Setelahnya Adara beranjak dari kasur lalu berjalan menuju sisi kamar yang hanya dihalangi oleh kaca besar. Berada di lantai lima belas, dari apartemen Danendra dia bisa melihat pemandangan kota Jakarta."Dan, ini bisa dibuka enggak kacanya?""Bisa," jawab Danendra. "Geser aja.""Oh oke," kata Adara. Dia kemudian mencari bagian kaca tersebut yang bisa dia geser. Mengukir senyum, Adara berjalan ke sisi kanan untuk membuka kaca tersebut.Namun, tentu saja semua itu tak semudah yang dia bayangkan karena ternyata pintu kaca besar tersebut cukup berat."Susah ya?" Danendra beranjak lalu berdiri di belakang Adara. Mengulurkan kedua tangannya dia membantu Adara menggeser kaca tersebut hingga terbuka sebagian.Hal sederhana, tapi entah kenapa Adara dibuat kelabakan karenanya. Jantung Adara berdegup kencang ketika aroma mint dari tubuh Danendra menguar di sekelilingnya."Udah, Ra. Kamu bisa keluar."Adara mengejap ketika suara Danendra terdengar. Menyadarkan dirinya dari lamunan singkat, dia mengukir senyum lalu berjalan menuju balkon kamar dan berdiri di dekat pembatas untuk menikmati pemandangan, sementara Danendra duduk di kursi yang tersedia di sana."Pemandangannya bagus ya kalau dilihat dari atas," ucap Adara sambil menoleh pada Danendra lalu setelah itu dia berbalik badan—menghadap sang suami yang kini bersandar pada kursi. "Aku pernah mau juga beli apartemen kaya kamu, tapi enggak bisa.""Kenapa?""Gak diizinin Papa," jawab Adara. "Sebenernya satu tahunan lalu aku sama Rafly udah berencana buat tinggal di apartemen pas udah nikah, tapi Papa minta aku sama dia tinggal di rumah aku aja.""Oh gitu ya," kata Danendra disertai senyuman tipis. Lagi, untuk yang kesekian kalinya di sela obrolan yang tercipta diantara mereka, Adara pasti menyelipkan nama Rafly.Wajar memang. Bertahun-tahun bersama pasti membuat Adara candu akan kekasihnya itu, tapi egoiskah jika Danendra tak suka Adara membahas kekasihnya di depan dia?"Iya," jawab Adara. "Rafly bahkan udah sisihin setengah dari gajinya lho, Dan. Meskipun mahal, dia bilang mau beliin apartemen yang aku mau, tapi ya itu. Papa aku enggak izinin."Adara terlihat begitu antusias ketika bercerita tentang Rafly, karena baginya pria itu memang mengagumkan.Datang dari kampung lalu kuliah di Jakarta karena beasiswa, Adara sangat kagum akan semangat Rafly yang menggebu hingga akhirnya dia bisa lulus lalu bekerja di perusahaan sang Papa."Tapi sekarang Papa kamu kayanya udah berubah pikiran ya," ujar Danendra. "Waktu aku izin buat ajak kamu tinggal di apartemen kayanya Papa kamu enggak keberatan sama sekali."Adara tersenyum samar. "Karena Papa suka kamu," jawabnya."Maksudnya?" tanya Danendra. "Om Ginanjar enggak suka Rafly, gitu?""Yes, of course," kata Adara. "Kamu enggak tahu aja kalau buat dapatin restu dari Papa, Rafly berjuang mati-matian. Kamu tahu sendiri Papa aku gimana, kan? Dia selalu memandang orang dari nama besar bahkan keluarga. Jadi ya, waktu aku minta restu sama Papa buat jalanin hubungan yang lebih serius, Papa enggak setuju.""Maaf aku enggak tahu," ucap Danendra.Tentu saja Danendra tidak akan tahu, karena selain sibuk dengan pekerjaan, selama ini dia sibuk menata hati dan melupakan Adara. Meskipun, pada akhirnya dia selalu gagal melakukan semua itu.Karena semakin lama dia berusaha melupakan Adara, rasa cinta itu justru semakin tumbuh dan berkembang."Its okay, enggak perlu minta maaf juga kali," ujar Adara. Dia kemudian berjalan menghampiri Danendra lalu duduk di samping pria itu. "Kamu tahu? Kamu itu menantu idaman Papa aku. Waktu aku kasih tahu hubungan aku sama Rafly untuk yang pertama kalinya, Papa justru ngomong kalau kamu lebih cocok sama aku dibanding Rafly.""Seriously?" tanya Danendra tak percaya."Iya," jawab Adara. "Kamu itu memenuhi kriteria Papa banget. Mapan, dari keluarga terhormat, dan punya masa depan cerah. Beda sama Rafly yang berasal dari keluarga sederhana.""Maaf kalau selama ini aku jadi kerikil buat hubungan kamu sama Rafly," ungkap Danendra."Apa sih, Dan?" tanya Adara. "Ini bukan salah kamu kali. Ngapain minta maaf?""Tetap aja karena aku, hubungan kamu terhambat," kata Danendra.Adara tersenyum. Membicarakan Rafly, rasa rindu kembali melanda hatinya. Bagaimana keadaan laki-laki itu sekarang? Apa masih hidup atau sudah? Ah ... rasanya sakit jika pada akhirnya Adara harus kehilangan Rafly.Jika boleh ditanya sanggup atau tidak? Maka jawabannya adalah tidak. Adara tak sanggup jika Rafly pergi meninggalkannya begitu saja."Kenapa?" tanya Danendra ketika dia menyadari raut sendu yang tersirat di wajah Adara."Dan." Adara menatap Danendra lekat. "Menurut kamu, besar enggak sih kemungkinan Rafly selamat dan baik-baik aja?""Hm, aku enggak bisa memastikan, Ra. Aku enggak tahu medan kecelakaan Rafly kaya gimana," kata Danendra. "Tapi kamu tenang aja, aku doain Rafly selamat.""Kenapa?" Kali ini Adara yang bertanya."Kenapa apanya?""Kenapa kamu mau doain Rafly selamat?" tanya Adara. "Kamu cinta sama aku, kan? Kenapa kamu justru doain dia yang baik-baik?""Karena aku bukan orang yang picik, Ra," ucap Danendra. "Aku emang cinta sama kamu, tapi aku enggak seegois itu. Kalau kamu bahagia sama Rafly, aku juga ikut bahagia.""Kenapa kamu baik?" tanya Adara. "Sadar enggak sih, aku jadiin kamu pengganti?""Yeah, tentu aja aku sadar akan hal itu," ucap Danendra. "But, its okay. Aku enggak masalah dengan hal itu.""Dan.""Akhiri aja pembahasannya, Ra. Aku tahu pikiran kamu lagi enggak baik-baik aja," kata Danendra. Dia kemudian beranjak dari kursi lalu berjalan menuju pintu. "Aku mau pesen makanan, kamu mau apa?""Gimana kamu aja," ucap Adara."Oh ya udah," jawab Danendra."Dan, tunggu dulu," kata Adara. Beranjak, dia berjalan menghampiri Danendra. "Aku mau ngomong sesuatu sama kamu.""Apa?""Kalau seandainya Rafly masih hidup dan dia baik-baik aja," ucap Adara. Dia menatap lekat Danendra untuk beberapa detik sebelum melanjutkan ucapannya. "Enggak apa-apa kan, kalau kita pisah dan mengakhiri pernikahan kita?"***"Lagi ngerjain apa, Dan?"Baru keluar dari kamar mandi, Adara langsung melayangkan pertanyaan tersebut ketika melihat Danendra duduk di depan laptop yang disimpan di meja kerjanya.Memiliki ukuran yang cukup luas, kamar tersebut memang diisi beberapa furniture. Selain sofa, di kamar Danendra juga terdapat meja kerja, meja rias juga lainnya."Laporan keuangan," jawab Danendra. Dia kemudian menoleh—memandang Adara yang masih memakai bathrobes berwarna putih juga handuk yang melilit rambut basahnya. "Udah selesai mandinya?""Udah," jawab Adara. "Kenapa?""Mau ajak kamu makan," kata Danendra. "Aku udah pesen makanannya tadi. Udah datang juga.""Oh oke, aku pake baju dulu," kata Adara. Setelah itu dia berjalan menuju lemari lalu mengeluarkan setelan piyama satin berwarna merah muda dari sana. "Dan.""Ya?""Aku males ke kamar mandi," ucap Adara. "Kamu bisa keluar dulu, enggak? Aku mau pake baju.""Oh oke," kata Danendra. Tak banyak bicara, dia langsung meng-shut down laptopnya lalu meny
***"Dan, bangun. Udah pagi. Kamu mau ikut ke Majalengka, kan?"Adara yang sudah rapi dengan pakaiannya lantas duduk di pinggir kasur sebelah kanan untuk membangunkan Danendra yang masih tertidur pulas.Tak ada respon, Adara yabg semula duduk di kasur kini berpindah tepat. Dia berjongkok di depan wajah Danendra dan sial, jantungnya seolah berhenti berdetak ketika dia melihat wajah polos sang suami ketika tidur.Menggemaskan seperti bayi. Entah kenapa tiga kata itu langsung terbersit di pikiran Adara ketika pupil matanya tak kunjung beralih dari Danendra."Enggak, Ra. Kamu enggak boleh cinta sama Danendra," gumam Adara—segera menyadarkan dirinya dari lamunan. "Ada Rafly. Dia udah kembali, Ra. Sadar."Adara menarik napas pelan lalu fokus pada tujuan awalnya berjongkok di depan Danendra. Pelan, dia mengulurkan tangan lalu menepuk bahu pria itu. "Danendra bangun, Dan. Udah jam tujuh," kata Adara lagi dan kali ini Danendra merespon.Membuka matanya perlahan, Danendra mengerjap ketika persi
***"Siapa, Ra?"Danendra langsung keluar dari kamar sesaat setelah dirinya memakai kaos hitam polos juga celana pendek. Mengerutkan kening, dia memandang Adara yang masih berdiri di dekat pintu."Lho, enggak dibuka?""Degdegan," kata Adara apa adanya.Penasaran, Danendra berjalan mendekati Adara lalu memandang intercom di samping pintu. Teresa. Di luar sana sang mama berdiri sambil menenteng kotak makan susun di tangannya."Mama," gumam Danendra. Dari intercom, dia memandang Adara. "Mama aku lho, Ra. Kenapa enggak dibukain?""Kamu aja," kata Adara. "Aku takut.""Takut kenapa? Mama aku enggak makan orang kok," tanya Danendra.Adara hanya tersenyum meringis tanpa menjawab ucapan Danendra, sementara jantungnya berdegup dua kali lebih kencang.Sikap Teresa yang masih terlihat sinis padanya memang membuat Adara segan. Dia tahu mertuanya itu tak suka padanya karena sudah mengganggu hubungan Danendra dan Felicya.Dan sekarang—jika bisa, ingin sekali rasanya Adara minggat saja ke kamar agar
***"Dan.""Hm."Danendra yang sejak beberapa menit lalu berdiri di depan cermin—merapikan penampilan lantas bergumam pelan ketika namanya kembali dipanggil Adara yang saat ini duduk di pinggir kasur."Sekali lagi maaf ya," ucap Adara penuh sesal. Entah sudah berapa kali dia meminta maaf—sejak kejadian Teresa tadi, hatinya tetap merasa tak enak karena secara tak langsung dialah penyebab dari perselisihan ibu dan anak itu.Danendra menghela napas. Dia yang sudah tampan dengan kemeja abunya berbalik badan lalu bersandar pada meja rias di sana."Kenapa minta maaf terus? Kamu enggak salah," ucap Danendra.Tahu Danendra tak lagi membelakanginya, Adara menoleh lalu memandang sang suami. "Secara enggak langsung aku salah, Dan," ucapnya. "Semua ini kan bermula dari aku. Kalau aku enggak minta tolong kamu buat nika-""Sssst." Danendra beranjak. Dia berjalan menghampiri Adara lalu berjongkok di depan perempuan itu dan setelahnya, sebuah tatapan teduh diberikan Danendra untuk sang istri. "Semua
***"Ini rumahnya?""Iya, ini rumahnya."Setelah terhambat macet, Adara dan Danendra akhirnya sampai di Majalengka setelah tiga jam menempuh perjalanan yang cukup melelahkan.Berada di perkampungan, suasana asri masih terasa ketika mobil Danendra berhenti persis di depan sebuah rumah sederhana yang memiliki pagar besi pendek.Kata Adara itu rumah sepupu Rafly yang semalam menghubunginya. Delapan tahun berpacaran, Adara memang sudah cukup akrab dengan saudara Rafly bahkan dia pun beberapa kali berkunjung.""Ya udah."Berjalan lebih dulu diikuti Danendra yang mengikutinya dari belakang, Adara sampai di depan pintu."Degdegan," ucap Adara sambil menghela napas pelan ketika tangannya perlahan terulur—berniat mengetuk pintu."Gak sabar ketemu Rafly ya?" tanya Danendra.Adara menoleh lalu tersenyum. "Iya," jawabnya. "Aku udah enggak sabar pengen ketemu dia.""Semoga Rafly baik-baik aja," ucap Danendra."Aamiin," ucap Adara. Kembali memandang pintu bercat putih di depannya, Adara memantapkan
***"Rafly."Perlahan manik mata itu terbuka setelah hampir satu jam tertutup. Adara mengerjap kemudian mengedarkan pandangannya hingga tak lama kedua matanya tertuju pada seorang pria yang tengah duduk di sampingnya sambil meletakkan kepala di samping tangan Adara."Danendra." Adara berucap pelan—membuat Danendra yang sempat terlelap seketika terbangun lalu ikut mengerjap."Ra, kamu bangun juga," kata Danendra."Aku di mana?" tanya Adara. Kesadarannya belum terkumpul, dia tak mengingat apa yang sudah terjadi padanya satu jam lalu. "Aku kenapa?""Kamu pingsan tadi," ucap Danendra."Pingsan?" Adara beringsut kemudian duduk di kasur queen size milik Muthia yang sejak tadi di tiduri. "Aku pingsan kena .... "Adara terdiam ketika otaknya perlahan mulai bekerja—mengingat kembali kejadian apa saja yang dia alami seharian ini. Sarapan bersama Teresa, perjalanan menuju Majalengka, Sesampainya di rumah Wulan, hingga yang paling baru adalah ketika dirinya tiba-tiba saja lemas setelah melihat na
***"Nyaman?""Udah, Dan. Nyaman."Setelah maghrib, Adara juga Danendra memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Hampir satu jam lebih berdiam dan bermonolog di samping pusara Rafly, hati dan pikiran Adara akhirnya mulai tenang.Terlebih lagi ada Danendra yang setia menghiburnya sejak tadi, bahkan Danendra pun berjanji akan selalu ada di samping Adara sebagai pengganti Rafly.Pengganti. Entah kenapa satu kata itu seolah melekat pada diri Danendra sekarang karena mungkin memang itulah dirinya. Ditakdirkan untuk menjadi pengganti Rafly di kehidupan Adara dan tentu saja meskipun pesimis, Danendra berharap perlahan statusnya bukan lagi pengganti, tapi yang utama di hati Adara."Ya udah kalau gitu," kata Danendra. Menutup pintu bagian kiri, dia kemudian mengitari porsche hitamnya lalu duduk di kursi kemudi.Berpamitan pada Wulan juga Muthia, pukul setengah tujuh malam, Danendra juga Adara benar-benar pergi meninggalkan kampung halaman Rafly menuju Jakarta.Sebenarnya Adara ingin sekali mengin
***"Akhirnya sampai juga."Danendra melepaskan kedua tangannya dari setir tepat setelah porsche yang sejak tadi dia kendarai berhenti di basemant apartemen.Sempat terjebak macet, pukul sepuluh malam Danendra dan Adara akhirnya sampai setelah menempuh perjalanan panjang dari Majalengka.Alih-alih menemani Danendra, Adara sudah tidur sejak satu jam lalu—membuat Danendra terpaksa mengemudi dalam suasana hening juga dalam keadaan yang sedikit mengantuk. Beruntung, setelahnya dia dan Adara bisa sampai dengan selamat."Pulas banget kamu tidurnya, Ra," gumam Danendra pasca melepas safetybelt lalu memandangi Adara yang terlelap dalam tidurnya Mengulurkan tangan, Danendra menyelipkan anak rambut Adara ke belakang telinga agar tak menghalangi wajah cantik perempuan itu. Untuk beberapa detik, Danendra tersenyum. Namun, senyuman itu kembali luntur ketika ucapan Felicya di telepon tadi kembali terlintas di pikirannya."Awas ya kalau kamu berani selingkuh dari aku, Dan. Aku percaya kamu. Aku yak