Share

5). Menantu Idaman

***

"Dan, ini baju aku simpan di mana?"

"Di lemari yang putih aja, Ra. Kosong kok itu."

"Oke."

Hari ini—satu hari setelah hari pernikahan mereka, Danendra dan Adara langsung pindah ke apartemen milik Danendra.

Tak terlalu membawa banyak baju, keduanya hanya menggerek dua koper menuju apartemen yang terbilang cukup mewah tersebut.

Seorang Danendra Putra Alexander memang tak bisa diragukan lagi. Di usianya yang baru saja menginjak dua puluh delapan tahun, karirnya sudah bersinar.

Disokong sang Papa yang menjadi salah satu pimpinan di perusahaan besar Alexander grup, tak sulit rasanya bagi Danendra membangun karir.

"Capek juga."

Selesai membereskan semua bajunya di lemari, Adara duduk di ujung kasur dengan kedua tangannya yang bertumpu ke belakang.

"Capek?" tanya Danendra.

"Lumayan," jawab Adara.

Danendra tersenyum lalu ikut duduk di samping Adara. "Habis ini kita makan," ucapnya.

"Makan apa?"

"Makan hati?" tanya Danendra yang membuat Adara memandangnya. "Aku bercanda."

Adar tersenyum. Untung beberapa detik saling melempar tatapan, dia buka suara. "Tapi, Dan," ucapnya. "Aku mau jujur sama kamu dari sekarang."

"Jujur apa?"

"Aku enggak bisa masak," ungkap Adara. "Aku cuman buat mie rebus, telur ceplok, sama nasi goreng. Kamu enggak apa-apa, kan?"

"Its okay," jawab Danendra. "Aku bukan orang yang ribet. Masalah makanan, kita bisa beli."

"Makasih udah banyak ngerti," ujar Adara.

"Sama-sama."

Setelahnya Adara beranjak dari kasur lalu berjalan menuju sisi kamar yang hanya dihalangi oleh kaca besar. Berada di lantai lima belas, dari apartemen Danendra dia bisa melihat pemandangan kota Jakarta.

"Dan, ini bisa dibuka enggak kacanya?"

"Bisa," jawab Danendra. "Geser aja."

"Oh oke," kata Adara. Dia kemudian mencari bagian kaca tersebut yang bisa dia geser. Mengukir senyum, Adara berjalan ke sisi kanan untuk membuka kaca tersebut.

Namun, tentu saja semua itu tak semudah yang dia bayangkan karena ternyata pintu kaca besar tersebut cukup berat.

"Susah ya?" Danendra beranjak lalu berdiri di belakang Adara. Mengulurkan kedua tangannya dia membantu Adara menggeser kaca tersebut hingga terbuka sebagian.

Hal sederhana, tapi entah kenapa Adara dibuat kelabakan karenanya. Jantung Adara berdegup kencang ketika aroma mint dari tubuh Danendra menguar di sekelilingnya.

"Udah, Ra. Kamu bisa keluar."

Adara mengejap ketika suara Danendra terdengar. Menyadarkan dirinya dari lamunan singkat, dia mengukir senyum lalu berjalan menuju balkon kamar dan berdiri di dekat pembatas untuk menikmati pemandangan, sementara Danendra duduk di kursi yang tersedia di sana.

"Pemandangannya bagus ya kalau dilihat dari atas," ucap Adara sambil menoleh pada Danendra lalu setelah itu dia berbalik badan—menghadap sang suami yang kini bersandar pada kursi. "Aku pernah mau juga beli apartemen kaya kamu, tapi enggak bisa."

"Kenapa?"

"Gak diizinin Papa," jawab Adara. "Sebenernya satu tahunan lalu aku sama Rafly udah berencana buat tinggal di apartemen pas udah nikah, tapi Papa minta aku sama dia tinggal di rumah aku aja."

"Oh gitu ya," kata Danendra disertai senyuman tipis. Lagi, untuk yang kesekian kalinya di sela obrolan yang tercipta diantara mereka, Adara pasti menyelipkan nama Rafly.

Wajar memang. Bertahun-tahun bersama pasti membuat Adara candu akan kekasihnya itu, tapi egoiskah jika Danendra tak suka Adara membahas kekasihnya di depan dia?

"Iya," jawab Adara. "Rafly bahkan udah sisihin setengah dari gajinya lho, Dan. Meskipun mahal, dia bilang mau beliin apartemen yang aku mau, tapi ya itu. Papa aku enggak izinin."

Adara terlihat begitu antusias ketika bercerita tentang Rafly, karena baginya pria itu memang mengagumkan.

Datang dari kampung lalu kuliah di Jakarta karena beasiswa, Adara sangat kagum akan semangat Rafly yang menggebu hingga akhirnya dia bisa lulus lalu bekerja di perusahaan sang Papa.

"Tapi sekarang Papa kamu kayanya udah berubah pikiran ya," ujar Danendra. "Waktu aku izin buat ajak kamu tinggal di apartemen kayanya Papa kamu enggak keberatan sama sekali."

Adara tersenyum samar. "Karena Papa suka kamu," jawabnya.

"Maksudnya?" tanya Danendra. "Om Ginanjar enggak suka Rafly, gitu?"

"Yes, of course," kata Adara. "Kamu enggak tahu aja kalau buat dapatin restu dari Papa, Rafly berjuang mati-matian. Kamu tahu sendiri Papa aku gimana, kan? Dia selalu memandang orang dari nama besar bahkan keluarga. Jadi ya, waktu aku minta restu sama Papa buat jalanin hubungan yang lebih serius, Papa enggak setuju."

"Maaf aku enggak tahu," ucap Danendra.

Tentu saja Danendra tidak akan tahu, karena selain sibuk dengan pekerjaan, selama ini dia sibuk menata hati dan melupakan Adara. Meskipun, pada akhirnya dia selalu gagal melakukan semua itu.

Karena semakin lama dia berusaha melupakan Adara, rasa cinta itu justru semakin tumbuh dan berkembang.

"Its okay, enggak perlu minta maaf juga kali," ujar Adara. Dia kemudian berjalan menghampiri Danendra lalu duduk di samping pria itu. "Kamu tahu? Kamu itu menantu idaman Papa aku. Waktu aku kasih tahu hubungan aku sama Rafly untuk yang pertama kalinya, Papa justru ngomong kalau kamu lebih cocok sama aku dibanding Rafly."

"Seriously?" tanya Danendra tak percaya.

"Iya," jawab Adara. "Kamu itu memenuhi kriteria Papa banget. Mapan, dari keluarga terhormat, dan punya masa depan cerah. Beda sama Rafly yang berasal dari keluarga sederhana."

"Maaf kalau selama ini aku jadi kerikil buat hubungan kamu sama Rafly," ungkap Danendra.

"Apa sih, Dan?" tanya Adara. "Ini bukan salah kamu kali. Ngapain minta maaf?"

"Tetap aja karena aku, hubungan kamu terhambat," kata Danendra.

Adara tersenyum. Membicarakan Rafly, rasa rindu kembali melanda hatinya. Bagaimana keadaan laki-laki itu sekarang? Apa masih hidup atau sudah? Ah ... rasanya sakit jika pada akhirnya Adara harus kehilangan Rafly.

Jika boleh ditanya sanggup atau tidak? Maka jawabannya adalah tidak. Adara tak sanggup jika Rafly pergi meninggalkannya begitu saja.

"Kenapa?" tanya Danendra ketika dia menyadari raut sendu yang tersirat di wajah Adara.

"Dan." Adara menatap Danendra lekat. "Menurut kamu, besar enggak sih kemungkinan Rafly selamat dan baik-baik aja?"

"Hm, aku enggak bisa memastikan, Ra. Aku enggak tahu medan kecelakaan Rafly kaya gimana," kata Danendra. "Tapi kamu tenang aja, aku doain Rafly selamat."

"Kenapa?" Kali ini Adara yang bertanya.

"Kenapa apanya?"

"Kenapa kamu mau doain Rafly selamat?" tanya Adara. "Kamu cinta sama aku, kan? Kenapa kamu justru doain dia yang baik-baik?"

"Karena aku bukan orang yang picik, Ra," ucap Danendra. "Aku emang cinta sama kamu, tapi aku enggak seegois itu. Kalau kamu bahagia sama Rafly, aku juga ikut bahagia."

"Kenapa kamu baik?" tanya Adara. "Sadar enggak sih, aku jadiin kamu pengganti?"

"Yeah, tentu aja aku sadar akan hal itu," ucap Danendra. "But, its okay. Aku enggak masalah dengan hal itu."

"Dan."

"Akhiri aja pembahasannya, Ra. Aku tahu pikiran kamu lagi enggak baik-baik aja," kata Danendra. Dia kemudian beranjak dari kursi lalu berjalan menuju pintu. "Aku mau pesen makanan, kamu mau apa?"

"Gimana kamu aja," ucap Adara.

"Oh ya udah," jawab Danendra.

"Dan, tunggu dulu," kata Adara. Beranjak, dia berjalan menghampiri Danendra. "Aku mau ngomong sesuatu sama kamu."

"Apa?"

"Kalau seandainya Rafly masih hidup dan dia baik-baik aja," ucap Adara. Dia menatap lekat Danendra untuk beberapa detik sebelum melanjutkan ucapannya. "Enggak apa-apa kan, kalau kita pisah dan mengakhiri pernikahan kita?"

Comments (7)
goodnovel comment avatar
Chacha Unyil
jangan pisah dong Ra jalanin aja dulu
goodnovel comment avatar
Chacha Unyil
wajar sih dara belum bisa menerima Danendra seutuhnya karena dia dan Rafly delapan tahun Lo hubungan nya sabar ya dan
goodnovel comment avatar
Chacha Unyil
sabar nya Danendra gak ada lawan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status