***
"Lagi ngerjain apa, Dan?"Baru keluar dari kamar mandi, Adara langsung melayangkan pertanyaan tersebut ketika melihat Danendra duduk di depan laptop yang disimpan di meja kerjanya.Memiliki ukuran yang cukup luas, kamar tersebut memang diisi beberapa furniture. Selain sofa, di kamar Danendra juga terdapat meja kerja, meja rias juga lainnya."Laporan keuangan," jawab Danendra. Dia kemudian menoleh—memandang Adara yang masih memakai bathrobes berwarna putih juga handuk yang melilit rambut basahnya. "Udah selesai mandinya?""Udah," jawab Adara. "Kenapa?""Mau ajak kamu makan," kata Danendra. "Aku udah pesen makanannya tadi. Udah datang juga.""Oh oke, aku pake baju dulu," kata Adara. Setelah itu dia berjalan menuju lemari lalu mengeluarkan setelan piyama satin berwarna merah muda dari sana. "Dan.""Ya?""Aku males ke kamar mandi," ucap Adara. "Kamu bisa keluar dulu, enggak? Aku mau pake baju.""Oh oke," kata Danendra. Tak banyak bicara, dia langsung meng-shut down laptopnya lalu menyimpan benda pipih besar itu di atas meja.Beranjak, Danendra berjalan menuju pintu untuk keluar. Namun, sebelum tangannya meraih handle, dia menoleh lalu memandang Adara yang masih terdiam di tempatnya."Ra.""Ya?""Aku siapin makanan dulu ya.""Iya, Dan. Makasih," kata Adara."Hm."Danendra pergi, Adara segera memakai piyama tidurnya lalu mengeringkan rambut memakai hairdryer yang sengaja dia bawa.Dua puluh menit berlalu, semuanya selesai. Tak mau membuat Danendra menunggu terlalu lama, Danendrs bergegas keluar. Namun, langkahnya terhenti ketika ponsel yang dia simpan di atas meja berbunyi.Bukan panggilan, bunyi tersebut adalah bunyi notifokasi pesan karena memang sekarang sebuah pesan masuk ke ponselnya.[Sepupu Rafly: Kak Dara, Mas Rafly udah ditemuin. Besok ke sini bisa?]Senyuman terbit di bibir Adara bersamaan dengan kedua matanya yang tiba-tiba saja berkaca-kaca, bahkan tanpa sadar tangan Adara yang memegang ponsel pun bergetar."Raf," lirih Adara. "Akhirnya kamu ketemu."Tanpa membalas pesan yang dia dapat, Adara menyimpan ponselnya begitu saja di atas meja lalu berjalan tergesa-gesa keluar dari kamar untuk menghampiri Danendra yang kini sibuk menata makanan di atas meja."Dan!" seru Adara yang langsung membuat Danendra mendongak."Ya, Ra. Kenapa?""Aku baru aja dapat kabar bahagia," ungkap Dara tanpa melunturkan senyumannya sedikit pun.Danendra tersenyum. Meskipun belum tahu kabar apa yang di dapat Adara, mendengar kata 'bahagia' dilontarkan gadis itu, rasanya dia merasa jika kabar yang dimaksud Adara adalah kabar bagus."Kabar apa, Ra?" tanya Danendra—masih dengan senyumannya. Namun, dalam hitungan detik senyuman itu luntur saat Adara mengungkapkan kabar bahagia yang dia maksud."Rafly ketemu, Dan!" seru Adara antusias. Berjalan mengitari meja yang semula menjadi pembatas dia dan Danendra, Adara kini berdiri persis di dekat sang suami yang langsung membalikkan badan untuk menghadap ke arahnha. "Di Majalengka, Rafly kan punya sepupuh, nah aku punya nomor dia dan aku minta sama sepupunya ini buat hubungin aku kalau ada perkembangan dan kamu tau? Barusan dia chat aku terus bilang Rafly ketemu!""Aku senang, Dan! Ya ampun!""Seriously?" Danendra yang semula sempat melunturkan senyumannya, kini mau tak mau memasang wajah bahagia atas kabar yang baru saja diucapkan Adara."Serius dong!" Adara mengangguk antusias. "Demi apapun, Dan! Aku enggak nyangka!""Bagus kalau gitu," ucap Danendra. "Aku ikut senang."Masih dengan senyumannya, Adara memandang Danendra. "Dan," ucapnya."Ya?""Boleh peluk kamu, enggak?""Peluk?" Danendra tiba-tiba saja kikuk.Adara mengangguk. "Yeah! Boleh enggak?" tanyanya."Sure," jawab Danendra singkat. Setelahnya dia langsung merentangkan tangannya dan di detik itu, Adara langsung menabrakkan tubuhnya.Melingkarkan kedua tangannya di pinggang Danendra, Adara menenggelamkan kepalanya di dada bidang sang suami tanpa menghilangkan setitik senyum di bibirnya."Aku enggak nyangka Rafly akhirnya ketemu, Dan," kata Adara.Danendra yang membalas pelukan Adara hanya mengukir senyum tipis. "Keajaiban, Ra," ucapnya. "Mungkin kamu sama Rafly ditakdirkan berjodoh, makanya dia masih dikasih keselamatan.""Iya ya, Dan," ucap Adara tanpa melepaskan pelukannya. "Pengen nangis aku, Dan. Aku enggak tahu harus berkata apalagi.""Jangan nangis dong, kan bahagia. Masa nangis?" tanya Danendra. Setelahnya dia mengurai pelukan dengan Adara lalu memandang gadis itu dengan seksama.Kedua mata Adara berkaca-kaca sebagai tanda bahwa dia memang benar-benar bahagia karena kabar Rafly, tanpa sadar jika kebahagiaannya ini—sekali lagi, menggoreskan luka di hati Danendra.Ini baru hari kedua setelah pernikahan mereka kemarin, tapi Danendra sepertinya harus bersiap-siap untuk kehilangan Adara lagi karena seperti yang diucapkannya tadi siang, Adara akan menggugat cerai Danendra jika Rafly ditemukan.Karena pada hakikatnya, Danendra memang hanya 'pengganti' yang memiliki sifat sementara.Sial. Danendra kini merutuki hatinya sendiri yang sempat berharap Rafly tak diketemukan agar Adara tetap bersamanya.Egois. Ternyata Tuhan tak mendengarkan doa buruk Danendra. Tentu saja. Mana mungkin doa buruk dikabulkan Sang Pencipta."Senang banget ya, Ra?" tanya Danendra yang langsung dijawab anggukkan tanpa ragu dari Adara."Banget, Dan. Aku ngerasa ini kaya mimpi," ucap Adara. "A-aku-"Adara menghentikan ucapannya ketika kedua ibu jari Danendra tiba-tiba saja mendarat di kedua pipinya—menghapus air mata yang sempat jatuh di sana."Kalau bahagia, jangan nangis," ucap Danendra. "Wajah cantik kamu keganggu kalau nangis.""Dan," kata Adara."Sekarang makan dulu, oke?" tanya Danendra. "Terakhir makan itu kan tadi siang, kamu pasti lapar. Kebetulan aku beli ayam bakar."Adara mengalihkan perhatiannya ke meja makan dan benar saja, di sana sudah tersaji ayam bakar lengkap dengan nasi bahkan lalapan juga sambal.Semuanya makanan yang paling Adara suka."Gimana, kamu suka?" tanya Danendra."Suka," jawab Adara. "Semuanya makanan yang paling aku suka. Kamu masih ingat?""Masih," jawab Danendra. Setelah itu, dia menarik kursi di sampingnya untuk Adara. "Duduk. Makan dulu, habis itu istirahat. Besok kamu mau langsung ke sana, kan?""Iya," jawab Adara. "Nanti aku mau izin dulu sama Papa.""Ya udah," kata Danendra.Duduk berdampingan di meja makan, Adara dan Danendra memulai makan malam mereka dan tentunya mereka makan tanpa menggunakan sendok maupun garpu."Ra," panggil Danendra di sela-sela kegiatan makan mereka."Ya, Dan?""Kamu mau sama siapa ke Majalengka?" tanya Danendra."Hm, sendiri kayanya, Dan. Kenapa memangnya?" tanya Adara.Danendra terdiam sejenak—cukup ragu untuk mengungkapkan niatnya, tapi dia pun khawatir membiarkan Adara pergi sendiri menempuh perjalanan yang tak dekat."Dan?" tanya Adara ketika Danendra tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Kenapa?""Hm." Danendra berguman pelan sambil menatap Adara. "Kalau aku ikut buat anterin kamu, boleh enggak?""Anterin aku?""Yaps," kata Danendra. "Perjalanan Jakarta-Majalengka kan cukup jauh, aku cuman khawatir ada apa-apa aja sama kamu di jalan. Aku takut kamu kecapean nyetir juga."Adara terdiam tanpa mengalihkan perhatiannya dari Danendra—mencoba untuk menimang tawarang suaminya itu."Gimana? Mau enggak aku temenin ke sana?" tanya Danendra. "Biar aku aja yang nyetir supaya kamu enggak kecapean.""Kamu harus kerja, kan?" tanya Adara."Kalau itu enggak masalah," ujar Danendra. "Jatah cutiku sebenarnya masih beberapa hari lagi.""Ya udah," ucap Adara yang akhirnya menyetujui ide Danendra. "Kamu boleh ikut.""Beneran?"Adara mengangguk. "Iya," jawabnya. "Tapi aku boleh minta sesuatu enggak sama kamu?""Apa? Bilang aja," kata Danendra tanpa menghilangkan senyumannya. Namun, untuk yang kesekian kalinya Adara dengan mudah menghilangkan senyuman Danendra dengan sebuah ucapan;"Kalau kondisi Rafly belum baik, kamu jangan bilang dulu ke dia kalau kita nikah ya, Dan?"*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s