LOGINMalam itu Dimitri bersama Marc masuk ke sebuah hotel. Mereka akan bertemu dengan seorang klien kelas kakap untuk membicarakan bisnis. Usai membicarakannya, Dimitri pun ke sebuah resto yang terletak di dalam satu gedung dengan hotel tersebut. Tanpa ragu Dimitri menyantap makanan di hadapannya. Dari meja seberang, seorang wanita dengan gaun malam dan belahan dada setinggi 20cm diatar rok, menatapnya penuh siasat. Beberapa saat kemudian kepala Dimitri terasa sangat pusing. Ia berusaha untuk tetap sadar. Namun hal itu membuat wanita di seberang sana tersenyum penuh siasat. Dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke meja Dimitri. Wanita itu mulai merayunya. Dia menyentuh jemari Dimitri. Lalu berdiri dan menuntun pria itu. Ia membawanya ke sebuah kamar yang memang sudah di oersiapkan sebelumnya. "Tuan, akan aku pastikan kau akan puas malam ini." Wanita itu tersenyum penuh siasat ketika tubuh Dimitri terbaring di atas ranjang. Wanita itu berjalan mendekat dan mulai membuka kemeja Dimitri
Ellen masih berusaha melepaskan diri dari Dimitri yang tak henti mencumbunya. Wanita itu berusaha hingga akhirnya dia menampar pipi Dimitri untuk menyadarkan pria itu. "Ellen, kau..."Dimitri sudah akan naik pitam ketika tamparan keras itu mendarat di pipinya. Pria itu menatap Ellen tajam. Sementara dengan berani Ellen balik menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. "Aku bahkan belum bisa kau sentuh, Dimitri. Kau juga tidak akan pernah menjadi Dimitri yang dulu ku cintai," ujar Ellen dengan suara bergetar. Wanita itu mendorong tubuh Dimitri lalu pergi menjauh dari pria itu. Tubuhnya yang masih sempoyongan bahkan nyaris terjatuh jika saja Dimitri tak segera menangkap tubuh rapuh itu. "Kita akan berpisah. Aku sudah bertekad. Apa pun yang akan kau lakukan tidak akan mengubah keputusanku. Jadi berhentilah melakukan hal tak berguna," kata Ellen melepaskan diri dari pria itu. "Ellen, kau tidak bisa melakukannya. Akan aku pastikan itu," kata Dimitri penuh amarah. Pria itu kemudian per
Dimitri meminta dokter menyuntikkan obat penenang untuk istrinya. Dia tak pernah menyangka Ellen akan se terpuruk ini kehilangan putra mereka. "Anak itu juga segalanya bagiku," gumam Dimitri tertunduk lesu ketika dirinya duduk di kursi belakang meja kerjanya dengan Marc berdiri di sana, tak jauh dari meja. Pria itu melaporkan hasil dari penyelidikannya. "Mungkin sejak awal nyonya sangat ingin mengandung putra dari Tuan. Jadi ketika dia kehilangan maka hatinya menjadi sangat terluka," kata Marc."Kau benar. Sejak awal aku meng klaim diriku ini mandul. Ketika terbukti bahwa dia hamil anakku maka ekspektasinya akan anak ini sangatlah besar," kata Dimitri. "Dia kesakitan saat itu. Tapi yang membuat kami kehilangan bayinya adalah kecelakaan sialan itu. Dan kau masih belum bisa menemukan pelakunya.""Truk yang menabrak Tuan dan nyonya bahkan sudah di hancurkan sebelum akhirnya di bongkar hingga menjadi bagian-bagian kecil. Tapi penyelidikan orang kita menemukan sesuatu. Meski tak bisa di
"Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Bahkan sebuah perceraian tidak akan pernah terjadi. Kau hanya akan menjadi milikku."Kata-kata itu keluar dari bibir seorang Dimitri. Dengan tatapan tajam dan penuh dengan aura menyeramkan, pria itu mengintimidasi wanitanya. Namun Ellen cukup berani dengan menatap balik wajah pria yang dulunya sangat ia cintai. "Jika tidak dalam keadaan hidup maka kematian akan menjadi perpisahan kita," kata Ellen dengan tangan perlahan meraih sebilah pisau di atas buah segar yang terletak di atas meja nakas. Dengan gerakan cepat, Ellen menempatkan sebilah pisau dengan sisi tajam ke lehernya sendiri. Air mata tak henti-hentinya keluar dari pelupuk mata. Wanita itu menatap dengan berani wajah Dimitri yang saat ini menjadi sangat terkejut dan mulai waspada. "Perpisahan dalam keadaan hidup atau mati bagiku sama saja," lanjut Ellen dengan suara bergetar. "Karena semua tidak ada artinya lagi.""Aku tidak bisa berpisah darimu. Semua kulakukan agar kau tetap bersamaku,
Ellen histeris dan membuat Dimitri panik. Wanita itu masih tak bisa melepaskan bayinya. Sementara Dimitri mulai frustasi dengan kebencian wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah kebencian itu. Selain berusaha membuatnya melupakan kejadian mengerikan itu. Pagi ini, setelah sebulan masa pemulihan, Dimitri membawa Mia ke kastil miliknya yang terletak di sebuah pulau pribadi. Namun Mia tak mendapatkan sambutan hangat dari Ellen. Wanita itu haya terdiam dan tak mengatakan apa pun. "Maafkan aku, Tuan Pyordova. Dia tak ingin berbicara padaku," kata Mia dengan kepala tertunduk lesu."Dia selalu mengatakan apa pun padamu. Bagaimana bisa?" tanya Dimitri terkejut. Raut wajahnya terlihat panik. "Kali ini rasa sakitnya benar-benar tak tertahankan lagi. Dia sangat kehilangan dan tak memiliki motovasi hidup lagi. Ellen benar-benar terguncang," kata Mia sedih. "Dia bahkan sampai mengabaikanku."Tak biasanya wanita itu di abaikan Ellen. Dia bahkan tak ingin mengatakan apa pun. Dan s
Ellen membuka mata perlahan usai operasi yang menegangkan itu berlangsung selama beberapa jam. Tubuhnya masih lemah ketika telapak tangannya perlahan mencoba merasakan gerakan bayi dalam perutnya. Yang kini telah kempes dan bayi sudah tidak ada dalam perutnya. Tubuh Ellen serasa di jatuhkan dari ketinggian. Detak jantungnya sangat cepat. Ia bahkan bernapas dengan sangat cepat. Perasaan tak tergambarkan itu ia rasakan dengan sangat nyata. Ini bukanlah mimpi."Anakku," celetuknya lirih. "Kenapa perutku tidak lagi seperti beberapa waktu yang lalu? Ini tidak mungkin. Jelas-jelas aku hamil."Mendengar suara Ellen yang di penuhi rasa takut itu, Dimitri yang terlelap dengan posisi duduk, membuka mata perlahan dan menatap istrinya yang sudah siuman. "Ellen, istriku. Kau sudah siuman rupanya," kata Dimitri senang. Senyuman merekah di bibirnya. Ellen yang sudah basah oleh air matanya, bahkan kedua bola mata cantik itu sedikit memerah. Dia menatap Dimitri penuh kebencian. Pria itu pelakunya.







