“Malam ini kamu saya pecat! Segera bawa barang kamu dan keluar dari sini sekarang!”“Tapi, salah saya apa, Tuan? Sudah puluhan tahun saya di sini dan saya rasa tidak pernah melakukan kesalahan.”“Itu menurutmu! Pokoknya sekarang juga kamu keluar dari sini sekarang!”Roni masuk dan menarik lengan wanita tua dengan umur kisaran enam puluh tahunan hingga ke depan lemari. Lalu, menyentak kasar hingga membuatnya terhuyung. Dengan tatapan nyalang, pria itu mengintimidasi hingga akhirnya sang wanita tua membuka lemari dan memasukkan baju-bajunya ke dalam koper.“Pesangon dan gajimu bulan ini akan aku transfer. Lagipula Papa sudah tidak ada, jadi buat apa kamu masih bertahan di sini, Bu Wina.”Sang wanita tua yang diketahui bekerja sebagai kepala ART selama empat puluh tahun di kediaman keluarga Wijaya itu hanya bisa pasrah saat Roni menyambar koper dan membawanya keluar dan melemparnya.“Sekarang pergilah! Rumah ini sudah tidak membutuhkanmu lagi.”Ibu Wina yang masih gagah dan cantik
“Kurang ajar! Cari dia sampai dapat! Aku yakin dia pasti masih ada di sekitar sana!”Telepon terputus. Keempat orang itu langsung berpencar untuk mencari keberadaan Darren. Namun, mereka tak kunjung mendapatkannya sehingga memutuskan untuk kembali menaiki mobil dan pergi meninggalkan tempat itu.Sementara di tempat lain, tampak seseorang sedang berjalan mondar-mandir sambil menggenggam erat ponselnya. Sejak menerima telepon satu jam yang lalu, belum lagi terdengar kabar tentang hasilnya. Dia menggeram kesal sebelum mengempaskan kasar tubuhnya di kursi.“Sialan! Masa cari satu orang yang sedang sekarat saja tidak bisa!”Orang itu menendang meja sebelum menengadah dan menghela napas panjang. Lalu, menatap langit-langit ruangan sebelum terkejut karena mendengar ponselnya berdering. Dia langsung mengangkat panggilan setelah mengetahui nama yang tertera di layar.“Bagaimana? Kalian dapat, kan?”“Maaf, Bos. Kami kehilangan dia. Seluruh rumah sakit sudah kami cari, tapi dia tidak ditem
Eleanor langsung mengalihkan tatapan saat berserobok dengan orang itu. Wanita itu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sambil berharap orang itu segera pergi. Harapannya terkabul karena saat menoleh, dia tak mendapati orang itu di tempat tadi. Eleanor menghela napas lega sebelum masuk ke ruangan setelah dipanggil sang perawat. Dua puluh menit berlalu, wanita itu keluar sambil tersenyum semringah. Kedua pipinya bersemu merah, langkahnya ringan saat menyusuri lorong yang menghubungkan ke ruangan Darren. Namun, langkahnya terhenti ketika seseorang menghadangnya. “Mau apa kamu?” tanya Eleanor sambil berusaha menahan gelebah dalam dada. Dia menelan ludah dengan susah payah sambil mengepalkan erat kedua tangannya. “Kita sudah tidak ada lagi urusan, sebaiknya kamu minggir.” Orang di depan Eleanor menyeringai sambil melayangkan tatapan menyelidik. Sementara, Eleanor memejamkan mata sejenak sambil menghela napas panjang sebelum kembali menatapnya. “Minggir sekarang ata
Eleanor sedikit tersentak begitu Hana memeluknya erat. Lalu, melerai pelukan dan memberikan tatapan penuh tanya kepada wanita itu. Namun, belum sempat bertanya, Hana melontarkan kalimat lebih dulu. “Mereka tidak melukaimu, kan, Elea? Oh, maafkan aku karena terlalu takut saat melihat mereka keluar dari mobil.” Eleanor menggeleng lemah sebelum beranjak ke sofa dan mengempaskan bobot tubuhnya. Sementara, Hana ikut duduk di sampingnya. “Syukurlah, Elea. Aku benar-benar takut mereka akan berbuat nekat. Aku sampai hampir memanggil polisi, sayangnya itu tidak terjadi.” Eleanor mengulas senyum tipis sebelum berkata. “Aku baik-baik saja, Hana. Untung saja mereka bisa aku bohongi saat tanya di mana Darren.” Wanita itu menghela napas panjang sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “Tapi, untuk sementara aku tidak bisa terang-terangan menemui Darren di rumah sakit. Terlalu riskan untuknya karena aku yakin mereka tidak akan membiarkan Darren selamat.” Hana mengernyit heran mendenga
Eleanor tanpa sadar mengusap perutnya sambil menunduk. Antara percaya dan tidak, dia mulai mengulas senyum tipis dan bergumam. “Jika benar, mungkin Darren akan senang kalau mendengarnya dan lekas bangun untuk merayakannya.” Wanita itu segera menaruh kembali kalender di nakas sebelum beranjak ke kamar mandi untuk berendam. Hangatnya air ditambah aromaterapi dengan wangi lavender menambah rileks suasana malam itu. Eleanor bahkan hampir terpejam karena nyamannya. Namun, dia bergegas bangkit dan menyudahi ritualnya saat teringat sesuatu. “Besok pagi-pagi aku harus memastikannya.” Eleanor bergegas berpakaian dan meringkuk di balik selimut sambil mendekap bantal yang selalu dipakai Darren. Senyumnya terkembang sempurna karena bahagia. Tak berselang lama, terdengar suara dengkur halus dari mulut wanita itu. Eleanor terlelap dan mulai menjelajah ke alam mimpi. Keesokan harinya, Eleanor membuka mata saat mendengar suara alarm. Dia beringsut duduk dan segera mematikan alarm sebelum b
“Aku tidak tahu, Elea! Aku sudah lupa karena kejadiannya sudah bertahun-tahun yang lalu.” Agatha langsung membuang muka karena enggan merasakan kemarahan yang ditunjukkan dari sudut mata Eleanor. “Jangan mengelak lagi, Agatha. Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kamu ceritakan yang sesungguhnya.” Eleanor mengempaskan kasar tubuhnya di kursi depan Agatha sambil menatapnya tajam. “Terserah! Yang penting aku harus pergi sekarang karena dokternya sudah datang.” Agatha berkata sambil melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Dia segera bangkit, tetapi Eleanor langsung mencekal pergelangan tangannya. “Duduk, Agatha! Aku bilang tidak akan melepaskanmu, kan?” Agatha mendengkus kesal sambil berusaha untuk melepaskan tangan Eleanor, tetapi entah kekuatan dari mana wanita itu terlihat makin kuat mencengkeram hingga membuatnya mengaduh. “Lepaskan, Elea! Aduh, perutku keram!” seru Agatha sambil memegang perut bagian bawahnya. “Kalau sampai bayiku kenapa-napa, aku akan menuntutmu, El