Citra menelan ludah seraya menatap wajah Arga. Dirinya tidak mau menikah dengan Raka, tapi dia lebih tidak mau menikah dengan pria brengsek di depannya ini, “Keputusanku tak akan pernah berubah sampai kapan pun, Arga.”
Arga menggigit bibir bawahnya, tahu jika wanita di hadapannya tak gampang berpindah haluan. Sesaat kemudian dia pun tersenyum licik.“Citra, kamu benar-benar tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi,” Arga berkata dengan nada mengejek, matanya menyala dengan amarah yang bercampur frustasi. “Kamu pikir Bang Raka adalah solusi? Dia punya penyakit aseksual! Kamu akan terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, tanpa kebahagiaan. Hidupmu hanya akan menjadi neraka, Citra.”
Citra menatap Arga dengan tatapan tajam, “Arga, aku tidak akan kembali padamu. Bahkan jika aku harus menikahi Mas Raka, setidaknya aku tidak akan menjadi istri dari pria yang mengkhianati kepercayaannya sendiri.”Arga terdiam, tidak menyangka Citra akan memberikan jawaban tegas. “Citra, aku serius. Kamu harus tahu, Bang Raka bukan pria yang akan mencintaimu. Dia tak pernah peduli dengan hubungan atau keluarga. Kamu hanya akan menderita.”
“Cukup Arga, apa kamu lupa bahwa kini Kak Nadya sedang hamil anakmu?”
Arga memalingkan wajahnya, “Itu tidak benar. Lagi pula dia bisa menggugurkannya dan kita tetap bisa menikah sesuai rencana.”
Mendengar ucapan itu keluar dari mulut Arga, Citra semakin merasa terkejut. Bagaimana bisa pria di depannya ini mengatakan untuk menggugurkan anaknya sendiri dengan semudah itu? Citra menatap Arga tajam, “Apa kamu mau dipukul lagi oleh Kakek?” Arga terdiam, teringat akan pukulan yang diterimanya tadi dari Bramantyo. Dirinya merasa frustasi dan kalah. Dia kemudian meninggalkan Citra dan kembali masuk ke kediaman Bramantyo. Berusaha mencari cara lain agar Citra bisa kembali kepadanya.Sedangkan Citra akhirnya bisa bernafas lega begitu Arga meninggalkannya.
Mengingat ucapan Arga, bahwa Raka memiliki kelainan aseksual. Dalam benaknya sebuah ide muncul—sebuah perjanjian pernikahan yang akan dirinya ajukan. Dengan perjanjian itu, Citra bisa memastikan bahwa pernikahan ini hanya formalitas dan tidak ada yang harus terjebak dalam situasi yang tidak diinginkan.**
Pagi ini, Citra sudah berada di hotel tempat pernikahannya akan berlangsung. Citra melirik aula yang sudah dipenuhi dengan tamu yang datang dari berbagai penjuru, menambah kegugupan yang sudah menumpuk di dalam hati Citra.
Gaun putih sederhana yang ia kenakan terasa terlalu berat di pundaknya, seolah-olah dia membawa seluruh beban hidupnya bersamanya.Di pojok ruangan, Nadya dan ibu tirinya, Bu Anita, tidak segan-segan mengejek Citra dengan bisikan-bisikan tajam. “Lihat saja, Nadya. Dia akan menikah dengan pria yang bahkan tidak peduli padanya,” ujar Bu Anita, senyum sinis terukir di wajahnya. “Bukan hanya ditolak Arga, sekarang dia akan menikah dengan pria yang dianggap sampah oleh keluarganya sendiri.”
Nadya tertawa kecil, menambahkan, “Ya, benar. Raka itu bukan siapa-siapa. Citra, kamu tahu, hidupmu akan berakhir di tempat yang tidak layak. Jangan harap kamu bisa hidup bahagia seperti yang kamu bayangkan.”
Citra merasa matanya memanas, tetapi dia menahan diri untuk tidak menangis, “Tutup mulut kalian!”
Plak!Anita menampar wajah Citra, membuat pipi Citra terasa panas, “Beraninya kamu membentak kami!”Merasa bahwa perlakuan mereka semakin keterlaluan, Citra mengangkat tangannya mencoba untuk membalas tamparan ibu tirinya. Namun, belum sempat melakukan hal itu, Nadya sudah lebih dulu mendorong tubuh Citra dengan kuat. Citra sudah bersiap untuk terjatuh ke lantai sambil memejamkan matanya. Namun, sepersekian detik, ia merasa bahwa tubuhnya tidak membentur apa pun. Citra kemudian menyadari sesuatu yang hangat dan kokoh memeluk pinggangnya, mencoba menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. “Apa yang kalian lakukan pada pengantin wanita?”Seketika, suasana ruangan menjadi hening. Semua kepala menoleh ke arah suara tersebut. Mata Citra juga mengikuti, dan hatinya hampir berhenti saat melihat siapa yang sedang memeluknya dari belakang.
Di sana, berdiri seorang pria yang tinggi dan tampan, dengan rambut hitam yang tertata rapi dan rahang yang kuat. Matanya yang tajam dan dalam menatap langsung ke arah Nadya dan Anita, membuat mereka terdiam seketika. Pria itu mengenakan setelan jas yang pas di tubuhnya, memancarkan wibawa dan kekuatan yang tidak bisa dipungkiri.
Citra merasa wajah pria ini cukup familiar, namun meskipun sudah mencoba mengingatnya, Citra tak dapat mengenalinya. “Anda siapa? Jangan ikut campur urusan keluarga kami,” Anita kembali memasang wajah angkuh.Pria itu menatap Anita dengan senyum penuh arti, “Aku Raka Bramantyo, calon suami Citra.” ‘Ya Tuhan ….’Entah mengapa Citra merasakan jantungnya kini berdegup begitu kencang. Tidak menyangka bahwa pria tampan di hadapannya ini adalah Raka, cucu Bramantyo yang terbuang itu?!
Awal dari Kebahagiaan"Mama, kapan adik bayinya lahir?" suara Aidan terdengar riang di ruang keluarga.Citra tersenyum, mengelus perutnya yang sudah besar. "Sebentar lagi, Sayang. Mungkin beberapa minggu lagi."Aidan mengangguk, lalu menoleh ke Raka yang sedang menyiapkan makanan ringan di dapur. "Papa, kalau adik bayi lahir, aku boleh main sama dia tiap hari?"Raka tertawa kecil, berjalan mendekati putranya. "Tentu saja, tapi kamu harus hati-hati. Adik bayi masih kecil dan butuh banyak istirahat."Citra menatap dua lelaki kesayangannya dengan perasaan penuh syukur. Setelah semua yang mereka lalui—pengkhianatan, konflik keluarga, ancaman, bahkan kehilangan—akhirnya mereka bisa sampai di titik ini. Kehidupan mereka kini jauh lebih damai.Pernikahan Sederhana NadyaDi tempat lain, Nadya berdiri di depan cermin, mengenakan kebaya putih sederhana. Matanya berbinar, campuran gugup dan bahagia."Kamu cantik sekali, Nadya," puji Citra yang berdiri di belakangnya.Nadya tersenyum malu. "Kak,
Bab 128: Awal Baru"Nadya, aku di sini," ujar Raka lembut sambil menepuk pundak adik iparnya. Suaranya tenang, namun penuh kekhawatiran.Nadya duduk di kursi belakang mobil dengan tubuh gemetar. Ia memandang Raka dengan mata yang basah. "Terima kasih, Raka... kalau bukan karena kamu, aku mungkin..." Suaranya terputus oleh isak tangis."Sudah, jangan pikirkan itu lagi," potong Raka. "Yang penting sekarang kamu selamat. Kita akan bawa kamu pulang.""Aku nggak tahu apa aku bisa kembali," kata Nadya pelan. "Semua ini terlalu berat. Aku malu...""Nggak ada yang perlu kamu malu, Nadya," sahut Raka tegas. "Apa yang terjadi ini bukan salahmu. Kamu adalah korban."Di kursi depan, salah satu anggota tim keamanan berbalik. "Pak Raka, kita sebaiknya menuju tempat aman dulu sebelum membawa dia pulang. Gudang tadi mungkin masih diawasi anak buah Fajar."Raka mengangguk. "Benar. Kita ke tempat yang sudah disiapkan. Nadya butuh istirahat.""Aku... aku nggak ingin merepotkan," kata Nadya, suaranya ham
Bab 127: Misi Penyelamatan"Mas, aku harus ikut," tegas Citra sambil menatap suaminya. Ia berdiri dengan tangan terlipat, menunjukkan bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja.Raka menghela napas panjang, meletakkan ponselnya di meja. "Citra, ini bukan ide yang bagus. Tempat itu berbahaya, dan kamu sedang hamil. Aku nggak akan ambil risiko.""Bahaya atau tidak, Nadya tetap keluargaku!" balas Citra dengan nada penuh emosi. "Aku nggak bisa duduk diam di rumah sementara kalian di luar sana mencarinya."Raka mendekat, menggenggam kedua tangan Citra. "Aku mengerti perasaanmu, tapi pikirkan bayi kita. Kamu sendiri bilang dia adalah prioritas utama. Kalau sesuatu terjadi padamu, aku nggak akan pernah bisa memaafkan diriku."Citra menggeleng, air mata mulai menggenang di matanya. "Tapi Mas ... aku nggak bisa tenang. Aku nggak tahu apa yang akan dilakukan Fajar pada Nadya. Aku takut dia dalam bahaya.""Itulah kenapa aku harus pergi. Bukan kamu," ujar Raka dengan lembut, mencoba menenangkan ist
"Bu, aku ingin bicara!" suara Citra terdengar lantang dari ruang tamu, memecah keheningan malam itu.Anita, yang tengah duduk santai di sofa sambil menonton televisi, menoleh dengan ekspresi datar. "Oh, kamu akhirnya punya nyali, Citra?" balasnya sinis.Citra melangkah masuk, wajahnya tegang. Raka berdiri di belakangnya, mencoba memberi dukungan meskipun ia tahu ini bukan posisinya untuk ikut campur."Aku nggak tahan lagi dengan semua omonganmu tentang ibuku," Citra langsung memulai, tanpa basa-basi. "Kalau kamu punya sesuatu untuk disampaikan, katakan sekarang, di depanku."Anita menatap Citra dengan tatapan dingin. Ia mematikan televisi dan meletakkan remote di meja. "Baiklah," katanya sambil menyilangkan tangan di dada. "Kamu mau tahu kebenaran, kan? Kebenaran yang selalu kamu anggap sebagai kebohongan karena kamu nggak bisa terima kenyataan?""Kebenaran apa? Bahwa kamu yang menghancurkan keluarga kami?" sergah Citra dengan nada tajam.Anita tertawa kecil, getir. "Lucu sekali. Kamu
"Fajar, aku nggak mau ikut campur urusan ini lagi," suara Nadya terdengar putus asa. Ia berdiri di sudut ruangan sempit yang mereka sewa, memeluk tubuhnya sendiri.Fajar, seorang pria bertubuh tegap dengan tatapan tajam, hanya mendengus sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kayu. "Kamu pikir kamu punya pilihan, Nadya?" tanyanya dengan nada dingin.Nadya menggigit bibir, menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku cuma mau hidup tenang, Fajar. Aku nggak pernah setuju untuk jadi bagian dari ini."Fajar mendekat, langkahnya pelan tapi penuh tekanan. "Dengar, Nadya. Kamu pikir aku juga mau hidup seperti ini? Kita sama-sama nggak punya pilihan. Uang dari pekerjaan ini yang bikin kita bisa bertahan. Kalau kamu nggak mau ikut, ya sudah. Tapi jangan salahkan aku kalau kamu nanti kelaparan."Nadya memalingkan wajahnya. "Aku lebih baik pergi daripada terus terlibat dalam ini.""Pergi ke mana? Ke adikmu, Citra?" tanya Fajar sambil terkekeh. "Kamu pikir dia bisa terima kamu begitu saja setelah semua
"Mas, ini tidak mungkin terjadi... Kenapa ada foto kita di rumah sakit?" Citra memandang ponselnya dengan tangan gemetar.Raka yang sedang duduk di sebelahnya segera menoleh. "Tunjukkan padaku," katanya tegas. Citra menyerahkan ponselnya, dan Raka segera membaca pesan itu.Di layar, sebuah pesan teks anonim berbunyi:"Berhenti mencari, atau kalian akan menyesal."Di bawah pesan itu ada foto Citra dan Raka di depan rumah sakit tadi siang, jelas diambil dari jarak dekat."Sialan," gumam Raka, wajahnya langsung tegang. "Ini bukan ancaman biasa. Seseorang mengikuti kita.""Apa maksudnya berhenti mencari? Apakah ini ada hubungannya dengan Nadya?" tanya Citra, suaranya terdengar cemas.Raka menatapnya tajam. "Tentu saja ini tentang Nadya. Orang yang mengancam kita pasti tahu kita sedang mencoba menemukannya.""Tapi kenapa mereka mengincar kita? Apa salah kita, Mas?" Citra mulai terisak.Raka menarik napas panjang dan meraih tangan Citra. "Dengar, ini bukan salahmu. Kita cuma mencoba membant