Ditempat baru. Langit di kota itu tampak bersih pagi itu, meski udara masih mengandung sisa embun yang belum menguap sempurna. Jauh dari kota pusat. di sebuah apartemen luas dengan balkon menghadap taman kota, Luna duduk sambil menyuapi anak kembarnya. Wajahnya tenang, gerakannya lembut, seperti ibu-ibu muda lainnya yang menikmati pagi dengan anak-anak mereka. Tapi hatinya tak setenang itu. Di dapur, Dimitri menyeduh kopi. Aroma robusta memenuhi ruangan. Ia mengenakan kaus putih polos dan celana rumah, rambutnya berantakan, tapi tetap tampan dengan caranya yang natural. Ia menatap punggung Luna dari kejauhan, dan sesekali mencuri pandang pada anak-anak mereka yang tertawa riang. Luna sadar Dimitri memperhatikannya. Ia tidak menoleh. Suara sendok kecilnya tetap mengaduk bubur anak dengan ritme yang sama. Tapi pikirannya melayang. “Luna...” suara Dimitri pelan. Ia menoleh setengah, lalu kembali fokus ke mangkuk. “Hmm?” “Kamu masih kepikiran soal dulu?” tanya Dimitri, tid
Dulu Sukma Agatha tidak pernah menjadi wanita baik. Ia adalah badai dalam balutan tubuh yang anggun. Wajahnya bisa menyihir, bibirnya mampu melukai dan menyelamatkan sekaligus, dan kata-katanya—selalu seperti pisau yang dibungkus bunga. Sukma pernah menikah dengan Farel, pria sederhana yang dikenalnya sejak bangku kuliah. Tapi bagi Sukma, cinta tanpa bara adalah kutukan. Ia butuh gairah. Ia butuh letupan. Ia butuh api, dan Farel hanyalah kolam tenang tanpa gelombang. Dan api itu—ia temukan di senjata milik Gerald. kemudian mereka berselingkuh. Gerald, si buaya halus yang pandai memikat semua wanita, termasuk yang dicintainya. Ia sahabat dekat Carlos dan Dimitri—trio pria berkelas dengan isi kepala penuh pesta bebas dan tubuh penuh dosa. Gerald bukan hanya meniduri Sukma, tapi menjadikannya legenda. Ia bercerita pada Carlos dan Dimitri tanpa malu: bagaimana tubuh Sukma lentur seperti tarian, bagaimana ia merintih tanpa malu, bagaimana ia menangis bukan karena sakit, tapi ka
Steve menatap wanita itu. Wanita yang dulunya begitu garang, ambisius, dan tak tersentuh. Kini terlihat seperti sisa badai—masih cantik, tapi lelah. Masih kuat, tapi nyaris rapuh. Ia menghela napas. “Saya tahu, Nyonya Sukma. Karena saya ada di sana... sejak awal.” Sukma menoleh. “Apa maksudmu?” Steve meletakkan tangan di atas lututnya. Tatapannya menunduk sebentar, lalu menatap mata Sukma dengan tenang. “Saya tahu... bahwa pernikahan Ibu dan Pak Dimitri dulu bukan karena cinta.” Sukma mematung. Kata-kata itu seperti menghantam sisa harga diri yang masih ia pegang erat. “Saya tahu karena saya ada di sana waktu Nyonya kabur dari perusahaan, setelah mengambil uang puluhan milyar. Saya juga tahu waktu Pak Dimitri putuskan menikahi Nyonya beberapa tahun kemudian. Waktu itu saya sudah jadi pengganti Nyonya sebagai General manajer.” Sukma menunduk, wajahnya sedikit memerah. “Jadi kamu tahu... semua aibku.” Steve menggeleng pelan. “Bukan aib. Masa lalu. Saya tahu semua orang
Sukma berdiri lama di depan cermin. Ia mengenakan lingerie tipis yang dibeli khusus untuk malam itu, sesuatu yang biasa Dimitri suka—bahan renda yang menggoda, lembut saat disentuh, dan membuat kulitnya tampak lebih terang. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai, sedikit bergelombang setelah ditata dengan alat catok. Parfum mahal beraroma melati dan vanila ia semprotkan ke leher dan pergelangan tangan, berharap keharuman itu bisa membangkitkan kenangan. Ia memasak sendiri spageti carbonara—makanan favorit Dimitri—dan menata meja makan dengan lilin kecil di tengah, lengkap dengan anggur merah di gelas kristal yang hanya mereka gunakan saat perayaan. Waktu terus berlalu. Jarum jam bergerak pelan tapi pasti. Menit demi menit terasa seperti siksaan. Pukul delapan malam. Sembilan. Sepuluh. Tak ada kabar. Tak ada pesan. Tak ada suara mobil di depan rumah. Tak ada suara kunci di pintu. Kosong. Sukma tetap menunggu. Ia duduk sendirian di meja makan, menatap spageti yang mulai din
Malam itu sunyi. Tapi bukan sunyi yang menenangkan. Ini sunyi yang menggema seperti ruang kosong di dada Sukma. Ia duduk sendiri di lantai 33, penthouse paling atas hotel mewah milik Dimitri. Tempat yang dulu dibangun khusus untuk mereka. Tempat yang jadi saksi saat Dimitri pertama kali memeluknya tanpa niat menyakiti. Saat pria itu berkata pelan, "Aku tidak akan pernah menyakitimu, Sukma. Tidak secara fisik, tidak juga hatimu." Janji itu kini terkubur bersama puing-puing rumah yang terbakar. Sukma membuka map merah anggun di pangkuannya. Di dalamnya, terlipat rapi kertas bercap notaris. Surat cerai. Tangannya masih terbalut perban. Luka dari dorongan itu masih perih—lebih perih dari kulit yang robek adalah kenyataan bahwa luka itu datang dari orang yang ia pertahankan mati-matian. Sukma akhirnya menyerah,ia menandatangani lembar terakhir. Tinta hitam mengalir dengan tenang. Tidak ada air mata. Tidak ada amarah. Hanya keheningan dari seseorang yang sudah selesai bertarung.
Asap mengepul dari genteng yang terbakar. Bau arang, plastik hangus, dan kayu gosong menyatu dalam udara malam. Langit gelap semakin kelam oleh kabut asap. Udara pengap, mencekik, seolah malam ikut menangis bersama api yang melahap rumah. Sirene mobil pemadam meraung di kejauhan, menembus kesunyian seperti jeritan penyesalan. Tapi bagi Dimitri, semuanya telah terlambat. Ia menginjak gas mobil sekuat tenaga. Matanya liar, napasnya terputus-putus, dan tangannya gemetar di atas kemudi. Keringat dingin membasahi pelipisnya, padahal suhu malam menurun drastis. Begitu sampai di depan rumahnya—rumah yang kini menjadi neraka terbuka—ia langsung keluar, bahkan sebelum mesin mobil berhenti sepenuhnya. Ban mobil masih berputar pelan ketika pintu dibanting keras. "LUNA!" teriaknya, penuh kepanikan, menggema di antara suara gemeretak api dan desisan kayu yang runtuh. Matanya menatap rumah yang ia bangun dengan cinta dan impian masa depan. Dinding yang dulu dicat dengan penuh harapan, j