--- Kamar hotel itu masih sunyi, hanya terdengar dengusan AC dan suara detik jam dinding. Carlos duduk di sisi ranjang, menyandarkan punggung ke headboard, satu kaki tertekuk, satu tangan menggenggam rokok elektrik yang belum ia nyalakan. Sukma sudah berbaring, menyelimutkan tubuhnya dengan kain tipis, tapi tak memejamkan mata. Tatapannya mengarah ke langit-langit, kosong, namun pikirannya riuh. Luka di tubuhnya mungkin perlahan pulih, tapi luka di hatinya—ia tak yakin akan sembuh sama cepatnya. Carlos menoleh pelan, melihatnya dalam diam. Lalu tanpa peringatan, ia menyusup masuk ke bawah selimut. Tubuhnya hangat, aroma tubuhnya—maskulin, pahit, tapi anehnya menenangkan. Sukma reflek mengangkat alis. “Mau ngapain lagi kamu?” Carlos menyeringai. “Nemenin. Biar kamu gak mimpi buruk. Siapa tahu kamu mimpi mantan suami pertama kamu. Bisa langsung bangun teriak teriak histeris.” Ia menyentuh pinggang Sukma, menelusurinya pelan. Bukan untuk merangsang, tapi seolah memastikan:
--- Carlos menarik napas, lalu menatap Sukma seperti sedang menimbang sesuatu—bukan perasaan, tapi keputusan. “Bangun. Mandi yuk.” Nada suaranya datar, tapi matanya tajam. Sukma mendelik. “Aku enggak minta dilayanin.” Carlos menyeringai tipis. “Ya, kamu pikir aku rela ngelayanin kamu? Ini demi kemanusiaan. Bau badan kamu itu udah kayak sampah. Sukma ingin marah.. Ia hanya menghela napas panjang dan akhirnya berdiri pelan. Badannya masih terasa ngilu, terutama di bagian bawah. Tapi langkah Carlos yang sudah ke arah kamar mandi membuatnya—entah kenapa—ikut berjalan. --- Carlos berdiri mematung di depan kamar mandi, satu alisnya terangkat. “Jadi kamu beneran mau dimandiin? Wow.” Ia tertawa sinis. “Gak nyangka. Biasanya cuma alat getar yang kamu percaya megang tubuh kamu. Sekarang aku?” Sukma menatap tajam. “Kalau enggak tulus, gak usah.” Carlos mendekat, berdiri di depannya. Tangannya sudah mengambil handuk, tapi matanya masih menusuk. “Tulus? Suk, satu-satunya ha
Sukma duduk di ujung ranjang hotel itu—kakinya menggantung pelan, menyentuh udara malam yang berhembus dari celah jendela yang belum ditutup sepenuhnya. Gaun tidurnya jatuh bebas hingga sebatas paha, memperlihatkan kulit putihnya yang pucat namun hangat di bawah sorotan lampu meja yang temaram. Carlos berdiri beberapa langkah dari tempatnya duduk, seperti tak tahu harus mendekat atau menjaga jarak. Matanya menelusuri tubuh perempuan itu—bukan dengan nafsu semata, melainkan keraguan. Seperti sedang mengamati lukisan antik yang rusak karena waktu, lalu direstorasi kembali—cantik, tapi tak lagi asli. "Masih Sakit jahitannya?" Suaranya terdengar datar. Tidak ada kelembutan di sana. Hanya guratan tajam yang tak bisa disamarkan, seperti silet yang menyayat pelan tapi dalam. Sukma mendongak. Tidak menjawab dengan kata. Tatapannya hanya menembus Carlos, seperti ingin menghapus eksistensi pertanyaan itu. Tapi Carlos tidak mencari jawaban. Ia hanya ingin mengusik. Ia menyeringai keci
Sukma menggenggam ponselnya erat, jari-jarinya dingin. Di hadapannya, laporan tender terpampang di layar laptop—dan nama pemenangnya membuat seluruh tubuhnya gemetar. Kamisama Group. Perusahaan milik Naomi musuh bebuyutannya. Tangannya bergetar saat menekan tombol kontak dengan nama yang sejak dulu tak ingin ia sentuh lagi. Carlos. Nada sambung panjang. Terlalu panjang. Mungkin ia memang sudah tak akan menjawab lagi. Tapi kemudian—klik. “Ya?” suara itu berat, dingin, dan akrab sekali. Sukma tercekat. “Ini aku…” “Sukma. Iya, aku tahu,” potong Carlos cepat. “Aku denger napasmu. Napas orang kepepet.” Sukma memejamkan mata, menggigit lidahnya sendiri agar tak langsung menangis. “Mereka menang tender distribusi nasional. Semua mitra aku ditarik. Naomi—dia mau habisin brand-ku.” “Carlos… ini soal perusahaan.” Sukma menahan napas. “Aku butuh kamu.” Carlos tertawa pelan. Tapi bukan tawa geli. Lebih mirip... kemenangan. “Sayangnya, aku lagi di luar. Ada kerjaan
Langit sudah menjelang pagi saat Axel akhirnya membuka pintu rumahnya. Wajahnya babak belur—lebam di pelipis, bibir pecah, dan satu sisi lehernya membiru. Jaketnya robek di pundak, dan langkahnya pincang. Di balik semua itu, ada luka lain yang lebih dalam: rasa bersalah yang tak bisa dioles salep. Dita sedang di ruang tengah, menggendong putri kecil mereka yang tertidur di bahunya. Begitu melihat suaminya masuk dengan kondisi begitu, ia langsung bangkit, panik. > “Ya Tuhan, Axel! Kamu kenapa?!” Axel memaksakan senyum tipis. “Dirampok. Tadi malam pas pulang dari studio. Tiga orang. Tapi cuma dompet dan jam tangan yang hilang.” Dita menatapnya tajam. “Kamu dibawa ke rumah sakit?” Axel menggeleng. “Nggak sempat. Aku langsung pulang. Cuma luka luar kok.” Anak mereka bergerak kecil, lalu meringkuk lagi di dada ibunya. Axel menatap wajah mungil itu lama. Ada perasaan sesak yang menekan dadanya. > “Maaf kalau aku bikin kamu khawatir.” Dita menatap luka-lukanya, kemudian m
--- Sukma berdiri di depan cermin kamar, Melepas hoodienya, kembali mengenakan gaun sutra tipis. Rambutnya masih acak-acakan, sebagian jatuh menutupi pipi yang memerah. Bukan karena malu. Tapi karena hangat yang belum hilang dari tubuhnya. Kulitnya… masih terasa seperti dibakar oleh jejak-jejak Axel—bekas dari ciuman, belaian, dan tubuh yang nyaris bersatu sepenuhnya. Nyaris. Ia menatap bayangan dirinya sendiri, lama. Di cermin itu, ia melihat perempuan yang asing, dengan mata sedikit bengkak, dada naik-turun tak beraturan, dan kulit yang tampak lebih hidup dari sebelumnya—tapi bukan karena bahagia. Melainkan karena sesuatu yang lebih liar: dorongan. Luka. Hasrat. Dan keinginan untuk dihancurkan hanya supaya bisa merasa... hidup kembali. Di lehernya, samar bekas merah seperti gigitan tertinggal. Di bawah tulang selangka, warna merah memudar namun jelas. Di pangkal paha, ia bisa merasakan sisa hangat yang belum reda. Semua itu bukan sekadar bekas fisik—tapi jejak keterasingan d