Share

03. Yang Dipilihkan

          

                 ๐Ÿ€ Happy Reading ๐Ÿ€

Semua keluarga Latief memperhatikan Ero yang sedang duduk sambil menundukkan kepala. Kedua tangannya saling bertaut, seolah menunjukkan kalau dirinya merasa cukup terintimidasi oleh tatapan orang-orang ini. 

"Sellandra, gembel mana yang kau bawa pulang kemari, hah!" tanya Kasturi dengan nada menyentak. 

"Dia bukan gembel, Nek. Namanya Ero," jawab Sellandra tak enak hati. "Dia adalah pria yang dipilih almarhum Kakek untuk menjadi suamiku."

Ero langsung menatap Sellandra dengan raut wajah terkejut. Dia tidak menyangka kalau calon istrinya akan bicara dengan begitu jujur di hadapan semua orang. 

"Apa? Calon suamimu?" kaget Kasturi. "Dia? Aku tidak percaya. Kau jangan merendahkan selera suamiku, Sellandra. Kakekmu tidak mungkin memilih pria sembarangan untuk masuk ke keluarga ini. Kau pasti berkata bohong agar aku merasa iba padamu kan?"

Dituduh seperti itu oleh sang nenek membuat dada Sellandra terasa semakin sesak. Susah payah dia menata hati untuk menerima kehadiran Ero, dan sekarang dia harus menghadapi cercaan neneknya yang selalu saja berpikir negatif terhadapnya. 

"Nyonya, memang benar apa yang dikatakan oleh Nona Sellandra kalau aku adalah calon suami yang dipilihkan oleh almarhum Kakek Latief," ujar Ero ikut membela calon istrinya. 

"Diam kau gembel jalanan. Kau tidak di izinkan untuk bicara di sini!" hardik Kasturi sembari menunjuk wajah pria yang akan menikahi cucunya. 

"Nenek, kenapa bicara kasar begitu pada Ero. Dia adalah tamu di rumah ini, kita harus menghargainya," ucap Sellandra entah mengapa merasa tak terima. 

"Kau juga diam, Sellandra. Jangan menyela saat orangtua sedang bicara!" bentak Kasturi. 

Ziko, Feli, Bima dan Kintan nampak tersenyum puas melihat Sellandra dibentak seperti itu. Mereka berempat saling melirik, saling bersorak dalam hati masing-masing. 

"Tidak heran kenapa Sellandra bersikap seperti itu, Nek. Di dalam tubuhnya kan mengalir darah orang miskin yang biasanya memang tidak memiliki sopan santun," celetuk Kintan dengan sengaja. 

"Kintan, kau tidak boleh bicara seperti itu pada kakak sepupumu. Itu tidak sopan namanya," tegur Nadia pelan. 

Kintan berdecih. Dia lalu menatap sinis ke arah pria bernama Ero yang hanya diam seperti orang bodoh. Sungguh lelaki yang sangat menjijikkan, pikirnya. 

Ibrahim kemudian berdehem setelah perdebatan si tuan rumah berhenti. Dia lalu mengeluarkan dua berkas penting dari dalam tas kemudian meletakkannya di atas meja. 

"Saya rasa sekarang waktunya untuk kita membahas masalah surat wasiat yang di tinggalkan oleh almarhum Tuan Latief, Tuan dan para Nyonya sekalian" ucap Ibrahim memulai pembicaraan. 

Semua orang diam mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh Ibrahim. Terkecuali Ero. Pria itu terus memperhatikan Sellandra yang terlihat sedih setelah dihina oleh keluarganya. Seandainya saja Ero memiliki kuasa, ingin rasanya dia memberi pelajaran pada orang-orang yang sudah menyakiti hati calon istrinya. Namun apa daya, dia tak memiliki apa-apa saat ini. Dia bahkan harus menebalkan wajah agar bisa duduk dan berbincang dengan semua orang meskipun kehadirannya ditolak dengan sangat kentara. 

"Saya akan mulai membacakan surat wasiat yang pertama. Harap semuanya tenang dan jangan menyela sebelum saya selesai membaca surat wasiat ini," ucap Ibrahim seraya menatap tajam pada semua orang yang ada di sana.

                        SURAT WASIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Latief Hendrawan, dengan penuh kesadaran diri membuat surat pernyataan tentang pembagian harta warisan yang sudah saya kumpulkan semasa hidup. Pembagiannya akan di jelaskan sebagai berikut:

-Kasturi Latief, selaku istri dari Latief Hendrawan berhak memiliki saham sebesar 25% di Group Latief berserta rumah utama dan dua buah villa pribadi milik keluarga. 

-Riandi Latief, selaku putra sulung dari Latief Hendrawan berhak mendapatkan saham sebesar 20% di Group Latief beserta dengan satu villa pribadi milik keluarga. Termasuk juga dengan semua fasilitas yang sedang digunakan, baik atas nama pribadi maupun atas nama keluarga Latief.

-Alziko Latief, selaku anak bungsu dari Latief Hendrawan berhak mendapatkan saham sebesar 20% di Group Latief beserta dengan satu villa milik keluarga. Termasuk juga dengan semua fasilitas yang digunakan saat ini, baik atas nama pribadi maupun atas nama keluarga Latief.

-Sellandra Latief, Bimahendra Latief, Kintan Melia Latief, masing-masing dari mereka berhak mendapat saham sebesar 10% di Group Latief beserta dengan semua fasilitas yang digunakan saat ini.

Adapun sisa saham sebanyak 5%, itu akan disumbangkan secara pribadi dalam bentuk nominal oleh pengacara yang sudah ditunjuk kemudian akan diserahkan kepada beberapa panti asuhan dan juga panti jompo yang sudah tertera di bawah ini:

1. Panti Asuhan Harapan Bunda

2. Panti Asuhan Bintang Mulia

3. Panti Asuhan Cemerlang

4. Panti Jompo Kasih Tuhan

5. Panti Jompo Kasih Bersama

Demikian surat wasiat ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

                            TERTANDA

             

                   LATIEF HENDRAWAN

Begitu Ibrahim selesai membacakan surat wasiat, ekpresi berbeda nampak muncul di wajah orang-orang yang namanya disebut. Kasturi yang mendapat bagian paling banyak nampak tersenyum semringah. Ziko yang hanya mendapat 20% saham terlihat tidak senang, sedangkan kedua anaknya terlihat biasa-biasa saja. Ibrahim mengerutkan kening melihat reaksi Sellandra yang hanya bungkam dengan tatapan kosong. Padahal jika dijumlahkan, saham milik Sellandralah yang paling banyak. Bahkan lebih banyak 5% dari saham milik Nyonya Kasturi dimana wanita itu hanya mendapat bagian sebanyak 25% saja. 

"Ibrahim, lalu surat wasiat apalagi yang ditinggalkan oleh mendiang suamiku? Apakah itu adalah wasiat tentang siapa yang akan menjadi direktur utama di Group Latief?" tanya Kasturi tak sabar. 

"Bukan, Nyonya. Surat ini diperuntukkan khusus untuk Nona Sellandra. Mengenai siapa yang akan menjadi direktur di Group Latief, nanti akan diadakan voting oleh para pemegang saham dan juga dewan perusahaan yang ada di sana," jawab Ibrahim kemudian mengambil satu surat yang masih tersegel rapi. "Nona Sellandra, silahkan dibaca surat dari almarhum Tuan Latief."

Sebenarnya tanpa membaca surat tersebut Sellandra sudah tahu apa isinya. Wasiat yang tertulis di dalam sana pasti berhubungan dengan Ero, pria yang akan menjadi suaminya nanti. Dengan berat hati Sellandra akhirnya menerima surat tersebut kemudian membukanya. 

"Cucuku sayang, tolong terima Ero sebagai suamimu ya Nak. Dia pria yang baik, Kakek baru akan merasa tenang kalau kau menikah dengannya. Meskipun Ero miskin, tapi dia kaya hati. Ketahuilah Nak, tidak ada gunanya kita mengejar duniawi, karena semua itu tidak akan dibawa mati. Percayalah, pilihan Kakek tidak mungkin salah karena Kakek sudah mengetahui siapa dan bagaimana watak dari pria yang akan menikah denganmu. Sellandra, hiduplah sampai tua bersama Ero, jangan pernah terpikir sekalipun untuk kau bercerai darinya. Tolong kabulkan harapan Kakek ya Nak. Kakek sangat menyayangimu dan juga Ibumu....

Mata Sellandra berkaca-kaca setelah membaca surat wasiat tersebut. Dia tidak tahu harus merasa senang atau merasa sedih. Siapa yang tidak gundah saat diminta untuk menikahi pria lain di saat kita sendiri memiliki kekasih yang begitu kita cintai. Davis, Sellandra tidak tahu harus bagaimana menghadapi kekasihnya nanti. Hatinya hancur, tapi dia juga tidak mungkin mengabaikan wasiat dari sang kakek. Dia tidak mau menjadi cucu yang durhaka. 

"Sellandra, apa yang ditulis oleh Kakekmu? Cepat beritahu kami semua!" desak Kasturi tak sabar. 

"Aku akan menikah dengan Ero," jawab Sellandra lunglai. "Itu yang tertulis di dalam surat wasiat ini."

"Aku tidak setuju!" tolak Kasturi dengan lantang. "Sudah cukup kau dan Ibumu saja yang berasal dari kalangan orang miskin, tidak dengan gembel ini. Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan kalian menikah karena itu akan mencoreng nama baik keluarga Latief."

"Aku pun sama dengan keputusan Ibu. Kau tidak diizinkan menikah dengan pria ini, Sellandra!" imbuh Ziko jengkel. 

Sellandra menarik nafas. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia akan mengambil keputusan yang dia sendiri tidak tahu akan seperti apa akhirnya nanti. 

"Setuju tidak setuju aku akan tetap menikah dengan Ero. Ini adalah amanah yang harus aku jalankan dengan baik sesuai dengan apa yang di harapkan oleh almarhum Kakek," ucap Sellandra tegas. 

"Kau tetap tidak akan bisa menikah tanpa seizinku, Sell. Aku adalah wali pengganti ayahmu," sahut Ziko terus berusaha mencegah pernikahan beda kasta itu terjadi. 

"Aku tahu itu, Paman. Akan tetapi ini adalah sebuah wasiat. Aku yakin pihak sipil pasti akan mengabulkan pernikahan ini sekalipun kau tidak mau menjadi waliku!" jawab Sellandra kemudian melihat kearah Ero. "Apa kau membawa surat-surat untuk kepentingan pernikahan kita?" 2

"Ya, aku membawanya" jawab Ero. 

"Kalau begitu ayo kita pergi. Hari ini juga kita akan menikah."

"Sellandra, apa kau yakin Nak?" tanya Nadia khawatir. "Bagaimana dengan Davis? Bukankah kalian saling mencintai?"

Setengah mati Sellandra menahan diri agar tidak menangis. 

"Wasiat dari Kakek jauh lebih penting dari perasaanku, Bu. Tolong restui keputusanku ya, doakan agar aku kuat menjalani semua ini" jawab Sellandra lirih. 

Nadia tak dapat menahan diri untuk tidak menangis mendengar jawaban putrinya. Dengan berat hati dia melepas Sellandra pergi bersama pria asing yang akan segera menjadi menantunya. Sedangkan keluarga yang lain tampak acuh dan tidak mempedulikan kepergian putrinya. Hanya Tuan Ibrahim saja yang pergi menyusul untuk menjadi saksi perjodohan yang sudah di wasiatkan oleh almarhum ayah mertuanya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status